BAB I : AKADEMI KUMALA SANTIKA

 

Tanjung Pasir, Kaltim, 9.30 WITA

Gde Putu Oka tengah memandang ke arah halaman Akademi Kumala Santika. Tatapannya menerawang, mengamati siswa-siswi berseragam merah-hitam dengan motif kotak-kotak yang tengah beraktifitas di halaman sekolah. Beberapa anak lelaki tampak menghabiskan waktu dengan bermain basket, beberapa anak perempuan tampak serius membaca novel atau buku lainnya dari sabak elektronik mereka sambil berteduh di bawah gazebo. Beberapa yang lain sibuk bercengkerama sambil melakukan aktifitas wajib setiap makhluk hidup di muka bumi ini : makan.

Wajah-wajah mereka tampak riang, penuh semangat, ceria. Sesuatu yang normal dan seharusnya dimiliki setiap anak remaja manapun. Oka mengamati mereka dengan tatapan penasaran, mencoba mengimajinasikan kondisi-kondisi apa yang membuat anak-anak itu nyaris seluruhnya bertampang seperti itu? Apa yang membuat mereka begitu bahagia? Apa rasanya hidup seperti anak remaja normal yang tidak harus menjalani hidup seperti yang ia alami?

"Hei!" tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, remaja itu menoleh dan mendapati seorang remaja berwajah lancip dengan dagu memanjang dan rambut berdiri akibat diberi gel rambut telah berdiri di sampingnya.

"Ada apa, Yo?" tanya Oka ketika menyadari kehadiran temannya itu.

"Ada sinyal terdeteksi di Pantai Timur," ujarnya sambil berbisik.

"Lagi?"

"Ya. Aktivitas di Sinabung dan Maupora sudah turun, tapi aktivitas di sini katanya makin meningkat. Kita diminta ke sana pasca sekolah usai. Letnan akan menunggu di tempat biasa."

"Hari ini kita bisa saja bolos jam pelajaran terakhir kan? Toh gurunya juga tidak bakal hadir," kata Oka sembari melihat jadwal kehadiran para guru di sabak elektroniknya.

"Oh, aku sih setuju. Aku akan lapor pada letnan."

*****

Lima menit kemudian bel masuk kembali berbunyi. Semua anak yang tengah beristirahat langsung menghentikan aktivitasnya dan kembali ke kelas masing-masing. Pelajaran berikutnya di kelas Oka adalah sosiologi dan ketika masuk sang guru langsung meminta anak-anak didiknya membuka peta dunia di layar meja belajar masing-masing kemudian meminta mereka menunjuk satu negara dalam peta elektronik itu dan membaca sedikit ulasan soal negara tersebut yang akan tampil begitu jari telunjuk mereka menyentuh area negara tersebut.

Sang guru wanita dengan rambut ikal digelung melingkar itu memberi anak-anak didiknya waktu 15 menit untuk memahami uraian yang mereka baca sebelum bertepuk tangan meminta perhatian, "Ya anak-anak, sekarang waktunya ibu tanyai kalian semua."

Jari telunjuknya berputar-putar, sementara Oka yakin otak kepala ibu guru tengah berkoordinasi dengan mata dan jari telunjuknya untuk menunjuk korban seorang anak untuk ditanyai. Mata pelajaran sosiologi bab ini adalah hubungan internasional Indonesia dan negara lain. Sesuatu yang dibenci kebanyakan anak di kelas ini sebab dari uraian yang singkat itu mereka harus mampu menjawab pertanyaan Ibu Ari, nama guru sosiologi mereka ini, tentang alasan kenapa hubungan Indonesia dengan negara tersebut terjalin baik atau justru sebaliknya, terjalin buruk.

"Susi!" mata dan telunjuk Ibu Ari menunjuk ke arah seorang gadis berambut panjang yang dikuncir ekor kuda.

"Ya Bu?" gadis berkacamata bingkai merah itu menyahut.

"Jelaskan mengapa Indonesia tidak lagi menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan?"

"Karena Indonesia menaati perjanjian Satu Republik Tiongkok yakni Republik Rakyat Tiongkok, Bu. Karena itu Taiwan, yang mengaku sebagai Republik Tiongkok, tidak lagi diakui oleh Indonesia. Selain itu hubungan dagang antara Republik Rakyat Tiongkok terbukti lebih menguntungkan daripada hubungan dagang dengan Taiwan. Volume ekspor Indonesia ke RRT mencapai US$ 12 juta per semester sementara volume ekspor ke Taiwan tak sampai US$ 1 juta per semester. Lebih-lebih jika nekat mendukung Taiwan, RRT mengancam akan memutus hubungan diplomatiknya dengan Indonesia."

"Bagus Susi," Ibu Ari manggut-manggut sebelum tangannya menunjuk ke arah anak lain, "Kalau kamu Haryo!" jari telunjuk Ibu Ari menunjuk ke arah Haryo, remaja bergaya rambut spiky yang tadi menyapa Oka di lorong kelas, "Ibu lihat kamu memilih Pakistan dan India. Kita tahu bahwa dua negara ini hobi banget berantem sejak mereka merdeka sampai sekarang. Tapi kenapa Indonesia bisa tetap menjalin hubungan diplomatik dan dagang dengan keduanya?"

Yang ditanya terbata-bata menjawab, Oka berusaha keras menahan tawa. Ia tahu bahwa sudah jadi 'penyakit' Haryo untuk tidak konsentrasi terhadap pelajaran yang satu ini. Ia pasti memilih dua negara hobi berantem itu karena sedang mencari inspirasi untuk membuat puisi bagi gadis yang tengah ia taksir. Petikan puisinya sendiri kurang lebih seperti ini :

Andaikan engkau berdiri di Kashmir, di antara Pakistan dan India, Sarma

Aku akan menerjang setiap tentara India maupun Pakistan

Sebab hatiku ini telah kupacu, kukayuh, dan kuarahkan kuat-kuat kepadamu

 

Puisi itu ditujukan bagi Sarma, siswa pertukaran dari India yang ada di kelas sebelah. Haryo mati-matian membuat 3 baris puisi itu selama seminggu tapi Oka selalu berkata bahwa puisinya masih payah — kalau tidak bisa dibilang mengerikan kualitasnya — sehingga ia sering mencuri-curi kesempatan di pelajaran-pelajaran tertentu untuk menuliskan puisi yang lebih bagus.

"Ayo Haryo," ujar Ibu Ari dengan tatapan menggoda. Guru wanita itu tahu bahwa selama 15 menit tadi Haryo tidak membaca uraiannya dengan baik, melainkan memikirkan hal lain.

"Aaaa ... aaaa ... karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim sama seperti Pakistan, tapi di sisi lain beberapa daerah di Indonesia masih melestarikan tradisi Hindu yang unik dan membuat penduduk India sering terpesona. Perdana Menteri pertama India, Nehru, bahkan pernah berkata bahwa 'Seluruh tradisi, tarian, dan kesenian Hindu telah dibawa ke Bali, meninggalkan India dengan tradisi-tradisi yang telah kering.' "

"Hmm, menjawab dengan pendekatan budaya ya? Yah, tidak salah sih. Tapi yang Ibu inginkan sebenarnya jawaban yang sedikit lebih lengkap. Bidang ekonominya belum kamu singgung Yo. Baiklah, akan Ibu tambahkan saja. PT. Dirgantara Indonesia mengekspor pesawat dan drone observasi ke dua negara tersebut, terutama Pakistan. Di sisi lain India dan Indonesia telah menjalin kerjasama dalam industri satelit serta otomotif semenjak tahun 2053 yang terus berlangsung sampai saat ini guna menyaingi industri serupa milik Uni-Eropa dengan target pasar negara-negara Afrika Utara dan Tengah. Oh ya, kemudian untuk Oka," jari guru sosiologi itu mengarah ke arah Oka, "Membantu teman memang baik, tapi lain kali jangan kasih contekan ke Haryo lagi ya?"

Yang ditunjuk hanya tersenyum-senyum ketika menyadari bahwa tindakannya mengirim pesan 'contekan' ke meja Haryo ternyata diketahui gurunya. "Iya Bu," katanya sambil membetulkan letak kacamatnya.

"Meja ibu sekarang sudah dilengkapi aplikasi pendeteksi pesan antar murid yang mampu membedakan pesan berisi pembicaraan wajar atau pembicaraan yang berkaitan dengan pertanyaan guru di suatu waktu. Jadi jangan terlalu mengharapkan bantuan teman ya?"

"Iya Bu," jawab semua anak di kelas itu menjawab serempak, meski beberapa anak melakukannya sambil menyembunyikan ekspresi dongkol di hati masing-masing.

******

Begitu kelas usai, Haryo dan Oka langsung menemui ketua kelas X-2, Erma, seorang gadis berambut sebahu dengan kacamata berbingkai putih dan mengenakan badge OSIS Akademi di lengan kiri bajunya. "Ma, kita berdua mau minta izin ya," kata Haryo.

"Untuk jam terakhir ya? Ya, nggak apa-apa sih. Kalau Bu Mutia masih sakit, kalian akan tetap kuanggap masuk kok. Tapi kalau beliau sudah masuk ya kalian kutulis izin. Alasan izinnya apa?"

"Mengumpulkan sampel di pantai untuk Doktor Samad," jawab Oka cepat setelah itu ia dan Haryo keluar kelas.

Kedua remaja itu melintasi lorong lantai tiga gedung menuju lift di ujung selatan lorong. Ketika pintu lift membuka dan mereka sudah masuk ke dalam, Oka mendekatkan arlojinya ke arah sebuah pemindai yang terletak di bawah deretan panel tombol lift. Sebuah logo berbentuk dua gada menyilang muncul di layar arlojinya dan pemindai itupun memunculkan lambang holografik berbentuk serupa.

"Dwarapala I Gde Putu Oka dan Haryo Kumoro Jati siap bertugas!" ujar mereka berdua bersamaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top