BAB IV : SAMAD
Enam orang itu kemudian berpisah. Tiga orang memacu motornya menuju pantai sementara tiga orang lainnya memacu kembali motornya menuju akademi. Tiga orang yang kembali ke akademi itu membawa satu bangkai Orang Bati yang mereka bawa di jok belakang mereka.
Di tengah jalan Syarif membentak kasar pada Oka, "Hei Junior! Harusnya kau tawarkan diri untuk bawa dua Orang Bati di motormu! Bukan lemparkan lelucon tidak lucu macam tadi dan akhirnya buat aku terpaksa pulang dengan kalian!"
"Oh ayolah Mas Syarif, salah sendiri tadi Mas Syarif membawa-bawa pertengkaran suami-istri ke medan tempur," komentar Oka.
"Kalian itu kan tidak tahu apa-apa! Rangga panggil kami saat kami tengah ada urusan penting!"
"Urusan penting apa?" tanya Oka.
"Ah! Kalian tak perlu tahu!"
"Pasti soal tugas penelitian ilmiah remaja yang harus dikumpulkan minggu depan ya?" ujar Haryo.
"Hah? Kok kau tahu?"
"Tahulah. Soalnya nama Mas Syarif dan Mbak Mirna dipajang di mading digital sekolah sebagai salah satu pesertanya. Judulnya : Manfaat tepung belalang sebagai pupuk pemicu pertumbuhan bunga dandelion."
"Biar kutebak, Mbak Mirna mau masak belalang untuk Mas Syarif?" tebak Oka.
"Seratus persen benar! Dasar! Aku tahu cewek itu suka banget latihan survival dalam hutan tapi harusnya dia tahu dong aku benci banget makan hewan-hewan tidak lazim."
"Tapi ular bakar rasanya enak kok," komentar Haryo.
"Tikus bakar juga enak. Asal tidak bawa kutu pembawa pes dan kutu pembawa typhus saja," tambah Oka.
"Arghh!!! Cukup-cukup-cukup! Kalian bisa membuat aku tidak tidur semalaman kalau kalian terus sebutkan makanan-makanan menjijikkan itu!"
*****
Ketiga remaja itu kembali memasuki lorong yang berada di bawah fasilitas militer Tanjung Pasir itu namun kali ini alih-alih melaju terus mengikuti kontur lorong, mereka bertiga melaju lurus seolah hendak menabrak satu bagian dinding lorong, namun ketika motor mereka mendekat, sebuah pintu rahasia terbuka, menampakkan jalur aspal kendaraan yang menanjak naik. Ketiga Dwarapala itu melintasi jalur itu dengan bangkai Orang Bati di masing-masing jok mereka dan tibalah mereka di sebuah fasilitas pemarkiran kendaraan militer yang lebih luas daripada fasilitas di bawah akademi mereka.
Prajurit-prajurit berseragam campuran tiga matra tampak lalu-lalang di fasilitas itu. Seorang prajurit berseragam TNI AL mendekati tiga Dwarapala itu dan menanyakan maksud kedatangan mereka.
"Kami membawa sampel untuk Doktor Samad," ujar Syarif, sebagai Dwarapala paling senior.
"Doktor Samad ada di lantai tiga. Silakan kalian bertiga temui beliau. Bangkai makhluk ini biar kami yang urus," kata prajurit tadi.
"Terima kasih Sersan," kata Syarif sambil memberi hormat lalu berjalan ke arah elevator dengan diikuti dua bawahannya.
Di elevator mereka bertiga melepas helm mereka guna mendapatkan kesejukan lebih dari pendingin ruangan. Zirah mereka memang dilengkapi pendingin namun jika masuk mode pertarungan seperti tadi, prioritas baterai energi zirah untuk menjaga suhu tubuh diminimalkan dan dimaksimalkan untuk fungsi pemindaian serta penambah stamina serta kekuatan fisik pemakainya. Akibatnya mereka akhirnya kepanasan juga berada dalam zirah itu.
Pintu elevator terbuka dan di hadapan mereka terhampar sebuah fasilitas laboratorium dengan sejumlah peneliti berjas putih tampak serius dengan objek penelitian mereka masing-masing. Fasilitas itu dibagi dalam beberapa petak ruangan. Tiap petak dibatasi oleh kaca-kaca transparan dengan setidaknya dua sampai empat peneliti bekerja dalam ruang yang sama. Ada beberapa peneliti yang dapat ruangan yang lebih luas dan bekerja sendirian. Peneliti-peneliti yang dapat kemewahan seperti itu biasanya meneliti sesuatu yang sangat penting. Objek penelitian mereka pun macam-macam, semua objek penelitian mereka bisa dilihat di teks berjalan holografik yang melintas mengelilingi dinding kaca tiap ruangan. Ada yang meneliti soal racun, jaringan makhluk hidup, senjata berproyektil, zirah graphine – karbon dengan tingkat kekerasan seperti intan namun lebih elastis – seperti yang dikenakan para Dwarapala, serta beberapa hal lainnya.
Di ujung ruangan tersebut tampak seorang peneliti senior. Kulitnya telah memunculkan banyak kerut dan rambutnya meski masih tebal, telah beruban seutuhnya. Sebuah kacamata tanpa bingkai bertengger di hidungnya. Ia menyambut kedatangan tiga Dwarapala itu dengan senyuman lebar, "Oka, Haryo, Syarif! Terima kasih sudah mau repot-repot mengantar sampel baru ke sini."
"Sudah menjadi kewajiban kami, Doktor," ujar Syarif sambil menundukkan kepala.
"Tapi kudengar tadi di jalan kau sempat protes karena diminta mengantar sampel berbulu dan berbau busuk itu kemari ya?" mata Doktor Samad mengerling nakal.
"Ah, siapa bilang Dok?" bantah Syarif sambil mencoba tersenyum.
"Terus ini apa?" Doktor Samad menekan sebuah tombol pada meja kerjanya dan rekaman pembicaraan ketiga Dwarapala itu sepanjang perjalanan tadi langsung terdengar.
Wajah Syarif langsung merah padam dan wajahnya menjadi semakin merah lagi ketika seorang pria berseragam hijau TNI AD memasuki ruang kerja Doktor Samad. Pria itu mungkin berusia pertengahan 30 tahunan, berkumis tipis dengan rambut dipotong pendek cepak dan tubuh yang tidak terlalu kekar namun tetap menampakkan kegagahan dan wibawanya sebagai seorang perwira sekaligus prajurit TNI.
"Syaaaariiif," ujar pria itu dengan nada tenang namun berirama bak orang membaca sajak.
"I-iya, Kapten Pusaka," Syarif cepat-cepat memberi hormat. Oka dan Haryo melakukan hal serupa.
"Saya tidak keberatan kamu bertengkar dengan Mirna. Itu wajar. Saya juga tidak keberatan kamu agak melawan Rangga karena itu juga masih wajar. Tapi ..., kamu tidak boleh protes soal makanan pada latihan survival ya?"
"Ti-tidak kok Kapten, saya cuma ...," kata-katanya terputus oleh isyarat jari telunjuk di bibir Kapten Pusaka disusul dengan isyarat satu jempol sang kapten yang mengarah ke arah lantai.
"Kemudian menindas junior? Itu pelanggaran berat. Karena itu sekarang ... silahkan push-p 50 kali!"
Perintah atasan tidak dapat dibantah, Syarif tanpa membantah lagi langsung melakukan push-up sementara Kapten Pusaka menghitung jumlah push-up yang ia lakukan, "Satu, dua ... sepuluh ... !" yang terus berlanjut sampai hitungan lima puluh.
*****
Usai menghukum Syarif, ketiga Dwarapala itu diminta oleh Sang Doktor untuk ke sebuah ruangan uji coba. "Kami akan membuat zirah Dwarapala generasi kedua. Dengan sensor pemindai yang lebih canggih, holster pistol di pinggang kanan dan kiri, dua pisau laser baik di tangan kanan dan kiri serta kantong amunisi tambahan di bagian sabuk belakang yang bisa menampung dua kotak amunisi."
"Kami ingin kalian menguji coba zirah ini minggu depan. Rencananya kami hendak mengundang kalian kemari minggu depan dan uji zirah ini. Jika zirah ini cukup mumpuni maka untuk selanjutnya kalian akan beroperasi menggunakan zirah ini," tambah Kapten Pusaka.
"Boleh kami mengujinya sekarang?" tanya Oka.
"Karena kalian sudah terlanjur datang kemari maka tak ada salahnya kalian mengujinya sekarang."
*****
Di balkon atas, Kapten Pusaka dan Doktor Samad berdua melihat demonstrasi kemampuan zirah baru tersebut. Sejauh ini, dari data-data berupa grafik dan angka yang diamati oleh Doktor Samad, kinerja dua zirah ini memuaskan.
"Output kekuatan mereka 1,5 kali generasi pertama," kata Doktor Samad namun nada bicaranya tidak menunjukkans semangat.
"Kenapa Dok? Bukankah itu bagus?" tanya Kapten Pusaka.
"Yah, itu bagus sih. Tapi saya punya kekhawatiran soal sendiri soal mereka ke depannya."
"Anda masih mempersalahkan diri soal penggunaan zirah versi beta itu Dok?"
"Dari angkatan Rangga hanya tersisa dia seorang, dari angkatan Syarif hanya tersisa tiga orang. Padahal dulu ada lima orang tiap angkatan. Demi Tuhan, Pusaka, saya merasa berdosa karena telah memaksa anak-anak ini bertempur untuk kita."
"Saya juga."
"Tapi kita tidak bisa membantah apalagi melawan kan?"
"Kita semua tahu alasannya, Dok. Zirah Dwarapala tidak bisa digunakan oleh mereka yang tidak terlatih sejak usia 10 tahun. Dwarapala adalah solusi satu-satunya untuk masalah kabut darah dan makhluk-makhluk dari seberang itu. Orang-orang mungkin akan mengutuki kita karena melibatkan anak-anak ini dalam perang, tapi apa kita punya pilihan?"
"Dan kalau ini belum cukup buruk, Kep, kita punya masalah baru."
Satu layar disodorkan Samad pada Pusaka. Pusaka mengenali isi layar itu sebagai sebuah jurnal. Meski memaparkan sejumlah rumus dan hipotesa yang tidak dapat Pusaka mengerti seluruhnya ia mendapati satu kesimpulan yang sangat mengganggu hatinya."
"Orang Bati ini lebih kuat daripada kuyang atau jasad-jasad berlumur minyak dari lautan yang biasa kita urusi, Kep. Dan menurut jurnal ini setelah Orang Bati pasti akan muncul lawan-lawan lain yang lebih kuat daripada mereka."
"Kita bisa terus memperbaharui zirah Dwarapala."
"Kolega saya, Prof. Denny Sagita, punya solusi lain. Ia sudah mengirimkan hipotesa dan proposalnya soal penerjunan Lokapala."
"Lokapala?"
"Generasi berikutnya dari Dwarapala. Tapi cara Denny memilih anggota Lokapala sungguh tidak dapat saya pahami."
Pusaka membaca daftar anggota Lokapala dan mengernyitkan keningnya.
"Apa Prof. Denny serius dengan proposal ini? Anak-anak ini bahkan tidak pernah dilatih di bootcamp militer."
"Saya juga tidak paham tapi dari desas-desus yang beredar, pengguna Lokapala memiliki output energi lebih besar daripada yang dihasilkan Dwarapala. Cepat atau lambat, Kep, Lokapala akan diterjunkan dan saat itu terjadi Dwarapala hanya akan tinggal nama."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top