BAB 1.3 : DATU MERAH

"Lokapala nomor dua, Datu Merah, sudah diterjunkan," kata Prof. Denny sambil menatap layar monitor di hadapannya, "Untuk sementara kalian bisa tenang," katanya lagi sembari bangkit dari kursinya.

Samad tidak bisa menyembunyikan rasa terkesannya melihat ciptaan Denny. Lokapala memang jauh lebih kuat, cepat, dan efektif daripada Dwarapala. Satu Lokapala saja sudah mampu memudarkan tingkat kepekatan kabut darah, sesuatu yang bahkan mustahil dilakukan oleh para Dwarapala. Satu Lokapala juga berhasil menyelesaikan tugas memusnahkan segerombolan monster yang bahkan tidak bisa dituntaskan satu kompi tentara terlatih meski mereka sudah berusaha melakukannya sejak pagi tadi.

"Bagaimana kau bisa membuat prajurit seefektif ini? AI macam apa yang kau tanamkan pada zirah mereka?"

"AI yang sama dengan yang anda tanamkan di zirah Dwarapala generasi pertama."

"Mustahil!" Samad terkesiap.

"Tapi itu kenyataannya Doktor Samad. Namun saya tidak seperti anda yang hanya mengandalkan AI semata. Saya juga memakai 'faktor X' yang dulu selalu anda tertawakan."

"Faktor X?" dahi Samad mengernyit sebelum wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut, "Tunggu! Jangan bilang kalau kau memakai 'itu'!"

"Ya," Denny mengangguk penuh kemenangan, "Saya selalu yakin bahwa 'mereka' ada, Doktor. Jika makhluk-makhluk yang menyeberang ini merupakan suatu kenyataan, bukankah mengakui 'mereka' sebagai kenyataan seharusnya juga bisa diterima akal?"

*****

Panji tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya ketika melihat prajurit berzirah merah itu turun dari angkasa. Datu Merah, itu nama sandi prajurit berzirah merah itu. Nama aslinya adalah Iqbal Purba Sitanggang. Dari nama marganya saja sudah ketahuan pengguna zirah itu berasal dari Sumatra Utara, tepatnya dari Medan. Panji dan Sitanggang sudah menjalin kontak selama beberapa waktu sejak mereka direkrut sebagai Lokapala dan Sitanggang memang dijadwalkan akan tiba bersamaan dengan Panji hari ini.

Sitanggang mendarat dengan lebih mulus daripada Panji. Sebuah tongkat logam berwarna coklat kemerahan dengan ukiran wajah-wajah manusia terpahat di sepanjang tubuh tongkat itu tergenggam di tangan Sitanggang. Ujung bawah tongkat itu dipersenjatai bilah pisau tajam yang mampu mengoyak dan mencabik benda-benda keras.

Tapi Panji tahu bahwa tongkat itu sendiri juga berbahaya tanpa hiasan pisau di bagian bawahnya. Dalam simulasi tempur virtual, Panji bisa melihat sendiri betapa menakutkannya Sitanggang jika sudah di medan laga.

Sitanggang mengetuk-ngetuk tanah, memunculkan sejumlah partikel logam gelap dari ujung atas tongkatnya yang perlahan membentuk sebuah sosok boneka logam dengan pakaian berupa kemeja merah gelap dan penutup kepala yang berhiaskan jalinan tali serta sebuah selempang warna kuning. Sitanggang menyebut boneka logam ini Sigale-gale dan Panji setuju dengan penamaan itu karena wujudnya memang mirip boneka Sigale-gale.

Hanya saja Sigale-gale Sitanggang ini jauh lebih berbahaya daripada Sigale-gale masyarakat Batak kebanyakan. Jika Sigale-gale rata-rata hanya digunakan untuk pertunjukan tari maka Sigale-gale Sitanggang ini bisa dipakai untuk melakukan genosida.

Jalinan tali energi berwarna merah tersambung antara Sigale-gale tersebut ke tongkat milik Sitanggang. Dengan satu ayunan lembut dari tongkat Sitanggang, Sigale-gale itupun maju. Satu Todak yang tersisa itu tampak tidak senang dirinya dipecundangi dengan bom seperti tadi, maka ia pun menyerang, melompat sembari mengarahkan tanduk pedangnya ke arah Sigale-gale Sitanggang.

Sitanggang mengayunkan tongkatnya dan Sigale-gale itupun menghindar tipis ke samping. Namun di balik gerakan menghindar itu, Sigale-gale tersebut ternyata balik mencengkeram Si Todak dan membantingnya ke sebuah bukit karang yang berjarak 300 meter dari tempatnya semula.

Sitanggang kemudian melemparkan sejumlah benda bulat pipih berdiameter 6 cm ke area yang berjarak 100 meter dari tempatnya berdiri kemudian menoleh ke arah Panji, "Bisa tolong pancing Si Todak ke area itu?" Sitanggang menunjuk ke arah tempat jatuhnya benda-benda pipih tersebut.

"Beres!" jawab Panji yang segera berlari maju ke arah Si Todak. Sika Warak ia non-aktifkan, sebagai senjata kini ia ganti menggunakan pistol yang sedari tadi tersimpan di holster kaki kanannya.

"Hei ikan sialan!" seru Panji kepada Si Todak, mencoba memancing perhatian dari Si Todak, "Makan ini!"

Lajur-lajur sinar panas berdaya rusak tinggi atau yang lazim disebut sebagai laser intensitas tinggi melaju keluar dari pistol yang telah ditarik pelatuknya oleh Panji. Tiga lajur laser menabrak tubuh Si Todak dan membuat tiga luka menganga di tubuh Si Todak.

Todak itu menggeram marah lalu melompat dan melesat ke arah Panji. Panji kali ini tak menghindar. Ia bergeming di tempat namun ketika Todak itu makin mendekat, zirahnya segera memposisikan otot-otot tangannya pada posisi membalas serangan musuh. Tanduk pedang Si Todak berhasil ia cengkeram dan dengan bantingan ala pejudo ia lemparkan Si Todak ke area yang dimaksud Sitanggang.

Sebuah ledakan segera terjadi. Benda-benda pipih yang dipasang Sitanggang tadi ternyata adalah ranjau. Serpihan-serpihan daging yang berlumur darah dan berhias tulang ikan berserakan di beberapa bagian pantai.

"Ancaman berhasil dinetralisir!" ucap Panji dan Sitanggang bersamaan di helm visor mereka.

*****

Batin Oka kini dipenuhi dua perasaan yang saling bertentangan : takjub sekaligus iri. Takjub karena dua Lokapala saja ternyata mampu menangani 30 Todak yang tak bisa ditangani satu kompi pasukan terlatih sedari tadi. Iri karena ia diam-diam ingin menjadi operator salah satu zirah tersebut.

Tapi ia harus mengakui bahwa dua Lokapala ini punya kinerja yang lebih baik dibandingkan ia dan teman-temannya dahulu. Melawan ancaman para makhluk yang menyeberang tampaknya bukan lagi kesulitan besar jika ada mereka di sini.

Oka menyaksikan para prajurit kini berhamburan ke pantai. Semuanya, tak terkecuali Kapten Pusaka hendak memberi ucapan selamat pada dua Lokapala tersebut. Namun sensor di visor Oka mendapati ada sosok asing yang muncul di bibir pantai namun keberadaannya tidak disadari oleh para prajurit maupun dua Lokapala itu.

"Kapten!" ujar Oka melalui visornya, "Coba anda lihat ke arah timur laut!"

Kapten Pusaka yang telah dikontak Oka kini melongok ke arah yang dimaksud Oka dan mendapati bahwa memang ada sesuatu yang janggal. Ada seorang anak lelaki berjalan mendekat ke arah mereka. Anak itu tampak berusia 10-14 tahun, pakaiannya aneh, berupa pakaian belacu[1] putih yang tak dibentuk mirip kaus tanpa kerah dan tampak basah oleh air laut dan celana kain hitam yang juga tampak basah.

"Prajurit! Hentikan dulu sorak-sorainya!" seru Kapten Pusaka, "Tengok ke arah timur laut!"

Sorak-sorai kegirangan para prajurit pada dua Lokapala tadi itupun langsung berhenti. Mereka semua, tak terkecuali Panji dan Sitanggang turut melongok ke arah anak berpakaian basah tersebut. Salah seorang prajurit langsung berinisiatif menghampiri anak itu dan bertanya, "Adik? Apa Adik tersesat?"

Anak itu hanya menggeleng lemah sambil mengeluarkan sebuah seruling bambu yang ia dekatkan ke mulutnya lalu ia mainkan. Irama serulingnya seperti irama lagu Melayu tapi terdengar sendu. Para prajurit itu hanya terbengong-bengong menyaksikan sosok anak yang bermain seruling itu. Beberapa dari mereka mengira bahwa anak ini tanpa sengaja berenang di laut saaat Todak-Todak muncul dan sekarang masih shock, beberapa yang lain memperkirakan anak ini mengalami autisme atau gangguan perkembangan semacam itu. Apapun yang mereka pikirkan, mereka memutuskan untuk menjaga jarak supaya tidak menakuti anak itu.

Tiba-tiba saja Sitanggang berteriak, "PAK! BAPAK! LARI! JAUHI ANAK ITU!"

"Hei? Kenapa sih?" tanya Panji tidak mengerti.

"Anda semua juga menjauh! Anak itu bukan manusia!" seru Sitanggang lagi sembari menarik sebuah granat tangan dari sabuknya.

Prajurit yang tadi mendekati anak itu langsung hendak beranjak pergi namun kakinya tiba-tiba dijerat oleh semacam sulur licin berwarna merah muda. Tak lama kemudian dari dalam pasir keluarlah semacam kerangkeng besi yang pintunya tiba-tiba terbuka sendiri. Sulur licin itu segera melontarkan prajurit itu ke dalam kerangkeng tersebut.

Oka yang melihat peristiwa itu dari atas bukit segera mengambil sebuah senapan runduk. Ia bidik kerangkeng yang mulai bergerak sendiri ke arah lautan itu namun tembakan-tembakannya tidak ada yang mengenai kerangkeng itu. Sebuah medan energi tak terlihat tampak menyelubungi anak itu dan hanya Sitanggang seorang yang jadi satu-satunya harapannya untuk menyelamatkan si prajurit.

Namun harapan itu sirna. Meski Sitanggang sudah melemparkan granat ke arah anak misterius itu, namun kerangkeng yang mengurung si prajurit melesat dengan kecepatan tinggi ke arah lautan dan langsung tenggelam. Anak itu sendiri melenting jauh ke belakang, menghindari sabetan tongkat Sitanggang.

"Bedebah!" kata Sitanggang sembari membentuk lagi Sigale-galenya namun anak itu kembali melompat jauh dan kini tampak berdiri di atas lautan. Benar-benar di atas lautan dalam arti harafiah! Kakinya menapak air seolah air itu benda padat yang dapat dipijak.

"Jadi Paduka Seri Maharaja kini kembali membuat pagar betis manusia?" ujar anak misterius itu.

"Siapa kau?" seru Kapten Pusaka sambil menuding anak itu.

Temasik dilanggar todak

Todak melanggar batang pisang

Orang tua berperangai budak

Seperti aur ditarik sungsang


Anak itu mengucapkan kata-kata itu sebelum sebuah ombak menelan tubuhnya dan ia pun menghilang.



[1]Kain belacu : kain yang umumnya berwarna kuning kusam saat masih baru namun setelah lama dipakai akan berubah warna menjadi putih. Seragam para siswa-siswi pribumi pada masa kependudukan Belanda sampai tahun 1970-an lazim menggunakan kain jenis ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top