Lockdown
Kebosanan melanda Taufan dan Blaze karena Lockdown yang diberlakukan di Pulau Rintis. Terdorong rasa bosan itu mereka mengajak saudara-saudara mereka untuk nekat jalan-jalan keluar rumah. Akankah Gempa dengan bantuan Yaya dan Amato mampu mencegah saudara-saudaranya bertindak gegabah?
Author note:
-Seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam karakter-karakternya. Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.
-Percobaan pertama membuat straight pair (Taufan-Yaya) dengan segala kekurangannya. Author bukan manusia sempurna.
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut dari yang tertua:
Boboiboy Halilintar: 17 tahun.
Boboiboy Taufan: 17 tahun.
Boboiboy Gempa: 17 tahun.
Boboiboy Blaze: 16 tahun.
Boboiboy Thorn: 16 tahun.
Boboiboy Ice: 15 tahun.
Boboiboy Solar: 15 tahun.
.
.
Lockdown.
-Brrrt .... Brrrt .... Brrrt ....-
Sebuah ponsel yang berada di atas sebuah meja belajar bergetar. Sebuah tangan langsung menyambar ponsel itu dan mematikan alarm getarnya.
"Jam enam pagi .... Tepat waktu," gumam si pemilik ponsel itu sebelum ia memasukkan alat komunikasi itu ke dalam saku celana pendek hitamnya.
Di tengah kegelapan pagi di dalam kamarnya, seorang remaja tengah duduk di atas ranjangnya. Beberapa kali ia membungkukkan tubuhnya dan meraih sesuatu dari bawah ranjang.
Sepasang sepatu kini terpasang pada kedua kaki remaja itu, walaupun ia masih berada di dalam kamar tidurnya. Beberapa kali ia menghentakkan kedua kakinya dan memastikan sepatunya itu terpasang dengan nyaman. Sebuah jaket hitam di atas kaus armless merah ikut melengkapi penampilannya pada pagi-pagi buta hari itu.
Persiapan pun selesai. Remaja berusia belasan tahun itu bangkit dari ranjangnya tanpa bersuara. Dengan perlahan dan hati-hati ia melangkahkan kakinya menuju pintu kamar.
Tanpa bersuara remaja itu membuka pintu kamarnya dan menengokkan kepalanya keluar melalui celah daun pintu yang terbuka.
"Aman," gumam remaja itu dengan suara lembut. Tidak ada seorang pun yang berada di lorong lantai dua rumahnya itu.
Sepatu yang terpasang di kedua kaki remaja itu meredam suara langkahnya ketika ia mengendap-endap melintasi lorong lantai dua rumahnya itu. Bahkan tidak ada suara yang terdengar ketika ia menuruni tangga rumahnya.
"Kamu telat ...." Di lantai pertama rumah itu telah menunggu seorang remaja lagi. Di dalam kegelapan pagi-pagi buta, sosok kedua remaja itu nyaris identik, hanya berbeda tinggi saja.
"Telat satu menit. Ayo kita beraksi," bisik remaja yang baru saja menuruni anak tangga terakhir.
Tidak ada jawaban dari remaja yang sudah lebih dahulu menunggu. Tanpa berkata-kata lagi keduanya langsung berjalan berdampingan menuju pintu depan rumah mereka.
"Tunggu," ucap seorang dari mereka. Dia mengeluarkan sebuah botol semprotan kecil yang isinya langsung disemprotkan sedikit pada gagang pintu yang hendak mereka putar.
"Astaga, virusnya 'kan dari luar, bukan dari dalam-"
"Hey, kita ngga tahu. Mendingan waspada."
Baru saja salah satu dari keduanya hendak membuka kunci pintunya ketika ....
"Ayo, mau kemana kalian berdua?!" Terdengarlah suara tegas orang ketiga seiring dengan lampu bagian dalam rumah yang mendadak menyala.
"Alamak! Ki-kita kepergok!"
Pada anak tangga terakhir berdirilah dua orang remaja lagi. Yang satu bernetra cokelat dan yang satu lagi bernetra merah. Halilintar dan Gempa berhasil memergoki kedua saudaranya yang hendak pergi keluar rumah pada pagi hari itu.
"Mau kemana kau Taufan, Blaze?" tanya Halilintar sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa pula kamu pakai baju dan jaketku, Taufan?"
Taufan hanya bisa terkekeh gugup sambil menggaruki bagian belakang kepalanya yang tidak terasa gatal. "Aku ngga lihat, gelap sih."
"Kita ... ah ... ada urusan?" Jawaban yang keluar dari mulut Blaze malah terdengar seperti pertanyaan balik diantara tawa gugupnya yang sangat tidak meyakinkan.
Gempa menarik napas panjang dan mendadak wajahnya terlihat menua beberapa tahun. "Kalian tahu 'kan diluar sana ada apa?"
Taufan dan Blaze terdiam beberapa saat lamanya. Keduanya saling bertatapan, bertukar kata-kata yang tidak terucap melalui pandangan mata mereka.
"Jalanan yang sepi, cocok untuk jalan-jalan pagi sebelum ke mall," jawab Blaze.
"Begitu? Kenapa harus pagi-pagi begini?" tanya Gempa dengan kedua tangan yang mulai mengepal.
"Supaya ngga macet?" Gantian Taufan yang menjawab.
Jawaban asal-asalan Taufan itu membuat sebuah perempatan urat mendadak muncul di pelipis Gempa. "Oooh. Supaya ngga macet." Sebuah senyuman manis pun mengulas di wajah Gempa. Di balik senyuman manis itu menguarlah aura gelap yang mencekam.
"Coba sini kalian berdua," desis Gempa diantara kedua rahangnya yang kaku. "Biar kupendekkan hidup kalian. Lumayan aku bisa irit biaya beli makanan."
Taufan dan Blaze kompak meneguk ludah. Senyuman Gempa yang tidak sinkron dengan aura gelap yang menguar darinya itu membuat Taufan dan Blaze semakin tidak nyaman.
Mendadak sebuah tangan membentang di depan Gempa. Tangan itu menghentikan Gempa yang hendak berjalan mendekati Taufan dan Blaze. "Sudah ...." Halilintarlah yang menghentikan Gempa. Tidak seperti biasanya, tatapan netra merah rubinya yang legendaris itu memancarkan kelembutan dan kehangatan.
"Kalian tahu 'kan ada apa di luar sana?" tanya Halilintar dengan suara yang lembut.
Baru saja Taufan membuka mulutnya untuk menjawab sekenanya pertanyaan Halilintar itu, namun tatapan lembut si kakak tertua kali itu berhasil menghentikan Taufan dan membuatnya berpikir dahulu sebelum menjawab.
"I-iya, aku tahu, Hali," keluh Taufan setelah menarik napas panjang. Keceriaan yang biasa terpancar dari aura dan bahasa tubuh Taufan perlahan memudar. Alis mata yang biasanya selalu melengkung ke atas kini menjadi hampir datar.
"Tapi kita bosan di rumah terus Kak." Blaze menyambung kata-kata Taufan. Bahkan Blaze yang biasanya sering berbuat nekat kali ini hanya berdiam diri di tempat sembari menatap Halilintar dan Gempa secara bergantian.
"Blaze, Taufan," panggil Halilintar dengan suara yang masih tetap lembut. "Aku tahu kalian pasti bosan. Aku juga bosan-"
"Nah makanya." Mendadak Taufan mengamit dan menarik tangan Halilintar. "Biar kamu ngga bosan, ayo jalan-jalan berdua denganku. Mumpung belum lockdown total," sambung Taufan dengan senyuman yang mendadak kembali mengembang.
"A-apa ini?" Halilintar terkejut ketika ia ditarik-tarik oleh Taufan menuju pintu depan rumah. "Oee Taufan! Aku belum mandi!" ketus si kakak tertua sembari melawan tarikan Taufan.
Gempa yang melihat kelakuan kedua kakaknya itu kontan menepuk dahi. "Astaga Happy Virus sama Tsundere ini," keluh Gempa yang mendadak merasa lelah. "Hey, hey! Kalian 'kan tahu diluar keadaanya lagi berbahaya!"
"Jangan khawatir, Kak." Kali ini Blaze yang angkat bicara. Dari dalam saku celananya Blaze mengeluarkan peralatan tempurnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar masker medis, Tiga botol spray kecil berisikan cairan bening, dan sebungkus tissue. "Aku sudah persiapkan semuanya," ucap si adik yang bernetra oranye itu lengkap dengan senyuman penuh kebanggaan.
"Makanya, kita sudah siap sedia semuanya," sambung Taufan. Dia masih saja menarik-narik Halilintar seperti hendak memandikan seekor kambing. "Ayolah Haliii, kita jalan-jalan."
Halilintar melawan dengan mengaitkan tangannya yang sebelah lagi pada rel tangga rumah. "Ish Taufan! Aku belum mandi!" ketus Halilintar yang sangat enggan menuruti kemauan adiknya itu.
"Mumpung libur! Kedai kita juga tutup!" Tidak terlihat tanda-tanda bahwa Taufan akan menyerah begitu saja, sebaliknya ia semakin kuat menarik-narik Halilintar.
"Lho? Lalu kalau kamu jalan sama Kak Hali, aku bagaimana?" tanya Blaze yang menyaksikan adegan tarik menarik antara Taufan dan Halilintar.
"Kamu 'kan bisa jalan dibelakangku dan Halilintar."
Wajah Blaze pun mendadak cemberut. "Oh? Lalu aku jadi nyamuk, gitu? Enak saja!" ketus Blaze dengan bibir monyongnya. Dengan langkah yang cepat, Blaze langsung melangkahkan kedua kakinya menuju tangga rumah.
Sesaat setelah Blaze menaiki tangga rumah terdengarlah suara keributan kecil.
"Ah! Blaze! Aku mau tidur!"
"Bangunlaaaah. Temani aku jalan-jalan!"
"Ngga mau! Ini masih pagi-pagi buta raya! Aku mau tidur!"
"Alaaaah. Bangunlaaaah!"
"Ngga mau! Aku belum tidur dari semalam!"
Sebuah sweatdrop menitik di kepala Gempa dan Halilintar. Siapapun yang dipaksa oleh Blaze terdengar sangat tidak rela menemani Blaze jalan-jalan.
"Ayolaaaah!' Terlihatlah Blaze menuruni tangga sembari menarik-narik tangan seorang adiknya.
"Kenapa harus aku sih? Ajak Thorn saja, lah." Terdengarlah protes yang meluncur dari mulut orang yang ditarik-tarik oleh Blaze. Manik netra aquamarine dari orang itu sesekali terlihat dari kelopak matanya yang masih belum membuka sepenuhnya.
"Thorn lagi banyak PR sekolah. Ayolah Ice, temani aku biar aku ngga jadi nyamuk doang," pinta Blaze lagi.
Gempa menggelengkan kepalanya. Dia menghela napas panjang saja melihat Blaze yang menyeret-nyeret Ice. Apalagi Ice yang baru saja dibangunkan dengan paksa itu masih memakai kaus singlet dan celana pendek saja. Belum lagi garis-garis bekas lipatan bantal masih jelas tercetak di wajah Ice dan jangan lupakan rambut yang masih kusut.
"Aku ngga mau!" ketus Ice sebelum ia menarik tangannya lepas dari tangan Blaze. Setelah tangannya terlepas, Ice langsung berjalan kembali ke kamarnya dengan mulut monyong yang komat-kamit melampiaskan kekesalan karena dipaksa bangun oleh kakaknya yang bernetra oranye itu.
"Yahhh Ice," keluh Blaze. DIa hanya bisa melihat ke arah Ice yang menaiki tangga rumah dengan bersungut-sungut.
Tak lama berselang turunlah adik mereka semua yang terkecil, Solar dari lantai dua rumah mereka. Nampak Solar mengenakan kaus lengan pendek abu-abu yang sedikit lusuh pagi itu.
"Ada apa sih pagi-pagi sudah berisik?" tanya Solar setibanya ia di lantai dasar rumahnya. "Kak Taufan pakai bajunya Kak Hali pula?"
"Kakak sengklekmu ini mau pergi jalan-jalan Solar," Gempa menjelaskan, "Soal Taufan pakai bajunya Halilintar, aku sendiri ngga mengerti."
"Lah?" Kedua kelopak mata Solar membelalak setelah ia mendengar jawaban Gempa. "Katanya dilarang keluar rumah?" tanya Solar sembari menatap kesemua kakak-kakaknya yang tengah berkumpul di ruang tengah rumah mereka.
"Mem-"
"Tunggu, aku mandi dulu kalau begitu. Aku ikut!" Tanpa mendengar kata-kata Gempa sampai selesai, Solar langsung berbalik badan dan berlari menaiki tangga rumah untuk kembali ke kamarnya.
Tidak sampai lima menit berlalu dan Solar pun sudah kembali berada di ruang tengah. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan sebelum mandi dan ia sudah memakai pakaian yang baru dan bersih. Namun ada satu hal yang mencolok ....
"Solar, kamu mau maju perang atau jalan-jalan?" Sesuatu yang mencolok di wajah Solar menarik perhatian Taufan. "Aku tahu kalau keluar rumah harus pakai masker, tapi ngga begitu juga."
Solar melepaskan topeng masker gas berpenyaring yang menutupi seluruh wajahnya. "Supaya aman," jawab Solar setelah topeng masker yang tadinya melekat di wajahnya dilepaskan. Solar mengatur sabuk karet pada topeng masker itu supaya lebih nyaman dipakai sebelum ia kembali memakaikan topeng masker itu di wajahnya.
"Ya, sangat aman, Solar," sindir Halilintar dengan bibir yang berkedut-kedut menahan tawa. "Kamu mau jalan-jalan ke Chernobyl? Dipanggil Mikhail Gorbachev?"
Geraman Solar terdengar tidak seperti biasanya dibalik topeng masker yang dikenakannya. "Jangan cari aku kalau kalian ketularan." Bahkan suara Solar terdengar berbeda dibalik topeng masker yang dikenakannya.
"Sudah, sudah jangan nakut-nakutin." Taufan menengahi Solar dan Halilintar sebelum kedua saudaranya itu beradu mulut. "Ayo kita pergi," ucap Taufan sembari membuka pintu depan rumah.
"Hey, aku belum mandi!" ketus Halilintar ketika ia kembali ditarik-tarik oleh Taufan.
"Ya sudah, Kak Hali buruan mandi deh," saran Blaze yang sudah terlihat tidak sabar ingin meninggalkan rumah. Bahkan di adik yang bernetra oranye itu mendorong-dorong Halilintar menuju tangga rumah.
Didesak dua orang, akhirnya Halilintar mengalah. Dengan langkah berat ia berjalan menaiki tangga rumah dan kembali le kamarnya.
Saat Halilintar mandi, Gempa mencoba untuk mencegah Taufan dan adik-adiknya yang lain untuk pergi ke luar rumah. "Taufan, lebih baik kamu jangan pergi-pergi dulu deh." Gempa berusaha membujuk kakaknya. "Kita ngga tahu orang yang kena corona dan yang ngga."
"Tenang, Gem," ucap Taufan dengan nada yang dibuat sangat meyakinkan. "Aku dan Blaze sudah mempersiapkan segalanya, ya 'kan Blaze?"
Blaze langsung menyambung alasan Taufan. "Ya Kak Gem. Aku 'kan sudah bawa semua peralatan." Kembali Blaze memperlihatkan perlengkapan yang dibawanya mulai dari botol berisikan alkohol sampai masker. "Bahkan ini isinya alkohol sembilan puluh persen."
"Tunggu," sahut Solar ketika ia mendengar penjelasan Blaze. "Dapat darimana kamu alkohol itu?" tanya Solar sembari melirik tajam kepada Blaze.
"Ah ... itu." Blaze terkekeh gugup. "Aku pinjam sedikit dari botol yang ada di mejamu."
"Pantas stok alkoholku cepat surutnya," ketus Solar sembari bertolak pinggang. "Mana ada pinjam alkohol? Yang ada habis kamu ambil!"
"Sudahlah ... jangan keluar rumah, bahaya." Gempa masih tidak yakin akan keputusan Taufan dan Blaze itu.
"Bosan di rumah melulu, Gem," keluh Taufan. "Aku yakin kamu juga bosan, 'kan? Ayo mengakulah."
Gempa menghela napas panjang. Apa yang dikatakan kakaknya itu ada benarnya. Sudah beberapa hari berlalu sejak mereka memutuskan untuk tutup kedai sementara ketika korban virus corona di negara mereka semakin bertambah. Sejak tutup kedai itu Gempa dan semua saudara-saudaranya praktis tidak pernah keluar rumah apalagi stok persediaan makanan dan barang-barang kebutuhan lain sudah disiapkan untuk beberapa minggu ke depan.
"Nah ayo, Taufan." Suara Halilintar yang sudah selesai mandi dan menuruni tangga memecah lamunan Gempa.
"Lho, Hali? Kamu jadi pergi dengan Taufan? Dengan Blaze dan Solar juga?" tanya Gempa yang tidak percaya bahwa kakaknya yang tertua itu malah jadi ikut pergi dengan Taufan.
Halilintar memberikan anggukan kecil pada Gempa. "Ya. aku juga bosan di rumah. Jalan dengan Taufan pun jadilah," ucap si kakak tertua sembari beranjak menyusul Taufan yang sudah lebih dahulu keluar dari rumah.
"Kami jalan dulu ya, Kak." Blaze yang menggandeng Solar pun melambaikan tangannya kepada Gempa ketika ia berjalan menyusul Halilintar dan Taufan.
"Astaga! Hey! Sini kalian! Jangan keluar!" Melihat bujukan lembutnya tidak membuahkan hasil, Gempa pun mengubah strategi. Aura gelapnya menguar, lengkap dengan tatapan netra cokelatnya yang tajam bagaikan parang.
Bahkan Blaze dan Solar yang paling akhir melangkah keluar dari rumah pun bisa merasakan hawa gelap Gempa menggelitiki tengkuk mereka. "CABUUUUT!" perintah Blaze kepada Solar, sekalian kepada Halilintar dan Taufan.
Keempat bersaudara itu sengaja sekali lari berpencar untuk menghindar dari amukan Gempa. Sehebat-hebatnya Gempa, tidak mungkin ia membelah diri menjadi empat.
Menyadari bahwa sia-sia saja mengejar keempat saudaranya itu, Gempa langsung menghentikan pengejaran. "Awas kalian kalau pulang nanti!" ketus Gempa diantara napasnya yang terengah-engah.
Halilintar, Taufan, Blaze, dan Solar yang sempat dikejar oleh Gempa tidak lagi berlari. Keempatnya kini berjalan santai setelah mengetahui bahwa Gempa telah menghentikan pengejarannya. Jarak mereka dengan rumah pun semakin jauh namun Blaze menyempatkan diri untuk melihat ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang mengejar mereka.
"Aman," ucap Blaze setelah yakin bahwa Gempa tidak lagi mengejarnya dan ketiga saudara-saudaranya yang lain.
"Akhirnyaaaa." Taufan menarik napas panjang dengan dada yang terbusung. "Aaahhhh ... nikmatnya udara luar."
"Baru empat hari Fan," komentar Halilintar yang melihat betapa bahagianya Taufan bisa berada di luar rumah. "Masih belum jelas sampai berapa lama urusan virus corona ini, 'kan?"
"Sebelumnya ...." Solar berceletuk sambil mencolek pinggang kedua kakak tertuanya yang berjalan berdampingan. "Pakai masker dulu lah, biar aman," lanjut Solar sembari menunjuk ke arah Blaze yang membawa masker. Solar sendiri masih memakai topeng masker gas berpenyaring udara miliknya.
Blaze yang ditunjuk oleh adiknya itu langsung membagi-bagi masker yang dibawanya kepada Halilintar dan Taufan. Tidak lupa Blaze mengoper sebotol cairan bening yang berisikan alkohol kepada kedua kakaknya itu.
"Tararengkyu Blaze," ucap Taufan sebelum membersihkan tangannya dengan alkohol. Kemudian ia mengenakan masker pemberian Blaze itu sampai menutupi setengah wajahnya.
"Bilang thank you saja lah Fan.... Geli aku mendengar kamu pakai bahasa alay begitu," ucap Halilintar selagi ia mencuci tangan dengan menggunakan alkohol. "Atau bahasa inggrismu memang jeblok?" Halilintar langsung menyindir Taufan selagi ia memasang masker pada wajahnya.
"Enak saja! Aku fasih Bahasa Inggris!" ketus Taufan yang tidak terima direndahkan begitu saja.
"Why don't you prove it then, dear brother?" tantang Halilintar dengan menggunakan bahasa Inggris. Logat dan pengucapan Halilintar terdengar sempurna bahkan sampai lafal huruf r yang sedikit ditekan dan dipanjangkan seperti layaknya gentleman Inggris. "Come on laddie. I dare ye to speak English." Bahkan Halilintar mampu mengubah logat Inggrisnya menjadi Skotlandia.
Blaze dan Solar yang mengekor di belakang pun terlihat tertarik menyaksikan duel bahasa asing kedua kakaknya itu. "Wah pasti seru nih!" komentar Solar yang dengan antusias.
Di lain sisi, Blaze malah tersenyum-senyum sendirian. "Kamu tahu betapa rusaknya bahasa Inggrisku, Solar. Kamu pikir aku belajar dari siapa?"
Solar tidak sempat bertanya lebih lanjut karena ....
Taufan berdehem beberapa kali untuk membersihkan tenggorokannya. "Saksikanlah!" Bahkan dari air mukanya terpancar keyakinan Taufan yang mendalam akan kemampuannya dan mulailah ia memamerkan ilmu linguistiknya. "English so easy laaah. You just talk, talk, talk, talk, talk, laidat (like that)!"
Reaksi yang diterima Taufan beragam. Blaze tertawa terpingkal-pingkal selepas mendengar Taufan berceloteh bahasa Inggris. Di lain sisi, Solar dan Halilintar tercengang mendengar kepiawaian Taufan berbahasa Inggris itu.
"Bloody hell ... that is not how you speak English, Taufan," keluh Halilintar yang masih belum hilang shocknya. "English must be spoken properly, Taufan. Speak like a proper British sire."
"Alaaah, you so ah beng (ah beng= norak), Hali. Don't play play laaah," balas Taufan lagi. "I understand, you understand. We same same understand lah."
"British English, too long," cerocos Taufan lagi sembari menggelengkan kepalanya. "Speak laidis (like this) better lah, more simple ah?"
"Uh ... Kak Taufan, how are you?" Solar ikutan menjajal bahasa Inggrisnya.
"Fine fine oke. You also good?" balas Taufan kepada Solar sembari tersenyum.
Jawaban Taufan itu membuat Solar dan Halilintar serempak menepuk dahi. "Barbar sekali ...," komentar Solar yang menyesal telah mengajak Taufan berbahasa Inggris. "Kak Taufan, can you speak proper English?"
"Doewaan (don't want) ah," jawab Taufan. "Speak laidis better lah, no waste time."
Halilintar menggelengkan kepalanya. "Duh Taufan. Ngga heran bahasa Inggrismu jeblok. Pakailah British English atau American English .... Jangan Malaysian English atau Singapore English begitu."
Wajah ceria Taufan mendadak bertukar cemberut lengkap dengan bibirnya yang monyong. "Padahal bahasa Inggrisku not bad lah. Ulanganku bahasa Inggrisku selalu dapat B."
"Kamu beruntung, Yaya, pacarmu itu mau membantu kamu belajar bahasa Inggris," celetuk Halilintar. "Aku belajar sendiri, pacarku yang-"
"Nah mulai deh bahas-bahas pacar," gerutu Solar yang menyimak dari belakang.
"Ya, pikirkan kita juga yang masih jomblo dong!" Blaze menambahkan gerutuan adiknya itu.
"Cari pacar sana, faktor imutku pasti juga turun ke kalian." Komentar Taufan tidak membuat perasaan Blaze ataupun Solar menjadi lebih baik. Sebaliknya, keduanya malah terlihat semakin kesal. Oleh karena itulah Blaze meluncurkan jari telunjuknya ke arah tengkuk si kakak.
"HIAAAA!" Jeritan Taufan yang cempreng pun membahana. Rambut-rambut halus pada tangan dan tengkuknya kontan berdiri sementara tubuhnya bergidik menggigil. "Blaze kutukarpet ... kutukupret!" jerit Taufan latah sembari menggosok-gosok lengannya yang penuh dengan rambut halus yang berdiri tegak.
Halilintar yang melihat perbuatan Blaze itu pun ikut tersenyum, walaupun senyumnya itu lebih tepat disebut seringaian. "Ooohhh ... jadi itu kelemahanmu, Taufaaan," ucap Halilintar dengan melagu di tengah seringaiannya. "Ya, ya, ya ...," gumam Halilintar sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ja-jangan mikir yang aneh-aneh!" ketus Taufan sembari menunjuk Halilintar dengan jari yang gemetaran. Bahkan Taufan mencoba membuat jarak sejauh mungkin dengan Halilintar.
Dalam sebuah momen yang langka Halilintar tersenyum semakin lebar. Bibir si kakak tertua berkedut beberapa kali sebelum gelak tawanya pecah membahana. "Astaga! Taufan! Kelemahanmu!" seru Halilintar di antara tawa yang tidak kunjung berhenti.
Tentu saja Taufan semakin cemberut mengikuti gelak tawa dan cekikikan Halilintar. "Teruslah tertawa, nanti malam kupecahkan balon di depan mukamu!" ancam Taufan dengan nada yang sangat serius.
Ancaman itu cukup untuk membuat tawa Halilintar mendadak berhenti. "Jangan!" Tidak perlu pengamatan super tajam untuk melihat gerak-gerik Halilintar yang mendadak gelisah.
"Sudah, sudah, sudah. Jangan diteruskan." Solarlah yang melerai kedua kakak tertuanya. Hal terakhir yang ia inginkan adalah Taufan yang dibanting di tengah jalan oleh Halilintar atau Halilintar yang dikejar-kejar oleh Taufan bersenjatakan balon. "Lebih baik kita cari bus untuk ke kota."
Saran Solar yang rasional itu diterima dengan baik oleh Halilintar, Taufan dan Blaze. Keempat bersaudara itu langsung mencari halte bus yang terdekat dan menunggu kendaraan transportasi publik yang akan membawa mereka berempat ke kota. Tidak mengherankan bahwa di halte bus itu kini hanya ditunggui oleh keempat bersaudara kembar.
Efek dari lockdown yang tengah dijalankan terlihat dengan jelas. Aspal hitam yang menjadi pembuluh urat nadi kehidupan Pulau Rintis yang biasanya dipenuhi dengan lalu lalang kendaraan kini nyaris tidak bernyawa. Kekerapan kendaraan pribadi melintas di atas aspal hitam jalan raya Pulau Rintis itu sangatlah rendah jika dibandingkan dengan biasanya.
Tidak berapa lama terdengarlah suara sirene yang memecah keheningan. Dari kejauhan terlihat sebuah mobil berwarna putih dengan lampu berwarna merah yang menyala-nyala di atapnya. Semakin dekat mobil itu dengan halte bus dimana keempat bersaudara itu tengan menunggu bus umum maka semakin jelas terdengar pula raungan sirene dari mobil berwarna putih itu.
"Ambulans," bisik Halilintar ketika ia melihat palang merah yang menghiasi seluruh sisi-sisi mobil berwarna putih yang dilihatnya. Jarak yang seakin mengecil antara halte bus dan mobil itu membuat Halilintar menarik kesimpulan bahwa ambulans yang tengah dilihatnya itu melaju dengan kecepatan penuh. Halilintar bahkan bisa merasakan hembusan angin akibat udara yang diterjang dan dibelah oleh ambulans berkecepatan penuh itu.
"Sepertinya gawat darurat," komentar Taufan ketika ambulans itu berlalu melewati halte dimana ia dan ketiga saudaranya tengah menunggu bus umum.
"Ngga hanya satu, lihat sana." Blaze menunjuk ke arah datangnya ambulans yang baru saja melewati halte bus tempatnya berdiri.
Benar saja, sebuah lagi ambulans yang tengah melaju terlihat di ujung jalan raya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ambulans yang terlihat di ujung jalan raya itu tidak sendirian. Beberapa buah mobil dengan lampu yang menyala penuh mengekor di belakang ambulans dengan kecepatan yang sama lajunya.
"Itu bukan ambulans," ucap Solar dengan suara yang sedikit tercekat. "Ambulans tidak ada yang berwarna hitam begitu."
Serempak Halilintar, Taufan, dan Blaze meneguk ludah. Ketiganya kini melihat dengan jelas bahwa ambulans yang memang berwarna hitam itu bukanlah ambulans biasa.
"Kereta jenazah," ucap Halilintar setelah ambulans berwarna hitam itu melaju melewati halte bus. "Uh ... Taufan, kita pulang saja deh." Pandangan merah rubi Halilintar masih terpaku pada ambulans jenazah yang baru saja berlalu.
"Ta-tapi tanggung kalau pulang sekarang." Kini Taufan mulai meragukan keputusannya untuk pergi keluar rumah. "Kamu mau diamuk Gempa?"
Sejenak Halilintar terdiam. Di dalam batinnya ia mempertimbangkan pilihan yang terpapar. Antara ia melanjutkan jalan-jalan bersama ketiga adik-adiknya dengan resiko terpapar virus corona yang sedang mewabah atau pulang ke rumah dan menghadapi Gempa yang pasti akan merepet.
"Sebaiknya kita-"
Halilintar tidak sempat menyelesaikan kata-katanya karena ia melihat Taufan yang berdiri di sampingnya itu meringis-ringis kesakitan.
"ADAW! ADUH! AHH TELINGAKU!" jerit Taufan kesakitan sembari berjingkrak-jingkrak.
Tidak heran Taufan menjerit-jerit seperti itu, karena dibelakangnya telah berdiri sesosok perempuan berjilbab pink dengan menenteng sebuah sapu. "Angin BoBoiBoy Taufan Bin Amato! Ngapain kamu keluar keluyuran, hah?!" bentak gadis itu tanpa melepaskan jari tengannya yang tengah menarik dan memutar daun telinga Taufan.
"Alamak! YAYA?!" Taufan yang mengenali suara gadis itu langsung pucat pasi. Walaupun tertutup masker, Taufan mengenali paras wajah gadis berjilbab itu.
Tidak hanya Taufan yang memucat. Halilintar pun terlihat pucat pasi dengan tenggorokan yang berkedut menelan ludah. "Alamak ... Yaya?"
"Bagus, Halilintar," desis Yaya. Sorotan netra cokelat gadis berjilbab itu seakan cukup tajam untuk melubangi dahi Halilintar. "Sudah dibilang jangan keluar rumah, jaga adik-adikmu. Tapi kamu malah jalan-jalan?!"
"I-ini ide Taufan!" Halilintar yang enggan diamuk oleh Yaya langsung menunjuk pada Taufan. Keringat dingin pun mulai menitik di wajah Halilintar yang pucat pasi.
Sebetulnya yang membuat Halilintar, Taufan, bahkan Blaze dan Solar ketakutan bukanlah Yaya dan saja. Keempatnya melihat pula sesosok pria paruh baya berdiri di belakang gadis itu.
"Mampuslah kita," lirih Blaze. Dia mengenali pria yang berdiri di belakang Yaya. Sejumput surai putih di antara rambut hitam di kepala pria paruh baya itu membuat Blaze langsung mengenali pria itu walaupun masker menutupi sebagian wajahnya.
Solar ikutan meneguk ludah. Wajahnya yang pucat tersembunyi dibalik topeng masker yang ia kenakan. "A-ayah," cicit Solar dengan suara yang mendadak serak.
"Ya, Gempa memberi tahu ayah dan Yaya kalau kalian berempat keluyuran keluar rumah." Kekecewaan tersirat dibalik nada suara sang ayah yang datar. "Ayo, pulang kalian semua ...."
Tidak ada dari Halilintar, Taufan, Blaze atau Solar yang berani memprotes perintah sang ayah yang terdengar sangat mutlak untuk dilaksanakan. Keempatnya langsung melangkahkan kaki menulusuri jalan kembali ke rumah mereka dengan dikawal oleh dua orang yang sangat tidak senang dengan perbuatan mereka.
Sepanjang perjalanan pulang, Taufan yang didampingi Yaya mencoba memperbaiki situasi. "Ma-Maaf Yaya," ucap Taufan yang mencoba memulai pembicaraan walaupun dengan kepala tertunduk. Netra biru safirnya menatap turun tanpa berani memandang Yaya yang berjalan di sebelahnya.
"...." jawab Yaya. Gadis itu mempercepat langkahnya seakan tidak memedulikan Taufan yang mencoba memulai komunikasi.
"Yayaaaa ...." Tidak menyerah begitu saja, Taufan kembali memanggil gadis berjilbab pink itu. "Yayaku sayaaaang," panggil Taufan lagi dengan suara yang sedikit lirih dan melagu.
Tepat pada saat Yaya berbalik dan menatapnya, Taufan langsung merapal jurus andalannya. Senyum khas Taufan lenyap, digantikan bibir yang gemetaran dan melengkung ke bawah. Kedua netra biru safirnya yang biasanya terlihat ceria kini terlihat nyaris berkaca-kaca ditambah dengan kedua alis matanya yang melengkung ke bawah. Sebuah jurus yang dipelajari Taufan dari adiknya.
Yaya yang melihat Taufan memasang tampang memelas seperti itu langsung menarik napas panjang. Beberapa saat lamanya Yaya berdiam diri dan menatap kekasihnya yang bernetra biru safir itu. 'Duh FanFan, kenapa kamu harus pasang tampang seperti Thorn begitu sihh,' keluh Yaya di dalam batinnya.
Netra cokelat Yaya pun beradu pandang dengan netra biru safir Taufan. Sorot mata Yaya yang semakin tajam dibalas Taufan dengan mata yang semakin membulat. Kedua insan itu saling beradu tatapan mata sebelum akhirnya ....
"Astaga kamu ini FanFan," keluh Yaya setelah menarik napas panjang. Mimik cemberut di wajah gadis berjilbab pink itu pun perlahan memudar.
"FanFan?" celetuk Halilintar yang mencuri dengar adiknya yang tengah berusaha mengambil hati Yaya.
"Lebih bagus daripada Lilin," ketus Taufan dan Yaya nyaris bersamaan. "Ngga cocok untuk seorang tsundere macam kamu, Lin," tambah Taufan lagi sebelum mengembalikan perhatiannya kepada Yaya.
Baru saja Halilintar akan berkomentar sebelum sebuah tarikan pada daun telinganya menghentikan kata-katanya. "Coba lebih serius sedikit," desis Amato dengan daun telinga Halilintar yang sudah terjepit di antara kedua jarinya.
Tidak ada yang melihat senyuman sinis mengulas di wajah Taufan ketika ia melihat si kakak tertua mendapat hadiah jeweran dari sang ayah, apalagi senyuman sinis penuh kepuasaan itu hanya berlangsung sepersekian detik saja
"Ehem." Taufan berdehem sebelum ia menatap pada Yaya yang berjalan di sebelahnya. "Maaf kalau membuat kamu khawatir," ucap Taufan dengan suara yang lembut.
"Pastilah aku khawatir," balas Yaya namun dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya. "Kamu tahu sudah berapa banyak orang yang jadi korban virus corona ini 'kan?"
"Ehm ... sekitar dua ratusan?"
Yaya memutar bola matanya ke atas setelah mendengar jawaban Taufan yang kurang lebih asal-asalan itu. "Kurang nol nya satu, FanFan ... dua ribu orang bahkan lebih."
Jawaban Yaya itu membuat Taufan refleks menggaruki pipinya yang sebetulnya tidak gatal. "Oh? Iyakah?" tanya Taufan sambil terkekeh. "Aku ngga tahu."
Secara spontan Yaya menepuk dahinya. "Makanya jangan nonton drama Korea melulu dong sayaaaaang," keluh gadis berjilbab pink itu menghadapi si kekasih yang terkadang memang mengesalkan. Saking mengesalkannya kelakuan Taufan sampai Yaya mendaratkan sebuah cubitan gemas di pipi Taufan.
"Ata! Adaw! Atatata! Sakiiiit!" rengek Taufan kesakitan. "Ahhh ampun Yayaaaaa!"
Setelah puas barulah Yaya melepaskan cubitannya dari pipi si kekasih yang kini terlihat berwarna kemerahan. "Cobalah lebih peka sedikit, FanFan ...."
"Aku bosan di rumah terus Yaya," keluh Taufan. "Yang kulihat tiap hari cuma Hali, Gempa, Thorn, Blaze, Ice, Solar. Hali, Gempa, Blaze, Thorn, Solar, Ice ...," keluh Taufan dengan wajah cemberut.
"FanFan ...," panggil Yaya dengan suara yang lembut. "Bersyukurlah kamu masih punya kakak dan adik yang bisa menemani kamu terutama Blaze dan Thorn."
"Coba bayangkan aku yang cuma punya adik satu, itupun umur kita beda jauh. Bayangkan aku kesepian seperti apa di rumah, apalagi pakai acara virus corona ini," sambung Yaya. "Aku masih bersyukur memiliki kamu yang selalu menghiburku selama ini."
Taufan tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu benar. Seburuk-buruknya keadaan, Taufan masih memiliki seorang kakak dan lima orang adik yang bisa menghiburnya.
"Apalagi saat seperti ini FanFan," lanjut Yaya menyambung bicaranya. "Kalian saling membutuhkan ... sama seperti aku butuh kamu."
"I-iya sih ...." Hanya itu yang bisa Taufan utarakan. Kebenaran yang tersirat dibalik nasihat Yaya membuat Taufan berpikir lebih jernih mengenai perbuatannya.
"Bisa kamu bayangkan kalau kamu terkena virus ini? Diisolasi sendirian? Apalagi kamu, Blaze dan Thorn praktis ngga bisa dipisahkan. Bisa kamu bayangkan kalau Blaze dan Thorn kehilangan kamu?"
Taufan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Ngga. A-aku sayang Blaze, Thorn, Gempa, Hali. Semuanya, termasuk kamu."
Sebuah senyuman mengulas di wajah Yaya yang kini lebih ceria. "Aku sayang kamu, FanFan .... Cobalah lebih dewasa lagi kalau berpikir. Ngga ada yang mau kehilangan kamu, seorang Taufan yang kita semua sayangi."
Taufan terdiam mendengar kata-kata Yaya yang menyentuh hati sanubarinya yang terdalam. Beberapa kali ia menarik napas dalam-dalam sementara bibirnya gemetaran. Sebuah gelombang emosional yang jarang sekali Taufan rasakan kini membanjiri alam pikirannya. "I-iya, kamu benar," ucap Taufan dengan suara yang tercekat dan gemetaran. "Aku terlalu egois ...."
"Ngga, FanFan. Kamu bukan egois. Aku tahu kalau kamu bukan orang yang egois. Kamu cemas, khawatir, risau tapi ngga bisa berbuat apa-apa." Yaya mengeluarkan botol kecil hand sanitizer dari dalam saku. Dengan teliti ia membasuh kedua tangannya sebelum mengulurkan tangannya dan mengamit tangan Taufan. Digenggamnya tangan si kekasih yang bernetra biru safir itu erat-erat sebagai pertanda bahwa ia tidak sendirian. "Kita semua juga sama, FanFan. Hanya saja kamu yang cenderung nekat, ngga mikir panjang."
Taufan menghela napas panjang. "Iya, maafkan aku telah membuatmu cemas, Yaya." Kata-kata permintaan maaf Taufan terdengar tanpa keraguan, mantap bagai lempengan timah padat.
"Jangan diulangi lagi ya, FanFan. Aku sayang kamu," ucap Yaya dengan sebuah senyuman yang mengulas pada wajahnya.
"Aku sayang kamu juga, Yaya." Senyuman berbalas dengan senyuman.
"Ehem." Suara orang berdehem dari belakang membuyarkan saat-saat kedekatan Yaya dengan Taufan. "Tampaknya ayah ngga perlu lagi menceramahi kamu, Taufan."
Taufan langsung berbalik badan dan memperlambat langkahnya. "Ayah, Maaf aku sudah membuat ayah khawatir."
Tidak ada tanda-tanda kemarahan di wajah Amato ketika putera keduanya itu meminta maaf. Sebaliknya, sang ayah terlihat puas dengan sikap Taufan yang telah menyadari perbuatan gegabahnya. "Ya, Taufan. Yang lebih penting kamu sudah menyadari kekeliruanmu."
Pada saat yang nyaris bersamaan bersuaralah Halilintar. "Ayah, a-aku juga minta maaf." ucapnya dengan suara lembut dan tanpa menatap sang ayah secara langsung. "Aku seharusnya bisa mencegah Taufan dan Blaze."
"Ya, kamu seharusnya bisa," ucap sang ayah dengan tegas namun tanpa terbawa emosi. Amato mengaitkan tangan dan lengannya melewati pundak Halilintar. Dia menarik puteranya itu menjauh dari adik-adiknya yang lain karena ada yang harus dibicarakan tanpa harus diketahui oleh Taufan, Blaze, atau Solar.
Amato menarik napas panjang sebelum menatap puteranya yang tertua itu langsung pada netra merah rubinya. "Kamu yang tertua seharusnya bisa lebih bijak, Halilintar," ucap sang ayah memulai pembicaraan. "Kenapa kamu ngga bisa bersikap tegas?" Kekecewaan jelas tersirat dibalik kata-kata sang ayah yang lembut
Halilintar lebih suka jika sang ayah membentaknya dan menghardiknya daripada sang ayah berbicara dengan lembut seperti itu. Di dalam batinnya Halilintar tahu bahwa ia telah membuat kecewa sang ayah. "A-aku .... Kuakui, aku juga bosan di rumah terus menerus."
"Ayah mengerti sekali bahwa kamu bosan di rumah. Tapi kamu harus berpikir lebih jauh lagi, Halilintar. Kamu, Taufan Blaze, dan Solar beruntung karena kebetulan ayah sedang ada tugas di dekat Pulau Rintis. Coba kalau tidak, kalian sudah pasti kelayapan entah kemana padahal situasi sedang berbahaya seperti ini."
"Iya, aku ngga berpikir sejauh itu," ucap Halilintar yang suaranya terdengar seperti gumaman.
"Jangan salahkan Gempa yang menelpon ayah dan Yaya. Gempa justru berbuat hal yang benar-"
"Ya, Gempa ngga pernah ada salahnya. Dia selalu benar." Sebuah kegetiran terbesit dibalik komentar Halilintar. "Seharusnya Gempa yang dianggap tertua, bukan aku."
Amato menghentikan langkahnya. Kedua tangannya menggenggam erat kedua pundak Halilintar sementara tatapan tajam matanya tersorot pada netra merah rubi puteranya itu. "Itu karena kamu selama ini sibuk dengan duniamu sendiri, Halilintar," tegas sang ayah. "Kamu tahu kalau Gempa sebetulnya selalu mengharapkan bantuanmu?"
Halilintar terkejut mendengar pertanyaan sang ayah. "Ka-kapan? Aku ngga tahu kalau Gempa perlu bantuanku. Dia ngga pernah bilang."
Sebuah senyuman tipis mengulas di wajah Amato. "Kamu tahu Halilintar, kelemahan keluarga kita?"
Gelengan kepala menjadi jawaban Halilintar atas pertanyaan sang ayah.
"Ayah sendiri, kamu, Taufan, Gempa, Blaze, Thorn, Ice, Solar, semuanya. Kita ini kadang terlalu gengsi untuk minta tolong. Terkadang kita enggan minta tolong karena takut dianggap lemah."
Halilintar terdiam. Kelopak kedua netra merah rubinya melebar ketika ia memikirkan jawaban yang diberikan oleh ayahnya itu. Jawaban yang sebenarnya mudah itu kini terasa sangat masuk akal apalagi ketika Halilintar merefleksikan jawaban sang ayah dalam kehidupannya sehari-hari bersama keenam adik-adiknya.
"Cobalah lebih peka dengan adik-adikmu Halilintar, terutama Gempa. Kalian berdua seharusnya bisa kompak mengatur adik-adik kalian. Ketegasan kamu, kelembutan Gempa dan keceriaan Taufan. Kalau kalian kompak bekerja sama, Ayah yakin perkara seperti begini ngga akan terjadi."
"Ya. Aku sekarang mengerti," gumam Halilintar sembari menganggukkan kepalanya. Sebuah resolusi yang ditarik dari pemikirannya dan saran sang ayah pun terbentuk di dalam benak Halilintar "Ya, aku akan coba lebih terbuka lagi dengan adik-adikku, mereka butuh aku."
"Seperti juga kamu butuh mereka Halilintar." Sebuah senyum lembut penuh kepuasaan mengulas di wajah Amato. Dia menepuk-nepuk pundak puteranya yang tertua itu, memberikan dukungan untuk masa depan yang lebih baik lagi walau ditengah ketidakpastian. "Jangan pernah ragu untuk minta tolong pada Solar. Walaupun dia yang paling kecil, otaknya justru yang paling jenius. Begitu juga dengan Blaze, walaupun bandel, dia ngga akan segan-segan untuk membelamu. Taufan juga, mungkin dia agak hyper dan jahil. Tapi semua itu ia lakukkan untuk membuat kalian semua tertawa."
Untuk pertama kalinya, sebuah senyuman lebar dan lepas tanpa ditahan-tahan mengulas di wajah Halilintar. "Halilintar mengerti, ayah." Tanpa keraguan sedikit pun, Halilintar melemparkan dirinya ke dalam pelukan sang ayahanda. "Terima kasih, Ayah ...."
"Kamu pasti bisa menjadi teladan bersama Taufan dan Gempa." Sang ayah menepuk-nepuk punggung puteranya tertuanya yang kini berada di dalam pelukannya. "Nah, ayo kita pulang. Ayah sudah janji dengan Gempa untuk memasak yakiniku bersama!"
"Terbaik!" Mengacunglah jempol khas BoBoiBoy bersaudara itu pada tangan Halilintar.
.
.
.
Tamat.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.
Mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan terlebih memasuki bulan puasa/ramadhan ini. Sekalian announcement bahwa selama bulan puasa/ramadhan saya tidak membuat/menulis fanfic yaoi atau shounen-ai untuk menghormati yang menjalankan ibadah puasa.
Stay safe para reader sekalian di tengah situasi virus corona yang semakin tidak menentu ini. Jaga kesehatan, hindari keluar rumah kalau tidak perlu, berikan tips lebih jika memakai jasa ojek online apalagi mengingat mereka masih mau bekerja dalam keadaan seperti ini.
Sampai jumpa lagi pada kesempatan berikutnya.
"Unleash your imagination"
Salam hangat, LightDP.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top