Bagian 7

Dari semua pelajaran yang ada di sekolah, Salsa paling benci dengan Sosiologi. Jika Biologi karena membosankan dan monoton, maka Sosiologi benar-benar membuat gadis itu merasa muak dengan segala tugasnya yang tak jauh dari makalah. Padahal ia berharap mendapat ekonomi sebagai pelajaran lintas jurusan, tetapi kenyataannya tidak semudah itu.

Contohnya saja seperti saat ini, ia terdampar di salah satu panti asuhan yang berada di pinggiran kota Bandung. Beruntung tugasnya bersifat kelompok, jadi Salsa tidak terlalu pusing karena harus mencairkan suasana. Terbiasa sendiri dan jarang bergaul membuatnya sedikit kaku di hadapan orang baru.

Mereka ditugaskan untuk bersosialisasi dengan anak-anak panti dan melihat ketimpangan sosial apa saja yang terjadi di lingkungan tersebut. Sebenarnya tugas ini baru diberikan tadi, waktu untuk mengumpulkan pun masih seminggu. Namun, baik Salsa dan Anjani ingin segera menyelesaikannya.

"Jadi, Bu, hanya sepuluh anak yang bersekolah?" tanya Anjani.

Sesi wawancara ini sudah berlangsung sekitar sepuluh menit, Salsa juga mendapat sedikit benang merahnya. Ia bertugas sebagai notulen, sementara Anjani yang bertanya kepada ibu panti.

"Iya, Nak. Kami tidak mampu menyekolahkan mereka karena keterbatasan biaya. Pihak panti juga memberitahukan hal ini, jadi tergantung siapa yang mau sekolah atau tidak," jawab Bu Arini selaku pengelola panti asuhan Kasih Bunda itu.

Tangan Salsa dengan cepat mencatat jawaban tersebut, gadis itu tersenyum miris dengan kenyataan ini karena dirinya termasuk ketimpangan tersebut. Ia bersekolah, les offline, dan les online dengan ogah-ogahan jika tidak karena orang tuanya, tetapi di sini banyak anak yang mengharapkan sekolah tapi terhalang biaya.

Mustahil jika mereka tidak ada keinginan sekolah, apalagi bangunan tempat menuntut ilmu itu hanya berjarak 300 meter dari sini. Sedikit banyak pasti ada anak yang lewat untuk pergi dan pulang sekolah di depan panti, sementara mereka hanya bisa memendam keirian.

"Kisaran umur mereka berapa, ya, Bu?" tanya Salsa. Ia juga tak mungkin hanya terus bungkam, sesekali juga ikut menanyakan beberapa hal untuk membantu Anjani.

Arini tidak langsung menjawab, wanita yang kelihatannya lebih tua daripada Safira itu mengerutkan dahi dengan mata yang mengerjap beberapa kali, lalu menjawab, "Enam orang umurnya sekitar tiga belas sampai tujuh belas tahun, lima belas orang kisaran enam hingga dua belas tahun, tiga orang berumur empat sampai lima, lima balita, dan dua bayi yang berada di panti saat ini."

"Dari 21 yang memasuki usia wajib belajar, ada berapa yang bersekolah, Bu?"

"Ada 15, Nak. Lima di antara mereka mendapat beasiswa. Pihak panti memang mengutamakan untuk pendidikan sekolah dasar, jadi yang sudah masuk SMP atau SMA harus cari beasiswa. Kalau tidak, mereka tidak bisa lanjut," ungkap Arini dengan mata berkaca-kaca. Terlihat sekali jika wanita itu ingin menyekolahkan semuanya, tetapi tidak bisa terwujudkan.

Anjani dengan cepat mengambil kesimpulan dari perkataan Arini, ia juga paham dengan hal tersebut. "Berarti lima orang ini sudah SMP dan SMA, ya, Bu? Lalu, satu yang seumuran dengan mereka bagaimana?"

"Dia kerja, katanya kalau ada uang mau ikut paket C. Anak panti yang bekerja uangnya untuk pribadi, panti tidak berhak meminta," jelas Arini.

"Lima orang lainnya tidak bisa sekolah karena keterbatasan biaya, kan, Bu? Apa enggak ada beasiswa untuk mereka?"

"Iya. Enggak ada. Mereka anak-anak yang fisiknya kurang sempurna. Ibu bukan meragukan kecerdasan lima anak ini, hanya saja kasus bullying sekarang sangat menyeramkan. Beberapa anak-anak panti yang sehat saja sampai jatuh sakit karena di-bully."

Wawancara akhirnya berakhir setelah berlangsung setengah jam, Anjani dan Salsa meminta izin untuk berkeliling sebentar sebelum pulang. Mereka ingin melihat suasana panti yang meski berada di tempat keramaian tetapi tetap damai. Keduanya berpencar, Anjani ke ruang bermain, sementara Salsa menuju taman.

Di sana ia melihat tiga anak kecil yang kira-kira masih SD sedang bermain ayunan, lebih tepatnya satu yang bermain, satu tukang dorong, dan satu lagi hanya melihat. Salsa melangkah ke arah mereka untuk bergabung, mungkin tiga anak ini yang kurang beruntung karena tidak bisa merasakan duduk di bangku sekolah dasar.

"Hai, Kakak boleh gabung?" sapa Salsa mencoba meramahkan diri.

"Boleh," sahut anak yang sedari tadi mendorong temannya yang duduk di ayunan.

Tangan Salsa terjulur mengajak kenalan pada anak yang menyahutinya tadi. "Nama kamu siapa?" tanya gadis yang masih memakai seragam sekolah itu.

"Aku Faza," jawabnya.

Salsa beralih pada anak yang duduk di kursi roda sambil menjulurkan tangannya dan mengajak salaman. "Namaku Adelia, Kakak bisa panggil Adel aja," balasnya.

Dahi Salsa mengerut ketika tangannya tak disambut oleh anak yang satu lagi, padahal sudah di depan mata. Faza yang melihat itu segera meraih tangan temannya dan menjabatkan pada tangan Salsa. "Rio. Aku buta, Kak. Maaf gak langsung balas tadi," ucapnya tak enak.

"Nama Kakak Salsa, senang berkenalan dengan kalian. Oh, ya, kok, kalian ke luar dan gak gabung sama yang lain di dalam?" tanya Salsa mencoba basa-basi.

Adel yang tadi sedikit jauh langsung mendorong kursi rodanya untuk mendekat,  ia berhenti di samping kiri Salsa dengan posisi sedikit menyerong. "Mereka lagi belajar, Kak. Kita gak mau ganggu," jawabnya.

"Kami gak sekolah kayak mereka, ibu bilang karena gak ada uang lagi. Uang yang harusnya dipakai buat sekolah disisihkan buat biaya pengobatan. Kaki Adel diamputasi karena kecelakaan, Faza menderita sakit jantung, sedangkan aku gak bisa melihat," ungkap Rio.

Sekarang semakin jelas jika mereka adalah tiga dari lima anak yang kurang beruntung tersebut, tetapi Salsa tidak akan menyinggung hal itu lagi. Ia ingin menghibur mereka atau membuat kesan tersendiri.

"Kak Salsa mau dengar puisi kita?" tanya Faza.

Kepala Salsa langsung menoleh ke arah kanan, Faza masih berdiri di belakang ayunan yang diduduki Rio. "Emang boleh?" tanya Salsa balik

"Boleh. Kakak orang pertama, loh. Soalnya puisi ini mau kita persembahkan buat ulang tahun panti minggu depan, jadi gak ada yang boleh tahu. Karena Kak Salsa bukan penetap di panti, makanya kita mau minta pendapat Kakak. Boleh, ya?" Kali ini Adel yang bertanya kepada Salsa, mata gadis itu menatapnya dengan penuh harapan.

"Oke."

Anak laki-laki berwajah pucat itu langsung berlari masuk ke dalam bangunan panti, bahkan Salsa saja terkejut melihatnya yang tiba-tiba pergi. Ia menoleh ke arah Adel, lalu bertanya, "Faza mau ke mana?"

"Ambil alat musik, Kak," jawab Adel.

Bola mata Salsa melebar, ia tak menyangka anak-anak itu sangat kreatif. Bahkan, gadis itu tidak bisa bermain alat musik sama sekali. Salsa hanya pernah memainkan pianika, itu pun ketika masih sekolah dasar.

Sore itu ia habiskan waktu dengan tiga anak tersebut, mereka tertawa lepas ketika Faza menceritakan hal lucu atau saat Salsa menampakkan wajah konyolnya. Bahkan, waktu gadis itu pamit untuk pulang ketiganya menangis.

"Kakak janji, ya, bakal sering datang ke sini," ujar Adel di sela tangisnya.

Faza sedari tadi tak mau melepaskan pelukan dengan Salsa, ia menangis tersedu-sedu dalam dekapan gadis SMA itu. Sementara Rio tetap diam meski air matanya ikut mengalir, anak laki-laki itu memang tidak banyak bicara.

"Iya, Kakak janji." Salsa sendiri tidak yakin saat mengucapkannya, ia tak punya banyak waktu luang.

Supirnya sudah menunggu di depan gerbang panti asuhan, tangan Salsa melambai pelan tanda perpisahan. Anjani juga berpamitan dan langsung pulang dengan mengendarai motornya. Ia menoleh ke belakang sekali lagi dan ikut sedih melihat Adel, Faza, dan Rio yang menangis, padahal mereka baru pertama kali bertemu.

Saat di dalam mobil, Salsa merenungkan nasibnya. Ia merasa lebih beruntung dibandingkan anak-anak di sana tadi, hidupnya sangat layak dan bisa bahagia jika ada keinginan dalam dirinya. Namun, selama ini ia menutup hal itu.

"Besok aku harus berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top