BAB VII : SENJAKALA
"Dok," panggil Oka ketika Samad mengunjunginya sore itu.
"Ya Oka?" tanya Samad dengan wajah simpatik.
"Doktor belum cerita pada saya soal nasib Tim Letnan Rangga."
Samad tertegun, ia tak mengucapkan sepatah katapun sampai Oka kembali berkata, "Saya ingin Doktor ceritakan nasib mereka."
Samad menghela nafas sebelum menekan sebuah tombol di remote control pengatur ruangan. Ia memilih tombol 'televisi' dan sebuah layar televisi langsung turun di hadapan ranjang Oka. Sang Doktor kemudian kembali mengutak-atik pilihan menu di layar televisi tersebut sampai akhirnya tampillah hasil rekaman dari helm milik Syarif.
Rekaman itu menunjukkan bahwa seluruh pantai telah dipenuhi oleh makhluk-makhluk yang berbentuk seperti ikan marlin atau todak, namun berjalan dengan empat kaki. Tubuh mereka semua tertutup sisik kasar berwarna biru lumut dari kepala sampai ekor. Mulut mereka sendiri dipenuhi gigi tajam berderet, mulut mereka juga dipersenjatai sebentuk tanduk tajam bak pedang.
"Kami menyebut makhluk ini 'Todak'," kata Samad memberi penjelasan.
Rekaman pun berlanjut. Syarif dan dua rekannya memberi perlawanan. Senapan ditembakkan, Rangga mengaktifkan pisau laser di tangan kirinya dan mencabik kepala salah satu Todak. Lalu tanpa disangka-sangka, makhluk itu tiba-tiba melompat. Terdengar suara pekikan Mirna dan dari visual helm Syarif, Syarif mendapati rekannya itu telah tertusuk hidung pedang salah satu Todak. Syarif berlari ke arah Mirna namun tiba-tiba Tangan-Tangan Tanpa Tubuh menjegalnya. Kemudian datanglah Orang-Orang Bati yang mengangkat tubuh Syarif setinggi mungkin dari permukaan tanah kemudian menghempaskannya ke pantai. Syarif tampaknya masih hidup namun dengan segera sesuatu merusak zirahnya. Sebuah tusukan yang kemungkinan besar dilakukan oleh seekor Todak merusak zirahnya di bagian punggung. Kemudian di rekaman itu Rangga tampak dibawa pergi oleh Orang-Orang Bati. Rekaman berakhir dengan matinya tanda vital kehidupan pada panel antarmuka di visor Syarif.
"Syarif dan Mirna kami temukan dalam kondisi tak bernyawa di Pantai Timur, tapi jasad Rangga sendiri tidak kami temukan. Orang-Orang Bati tampaknya membawa ke arah lautan lepas dan kita tidak tahu apakah ia masih hidup atau tidak. Namun kami mengasumsikan Rangga sudah tewas, seperti rekan-rekanmu yang lain."
"Lalu siapa yang akan melindungi Tanjung Pasir?" tanya Oka lagi.
"Untuk sementara kami menurunkan pasukan infanteri reguler. Yah kau tahulah, Raider dan Yonif dibantu dengan beberapa drone tempur dan turret otomatis."
"Lalu setelah itu?"
"Kementerian Pertahanan akan menerjunkan pasukan baru. Nama sandinya Lokapala. Tapi sampai sekarang belum jelas kapan mereka datang. Tapi kau tak usah khawatir, kami akan menempatkanmu di pos tugas baru setelah kau sembuh dan Lokapala tiba."
"Pos tugas baru?"
"Ya."
"Pos tugas saya di Dwarapala."
"Maaf Oka, dengan musnahnya seluruh Tim C selain kamu, maka dengan ini Tim C Dwarapala resmi dibubarkan."
*****
Tanjung Pasir, Kaltim, 7.30 WITA, tiga hari kemudian
Para Dwarapala tidak punya rumah untuk kembali. Mereka adalah anak-anak yatim-piatu yang direkrut sejak belia untuk dilatih di dalam institusi militer. Meski begitu secara resmi di akademi mereka terdaftar dengan orangtua fiktif dan riwayat hidup fiktif. Hanya Haryo yang secara terang-terangan masih diakui sebagai anak asuh sebuah panti asuhan bernama NF yang berlokasi di Jombang. Rangga dan Safitri diriwayatkan memiliki orangtua di Pekanbaru dan tengah mengincar beasiswa untuk bersekolah di Jerman, Mirna dan Syarif diriwayatkan memiliki orangtua di daerah Banyuwangi serta Mataram, Lombok, dan merupakan peserta rutin olimpiade sains meski pada kenyataannya mereka berdua baru kenal olimpiade sains saat masuk akademi. Oka sendiri ditulis sebagai anak yatim-piatu yang berlindung di bawah perwalian Kapten Pusaka, meski pada kenyataannya ia bertemu Kapten Pusaka hanya untuk keperluan tugas semata.
Pagi ini, meski belum sembuh benar, Oka bersikeras untuk turun ranjang dan menghadiri upacara pemakaman militer rekan-rekannya. Masih dalam balutan pakaian biru pasien rumah sakit dan dengan bantuan seorang perawat yang mendorong kursi rodanya, ia bisa hadir tepat waktu untuk melihat lima peti yang disejajarkan di tengah lapangan upacara.
Seorang ulama memimpin doa untuk peti jenazah Rangga, Syarif, Haryo, dan Safitri, yang dilanjutkan dengan doa seorang pendeta Protestan untuk jenazah Mirna. Khusus untuk Rangga, petinya kosong. Perawat yang mendampingi Oka mengatakan bahwa isi peti itu hanya seragam usang Rangga saat pelatihan menjadi Dwarapala dahulu sebagai simbolisme belaka.
Peti-peti itu kemudian diusung keluar dari lapangan upacara. Perawat yang mendampingi Oka kembali mengatakan bahwa mereka akan dimakamkan di sebuah pemakaman khusus militer di sisi barat laut kota. Oka ingin ikut ke sana, tapi segera saja nyeri dada dan sensasi kepala pusing membuatnya harus menyerah pada ancaman perawat untuk segera kembali ke kamar kalau tidak ingin disuntik obat penenang.
*****
Tanjung Pasir, Kaltim, 10.00 WITA, seminggu kemudian
Setelah seminggu dirawat di instalasi medis militer, Oka dipindahkan ke rumah sakit umum. Baru dua jam berada di sana, beberapa teman sekelasnya sudah bergerombol masuk.
"Eh Oka! Kamu sudah seminggu nggak masuk, ternyata diopname toh!" celoteh seorang cowok yang bertubuh agak tambun bernama Nanang.
"Kalau Haryo nggak bilang kamu diopname kami ya nggak bakal tahu!" celetuk Erma, sang ketua kelas.
"Cepat sembuh ya dari sakit kuningnya," timpal Susi, si gadis berambut ekor kuda.
"Eh Oka, kamu kok nggak beritahu kalau Haryo mau pindah sekolah sih? Jahat banget kamu! Kita semua nangis lho waktu Haryo pidato perpisahan kemarin!"
"Iya sori," Oka memaksa diri tersenyum, "Haryo sendiri sedih harus pindah, makanya dia simpan rahasia kepindahannya sampai detik-detik terakhir."
Oka sendiri tahu bahwa Haryo yang hadir di kelas kemarin adalah Haryo palsu. Itu sebenarnya adalah sebuah android bernama sandi 'Bunglon' yang bisa diprogram untuk menirukan rupa serta tindak-tanduk seseorang sampai batas tertentu. Kapten Pusaka memang sempat bilang bahwa ia telah mengirim surat izin ke akademi perihal 'sakit kuningnya' Oka dan telah mengirim lima unit Bunglon selama seminggu ini untuk menirukan gerak-gerik lima almarhum dan almarhumah Dwarapala sebelum melakukan tindakan pamit secara wajar.
"Untuk Haryo, alasan kepindahannya adalah keputusan pihak pemberi beasiswanya yang ingin Haryo masuk ke sekolah baru mereka di Bukittinggi. Untuk Safitri dan Rangga, mereka harus pindah ke kelas persiapan perguruan tinggi di Jerman. Untuk Syarif, ia harus kembali karena 'ayahnya meninggal' sehingga ia harus pulang ke Lombok dan pindah sekolah di sana. Untuk Mirna, alasannya sama dengan Haryo tapi sekolahnya di Bandung," kata Kapten Pusaka saat itu.
"Jadi yang tahu bahwa mereka sudah pergi, hanya kita, Kep?"
"Apa boleh buat, Oka. Kalau murid-murid akademi dan penduduk kota tahu ada makhluk-makhluk asing berkeliaran di kota ini, maka penduduk akan panik lalu mengungsi, murid-murid akademi akan mengundurkan diri, dan kegiatan perekonomian kota ini akan runtuh."
*****
Tiga hari berikutnya Oka habiskan dengan hanya makan, minum obat, tidur dan menonton televisi. Meski begitu ternyata ia sembuh lebih cepat daripada prediksi dokter. Ia sudah bisa berjalan dan melakukan aktivitas fisik sederhana seperti senam atau push-up. Lalu di hari keempat, ia mendengar berita dari televisi bahwa militer menutup jalur menuju Pantai Timur serta Bukit Barat untuk keperluan latihan militer.
Tanpa sensor pemindai pun Oka tahu bahwa kabut darah telah kembali turun. Maka dari itu tanpa mengindahkan saran dokter supaya ia menambah waktu istirahatnya, Oka nekat turun lewat tangga darurat rumah sakit kemudian berjalan ke area parkir rumah sakit dan membuka akses sebuah tutup gorong-gorong dengan arloji logo Dwarapalanya. Lalu ia turun ke dalam gorong-gorong itu, melintasi saluran-saluran air yang berbau tidak sedap dengan hanya mengenakan sandal karet sebelum akhirnya memasuki sebuah lorong yang semula terkunci setelah memindai arlojinya di lorong tersebut.
Lorong itu tampak lebih bersih dari kebanyakan bagian lain dari gorong-gorong. Ada tangga berulir serta elevator yang tampak menuju bagian atas gorong-gorong. Oka memilih elevator. Ia memencet tombol bertanda anak panah yang mengarah ke atas pada elevator itu lalu menunggu sampai pintunya terbuka. Pintu elevator akhirnya terbuka. Oka langsung masuk dan memencet tombol 'B3' pada elevator tersebut dan dalam dua menit elevator tersebut telah membawanya ke 'lantai B3' yang ia maksud.
Ketika pintunya terbuka, Oka melihat bahwa dirinya sudah berada di markas para Dwarapala. Kondisi markas ini tampak berantakan. Ada banyak kardus dan kabel serta perangkat baru yang berserakan di sana. Kata-kata Doktor Samad benar. Dwarapala Tim C telah dibubarkan dan sekarang markas mereka akan digunakan untuk hal lain. Tapi senyum Oka mengembang ketika melihat deretan zirah model lama mereka masih terpajang di tabung-tabung logam berpintu kaca di sebelah utara ruangan. Ia berjalan menuju zirah nomor C-34 dan membuka tutup tabungnya dengan memindai arlojinya. Setelah itu Oka memakai satu demi satu perlengkapan tempurnya.
"Kamu mau ke mana, Prajurit?" tiba-tiba terdengar suara seseorang menegur dirinya.
Oka menoleh dan mendapati Kapten Pusaka ternyata sudah berada di sana. Matanya mendelik, jelas sekali ia tidak suka Oka ada di tempat itu, apalagi ada di tempat itu tanpa sepengetahuan dirinya.
"Maaf Kapten, saya hanya akan melaksanakan tugas."
"Kopral Putu Oka!" ujar Kapten Pusaka memberikan penekanan pada pangkat militer Oka, "Tugasmu hari ini adalah istirahat sampai sembuh!"
"Yang tidak bisa saya patuhi, Kep," kata Oka sembari memakai helmnya.
"Kamu berani membantah atasan sekarang? Ha?!"
"Tugas kami, para Dwarapala, adalah melawan 'makhluk-makhluk yang menyeberang' dalam kondisi apapun. Meski kami sakit, meski kami takut, meski kami lelah. Itu sumpah kami saat diangkat menjadi Dwarapala."
"Tapi itu tidak berlaku jika kamu punya misi tambahan, Prajurit! Misi tambahanmu kali ini adalah istirahat!"
"Maaf Kep, Kapten boleh pukul saya, boleh hukum saya, boleh juga bunuh saya, tapi tolong jangan lakukan itu sebelum misi saya yang terakhir ini selesai. Tim C Dwarapala akan dibubarkan, tapi saat ini ada kesempatan untuk melakukan misi terakhir. Saya berpikir, kenapa itu tak saya lakukan?"
"Dasar bodoh!" umpat Kapten Pusaka sebal namun tak berusaha menghentikan Oka yang tengah mengambil senapan serbu berpelontar granat dari rak senapan.
"Maafkan saya Kep," kata Oka lagi.
Pusaka tidak berkata apa-apa lagi. Namun di luar dugaan Oka, Pusaka membuka sebuah loker tabung yang selama ini terkunci, yang letaknya berada di balik tumpukan kardus berisi perangkat komputer. Pusaka menyingkirkan kardus-kardus itu lalu membuka tabung berpenutup kaca tersebut. Ada zirah yang desainnya menyerupai zirah para Dwarapala namun dengan tanda logo berbentuk laba-laba di bahu kiri zirah tersebut.
Pusaka memakai zirah yang tampaknya terbuat dari bahan yang lebih lentur dari zirah Dwarapala tersebut dan memasang helm visor di kepalanya.
"Saya ini atasan sekaligus walimu. Dengan kata lain kamu sudah aku anggap anak sendiri. Aku dan istriku belum punya anak Oka, dan pertemuan kita bertiga yang hanya terjadi tiap sebulan sekali itu saja selalu membuat istriku kangen padamu. Aku tidak mau hari ini pulang dan membawa kabar bahwa kamu sudah tewas di medan laga. Dengar! Kalau kamu nekat turun, maka aku yang akan pimpin serangan! Paham?!"
"Tapi Kep!" Oka terhenyak ketika tahu bahwa atasannya itu nekat turun juga ke medan laga.
"Tak ada tapi-tapian bocah! Aku yang pimpin serangan, kamu yang lindungi aku."
"Kep! Zirah Kemlandingan tidak bisa melindungi anda sebaik zirah Dwarapala!" Oka tahu benar bahwa Kemlandingan adalah nama tim pendahulu Dwarapala. Nama mereka diambil dari nama laba-laba besar bernama ilmiah Nephila maculata yang banyak hidup di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri jenis laba-laba ini lazim ditemukan di daerah perkebunan atau desa atau daerah pinggir kota yang masih asri. Kemlandingan terkenal dengan kualitas jaring sutranya yang bagus bahkan beberapa produsen biola membuat dawai biola mereka dari jalinan sutra kemlandingan. Tapi pabrik produksi utama senjata Indonesia, Pindad, membuat jaring-jaring sutra laba-laba jenis ini sebagai salah satu bahan utama untuk membuat zirah pasukan khusus yang menangani 'makhluk-makhluk yang menyeberang'. Tim pasukan khusus ini diberi nama Kemlandingan, sesuai nama zirah mereka, dan mereka terus melawan para makhluk-makhluk ini sampai posisi mereka digantikan oleh Dwarapala.
Kualitas zirah Kemlandingan ada di bawah zirah Dwarapala versi beta sekalipun. Bahan utamanya yang terbuat dari jaring laba-laba memang mampu menahan terjangan peluru tapi tidak mampu menahan serangan makhluk-makhluk yang menyeberang, yang notabene punya kekuatan fisik 3 kali manusia normal. Ketika Dwarapala menggantikan Kemlandingan, total sudah ada 103 prajurit Kemlandingan yang meregang nyawa dalam pertempuran melawan makhluk-makhluk ini.
"Kep! Saya tidak masalah jika saya mati tapi jika Kapten yang tewas maka ...," ucapan Oka terhenti oleh terangkatnya tangan kiri Kapten Pusaka yang menyuruhnya untuk diam.
"Tuhan bersama kita," hanya itu yang Kapten Pusaka katakan saat ia mengambil senjata dari rak senjata.
"Kep, tolong jangan ucapkan kalimat itu."
"Kalau kau tidak ingin aku ucapkan lagi kalimat itu, kembalilah hidup-hidup bersama saya!"
*****
Di tempat lain, Samad tampak menghadapi seorang pria berpakaian batik warna kuning emas yang duduk angkuh dengan jarak tak sampai 2 meter di hadapannya.
"Presiden sudah setuju jika Lokapala diterjunkan hari ini, kuharap anda tidak keberatan posisi anda dirotasi Pak Samad," kata pria berwajah klimis tanpa kumis ataupun jenggot itu dengan nada menyindir.
Samad tak terpancing emosinya. Ia malah tersenyum dan berkata, "Saya senang Prof. Denny ada di sini dan mau bekerjasama dengan kami. Saya sendiri tidak masalah dirotasi menjadi bawahan anda. Saya harap, Prof. Denny dan Kapten Pusaka bisa bersinergi dengan baik untuk mengatasi konflik ini. Tapi saya mohon satu hal saja."
"Apa? Soal rekomendasi tunjangan Doktor?"
"Nah, bukan itu, Prof. Saya mohon pasca Lokapala diterjunkan, anda tetap memakai Putu Oka sebagai peran pendukung. Anak itu tidak punya tempat lain untuk pergi."
"Dia kan sudah diangkat anak oleh Kapten Pusaka. Saya rasa dia akan lebih bahagia jika hidup sebagai remaja biasa."
"Saya ragu, Prof. Ikan yang hidup di air berarus takkan bahagia hidup di air yang tenang. Anak itu takkan bahagia hidup jauh dari dunia ini. Setidaknya, tolong jadikan dia observer."
"Baiklah Dok. Terserah anda saja. Itu soal gampang."
"Kalau begitu saya permisi."
"Nanti dulu, Dok," Prof. Denny tampak menarik sebuah layar holografik mendekati dirinya, "Saya rasa anda akan senang lihat ini."
Layar itu menampilkan aktivitas di dua tempat yang berbeda. Pekanbaru dan Madiun. Dua prajurit TNI AU berpangkat Letnan Satu melapor ke hadapan Prof. Denny soal muatan yang mereka bawa. Di Pekanbaru, tepatnya di Bandara Sultan Syarif Kasim II, sang prajurit berkata, "Lokapala nomor dua, Sang Datu sudah siap diangkut ke Tanjung Pasir, perkiraan kedatangan 2 jam 3 menit."
Di lapangan terbang Iswahyudi, Madiun, sang letnan melaporkan hal serupa, "Lokapala nomor satu, Warak, siap didrop di Tanjung Pasir. Perkiraan kedatangan 1 jam 30 menit."
Samad bisa melihat sekilas 'muatan' mereka yang disebut Lokapala itu. Dari rekaman di lapangan terbang Iswahyudi, ia belum bisa melihat bahwa Lokapala benar-benar merupakan terobosan. Bentuk zirah Lokapala di Iswahyudi agak mirip dengan zirah para Dwarapala hanya saja warnanya abu-abu metalik, abu-abu nyaris hitam. Tak ada senjata ataupun fitur lain yang bisa ia ketahui dari pengamatan itu, namun ia juga tidak mau menanyakannya langsung pada Prof. Denny. Biar pertarungan langsung yang menunjukkan keunggulan Lokapala.
(Bersambung ke Lokapala Chapter 1 : WARAK)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top