4. Bobok Bareng

Sembari menunggu Ozi masak, Kiki menata barang jualannya di kamar kosonh belakang. Kamar depan sudah diputuskan sebagai kamar utama mereka berdua merenda kisah intim.

"Bang, kasurnya mau dateng jam berapa kira-kira?" tanya Kiki pada Ozi yang tengah menggoreng telur cepok satu mata.

Menoleh. "Janjinya malam ini, nggak tahu jam berapa. Paling masih anter yang lain-lain. Kalau datengnya besok, ya udah kita pakek kasur masing-masing."

Kiki mengangguk paham. Baiklah, ia balik ke kamar lagi. Ozi yang hendak mengatakan bahwa makanan mereka hampir matang, urung. Kiki sudah melesat ke kamar.

Ozi kembali di depan kompor. Membalik telor ceplok. Menekan bagian atas agar bawahnya matang. Begitu selesai, ia taruh di piring yang di sana sudah ada telor ceplok juga, tahu goreng dan ikan asin. Di piring lain ada lalapan timun dan daun selada. Ada juga sambal yang tadi dibuat Kiki sebelum perdapuran diambil alih Ozi.

Mendengar suara gedebug dari kamar belakang, Ozi gegas ke sana. Melihat Kiki sedang ditindih pasrah oleh patung telanjang, Ozi buru-buru membantu. Ia angkat patung dan meletakkannya di dekat patung lain. Sementara Kiki, dibiarkannya berdiri sendiri.

"Makasih, Bang. Duh, pantatku sakit," keluh Kiki memegangi pantatnya.

Ozi menoleh. Ia mendekat dan menepuk kemudian memijat area pantat Kiki yang menurutnya sakit.

"Kamu sih, patung dipelukin. Baring situ, aku pijitin."

Kiki tak ambil pusing. Ia malah baring sesuai perintah Ozi di depan kamar. Di atas kasur yang mereka bawa dari rumah.

Ozi pun duduk bersila dan memijat area pantat, naik ke pinggang. Sesekali Kiki merintih dan mengarahkan ke mana tangan Ozi harua bergerak di tempat yang sakit.

Lalu Kiki sadar sesuatu. Dalam posisi tengkurap, ia menoleh ke Ozi dengan mata menyipit.

"Bang."

"Hem." Ozi hanya berdeham, karena ia terlalu fokus memijat.

"Ini aneh deh."

Ozi balas menoleh. "Apanya?"

"Sejak kapan kita jadi intim gini pakek pegang-pegang bagian tubuh."

Ozi menghentikan tangannya bergerak. Matanya menatap Kiki dan tangannya bergantian.

"Oh iya ya."

Kiki pun bangun dan duduk bersila berhadapan dengan Ozi. "Cari kesempatan dalam kesempitan."

"Aku cuma bantuan kamu, reflek. Nggak ada niat jahat, Ki. Astagfirullah."

Kiki tak percaya. Ia sipitkan mata menatap Ozi yang mengusap dada. "Awas kalau Abang grepe-grepe aku lagi. Kan kita udah sepakat kemarin, nggak bakal patnam-patnam sebelum siap kedua belah pihak." Kiki mengingatkan.

"Iya, iya. Aku juga nggak ada pikiran mau grepe kamu. Reflek aja tadi, kok empuk juga pijat-pijatnya. Eh, keterusan deh."

Kiki memukul tangan Ozi lalu berdiri menuju dapur. Ozi mengukuti.

"Dah siap belum?"

"Udah. Yuk lah makan."

Kiki memutuskan tak memperpanjang soal pantatnya yang digrepe. Ia lapar, dan makan berdua sambil nonton TV mengaburkan perselisihan mereka barusan.

***

Kasur akhirnya tiba. Kiki dengan semangat membuka plastik dan melapiri kasur dengan sprei miliknya yang bergambar bintang dan bulan. Selesai merapikan kasur, ia sapu kamar. Sudah jam sepuluh malam lewat rupanya.

Ia panggil Ozi yang sedang memasag horden ruang tamu. Untuk kamar sudah Ozi pasang tadi.

"Bang, udah siap buat tempur kasurnya."

Ozi turun dari kursi dan bergegas ke kamar. Melihat tempat tidur tinggi yang sudah ia coba juga tadi, Ozi senang. Ia pun langsung melompat naik, membuat Kiki hampir terguling.

"Tapi, Bang."

Ozi menghentikan euforia. "Kenapa?"

"Kita batasi pakek guling loh ya, tidurnya."

"Iya, iya. Santai aja, aku nggak buas kok kalau tidur."

Kiki turun dari kasur. Ke kamar mandi dulu sebelum tidur. Esok harinya akan sibuk. Seperti biasa ia akan kembali live sosial media untuk jualan. Sudah malam, dan ia akan lekas tidur.

Sampai di kamar lagi, Kiki menepuk jidatnya. Ozi masih dalam posisi tengkurap dan berada di tengah-tengah kasur. Membuat Kiki tak punya tempat untuk berbaring. Tak mau repot karena Kiki juga sudah ngantuk, ia tendang Ozi sampai tubuhnya bergerak sendiri menemui bantal.

Menghela napas lega, Kiki mula merebahkan tubuh. Ia lihat Ozi yang membelakanginya sudah lelap. Tak lama Kiki pun memejamkan mata. Malam yang ditemanis lampu temaram, kipas yang menyala dan dua manusia yang tak sadar malah saling berpelukan.

***

Ozi bangun lebih dulu karena hajatnya perlu disalurkan. Ia lirik Kiki di sampingnya yang tengkurap dengan mulut terbuka. Berdecap, Ozi gegas keluar kamar.

Asyik melamun sambil menunggu bongkahan-bongkahan turun mesin, gedoran di pintu seketika membuyarkan lamunan.

"Bang, buruan. Aku kebeley juga!"

Ozi makin berdecap lagi. Ia putuskan mengakhiri ritual. Menyiram, bebersih, lalu keluar. Dilihatnya Kiki duduk merengek di depan pintu. Ia kira putri duyung tadi. Ah, lebih mirip ikan patin sih.

"Ngapain di situ, astaga."

Sambil merintih, Kiki bangun. "Aku nggak tahan lagi kebeletnya."

"Husssh. Sana masuk. Awas bau!"

Pintu kamar mandi tertutup. Ozi ke dapur mengambil minum. Masih jam empat dan belum subuh. Ia kembali ke kamar untuk tidur lagi. Sayang, keinginannya tak tercapai. Bolak-balik badan, memejam erat, menghitung ayam dalam pikiran, sampai membayangkan skenario takdir. Tak juga ia tidur. Tahu-tahu sudah azan saja. Bangun, ia lihat Kiki malah sudah mulai menggiling baju cucian.

"Sarungku sekalian, Ki." Ozi melepas sarung yang dipakainya. Melempar pada Kiki yang berdiri di samping mesin cuci manjanya.

"Iuh, bau banget."

Ozi hanya terkekeh. "Pesing ya?"

Kiki malas menanggapi. Ia masukkan langsung sarung tersebut. Lekas ia mencuci piring sisa makan semalam.

***

Hari ini Ozi selesai cuti. Kembali kerja, rasanya menyenangkan. Di rumah ia bingung mau ngapain. Selain beres-beres kontrakan baru, belanja kebutuhan yang belum ada, tiduran sambil nonton Kiki live jualan baju. Tak ada hiburan.

"Asyik nih yang pengantin baru. Gol berapa kali nih. Rambut basah, pasti habis main nih semalem," goda Daru kala sang sohib sudah terlihat masuk kerja lagi.

Ozi malah merengut. Keramas pagi belum tentu habis main sama bini. Ia malah main sendiri dalam mimpi sampai basah. Mana ceweknya blur lagi. Nggak enak sama sekali.

"Hem." Jawabab Ozi tampak tak semangat.

"Loh, kenapa? Kesel banget keknya nggak bisa cuti lama-lama. Waktu buat bikin dedek jadi berkurang. Sabar, ntar pulang langsung gas lagi. Kita absen beli telor gulungnya."

Daru menepuk-nepuk punggung Ozi agar sabar. Padahal ia kangen pulang bareng sama Ozi, dan dalam perjalanan pulang bakalan mampir beli cilok, telor gulung, sosis goreng, atau siomay.

"Bukan gitu, Ru. Masalahnya, si Kiki belum mau dibobol. Jadi ya, nggak ada main patnam-patnam."

Daru melotot. "Loh, kok bisa? Dia lagi palang merah?"

Ozi menggeleng. "Enggak juga sih."

"Terus? Jangan bilang karena pisangmu nggak mau tegak bersambung!"

Menggeleng lagi. "Kalau itu sih, tiap pagi udah bangun duluan dia. Nggak tahu kenapa. Padahal dilihat-lihat si Kiki nggak semolek Ambar. Tapi nih, Ru. Kiki belum mau digerayangi juga. Belum kenal deket katanya. Aneh kalau tiba-tiba disuruh ngangkang dan aku main terobos."

Daru ikut sedih mendengar kisah sohibnya. "Sabar, Bro. Kiki bakalan mau kok ntar. Yakin, usaha nggak menghianati hasil. Pepet terus, atau kalau perlu godain dia. Siapa tahu lama-lama napsu dan pengen. Di film-film kayak gitu biasanya."

Ozi hanya mendesah sambil mengendikkan bahu. Yah, namanya nikah nggak kenal duluan. Hasil perjodohan pula.

______

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top