7
7.
"Safa, Aliya."
Ilvira melirik pada asal suara. Seno baru sampai di toko siang ini, seperti biasa. Mata pria itu tampak tegas menatap kedua putrinya yang tengah asyik bermain kalkulator sambil menikmati nyam-nyam.
"Pindah ke belakang. Jangan ganggu Tante Ivy dan yang lainnya."
Mendengar ucapan ayahnya yang bernada tegas, kedua bocah itu melepas kalkulator dan balpoin yang mereka mainkan sejak tadi. Dengan wajah menahan kecewa, kedua bocah yang tadi datang bersama neneknya itu, bergerak perlahan meninggalkan meja kasir dan berjalan gontai menuju tempat yang ayahnya arahkan.
Dari tempatnya, Ilvira memperhatikan bagaimana Seno bersikap kaku, otoriter, dan tegas kepada kedua putri pria itu. Benar apa kata ibu Seno, setiap wanita paruh baya itu mencurahkan isi pikirannya kepada Ilvira di sela bekerja. Seno berubah. Ia bukan lagi pria murah senyum dan supel, seperti yang terakhir kali Ilvira ingat.
"Ibu merasa, Seno mulai berubah sejak istrinya meninggal. Dia sempat seperti kehilangan harapan dan pesimis bisa membesarkan anak-anaknya. Ibu mewajari perubahan Seno saat itu. Siapa yang tidak syok ditinggal pasangan saat anak-anak masih kecil? Sejak itu, Seno mendidik anaknya dengan tegas. Dia berkata, tak boleh lalai mendidik anak agar tak salah asuh."
Ucapan ibu Seno terngiang lagi di pikiran Ilvira. Sedikit banyak, ia merasa kasihan dengan dua bocah itu. Memiliki ayah yang terlalu tegas dan otoriter pasti tidak nyaman. Ilvira bersyukur tidak memiliki ayah seperti Seno. Mendiang bapaknya selalu tahu caranya membuat Ilvira nyaman. Meski tak memiliki ibu sejak kecil, Ilvira tetap bahagia dengan bapak yang selalu menuruti apa keinginannya.
Pandangan Ilvira mengarah pada sosok dua bocah yang berjalan berdampingan ke arah belakang toko. Pasti membosankan berada di tempat yang hanya berisi tumpukan kardus-kardus barang. Jika di meja kasir, mereka bisa sambil bermain alat tulis atau sekadar berbincang singkat dengan pelanggan yang kerap menyapa atau memuji mereka.
"Ilvira." Panggilan Seno membuat Ilvira kini menoleh kepada pria itu. "Makan siang." Seno mengangkat satu kantung plastik yang pria itu genggam. "Nasi campur. Ayo makan bersama."
"Makan bersama?" Ilvira meliarkan pandangannya dengan cepat ke sekeliling toko. "Lagi rame pembeli, Mas. Mas Seno makan duluan saja sama anak-anak. Kayaknya mereka belum makan dari sepulang sekolah."
"Mereka pasti merepotkan kamu," tebak Seno dengan wajah sungkan. "Saya sudah bilang ke Ibu, agar anak-anak diturunkan di rumah saja sepulang mereka sekolah. Jangan dititipkan di toko, apalagi sama kamu."
Kening Ilvira mengernyit. "Memangnya ... kenapa kalau anak-anak di sini sama Ivy?" Entah mengapa, perasaan Ilvira jadi sedikit tersinggung. Apa salahnya jika anak-anak itu bermain di toko ini? Toh, toko ini milik ayah mereka. Lalu, jika mereka bersama Ilvira, memangnya kenapa? Apa Seno ragu dengan kemampuan Ilvira menjaga dan menertibkan mereka selama bermain di toko? "Ibu bilang ke Ivy, kalau di rumah jika siang sepi. Ibu kadang keliling toko sampai jam dua siang, lalu ke sini untuk jemput anak-anak dan pulang. Ivy gak keberatan dititipin mereka, kok."
Seno tampak menghela napas cepat. Ia hendak bicara, tetapi mulutnya kembali mengatup saat ada pembeli yang meletakkan keranjang belanja dan meminta Ilvira menghitung.
Sementara itu, Ilvira yang masih merasa sedikit tersenggol hatinya, bersikap seakan tak tertarik lagi dengan topik yang Seno angkat. Ia bergerak cepat menghitung, seakan fokus pada transaksi yang sedang berjalan.
Merasa diabaikan, Seno lantas berjalan pelan menuju meja pojok belakang toko dan meletakkan makan siang yang ia beli di sana. Sepuluh menit Seno duduk sendiri di meja pojok belakang toko, dengan pandangan yang terus mengarah pada Ilvira. Seno paham jika perempuan itu sangat sibuk melayani pembeli. Hanya saja, Seno inginnya Ilvira paham jika pria itu datang setiap siang, artinya Seno hendak mengajak Ilvira makan bersama.
"Ivy." Tak tahan, pria itu akhirnya bersuara juga. Tatapan mereka bertemu sesaat, kala Ilvira menoleh kepadanya dengan wajah penuh tanya. "Makan siang dulu."
Ilvira melirik pada banyaknya pembeli yang antri di meja kasir. Setelahnya, perempuan itu kembali sibuk menyapa pelanggan sambil menghitung belanjaan.
Seno tahu jika siang adalah jam-jam ramai pembeli datang. Masalahnya, tugas Ilvira kan mengelola toko, yang artinya cukup memantau karyawan lain bekerja dan dia membuat laporan setiap hendak tutup toko. Menjadi kasir bukan tugas utamanya, dan perempuan itu sah-sah saja menugasi orang lain.
Meski sedikit jengkel dengan sikap Ilvira yang tidak menuruti dirinya, Seno tetap sabar menunggu perempuan itu menyelesaikan antrian pelanggan, demi bisa makan bersama. Bagusnya, selang sepuluh menit kemudian, Ilvira memanggil seorang karyawan yang baru selesai makan siang untuk menggantikan dirinya dan senyum Seno terukir kecil saat mendapati perempuan itu berjalan ke arahnya.
"Kamu bisa sakit kalau terus telat makan seperti ini." Suara Seno tegas. Ini sudah hampir jam satu, dan dipastikan Seno akan terlambat kembali ke sekolah. "Jaga kesehatan kamu. Sakit itu ...." Lidah Seno kelu. Ia tak ingin membahas tentang sakit atau penyakit apapun.
Ilvira menatap Seno dengan binar penuh arti. Tak ada bantahan yang keluar dari mulut perempuan ini. Ilvira lantas berjalan menuju ruang belakang toko dan memanggil kedua anak Seno. "Ayo kita makan bersama," ajaknya saat mereka kembali bertiga dan duduk di meja.
"Saya rasa anak-anak sudah makan di sekolah."
"Jam istirahat mereka itu, jam sarapan. Sekarang waktunya makan siang." Ilvira membuka kantung plastik berisi dua nasi yang Seno beli. "Kak Safa berdua sama Tante, Dek Aliya berdua sama Ayah makannya, mau?"
Kedua anak itu hanya mengangguk patuh.
Seno menghela napas panjang dan lirih. Ia tak berani dan tak bisa menyanggah apa yang Ilvira atur terkait makan siang mereka. Pria itu diam saja saat Ilvira beranjak dari meja untuk mengambil sendok dan empat botol minuman dingin.
Mereka makan dengan teratur dan rapi. Anak-anak Seno sungguh tertib dan tahu cara bersikap dengan baik. Tak ada suara atau tawar menawar lauk yang ingin disuap. Bagi Ilvira, ini sangat kaku dan aneh. Seingatnya, waktu makan bersama bapaknya adalah waktu paling santai dan menyenangkan. Ia bisa memilih menu yang ingin ia nikmati dan berbincang ringan, menceritakan kegiatan atau hal-hal yang terjadi hari itu.
"Lekas cuci tangan dan jangan nakal." Seno berpesan kepada anak-anaknya, saat makan sudah selesai.
Ilvira membereskan bungkus nasi dan sendok kotor, lalu kembali ke meja pojok saat melihat Seno masih berada di sana. "Mas, Ivy mau bicara, boleh?"
Seno menatap Ilvira dengan wajah penuh tanya. Pandangan Seno konstan kepada Ilvira dengan tatapan serius dan siap mendengar apapun yang akan Ilvira sampaikan.
Setelah duduk, meski dengan sedikit gugup, Ilvira menghela napas pelan dan mulai bicara. "Maaf sebelumnya kalau Ivy mungkin terkesan lancang. Namun, Ivy melihat kalau Mas Seno sepertinya kurang bisa memahami anak-anak. Ivy ... tidak pernah merasa direpotkan setiap mereka ada di sini. Selama dua minggu Ivy bekerja, mereka selalu ada dan tak pernah sekali pun Ivy terganggu. Jadi, tolong Mas jangan bersikap terlalu keras pada mereka."
Wajah Seno berubah. Rahang pria itu sedikit mengeras dengan raut seperti tak terima dengan apa yang Ilvira katakan. "Mereka anak saya. Tanggung jawab saya mendidik mereka dan mengasuh mereka agar menjadi anak yang baik."
"Benar, dan Mas membuktikan jika Mas berhasil." Ilvira mulai mendebat. "Namun, apa Mas pernah tahu apa yang mereka rasa? Kesepian, bosan, ingin bermain tapi tak ada teman, dan banyak hal lain yang mungkin saja takut untuk mereka utarakan. Ivy pernah berada di posisi mereka. Kami tidak punya ibu sejak kecil dan kesepian. Ivy pernah seperti mereka, berada di toko sepulang sekolah dan diasuh oleh orang lain. Apa yang Mas lakukan ke mereka, bisa saja membuat mereka takut kepada Mas dan enggan terbuka pada ayahnya sendiri."
"Kamu tidak tahu apa-apa, Ivy." Mata Seno mulai berkilat dengan emosi yang bercampur. "Saya ayah mereka."
"Tapi Ivy pernah berada di posisi mereka," sanggah Ilvira dengan wajah yang tak kalah tegas. "Itu sebabnya Ivy minta maaf jika Mas mungkin tersinggung, tapi Ivy minta agar Mas jangan terlalu mengekang mereka. Biarkan mereka bermain di sini bersama Ivy."
"Mau jadi apa mereka jika kegiatannya hanya bermain? Jika di rumah, mereka bisa belajar dan lebih bisa dikontrol."
"Di sini mereka juga belajar dan kami kontrol, Mas."
"Tapi—"
"Terserah keputusan Mas, sih," sanggah Ilvira seraya beranjak dari kursi. "Ivy hanya mengutarakan apa yang ada di pikiran Ivy."
Seno hendak memanggil Ilvira dan meminta perempuan itu kembali duduk bersama. Topik ini harus didiskusikan hingga selesai dan tak ada salah persepsi di antara mereka. Namun, dering ponsel Seno, membuta pria itu harus beranjak juga dan segera kembali ke sekolah. Jika ada waktu nanti, Seno akan melanjutkan diskusi sengit ini. Ilvira harus tahu, jika punya anak perempuan itu harus dijaga dengan sungguh-sungguh.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top