BAB II : KABUT DARAH
Basis Operasi Dwarapala, Tanjung Pasir, Kaltim, 11.30 WITA
Dwarapala, kata kuno dalam bahasa Sansekerta yang artinya adalah penjaga gerbang, merupakan sosok-sosok penjaga gerbang candi dan konon istana-istana raja pada masa kuno. Mereka adalah raksasa-raksasa berperut buncit, bertaring, bermata melotot, dan bersenjatakan gada raksasa yang konon menjaga kahyangan, kediaman para dewa. Mereka adalah garis pertahanan pertama yang akan menghadapi musuh-musuh kahyangan yang mencoba masuk ke dalam kahyangan untuk membuat kekacauan. Di masa ketika agama Hindu dan Buddha masih menjadi agama dominan di Nusantara, patung mereka selalu ditempatkan di depan pintu, di bagian kanan dan di bagian kiri, sebagai simbol perlindungan terhadap kekuatan jahat dan orang-orang yang berniat jahat.
Berdasarkan legenda itulah, unit ini dinamakan Dwarapala.
"Kalian sudah siap?" tanya seorang remaja dengan seragam sekolah serupa dengan mereka berdua saat Oka dan Haryo tiba di basement B-3, lantai kedua paling bawah dari fasilitas rahasia bawah akademi ini.
"Siap Let," jawab mereka berdua serempak sambil mengambil posisi tegap, dengan kaki dirapatkan dan tangan kanan memberi hormat pada remaja berambut cepak tersebut.
"Ini cuma misi observasi, tapi tetap jaga-jaga jikalau ada serangan. Bawa senapan serbu dan amunisi tambahan dan tetaplah waspada!"
"Siap!" dua remaja itu kembali memberi hormat sebelum beranjak menuju deretan tabung-tabung logam dengan dinding kaca di bagian depannya. Oka dan Haryo kembali memindai arloji mereka di depan tabung tersebut dan kaca penutup tabung itupun terangkat ke atas, menunjukkan sebuah zirah tempur berwarna hijau gelap yang dipadu dengan sedikit corak kuning kusam dan coklat kayu membentuk pola loreng khas seperti seragam infanteri TNI AD. Oka dan Haryo mengambil bagian sepatu zirah tersebut, memencet satu tombol merah di bagian samping dan bagian belakang sepatu itupun membuka sehingga kaki mereka bisa masuk ke dalamnya. Mereka kemudian melanjutkan dengan memasang pelindung kaki, kemudian pelindung tangan, pelindung dada, dan yang terakhir adalah pelindung kepala berbentuk helm yang bagian depannya tampak terbuat dari kaca hitam non-transparan. Orang-orang takkan bisa melihat siapa yang ada di balik helm itu.
"Dwarapala C-34, I Gede Putu Oka, siap bertugas," kata Oka.
"Dwarapala C-12, Haryo Kumoro Jati, siap bertugas," kata Haryo.
"Dwarapala C-04, komandan tim, Rangga Adityawarman, siap bertugas," kata senior yang mereka panggil letnan tadi usai ia mengenakan zirah tempurnya.
Tiga orang itu kemudian bergerak ke arah rak senjata di mana masing-masing dari mereka mengambil sepucuk pistol dan memasukkannya ke dalam holster yang berada di pelindung paha kanan mereka serta sebuah senapan serbu berkapasitas 120 butir peluru. Seperti yang letnan mereka perintahkan tadi, kedua remaja itu kembali mengambil tiga kotak amunisi tambahan, menempatkan satu kotak di sabuk belakang mereka dan menenteng dua kotak lagi untuk mereka masukkan ke dalam kotak penyimpanan sebuah sepeda motor militer bersenapan mesin yang akan mereka naiki.
"Tim C! Berangkat!" seru Rangga, sang komandan tim sambil menarik pedal gas motornya. Dua anggotanya yang lain turut melakukan hal serupa dan tiga motor itupun melewati sebuah lorong panjang yang berakhir pada sebuah titik di samping sebuah instalasi militer yang terletak sekitar 1 kilometer dari sekolah mereka.
Tiga motor itu melalui jalanan yang sepi menuju daerah pantai di sebelah timur kota. Rangga, sang kapten tim, kembali memberikan perintah, "Nyalakan pemindai pada kaca visor!"
Dua anak buahnya mematuhi perintah Rangga. Oka bisa melihat bahwa di daerah pantai kini telah dipenuhi oleh kabut merah atau biasa mereka sebut 'kabut darah'. Kabut ini tidak tampak oleh mata telanjang, dan juga tak bisa dirasakan oleh kebanyakan orang. Hanya orang-orang dengan indera lebih dari lima atau menggunakan visor atau alat pemindai saja yang dapat melihat kabut ini.
"Kabut darah di mana-mana," komentar Haryo ketika mereka tiba di pantai.
"Perasaanku tidak enak," kata Rangga, "Siagakan senjata!"
Mereka bertiga melepaskan pengaman senjata mereka baik senapan maupun pistol, kemudian berjalan perlahan dengan kehati-hatian yang sangat tinggi menuju pantai yang saat itu tidak dikunjungi seorang pun itu.
"Aktifkan mode pemindai musuh!" perintah Oka pada AI yang tertanam di zirahnya dan AI tersebut meresponnya dengan satu jawaban 'baiklah' yang dilanjutkan dengan pengaktifan sensor pemindai tambahan. Objek-objek berbentuk lingkaran bergerak kesana-kemari di layar visor Oka, mencari sesuatu yang dicurigai sebagai musuh.
"Tak ada musuh, aneh," lapor Oka.
"Kabut darah turun amat pekat tapi kenapa tidak ada pergerakan musuh?" tambah Haryo lagi.
Rangga, sang kapten tim tidak berkata apa-apa lagi. Diambilnya sebuah binokular dari kantong barang yang tersampir di perutnya dan diletakkannya binokular itu pada kaca visornya. Kaca visornya memang dapat memperbesar tampilan objek sampai jarak 5 kilometer, tapi yang hendak ia lihat berada pada jarak yang lebih jauh dari itu.
Objek yang ia amati berjarak 20 kilometer dari garis pantai. Sebuah objek berupa tiang cahaya merah pekat, warnanya lebih pekat daripada kabut darah yang mereka temui di sepanjang pantai ini. Para ilmuwan yang mereka kenal menyebutnya fenomena tiang merah, dan kemunculan fenomena ini selalu merupakan pertanda buruk. Kemunculannya selalu menandakan bahwa 'makhluk dari seberang' akan masuk ke dunia ini.
Tapi kali ini berbeda, meskipun kabut darah sangat pekat, sampai saat ini tidak ada satupun 'makhluk dari seberang' yang masuk kemari, ke dunia manusia di mana tiga remaja itu hidup dan bernafas.
"Sepertinya tidak ada apa-apa di sini, Let. Bagaimana?" tanya Oka lagi.
"Tempatkan 3 turret otomatis di sepanjang pantai. Setidak-tidaknya jika ada satu-dua makhluk yang menyeberang kita tidak perlu bolak-balik kemari."
*****
Tanjung Pasir, Kalimantan Timur, 01.30 WITA
Rangga memerintahkan dua anggotanya untuk kembali ke akademi. Mereka kembali melewati jalanan pantai yang sepi itu untuk kembali markas yang berada tepat di bawah akademi mereka.
Saat mereka semua telah kembali ke markas mereka, Rangga melepaskan helm pelindungnya dan berkata pada dua anggotanya, "Shift malam akan diisi oleh Safitri dan Syarif. Tapi saya harap kalian berdua tetap siaga. Kita cuma berenam di sini dan biasanya jika kabut darah turun sepekat itu, makhluk yang menyeberang pasti juga akan merepotkan."
"Ya Let," jawab Oka dan Haryo sembari turut melepaskan helm pelindung mereka disusul bagian-bagian zirah pelindung mereka yang lain. Setelah dilepas, mereka kembali menempatkan zirah mereka di tabung loker tempat zirah-zirah itu tadi disimpan.
"Kalian boleh pergi," kata Rangga sembari mengibaskan tangannya. Oka dan Haryo hanya memberi hormat singkat sebelum naik kembali ke lantai atas, ke akademi.
Di lift, dua remaja itu kembali berbincang. Haryo memulai pembicaraan, "Hei Ka, kalau nanti malam kita harus ronda, lebih baik kita tidur cepat deh."
"Kau mau kembali ke asrama sekarang?" tanya Oka.
"Ya. Lebih cepat lebih baik."
"Gimana dengan Sarma? Bukannya dia hari ini mau latihan drumband sama kamu ya?"
"Tugas sebagai Dwarapala lebih penting ah, daripada kejar cewek!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top