5
5.
"Kamu itu wawancara untuk kerja jadi apa to, Vy?" Ibu Seno yang pagi ini mampir ke rumah Ilvira, bertanya saat mendapati Ilvira sudah rapi dengan rok sepan hitam dan kemeja putih. Tampilannya cantik dan menarik. Ilvira menjepit sejumput rambutnya ke belakang, membuat rupa perempuan itu semakin ayu. "Di hotel mana?"
"Di hotel yang dekat Batu. Jadi resepsionis, Bu."
"Kerjanya ngapain resepsionis itu?"
"Terima tamu, urus booking hotel, dan banyak lagi."
Ibu Seno menatap penampilan Ilvira dengan mata yang terus menyoroti dari atas hingga bawah, lalu ke atas lagi dan ke bawah lagi. "Pergi pagi pulang sore kayak Seno?"
Ilvira menggeleng seraya tersenyum kepada ibu Seno. "Kerjanya sistim Shift. Kadang malam sampai pagi, pagi sampai sore, siang sampai tengah malam. Tergantung pengaturan hotelnya terhadap jam kerja itu, Bu."
Mendengar penjelasan Ilvira, mata ibu Seno seketika membelalak. "Enggak, enggak! Ibu gak setuju! Gak usah berangkat wawancara. Ibu takut kamu diterima terus kerjanya begitu. Pulang malam, pulang pagi, aduh ... Ibu gak bisa bayangin kamu naik motor di jam-jam begitu. Enggak, enggak. Pokoknya enggak, Vy!"
Ilvira tersenyum seraya mengambil tas dari meja kamarnya. "Kalau gak kerja, Ivy makan apa dan bayar listrik pake apa, Bu?" Ia terkikik lirih lalu keluar kamar yang diikuti oleh ibu Seno. "Gak ada yang nafkahin Ivy, jadi ya Ivy harus kerja cari uang."
"Iya, tapi jangan yang pulang malam atau pagi buta, Ibu takut."
"Inshaallah aman, Bu. Doakan Ilvira, ya."
Ibu Seno hanya bisa mengembuskan napas lirih seraya terus membuntuti Ilvira yang kini berjalan menuju sepeda motor milik ibu Seno. Perempuan itu meminjam salah satu kendaraan milik Seno untuk pergi wawancara pagi ini.
Dari tempatnya, ibu Seno menatap Ilvira dengan binar mata iba. Wanita itu sedikit cemas membayangkan jika Ilvira sungguhan memiliki jam kerja yang tidak seperti kebanyakan orang. Hidup memang membutuhkan uang, tetapi ia tak tega jika Ilvira harus bekerja sekeras itu. Hidup Ilvira sudah berat. Ia tak tega melihat anak asuhnya harus terus membanting tulang dan hati demi bisa tegak berdiri seperti saat ini. Andai Seno mau bergerak untuk mengambil Ilvira menjagi keluarga mereka secara resmi, hati ibu Seno merasa sedikit lebih tenang dan bahagia. Sayang, rasa di antara Ilvira dan Seno tak ada dan wanita itu harus mau menunggu anaknya menikah entah kapan.
"Eh, Vy!" Tiba-tiba, satu ide terlintas di pikiran ibu Seno. "Kamu ... pulang wawancara jam berapa? Bisa bantu Ibu di toko, gak? Ibu hari ini kayaknya ada banyak kerjaan dan butuh bantuan."
Ilvira yang sudah menaiki motor matik, menoleh kepada ibu Seno dengan kening mengernyit. "Ya gak tahu, lama atau tidak. Tapi nanti sehabis pulang wawancara, Ivy langsung ke toko Ibu."
"Bukan toko yang biasa Ibu jaga, tapi toko yang satunya. Kamu tahu, kan, kalau Toko kami ada tiga? Ibu mau ke Toko yang di simpang jalan arah sekolah."
"Oh." Ilvira mengangguk. "Nanti Ivy ke sana."
"Beneran, ya. Ibu tunggu." Ibu Seno tersenyum seraya melambaikan tangan, mempersilakan Ivy untuk keluar pagar dan pergi wawancara. Ia lantas menutup paar rumah Ivy dan memastikan semua sudah terkunci sebelum pulang dan bergegas menghubungi anak laki-lakinya.
****
"Kerja jaga toko bantu Ibu?" Ilvira terperanjat saat ibu Seno mengatakan bahwa ia ingin Ilvira membantunya mengelola satu toko milik Seno. Siang ini Ilvira sudah berada di toko yang ibu Seno maksud tadi dan membantu wanita itu melayani pembeli yang cukup ramai. "Ivy mana bisa, Bu?"
"Bisa," jawab ibu Seno tegas dan yakin. "Dari kecil kamu udah bantu Ibu jaga toko."
"Ivy dulu bukan bantu, tapi temani Ibu karena ya Ivy harus diasuh sama Ibu sampe Bapak pulang kerja."
"Ya sama saja," kilah ibu Seno seraya menghitung total belanjaan pembeli. "Ibu pikir-pikir, kasihan Seno kalau setiap pulang sekolah harus mampir toko untuk cek pembukuan harian. Andai ada kamu, kan, dia gak harus mampir dan bisa langsung pulang. Kamu tinggal lapor ke Seno setiap sore atau malam."
Seno? Batin Ilvira menjerit. Ini bukan tawaran bagus dan cenderung berbahaya. Ia tak mungkin melemparkan dirinya pada hidup Seno dan keseharian pria itu. Sudah bagus Ilvira bisa menjaga jarak dengan Seno dan bersikap seakan ia tak pernah kenal dekat dengan pria itu. Jika harus kembali berinteraksi dengan pria yang masih melekat di hatinya, Ilvira tak berani jamin bisa menghilangkan rasa pada Seno yang sampai saat ini masih ada.
"Uhm ... kayaknya Ivy gak bisa deh, Bu," tolak Ilvira pelan seraya tersenyum sungkan. Gadis itu mencoba tak menatap ibu Seno yang meliriknya dengan tatapan tajam. Ia bersikap sok sibuk membungkus belanjaan pembeli yang sudah dihitung oleh ibu Seno.
"Seno! Sini, Ibu mau ngomong."
Jantung Ilvira seketika seperti tak berdetak. Matanya melirik ke arah parkiran dan mendapati Seno sedang berjalan masuk ke toko. Pria itu tampak tampan dan berwibawa dengan seragam batik yang dikenakan. Diam-diam, Ilvira menelan ludah dengan hati yang berdebar. Pesona Seno selalu berhasil membuatnya gugup dan salah tingkah, tetapi ia tak boleh lemah dan kecolongan hingga membuat dunia tahu jika ia masih menyimpan rasa.
"Ada Ivy? Tahu begitu tadi saya bungkus tiga tahu campurnya." Seno meletakkan bungkusan plastik di salah satu meja yang ada di pojok belakang toko, lalu kembali ke meja kasir dan meminta seorang pegawai menggantikan posisi ibunya dan Ivy. "Ayo makan dulu, punya saya biar untuk Ivy saja."
"Eh, gak usah, Mas. Ivy sudah makan tadi sepulang wawancara."
"Wawancara?" Seno menatap Ivy penuh atensi.
"Itu yang mau Ibu omongin sama kamu. Ivy wawancara kerja di hotel jadi resep—apa gitu namanya. Pulangnya bisa tengah malam atau pagi buta. Ibu gak suka bayangin Ilvira di jalan di jam-jam segitu. Ibu mau tanya sama kamu, gimana kalau Ivy bantu kamu kelola toko saja, biar kamu gak harus ke sini setiap jam istirahat dan pulang sekolah. Enak, kan?"
Seno menatap Ilvira. Tatapan yang membuat perempuan itu bergerak salah tingkah. Mata Seno terus mengamati Ilvira dengan wajah seakan menimbang ucapan ibunya.
"Gak usah, Mas. Ivy takut gak bisa. Gak apa, doakan Ivy keterima di hotel saja. Lagian, Ivy kan memang lulusan perhotelan dan kerjanya dulu juga di hotel."
"Ya sudah," jawab Seno seraya mengangguk. Lalu, pria itu berbalik dan menyiapkan tiga kursi di meja pojok toko, tempat dua porsi tahu campur terhidang. "Makan dulu. Kamu temani Ibu makan. Saya juga mau bicara."
"Eh, gimana?" Ilvira jadi bingung sendiri, tetapi badannya tetap melangkah mengikuti ibu Seno yang menariknya ke meja pojok toko.
Seno meletakkan dua mangkuk tahu campur yang ia beli, tepat di depan Ilvira dan ibunya. "Makan dulu." Lalu, pria itu bergerak menuju lemari pendingin dan mengambil tiga air mineral.
Ilvira terus memperhatikan gerak Seno hingga pria itu kembali ke meja dan membukakan tutup botol untuk dirinya dan ibu Seno. "Ini minum. Kalau mau minuman lain, ambil saja."
Ilvira tak enak hati. Ia meringis dengan wajah sungkan dan mengangguk pelan. "Makasih, Mas. Maaf merepotkan."
"Ayo lekas dimakan itu." Ibu Seno menegur Ilvira dan perempuan itu akhirnya menyendok tahu campur yang sudah lama tak ia nikmati sejak pergi dari kota ini.
"Tugas kerjanya sederhana. Selain melaporkan penjualan harian kepada saya, kamu juga nanti harus melaporkan apa saja yang harus kita pesan dari distributor dan agen, juga apa saja yang ditawarkan sales. Hanya itu. Nanti, akan saya dampingi kalau kamu masih kaku dan ragu, tapi saya yakin kamu mampu."
Ilvira yang baru saja mengunyah suapan pertama, berhenti dan menatap Seno penuh tanya. "Sebentar, ini Mas Seno ngomong apa?"
"Kamu ... minta gaji berapa?"
"Loh, bukannya tadi Mas Seno oke saat Ivy tolak permintaan Ibu?"
"Saya usahakan untuk bisa membayar sejumlah yang kamu minta, tapi tolong jangan tolak permintaan Ibu."
Ilvira jadi bingung dan semakin salah tingkah. Ia melirik pada ibu Seno yang tampak tak peduli dengan perbincangan Seno dengan dirinya. Perempuan itu asik menikmati tahu campur dan air mineral dingin yang tersaji di meja.
Setangkapnya ia tadi, Seno mengiyakan penolakannya. Jadi, Ivy menganggap bahwa mereka tak akan terikat dengan hal konyol seperti ini dan Ivy bisa bebas mencari pria baru untuk menggantikan sosok Seno di hatinya. Ivy bahkan berencana untuk mencari hotel yang agak jauh agar ia bisa jarang berada di rumah dan tak harus bertemu Seno.
"Toko ini buka jam sembilan dan tutup jam sembilan malam. Memang kamu akan tetap pulang malam, tetapi jarak toko dan rumah tidak jauh. Kamu bisa melaporkan ke saya pagi hari sebelum saya berangkat ke sekolah atau malam setelah tutup toko. Saya tetap bantu untuk tutup toko."
Entah mengapa Ilvira tak bisa berkata-kata. Ia mengambil air mineral dingin, lalu meneguk cairan itu sebanyak mungkin. Ini salah. salah. Ia tak boleh berada di hari-hari Seno.
"Mulai besok, ya, Vy. Kamu urus toko yang ini, Ibu urus toko yang di rumah. Satu toko lagi, biar tetap Seno. Syukur kalau kamu bisa urus dua toko."
"Tapi, Bu." Ivy mencoba menolak, tetapi bingung harus dengan kalimat apa.
"Tolong lakukan ini demi Ibu," pinta Seno dengan suara lembut dan tatapan mata yang tulus. Wajahnya menunjukkan jika pria itu sungguh-sungguh dengan apa yang diucapkan.
Melihat Seno yang duduk di sebelahnya, perasaan Ilvira jadi semakin tak karuan. Benarkah Seno memintanya untuk membantu toko demi Ibu? Lalu, bagaimana ia jika nantinya harus erhadapan langsung dengan Seno setiap hari?
"Ibu sudah tua. Saya tidak tega jika beliau masih terus keliling toko membantu saya. Saya usahakan untuk membayar kamu dengan gaji yang bagus."
"Bukan masalah gaji, Mas," erang Ilvira lirih. Ia ingin mengatakan jika masalahnya justru ada pada tugas kerja yang mengharuskannya bertemu Seno setiap malam atau setiap hari.
"Kalau begitu, saya anggap kamu setuju." Senyum Seno terlengkung simpul. Wajahnya yang tampak berkharisma itu, berhasil membuat hati Ilvira berdebar lagi. Rahang Seno tempak tegas, tetapi tak membuat wajah pria itu terlihat menyeramkan. Ada sebersit kenyamanan yang bisa Ilvira rasa setiap menatap Seno, apalagi jika pria itu tengah tersenyum seperti ini.
"Mulai besok loh, Vy. Wes sekarang habiskan makanmu. Ibu sudah selesai dan mau lanjut bantu hitung belanjaan pelanggan." Ibu Seno beranjak dari meja, lalu masuk ke sebuah ruangan yang Ilvira yakin kamar mandi atau tempat cuci piring.
Mereka hanya berdua sekarang. Ilvira canggung dan bergerak kikuk. "Ehm ... terima kasih, ya, Mas. Maaf merepotkan."
"Lima juta cukup kan, Vy? Kalau kurang, saya tambahi."
"Gak usah," tolak Ilvira seraya menggeleng pelan. "Cukup kok. Bahkan lebih dari cukup. Ivy jadi gak enak sama Mas Seno."
Seno tersenyum lagi dan dada Ilvira berdebar lagi. "Selamat datang, Ilvira." Senyum itu singkat terlengkung, tetapi mampu membuat waktu Ilvira membeku.
****
Logika Rasa sudah tamat di KBMapp , yaaa ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top