BAB III : ORANG BATI
Di asrama, Oka dan Haryo berbagi kamar yang sama. Sebuah kamar tidur seluas 22 meter persegi dengan satu kamar mandi dalam, dua lemari, dua meja belajar dan satu televisi. Fasilitas yang cukup elit untuk sebuah kamar asrama namun itu wajar karena akademi ini sendiri merupakan sekolah elit. Didirikan oleh dua petinggi grup bisnis dari grup bisnis Kapila yang bergerak di bidang industri media massa dan hiburan serta grup bisnis Sastrika yang bergerak dalam industri alat berat serta keperluan militer.
Hanya siswa-siswi elit dan terpilih yang mampu bersekolah di sini. Biaya SPP dan uang gedungnya pun boleh dikata agak 'tidak terjangkau' bagi kebanyakan orangtua, tapi ada beberapa anak yang boleh masuk dan belajar di sini tanpa harus membayar. Oka, Haryo, dan Rangga adalah beberapa di antaranya namun ketiga remaja itu punya misi khusus di sini. Mereka boleh bersekolah di sini sebagai timbal-balik atas pengabdian mereka sebagai Dwarapala.
Di antara yang lain, Oka dan Haryo adalah yang paling junior. Mereka baru masuk tahun ini dan mereka baru ada di tempat ini tidak sampai 3 bulan. Kapten tim mereka, Rangga, sudah di sini sejak 3 tahun yang lalu dan sekarang kapten mereka itu sudah berada di kelas XII. Anggota yang lain seperti Syarif, Safitri, dan Mirna ada di kelas XI. Mereka semua ada di sini dengan satu misi yang sama, menjaga pantai timur Kalimantan dari 'makhluk-makhluk yang menyeberang' dari dimensi lain sembari mencoba menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat sipil.
Tapi hidup di antara dua dunia sangat melelahkan bagi Oka dan Haryo. Baru 3 bulan mereka berada di sini, mereka sudah kewalahan membagi waktu antara menjalankan kewajiban sebagai Dwarapala, menyelesaikan tugas-tugas akademik seperti pekerjaan rumah serta laporan penelitian, serta mengikuti minimal satu kegiatan ekstrakurikuler. Oka dan Haryo malah belum menentukan akan ikut kegiatan ekstrakurikuler apa karena kewajiban mereka sudah menumpuk. Dua minggu terakhir ini malah sedang parah-parahnya. Ada segunung tugas akademik yang harus mereka selesaikan dan makhluk-makhluk dari seberang itu juga makin intens mendatangi tempat ini.
"Aku akan setel weker supaya kita bangun jam 5 sore. Kamu nggak keberatan kan Ka?" tanya Haryo ketika mereka tiba di kamar.
"Nggak. Waktunya sudah pas."
"Semoga yang menyeberang bukan kuyang lagi. Aku capek lihat kepala mereka yang melayang-layang tanpa tubuh."
"Jangan terlalu berharap banyak ah," kata Oka sembari melepaskan baju seragamnya dan langsung berbaring dengan kaus singlet semata setelah meletakkan kacamatanya di meja lampu, "Lebih baik kuyang daripada monster raksasa kan?"
*****
Jam weker Haryo membangunkan mereka pukul lima tepat. Haryo bangun lebih dulu dan langsung masuk kamar mandi untuk mandi. Oka yang bangun belakangan langsung mengecek kondisi pantai via kamera yang terpasang di senapan turret otomatis dengan sabak elektroniknya. Sensor belum menemukan tanda-tanda makhluk yang menyeberang tapi intensitas kepekatan kabut darah makin tinggi. Tanpa diberitahu Rangga atau Haryo pun, Oka tahu bahwa sesuatu tengah terjadi. Sesuatu yang buruk tengah menunggu di balik kabut itu.
Haryo mandi cepat sekali. Tak sampai 5 menit ia sudah selesai.
"Oka, masuk gih! Lalu kita makan. Malam nanti kita pasti sibuk, Letnan Rangga kirim pesan kalau ... ."
"Intensitas kabutnya makin pekat kan? Aku sudah tahu."
"Oh bagus, lekas gih!" Haryo melempar handuk putih ke pangkuan Oka dan Oka pun tanpa banyak cakap langsung memasuki kamar mandi.
*****
Selepas membersihkan diri, dua remaja itu turun ke lantai dasar, dari lantai tempat kamar mereka berada yakni lantai lima. Di lantai dasar sendiri ada kantin yang menyediakan makanan untuk para siswa-siswi akademi. Ada jatah makan gratis bagi para siswa-siswi untuk makan pagi, siang, dan malam sampai batas tertentu. Sore ini misalnya, jatah makan gratis mereka adalah nasi, sayur padang, dan satu lauk plus teh atau es teh tawar. Ada lauk prasmanan lain yang boleh mereka ambil tapi untuk tambahan itu mereka harus bayar sendiri.
Oka dan Haryo, sebagai remaja yang butuh 'kalori lebih' untuk kemungkinan tugas nanti malam memakai strategi klasik makan enak (dan banyak) yang pernah diajarkan senior sekaligus kapten tim mereka, Rangga. Ambil nasi segunung – Rangga biasa menyebutnya nasi gunung Semeru, ambil sayur sesuai batas tapi kalau sayurnya sayur padang, ambil kuahnya yang banyak, kemudian untuk lauk pilihlah telur dadar yang bisa dipotong kecil-kecil dan rasa asinnya kuat, sehingga sepotong kecil telur dadar bisa dipakai lauk teman makan bagi dua sendok nasi.
Mbak-mbak penjaga kantin sudah cemberut ketika melihat Oka dan Haryo melakukan strategi klasik ala anak kost yang keuangannya sudah menipis itu. Kantin memang sedang sepi, tapi kalau sampai ada anak lain yang meliat strategi itu kemudian menirukannya apalagi menirukannya secara berjamaah sudah pasti margin keuntungan kantin sudah pasti menurun.
"Ah Mbak ini kok cemberut saja. Nggak baik lho cemberut terus? Nanti wajah Mbak cepat berkerut lho."
"Kalian lagi bokek ya?" sindir penjaga kantin itu ketika memproses data diri mereka berdua.
"Iya nih Mbak, kiriman dari orangtua belum datang," sambung Oka.
"Ya sudah, kali ini saya maafkan tapi lain kali tolong jangan tunjukkan atraksi ambil nasi segunung tanpa ambil lauk tambahan ya?"
"Oke Mbak," Haryo hanya mengacungkan jempol kanannya sembari berlalu. Oka mengikutinya dari belakang. Keduanya hanya tersenyum-senyum geli tanpa mempedulikan tatapan jengkel si penjaga kantin itu pada mereka.
Mereka duduk di meja makan yang letaknya di pojok timur, di sisi yang sedikit terlindungi dari tatapan maut si penjaga kantin yang tampaknya masih 'tidak rela' kantinnya sepi dan ada anak yang mengakali strategi jatah makan.
Baru dua sendok nasi mereka kunyah, arloji mereka berdua sudah berdenting. Oka membaca isi pesan masuk dan benar saja, Rangga mengirimi mereka pesan darurat. Isinya singkat : "Turun kemari secepatnya!"
Oka dan Haryo saling berpandangan sejenak kemudian mereka langsung menghabiskan makanan mereka cepat-cepat. Tak sampai lima menit isi piring mereka sudah tandas. Begitu isi piring tandas, Oka dan Haryo langsung berlari ke arah elevator dan sekali lagi memindai arloji mereka supaya mereka diberi akses masuk fasilitas Dwarapala di bawah sekolah mereka.
Begitu lift mereka sampai lantai dasar, selain Rangga sudah ada tiga orang lain yang ada di sana. Tiga orang itu mereka kenali sebagai kakak kelas mereka. Mirna yang punya wajah oriental dengan rambut dibiarkan bebas tergerai sampai melewati batas bahu, Syarif yang punya rambut berponi yang menutupi separuh dahinya dan berkulit sawo amat matang, serta Safitri yang rambutnya dipotong pendek sebahu dan mengenakan kacamata berbingkai hitam. Rangga sendiri ada di sudut ruangan, mengadap layar monitor dan tampak berbicara dengan atasan mereka semua, seorang perwira militer bernama Kapten Pusaka. Pembicaraan Rangga dan Kapten Pusaka tidak lama. Tak sampai setengah menit, pemuda kekar bernama Rangga itu sudah mengakhiri pembicaraannya dengan Kapten Pusaka.
"Berbaris lalu istirahat di tempat! Dengarkan penjelasan saya! Kita punya musuh tipe baru," kata Rangga kemudian.
Lima orang anak buahnya segera berbaris rapi dan langsung mengambil posisi istirahat di tempat sementara Rangga menyodorkan sebuah layar holografik ke hadapan mereka.
"Nama sandi untuk musuh kita kali ini adalah 'Orang Bati'," kata Rangga sembari memperbesar citra yang berada di tengah layar tersebut. Sosok dalam citra itu menyerupai sosok gabungan antara kera, manusia, dan kelelawar. Tangannya bercakar namun juga memiliki selaput yang membentuk sayap bak kelelawar. Kakinya tegak dan berjalan bagai manusia namun seluruh tubuhnya tertutup bulu kasar berwarna kelabu kehitaman. Memang persis dengan deskripsi makhluk mitologis Orang Bati dari Pulau Seram, Maluku.
"Strateginya apa, Let?" tanya Safitri.
"Standar! Kepung, tembak, lalu tusuk dengan bayonet. Jangan lupa lengkapi juga seragam kalian dengan sangkur serta pisau laser. Meriam turret kita sudah menembak jatuh tiga makhluk tapi kemudian meriam turret kita dihancurkan. Artinya ada kemungkinan mereka lebih dari satu. Kita berpasangan dua-dua. Saya dengan Safitri, Syarif dengan Mirna, dan Oka dengan Haryo. Paham?"
"Paham Let!" jawab mereka berlima bersamaan.
*****
Jika tadi siang mereka menuju pantai hanya bertiga saja kali ini mereka komplit berenam. Motor Oka dan Haryo berjalan beriringan dengan kecepatan sedang. Sesekali mata mereka menatap ke langit untuk mencari-cari keberadaan musuh yang siapa tahu saja bisa menyerang dari langit.
Dugaan Oka tidak meleset. Ketika mereka semakin mendekati pantai, sensor di visornya mendapati ada tiga musuh mendekat dari udara.
"Serangan udara!" seru Oka sembari mencabut pistolnya dari holster di betis kanannya. Suara rem yang ditekan langsung terdengar dari keenam motor tersebut. Ban yang bergesekan dengan aspal menimbulkan suara berdecit. Suara keributan itu kemudian disusul dengan suara tembakan dari masing-masing senapan para Dwarapala.
Dua Orang Bati jatuh bebas dari angkasa dan tubuh mereka menimbulkan suara berdebum ketika membentur aspal jalanan. Seekor makhluk masih bergerak namun Syarif segera turun dari motornya dan mengaktifkan bayonet senapannya lalu memenggal kepala makhluk itu. Ia melakukan hal serupa dengan makhluk yang satunya lagi.
"Dua dinetralisir!" ujar Syarif.
"Diterima!" jawab Rangga sembari terus menembakkan senapannya ke udara. Satu Orang Bati yang tersisa ini punya kecepatan yang lain daripada dua yang tertembak. Ia melesat kesana-kemari bak peluru dan sulit sekali mengenainya.
"Haryo!" ujar Rangga lagi, "Lontarkan granat ke udara!"
Haryo yang masih berdiri mengangkangi motornya langsung membuka moncong pelontar granat yang berada tepat di bawah laras tembak senapannya. Haryo membidik ke angkasa, sambil mengaktifkan pemindai lintasan makhluk tersebut. Ketika visornya telah memetakan jalur lintasan makhluk dari seberang tersebut, Haryo langsung menarik picu senapannya dan sebuah mortir melesat cepat ke angkasa lalu meledak tepat di perpotongan jalur lintasan terbang makhluk tersebut. Dengan begitu ke manapun makhluk itu pergi, selalu ada kemungkinan ia terkena efek ledakannya.
Benar saja, begitu pijar ledakan itu usai, ada satu lagi makhluk yang jatuh bebas dari langit. Kali ini giliran Oka yang membidik melalui senapannya sementara visor helmnya memperhitungkan arah kejatuhan serta kecepatan makhluk tersebut. Ia incar kepala makhluk itu dan ketika picu senjatanya ia tekan tiga peluru melesat ke arah makhluk itu dan ketika makhluk itu jatuh berdebam di atas tanah, makhluk itu sudah dalam keadaan tanpa kepala.
"Oh yaik, kita dapat kelelawar setengah gosong dan tanpa kepala untuk hidangan terakhir. Ada yang mau dimasakkan sup kelelawar?" tanya Mirna, yang zirahnya bernomor C-08 itu.
"Kedengarannya memualkan, tidak usah deh," komentar Syarif.
"Oh ayolah, di daerah asalku sup kelelawar dan hati kelelawar goreng itu populer lho."
"Jadi vampir saja kau, kalau makananmu tiap hari kelelawar!" balas Syarif lagi.
"Hei, vampir itu adanya di dunia barat sana! Di sini tidak ada yang namanya vampir! Dasar kau otak kebarat-baratan!"
"Aku kebarat-baratan eh?" Syarif menepuk bahu zirahnya yang bertuliskan nomor C-07, "Kamu sendiri kalau mimpi pakai bahasa Inggris sama Jerman![1]"
"Haloo??" pemakai zirah C-05 – Safitri – menyela pertengkaran mereka, "Pertengkaran suami-istrinya tolong dilanjutkan nanti saja ya?"
"Mulai lagi deh," ujar Haryo pada Oka.
"Hu-um," kata Oka yang masih memindai daerah sekitar mereka guna mendeteksi keberadan musuh.
"Tak ada musuh lagi sejauh ini," kata Rangga setelah usai mengamat-amati kondisi sekitar pantai dengan binokular, "Tapi kita harus setel ulang turret lagi di pantai."
"Maaf Let, tapi sampel Orang Bati ini harus segera kita bawa ke lab kan? Mumpung masih segar?" tanya Mirna lagi.
"Mumpung masih segar supaya bisa dibuat kelelawar goreng ya? Nggak! Makasih!" balas Syarif sengit.
"Kelelawar goreng matamu!" bentak Rangga, "Makanan saja yang kau pikir! Kita butuh jaringan makhluk ini untuk diteliti Syarif! Diteliti!"
"Iya, iya, Let. Maaf aku cuma bercanda."
"Sumpah deh, Mas Syarif. Kayaknya kita harus panggil penghulu KUA habis ini untuk meresmikan hubungan Mas Syarif dengan Mbak Mirna," kata Oka.
"HEI!" dua Dwarapala yang disebut namanya oleh Oka tadi langsung menatap tidak senang ke arah Oka. Tapi karena ekspresi mereka dihalangi oleh visor helm maka Oka jelas tidak bisa melihat reaksi kedua seniornya tersebut.
"Oke cukup!" kata Rangga sembari menepuk-nepukkan tangannya, "Haryo, Oka, dan Syarif tolong bawa bangkai tiga makhluk ini ke lab, sementara Mirna dan Safitri ikut saya ke pantai untuk pasang turret baru.
"Siap Let," jawab Mirna dan Safitri.
"Siap Let," jawab Oka dan Haryo.
Cuma Syarif seorang yang tidak menjawab.
"Anda keberatan dengan perintah saya Sersan Syarif?" tanya Rangga dengan nada dingin dan penekanan pada pangkat. Biasanya Rangga sebagai komandan tim tidak pernah menyebut pangkat tapi jika ia sudah menyebut pangkat itu artinya ia sedang tidak enak hati.
"Tidak Let. Siap! Saya laksanakan!" jawab Syarif lagi.
[1]Terinsipirasi dari pertengkaran (atau gurauan?) Sutan Syahrir dan Bung Hatta saat menjalani masa pembuangan di Banda Neira – Pulau Banda, di mana saat itu Hatta menyindir Syahrir di hadapan Des Alwi bahwa Syahrir terlalu kebarat-baratan sementara Syahrir berkata, "Hatta bilang aku kebarat-baratan? Ah, dia sendiri kalau mimpi pakai bahasa Belanda!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top