BAB VI : TUMBANG

Perjalanan mereka masuk makin dalam ke hutan bukit itu menyajikan mereka pemandangan tidak mengenakkan. Oka melihat ada senapan mesin dengan tanda 'POLISI' tergeletak dengan sebuah telapak tangan yang telah terpisah dari tubuhnya masih dalam posisi seperti hendak menarik picu senapan. Ada juga potongan kaki, serpihan daging yang dikoyak, serta sebuah bola mata yang tergeletak di antara daun serta kulit buah mahoni kering yang jatuh ke tanah.

Sensor mereka belum memberitahu adanya keberadaan musuh tapi Oka dan Haryo berkali-kali menengok ke belakang. Oka merasakan ada sesuatu yang sedari tadi mengawasi mereka dari belakang. Haryo tampaknya juga merasakan hal serupa. Oka tidak tahu bagaimana dengan Safitri tapi sebagai komandan regu sekaligus penembak pertama, memang sudah tugasnya untuk fokus pada medan di hadapannya.

Lalu mereka mendengar suara seperti pekikan kelelawar namun dengan frekuensi yang lebih keras dari pekikan kelelawar biasa. Sontak ketiga Dwarapala itu menengadahkan kepala serta moncong senapan mereka lalu langsung menembak begitu melihat ada sejumlah Orang Bati yang bertengger di cabang-cabang pohon trembesi. Namun kali ini lawan mereka tidak mudah ditaklukkan seperti saat mereka hadapi di Pantai Timur.

Selain karena jumlah mereka hanya tiga orang, Oka menyadari bahwa Orang Bati yang ini berbeda. Mereka tak terdeteksi oleh sensor dan Oka berani bersumpah bahwa ia tadi melihat ada Orang Bati yang tiba-tiba menghilang ke dalam sebuah riak di langit lalu ada yang lain muncul dari riak di tempat lainnya.

"Kalian lihat ada riak di langit nggak?" tanya Oka di sela-sela kesibukannya menembaki Orang-Orang Bati itu.

"Aku lihat!" kata Safitri, "Haryo!"

"Ya!" Haryo langsung menyiapkan kembali pelontar granatnya namun kali ini sebelum sempat ia bidikkan moncong senjata itu ke angkasa, dari dalam tanah yang ketiga Dwarapala itu pijak muncul sejumlah 'Tangan Tanpa Tubuh' yang langsung mengganggu konsentrasi Haryo dengan mencengkeram tangan dan senapan Haryo.

"Hei!" Haryo memekik kaget. Oka juga sempat kaget namun dengan segera ia menarik sangkur yang terselip di tempat pisau di pinggang kanannya lalu langsung menusuk satu di antaranya. Sayangnya usahanya mubazir karena sejumlah Tangan Tanpa Tubuh lainnya muncul dari dalam tanah dan langsung beramai-ramai merubuhkan Oka ke tanah lalu menyeret remaja itu.

"HEI! OKA!" Haryo memekik panik namun Oka sendiri lebih mengkhawatirkan Haryo daripada dirinya. Orang-Orang Bati itu tampaknya bersekutu dengan Tangan-Tangan Tanpa Tubuh dan kini mereka bergerak turun.

"Lepaskan aku bangsat!" Oka meronta dan melemparkan satu Tangan Tanpa Tubuh hingga makhluk itu membentur sebuah batang pohon trembesi. Oka kembali meronta dan Tangan Tanpa Tubuh yang tadi memegangi tangan kanannya juga mengalami nasib serupa dengan temannya. Melayang dan membentur batang pohon. Tinggal dua Tangan Tanpa Tubuh yang masih mencengkeram helmnya. Kekuatan tangan-tangan kelabu pucat ini benar-benar di luar kewajaran akal sehat karena ia mampu menarik zirah yang tengah dikenakan dan bobotnya mencapai 60 kg tanpa kesulitan sama sekali. Oka memutuskan untuk mengambil tindakan ekstrem. Ia mengeluarkan perintah pada AI untuk melepaskan helmnya.

Helm pun terlepas dan Tangan-Tangan Tanpa Tubuh itu ternyata langsung sadar bahwa buruan mereka mencoba melarikan diri. Tapi sebelum mereka sempat menyerang Oka, Oka langsung mencabut pistolnya dan menembak Tangan-Tangan Tanpa Tubuh itu sampai hancur tak berbentuk.

Lalu ia mendengar suara jeritan dan pekikan seorang wanita dan seorang pria. Arahnya dari tempat di mana Haryo dan Safitri tadi bertempur. Oka langsung berlari ke arah kawan-kawannya. Ia sentuh bingkai kacamatanya dan aplikasi bantu bidik dan mode infra merah yang terpasang dalam kacamatanya langsung aktif. Mata Oka memang tidak lagi minus tapi ia memakai kacamata sebagai alat pemindai situasi cadangan jika berada di sekolah dan tidak bisa menggunakan helmnya. Siapa yang sangka ia akan menggunakan kacamatanya untuk situasi begini?

Saat Oka tiba di tempat di mana Safitri dan Haryo tadi bertempur, apa yang ia saksikan membuat darahnya mendidih.

Orang-Orang Bati dan Tangan-Tangan Tanpa Tubuh berhasil menumbangkan dua Dwarapala rekannya. Ia bisa melihat jasad keduanya yang tak lagi terbalut helm dengan zirah yang sebagian sudah rusak serta berlumur cairan pekat yang tampaknya adalah darah. Kedua mata rekannya itu membeliak, menunjukkan bahwa di akhir hidup mereka, sesuatu yang menyakitkan telah mereka alami. Oka tak lagi bisa menahan emosinya. Diambilnya sebuah granat dan dipancingnya para musuhnya itu mendekat ke arahnya dengan menembak satu di antara mereka.

"Ayo sini kalian!" ia berusaha memancing makhluk-makhluk itu menjauh dari jasad dua rekannya.

Makhluk-makhluk itu terpancing. Mereka mengejar Oka dan Oka terus berlari hingga ia mencapai tempat di mana jarak mereka sudah cukup jauh dari jasad Safitri serta Haryo. Ia lemparkan granat itu ke tengah-tengah mereka dan granat itu langsung aktif lalu meledak. Efek ledakannya membuat Oka terhempas sejauh satu meter. Debu tanah mengotori wajah dan rambutnya tapi Oka tidak mempedulikan itu. Begitu ia bisa bangkit ia langsung bangkit lalu menyiapkan granat satu lagi. Ia memindai keadaan di sekelilingnya. Tak ada musuh. Para Orang Bati dan Tangan Tanpa Tubuh telah tergeletak tanpa nyawa dengan sebagian anggota tubuh yang hancur akibat ledakan granat tadi. Oka tersenyum tipis, ada rasa puas dalam dirinya karena berhasil menghancurkan musuh-musuhnya.

"Aaah, bocah malang yang gigih," tiba-tiba Oka mendengar suara dari belakang punggungnya. Oka pun langsung berbalik dan melihat sosok yang aneh. Sosok itu seperti bukan tersusun atas partikel-partikel padat sebagaimana layaknya makhluk hidup pada umumnya melainkan seperti hantu. Tubuhnya beriak dan kadang tampak namun terkadang tidak tampak. Wajah dan bentuk tubuhnya tidak jelas. Oka hanya bisa melihat bahwa kepala sosok itu tampak ditutupi topeng berhias dua tanduk. Satu tanduk berada di dahi dan berbentuk seperti tanduk badak sementara tanduk yang satu lagi berada di puncak kepala dan berbentuk seperti tanduk kambing yang lurus sempurna, atau jika Mirna ada di sini ia akan berkata bahwa tanduk itu mirip unicorn. Tubuhnya seperti mengenakan jubah bermotif rumit yang tak jelas warnanya.

"Jadi sekarang jana-jana tua telah menempatkan anak-anak muda mereka di garis depan sementara mereka berpangku tangan di garis belakang?" kata sosok itu lagi sembari mendekati Oka.

Oka berniat menarik pelatuk pistolnya tapi jarinya serasa beku ketika makhluk itu berjarak makin dekat dengan dirinya. Ia berusaha melempar granatnya namun otot tangannya tiba-tiba kaku dan kram.

"Siapa kau?"

"Aku takkan memberitahumu. Sebab jana-jana tua pun telah melupakan namaku. Tapi biar kujadikan engkau pengingat bagi mereka, bocah."

Oka berusaha keras menjatuhkan granat itu. Ia berpikir tak mengapa mati di sini asalkan ia bisa menghabisi makhluk ini. Namun sebelum ia berhasil melakukan itu sentuhan telapak tangan makhluk itu telah memberikan gaya dorong yang membuatnya terhempas sejauh dua meter dan membuat tubuhnya membentur sebatang pohon trembesi yang telah berusia tua.

Oka mengerang. Hentakan yang ia terima tadi terasa lebih buruk daripada hantaman truk yang ia terima saat pertama kali mencoba ketahanan zirah Dwarapala generasi pertama. Otaknya langsung dengan cepat memproses bahwa kekuatan yang dikeluarkan makhluk ini jelas melampaui gaya yang dihasilkan oleh hantaman truk karena ia bisa melihat bahwa zirahnya kini retak dan di beberapa bagian telah hancur total, menampakkan pakaian berupa kaus biru polos yang ia kenakan di balik zirah.

Makhluk itu mendekat, Oka mencoba bergerak tapi tak dapat. Ia tak perlu diberitahu bahwa ajalnya sudah dekat namun di luar dugaan Oka, makhluk itu ternyata tak langsung membunuhnya.

"Yummu pakatahu, janaloka sakrith asuddhi purusa!" bisik makhluk itu di telinga Oka sebelum Oka kehilangan kesadarannya karena satu pukulan di perutnya.

*****

Saat Oka sadar, ia sudah berada di sebuah fasilitas medis yang ia tahu berada di bawah markas militer tempat Doktor Samad dan Kapten Pusaka berkantor. Ia rasakan seluruh tubuhnya dari kaki sampai bahu sakit semuanya. Ia merasakan mata kanannya tampak ditutupi oleh sesuatu dan saat tangan kanannya menyentuh benda penutup itu ia sadar bahwa itu adalah kasa perban. Kemudian remaja itu menyadari bahwa ia tak sendiri karena ada siluet orang lain di samping kanan tempat tidurnya. Ia menoleh dan melihat Kapten Pusaka sudah berada di samping tempat tidurnya.

"Kep!" Oka berusaha bangun tapi dicegah oleh Pusaka.

"Kamu masih sakit. Jangan bergerak dulu."

"Kep!" mata Oka menunjukkan rasa penasaran sekaligus harapan akan berita baik tapi Kapten Pusaka malah memalingkan mukanya dari pandangan Oka sehingga Oka tahu bahwa yang dibawa Kapten Pusaka pastilah bukan berita baik.

"Tak ada yang tersisa ya?" tanya Oka lagi.

Pusaka menggeleng lemah, "Hanya kamu yang tersisa."

Pusaka memperkirakan bahwa Oka mungkin akan menangis atau melakukan hal-hal sentimentil semacam itu namun di luar dugaannya Oka hanya bertanya, "Kep, kapan saya boleh keluar?"

"Mata kananmu cedera karena pecahan kacamatamu masuk ke selaput mata. Butuh 3 minggu supaya itu sembuh total. Tulang rusukmu retak, semuanya. Kamu harus berbaring di sini selama seminggu dan dua minggu berikutnya kamu harus habiskan di RSU Tanjungpasir."

"Brimob yang ada di hutan Bukit Barat ...," Oka bertanya lagi, "Apa beliau selamat?"

"Dia? Selamat. Tapi setelah sembuh tampaknya ia akan dipensiunkan. Pertemuannya dengan Orang Bati sepertinya merusak kesehatan jiwanya. Ia akan diterapi lalu dikembalikan pada keluarganya dan akan diarahkan untuk hidup sebagai orang sipil."

"Syukurlah," kata Oka lagi.

"Kenapa?"

"Karena anak-anak beliau takkan kehilangan ayah mereka."

Pusaka hanya terdiam mendengar perkataan Oka.

*****

Saat Pusaka keluar dari ruang opname, ia melihat Doktor Samad juga sudah berdiri dengan wajah kuyu dan lelah di luar ruangan tersebut.

"Saya gagal, Kep," kata Doktor Samad.

"Anda tidak sendirian, Dok. Ini adalah kegagalan kita semua."

"Harusnya saya tahu bahwa ini akan terjadi cepat atau lambat. Harusnya saya setuju saja pada usulan Denny soal Lokapala, dengan begitu Rangga dan yang lainnya bakal tetap hidup."

"Sudahlah Dok. Anda tidak sendirian saat menentang usulan Prof. Denny. Dwarapala adalah anak-anak yang tak punya rumah untuk kembali, mereka tidak punya keluarga lagi. Militer dan teman-teman mereka adalah keluarga mereka. Tapi Lokapala Prof. Denny itu? Dia ingin mencaplok anak-anak dengan kehidupan normal untuk jadi pasukan pelindung, Dok! Kita tidak bisa terima itu!"

"Tapi dengan begini Dwarapala yang tersisa hanya tinggal di Kupang dan di Medan."

"Ya."

"Dan kau tahu Pusaka? Denny berhasil membuat inovasi baru lagi."

"Apa itu?"

"Pengurang frekuensi kemunculan 'kabut darah'."

"Dia mampu melakukannya?"

"Ya. Sudah diuji coba di tiga tempat. Ketapang, Sinabung, dan Maupora. Hasilnya bagus. Tapi alat itu tidak efektif di sini, entah kenapa."

"Dia sudah mencobanya di sini?"

"Tadi pagi dia datang dan mencoba alat itu di sini. Sekarang orang itu ada di sini. Bulan depan ... mungkin dia sudah gantikan saya sebagai kepala lab di sini."

"Dok, anda jangan pesimis begitu."

"Butuh waktu empat sampai enam tahun untuk melatih Dwarapala dan kita baru saja kehilangan lima. Itu kegagalan besar. Baik Mabes TNI maupun POLRI atau Kementrian Pertahanan sudah pasti kasih rapor merah ke saya. Jika Denny sudah dapat kepercayaan penuh dari mereka maka ia bisa depak saya dari sini kapan saja."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top