Lima
Part sebelumnya :
"Maksudnya? Akrab?" tanyaku bingung. Dia sedang mengujiku. Aku yakin sekali.
"Aku butuh kamu untuk jadi mata-mata," katanya lagi membuat mataku membulat sempurna.
Marsel menengok ke arahku sesaat, menebarkan senyum dan kemudian menarik telapak tanganku yang ada di pahanya untuk dibimbing ke bibirnya, dan dikecup. Kemudian pandangannya kembali ke jalan di depan, sementara tanganku diremasnya lembut.
"Ada bisnis yang harus kumenangkan," ucapnya lagi melontarkan alasan.
Kuhela napas perlahan nyaris tidak kentara. Itu alasannya, misi baru untukku sebagai istri seorang Marsel.
"Akrab ... tapi jangan sampai dia memenangkan hatimu. Paham 'kan, Sayang?"
Aku bergeming.
Bisa apa aku untuk menentangnya?
--------------------------------------------------------------------------------
Aku mengekori langkah Marsel yang masuk ke dalam kamar dan mengambil berkas pada amplop di atas nakas. Setelah memastikan itu adalah berkas dari dokumen yang tertinggal, dia berbalik dan tersenyum.
"Aku belum tahu bagaimana cara Rico bisa ditaklukkan. Tapi perusahaanku membutuhkan kucuran dana yang cukup besar dari bank yang dipeganganya," tutur Marsel sambil melangkah mendekat. Dia mengangkat tangan kanannya dan mengusap sisi wajahku. Lembut.
"Sudah kuajak main golf, makan malam, dan minum-minum. Tapi kucuran dananya belum juga turun, Sayang." Bibirnya berkerut, memandangku dengan permohonan. "Entah bagaimana jika kusodorkan wanita cantik."
Kutarik napas dalam, membiarkannya sejenak berkumpul di dalam dada, sebelum kulepas karena sudah terasa sesak.
"Bisa?" Dia masih menatapku.
Apakah aku diberi ruang untuk menolak, setelah semua kebaikan yang dilakukannya padaku?
Ada getir dalam dada ketika akhirnya aku mengangguk.
Marsel tersenyum. Dia terlihat lega dengan binar mata yang berkilat kesenangan. Tangannya yang sedang mengusap wajahku, beralih ke tengkuk dan menariknya maju. Sebuah kecupan mendarat di bibir. Sekali. Sebelum didaratkannya lagi untuk memberikan ciuman yang lebih dalam.
Tidak kunikmati. Karena kali ini, Rico yang menjadi target. Aku takut tidak dapat menahan diri, tapi tidak berani berkata tidak pada Marsel.
Ketika bibirnya ditarik menjauh, mata yang tadi berbinar kesenangan mendadak menatapku penuh dengan perhitungan.
"Tidak main perasaan. Tidak ada seks kalau memang tidak perlu. Ingat itu, Renee ...."
Perlahan aku mengangguk, sebelum menghambur ke pelukan Marsel. Mencoba menutupi segala perasaan yang berkecamuk. Gundah.
Di detik kemudian, elusan lembut terasa di kepala dan punggungku. "Manja ...," bisiknya sayang.
***
Aku terhenyak dari duduk ketika ponsel berdering nyaring. Kulirik dan cepat meraih saat melihat nama Marsel terpampang di sana.
"Hai, Sayang!" sapanya ceria ketika aku menyahut panggilan.
"Ya, Sayang?" Ceria yang tidak terasa tulus.
"Kamu masak banyak enggak malam ini? Bakal ada pemain cadangan yang datang soalnya." Lalu suara tawanya lepas, disambut oleh suara tawa lainnya di ujung yang sama.
Rico. Aku bahkan sudah akrab dengan suara itu.
Kulirik meja makan di hadapan. Sapo tahu dan udang goreng tepung tersaji di sana. Porsinya sepertinya cukup jika hanya untuk tambahan satu orang.
"Kalau nambahnya satu orang, sepertinya cukup." Kujawab pertanyaan Marsel. "Memang siapa yang mau datang?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Rico, Yang."
Dugaanku benar. Maka setelah telepon dimatikan, yang kulakukan adalah bergegas ke kamar. Terburu-buru mengambil salah satu gaun selutut berwarna pastel yang manis, untuk kemudian mematut diri di depan cermin.
Entah mengapa, ada debar yang menyusup ketika aku memoles perona pipi dan lipstik. Kupadangi wajah yang bibirnya merona merah, menghela napas ketika merasa bahwa ini berlebiham. Kuambil tisu basah, dan mulai megusap merah di bibir.
Ini bukan kencan, Renee. Bahkan suamimu juga ada di sana. Lalu hatiku terasa getir. Ini gila!
***
Aku duduk dengan manis di sofa ruang depan, menatap pintu, berharap bel-nya berbunyi lantang untuk kemudian kubuka. Tapi dentingannya tidak juga terdengar.
Punggungku bersandar dengan malas. Ini sudah jam sepuluh malam, dan mereka belum juga datang. Apa makan malam bersamanya batal?
Perutku mendadak bergemerucuk, memaksaku untuk bangkit dan berjalan menuju meja makan. Kutatap meja yang sudah ditata dengan sedemikian rupa, dan akhirnya menarik salah satu kursi untuk duduk di sana. Tangan bergerak menyendokkan nasi ke dalam piring, mulai menuang lauk pauk, untuk kemudian menyuap suapan pertama ke dalam mulut. Bersamaan dengan bel yang mendadak berdenting.
Aku terdiam sejenak, melirik jam dinding yang sudah bergerak lima belas menit melewati pukul sepuluh malam. Apa artinya makan malamnya jadi? Kulirik piring yang sudah terisi makanan, lalu dengan kecepatan kilat aku bangkit, memasukkan makanan dalam lemari atas kitchen set. Mereka tidak perlu tahu aku sudah makan.
Bel berdenting lagi. Bergegas aku melangkah menuju pintu depan, dan membukanya dengan tergesa.
Yang pertama kulihat adalah wajahnya. Wajah Rico yang terlihat lelah. Mataku mengerjap.
"Dia malah memintaku mampir ke sebuah cafe, minum, lalu mabuk." Ucapan Rico membuatku mau tidak mau menoleh ke sosok yang sedang disangganya. "Dia lumayan berat, Renata. Perlu kubawa ke kamar, atau kulepas saja di sini?"
Aku meringis. Melebarkan pintu dan mempersilakannya masuk.
"Aku bawa langsung ke kamar?" tanyanya, seraya menoleh ke arahku yang tertinggal di belakang.
"Boleh." Lalu aku melangkah mendahului mereka, membuka pintu kamar. Kulihat Rico yang terlihat kesulitan dengan Marsel yang terlihat benar-benar kepayahan, bahkan untuk berdiri.
Aku menepi ketika mereka akan melewatiku untuk masuk ke kamar. Namun kedipan mata Marsel ke arahku, membuatku membelalakkan mata. Marsel langsung menundukkan kembali kepalanya dengan lelah, ketika Rico sedikit menyeretnya masuk untuk kemudian dilepasnya di ranjang.
Marsel berpura-pura mabuk. Artinya ....
"Dia suka sekali minum, padahal dia tukang minum yang payah." Rico menggerutu, lalu berjalan ke arahku. Dia menghentikan langkahnya di ambang pintu. Mungkin hanya satu langkah di hadapanku. Ditundukkannya kepala, sementara aku sedikit mendongak. Bertatapan dalam jarak dekat seperti ini, lagi-lagi membuat debarku bertalu.
"Re---"
"Kamu lapar?" Aku memotong ucapannya yang bahkan belum memiliki makna apa pun.
Rico menghela napas pendek, embusannya menerpa wajahku sekilas, membuat kuduk sedikit meremang.
"Sedikit," sahutnya, lalu berjalan melewatiku begitu saja. "Apa ada makanan? Atau sebaiknya aku pulang saja dan makan di luar?"
Tidak langsung menjawab, aku menoleh menatap Marsel di atas ranjang. Tanpa kuduga, dia juga sedang menatapku sembari mengibaskan telapak tangan, seakan memberi isyarat agar aku melakukan sesuatu. Aku tahu. Aku adalah umpannya saat ini.
Maka aku kembali menoleh ke arah Rico dan berkata, "Aku sudah menyiapkan makanan, agar kita bisa makan bersama." Kututup pintu kamar, lalu melangkah untuk menyambanginya yang sedang menatap foto besar pernikahanku dan Marsel di dinding.
Aku berdiri di sebelahnya dengan sengaja, membiarkan lengan kami bergesekan dengan sengaja pula. Seharusnya dia yang berdebar, tapi nyatanya denyut jantungku yang tidak biasa. Seharusnya aku mengatakan tidak untuk misi ini pada Marsel, seharusnya aku tahu, bahwa aku yang akan kalah dalam hal ini.
"Kamu benar-benar sudah menikah," gumamnya dengan nada berat yang getir.
"Memang seharusnya begitu, bukan? Harus ada seseorang yang baru untuk menjagaku, setelah seseorang yang sebelumnya berjanji akan menjaga pergi tanpa kabar berita." Aku berkata dengan sedikit menyindir.
Bisa kurasa kalau lengannya bergerak dengan tidak nyaman. "Aku lapar," katanya mengalihkan pembicaraan.
Aku menoleh, sedikit menengadah untuk bisa melihat wajah yang masih terpaku pada foto. Entahlah, ada rasa rindu yang menyusup. Rasanya aku ingin membelai wajah itu, atau sekalian saja terjun dalam pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.
Sialnya, rasa rindu itu perlahan malah menyisakan nyeri. Membuat hati serasa diremas dengan gemas yang menyakitkan.
Tiba-tiba saja sebuah kotak kecil terlihat di depan wajah. Membuatku merunduk dan mengerjap dengan bingung. Lagi aku menengadah, dan menemukan bahwa Rico sedang menatapku dengan wajah kesakitan. Aku bisa melihat kedutan di sudut mata dan bibirnya.
"Untukmu," ujarnya, sembari menarik salah satu tanganku dan meletakkan kotak hitam kecil itu ke telapak tangan.
Lantas aku mengalihkan kembali pandangan ke kotak dalam telapak tangan, menatap benda itu dengan kerut yang kebingungan. "Ini apa?" tanyaku.
"Kukembalikan apa yang menjadi milikmu." Dia berkata pelan.
Penasaran, kubuka kotak, lalu membeku ketika melihat apa yang ada di dalamnya.
"Tapi yang ini, tidak akan pernah bisa layu," bisiknya tepat di telingaku.
Napasku terasa sesak, menatap emas putih dengan ornamen bunga putih kecil yang cantik. Sebuah berlian kecil, tertanam dengan manis sebagai porosnya. Sama persis, dengan cincin bunga putih, yang pernah diberikannya padaku dulu.
Verlita's speaking!
Hai! Apa kabar? Semoga baik semua. Amin amin aminnn ....
Fyi, cerita ini in parallel, sudah aku pindahkan ke akun Joylada-ku. Jadi, kalau kamu yang mau melanjutkan membaca cerita ini, bisa segera pindah ke sana ya.
Id-ku di sana sama dengan di sini: verlitaisme.
Lalu, artinya di sini enggak akan tayang lagi? Masih, 2-3 part lagi, sebelum kamu harus benar-benar ke sana untuk melanjutkan membaca.
So, dukung aku ya di sana ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top