Enam
Sebelumnya :
"Untukmu," ujarnya, sembari menarik salah satu tanganku dan meletakkan kotak hitam kecil itu ke telapak tangan.
Lantas aku mengalihkan kembali pandangan ke kotak dalam telapak tangan, menatap benda itu dengan kerut yang kebingungan. "Ini apa?" tanyaku.
"Kukembalikan apa yang menjadi milikmu." Dia berkata pelan.
Penasaran, kubuka kotak, lalu membeku ketika melihat apa yang ada di dalamnya.
"Tapi yang ini, tidak akan pernah bisa layu," bisiknya tepat di telingaku.
Napasku terasa sesak, menatap emas putih dengan ornamen bunga putih kecil yang cantik. Sebuah berlian kecil, tertanam dengan manis sebagai porosnya. Sama persis, dengan cincin bunga putih, yang pernah diberikannya padaku dulu.
---
"Cincin ini ...." Aku bergumam.
"Yang ini, tidak akan pernah layu. Maaf karena telah menghilang sekian lama." Rico menghela napas panjang, desahannya bisa terdengar sampai di telinga.
"Tidak bisa kuterima." Cepat kuulurkan lagi kotak itu kepada Rico. Ketika tangannya tidak juga terulur untuk mengambil kotak, kuraih pergelangan tangannya, menjejalkan kotak di telapak tangan itu.
"Tapi, Re---"
"Kamu mau makan? Atau pulang saja?" Aku berbalik, mengabaikan dia yang kebingungan.
Aku tidak bisa mengambil cincin itu. Jelas aku tidak boleh. Ini adalah misi demi Marsel, tidak boleh ada rasa. Tidak boleh ada benda yang akan membuatku meleleh dan kalah.
Kulangkahkan kaki ke arah ruang makan, mencoba menghiraukan langkah-langkah yang mengikuti dari belakang. Setiba di ruang makan, kuangkat tudung saji di atas meja, memperlihatkan hidangan yang sudah menjadi dingin.
"Sudah dingin," ucapku seraya melirik Rico yang sudah berdiri di sebelahku. "Mau aku angetin dulu?"
Rico menggeleng, bibirnya mengerucut menatapku. "Kamu benar-benar membenciku Renata?"
Kuhela lagi napas, mengangkat tudung saji dan meletakkannya di atas kursi makan yang kosong.
"Benar-benar benci sama aku?" ulangnya.
Kutatap Rico dan berkacak pinggang. "Lalu, maumu, bagaimana aku harus bersikap?"
"Ah! Bukan begitu ...." Sekarang dia terlihat salah tingkah.
"Apa aku terjang saja kamu sambil bilang kalau aku juga rindu?" tantangku lagi, membuatnya terlihat semakin serba salah.
"Bukan begitu, Re ...."
"Aku sudah menikah," ujarku mengingatkan. "Kalau kamu lupa, cowok mabuk yang baru kamu letakkan di ranjang kamar tadi, itu suamiku ...."
"Aku tahu ... !" seruan itu tertahan di ujung kalimat. Bisa jadi Rico sadar kalau ini kelewat malam untuk berteriak. Atau nyalinya sedikit menciut karena menyadari Marsel ada di dalam sana.
"Aku tahu," ulangnya dengan lebih lembut. "Aku tidak mengharapkan pelukan atau apalah. Aku cuma ingin kamu ingat, dan tidak marah."
"Aku ingat," kutatap dia lekat, "dan tidak marah. Hanya kecewa. Lebih kepada kecewa. Sudahlah ...." Kuraih lagi tudung saji di kursi dan menutup kembali makanan di meja.
"Kok?" Rico terlihat heran melihat aku yang kembali menutup meja.
"Enggak usah makan di sini. Sebaiknya kamu pulang." Aku menyarankan. Terlalu lelah untuk memperdebatkan masa lalu kami yang suadh nyaris terlupa. Misiku saat ini bukan untuk jatuh cinta pada Rico, tapi membuat Rico mau menggelontorkan dana untuk perusahaan suamiku.
"Tapi aku lapar ...." Dia mengeluh.
"Enggak pantas kita ngobrol berduaan kayak gini."
"Berduaan? Sejak beberapa hari yang lalu, kita sudah ngobrol berduaan sebanyak ...tiga kali? Empat kali?" Dia mengangkat tangan kanan, melipat-lipat jemarinya sesuai angka yang disebutkan.
Kesal, kudorong tubuhnya ke arah pintu depan.
"Oke, oke ...." Rico terlihat menyerah. "Jangan dorong-dorong, aku bakal pulang."
"Bagus." Kutarik tangan dari tubuhnya.
Dengan wajah yang masih terlihat merengut, pria itu berjalan ke arah pintu depan. Aku mengekori dari belakangnya. Ketika dia menarik kenop pintu dan menarik pintu itu membuka, kembali wajahnya menoleh ke arahku.
"Masalah mobilmu---"
"Sudah lunas dengan dua puluh juta. Besok akan kubawa ke asuransi. Kalau ada lebih akan kutransfer balik, kalau kurang akan kuhubungi kamu lagi," cerocosku panjang, agar dia tidak lagi berkata-kata.
Rico merangkum bibir-bibirnya, mengangguk sambil menghela napas. Kemudian kakinya melangkah keluar pintu. Cepat kutarik daun pintu menutup, lalu berjalan cepat ke arah jendela di sisi pintu.
Sedikit kusingkap tirai jendela, hanya sedikit agar Rico tidak perlu tahu kalau aku sedang mengintipnya. Terlihat tubuh tegap itu berjalan lunglai ke arah mobil mewahnya, menatap sekali lagi ke arah rumah sebelum masuk dan meninggalkan pekarangan.
Kuhela napas panjang dan lelah. Meletakkan telapak tangan di dada kiri yang berdetak dengan lebih cepat. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku akan kalah, dan Marsel akan marah. Aku terlalu takut tidak bisa menahan hati.
Berbalik, nyaris saja jantungku melompat dari cangkangnya, saat ternyata Marsel sudah berdiri di ambang pintu kamar, menatapku dari kejauhan.
"Kamu terbangun?" tanyaku berusaha terdengar senormal mungkin.
"Tiba-tiba perut aku lapar," sahutnya.
Aku tersenyum, menghampiri suamiku dan memeluknya erat. "Mau makan?" tanyaku, lalu mundur dan mengerutkan wajah ke arahnya. "Kamu bau alkohol banget. Mau mandi dulu?"
Marsel menggeleng. "Makan dulu, terus mandi bareng kamu ...." Matanya berkedip menggoda.
Aku mencibir. "Sudah malam, aku sudah mandi."
"Mandi lagi ...." Diraihnya lagi aku dalam dekapan, diusapnya kepalaku dengan lembut. "Rico sudah pulang?"
Sontak mataku memejam, Rico lagi ....
"Dia bilang enggak lapar, jadi dia pulang," sahutku berbohong.
Marsel menghela napas. "Apa perempuan cantik juga tidak berpengaruh untuknya, ya?"
"Mungkin aku kurang cantik? Kurang seksi?" Merasa ada celah untuk bisa meminta mundur dari rencananya, aku berkata lagi, "Mungkin aku bukan tipe-nya. Apalagi dia tahu kalau aku istri kamu."
Marsel melepasku dari dekapan dan menatapku tajam dengan kedua tangan di lenganku.
"Kamu sempurna. Ck!" Dia berdecak, lalu berbalik dan berjalan ke arah ruang makan. "Apa Rico ada kelainan ya? Enggak suka sama perempuan kali ya dia?"
Aku bergeming, memandang pada bahu bidang yang meninggalkanku seorang diri. Dalam hati bertanya-tanya, sebenarnya apa aku di mata Marsel?
***
"Aku dalam perjalan ke bengkel," sahutku pada panggilan Marsel pagi ini. Mataku memandang lurus ke jalan di depan sana, mencoba berkonsentrasi pada lalu lintas yang sudah padat pagi ini.
"Bengkel? Bukannya Rico yang mau urusin mobilnya?"
"Dia sudah transfer dua puluh juta. Jadi aku bawa aja sendiri ke bengkel," sahutku lagi.
"Kembalikan uangnya!" Suara Marsel yang tetiba meninggi, membuatku terkejut setengah mati.
"Tapi, Yang---"
"Enggak ada tapi! Kalau kamu bawa sendiri mobilnya ke bengkel, kapan lagi kalian berdua bisa ketemu? Kapan lagi kamu bisa bantuin aku?"
Tenggorokanku tiba-tiba saja terasa kering.
"Aku tidak mau dibantah, Renee ...." Dia terdengar mengerang di ujung telepon.
"Iya, aku mengerti," sahutku pasrah pada akhirnya. "Aku akan kembalikan uangnya."
Telepon langsung diputus oleh Marsel, sepertinya dia sangat kesal. Dia kesal, sementara aku kebingungan. Menimbang-nimbang dengan sangat gelisah. Mengembalikan uang pada Rico, artinya kami akan bertemu lagi. Memberikan ruang padanya untuk bisa mendekat kembali.
Namun, jika aku tidak mengembalikan uang dan membiarkan Rico berhubungan akrab denganku, Marsel akan marah. Ini benar-benar .....
Akhirnya, bibirku bergerak memberi instruksi pada ponsel pintar untuk menghubungkanku dengan nomor Rico.
"Renata?"
Dari wireless headset yang terpasang di telinga, bisa terdengar kalau Rico begitu bersemangat.
"Iya, ini aku," sahutku dengan berat hati.
"Ada yang bisa aku bantu? Dengan senang hati!"
Kucurkan saja dana untuk perusahaan suamiku, dan kita sudahi percakapan kita. Cuma ada di benak. Karena yang keluar dari mulut adalah, "Aku akan mengembalikan dua puluh jutamu, Marsel merasa ini tidak adil."
"Tidak adil? Kurang maksudnya?"
"Bukan,"" sanggahku cepat. Aduh! Apa alasan yang harus kukatakan ya?
"Bukan kurang? Lalu?"
"Uhm ...." Aku kebingungan.
"Apa Marsel merasa tidak adil karena istrinya yang harus mengurus sendiri mobil yang rusak karenaku? Begitu?"
"Iya!" sahutku cepat. Baguslah, ada asalan. "Dia minta agar kita bersama-sama mengatur masalah mobil ini, biar sama-sama enak. Dia tidak mau kamu salah sangka dan menganggapku memeras."
Rico tertawa di ujung telepon. Entah apa yang lucu.
"Mau jemput aku di kantorku? Kita sama-sama saja ke bengkel pakai mobil kamu."
"Jemput?"
"Sekalian mampir ke kantor teman lama."
Kuhela napas.
"Aku mintanya ke kantor loh, bukan ke apartemen."
"Tunggu aku di kantor kamu!" seruku cepat, sebelum pembicaraan melebar ke mana-mana.
Apartemen ... apa-apaan?
***
Ketika mobilku tiba di depan lobi YoursBank Indonesia, Rico sudah berdiri menunggu di pelatarannya. Saat aku memintanya masuk ke kursi penumpang, dia justru memintaku berpindah tempat, agar dia yang menyetir. Tidak mau berdebat juga berlama-lama, kupenuhi apa pintanya. Melompat ke kursi penumpang di sebelah kursi pengemudi.
Tidak lama mobil bergerak, kembali berjibaku pada jalanan yang padat.
"Aku enggak nyangka, kalau kita bakal bertemu lagi secepat ini. Kejadian semalam membuatku sedikit pesimis bisa ketemu kamu lagi." Rico memecahkan keheningan di antara kami.
"Aku juga enggak ada niat untuk hubungi kamu kalau bukan Marsel yang minta." Aku mendengkus lelah, melempar pandangan ke sisi kiri jendela.
"Ini kayak takdir ...."
"Takdir my ass ...."
Tawa Rico pecah mendengar sahutanku.
"Astaga, Renata! Kamu sama sekali enggak semanis dulu lagi." Dia masih tertawa, tersedak-sedak dengan kalimat yang diucapkannya.
"Kalau kamu, masih semanis dulu ...." Aku menoleh ke arahnya Rico, yang tawanya segera lenyap saat kalimatku selesai.
Namun, kalimatku tidak hanya sampai di situ. "Entah bagaimana dengan janji yang dulu. Apa masih bisa aku tagih?"
Tiba-tiba mobil berhenti. Kulirik ke depan, lampu merah.
Rico menoleh, menatapku dengan padangan teduh. Senyumnya kemudian mengembang.
"Why don't you try?" tanyanya lembut.
Hati ini tiba-tiba berdesir.
"Alasanku kembali adalah, agar kamu bisa menagih janji yang pernah kuucapkan."
Mataku mengerjap.
"Tadinya aku berniat untuk melamarmu dengan proper kalau kita bertemu. Tapi sayangnya---" Dia berdecak, terlihat kecewa.
"Terlambat." Kulanjutkan ucapannya, kemudian tersenyum miris. "Lagian, aku juga sudah hampir lupa. Sudah lupa malah tadinya." Semoga aku tidak terdengar getir.
Rico tersenyum, ada kepahitan di sana.
"Iya, terlambat," sahutnya. "Tapi kalau kamu mau menagih janjiku, untuk memastikan tidak akan ada yang bisa menyakitimu lagi," Dia menatapku dengan penuh keyakinan, "silakan tagih. Aku akan jadi pelindungmu ... seumur hidup."
Verlita's note:
Ikuti cerita ini di joylada, ya ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top