Bagian 4
Seperti biasa, setiap weekend keluarga Salsa berkumpul di rumah kecuali kakaknya yang saat ini bertugas di salah satu rumah sakit di Surabaya. Namun, mereka tetap sibuk dengan tugas masing-masing. Apalagi Salsa memang tidak diizinkan libur belajar, sehingga ia menghabiskan waktu di gazebo kecil yang berada di belakang rumah.
Suasana sejuk karena banyak pohon-pohon membuat gadis itu merasa cukup relaks meski otaknya mendidih dan kadang menolak pemahaman materi dari aplikasi belajar online. Buku-buku yang berserakan di atas meja membuat Salsa semakin pusing melihatnya. Sudah tiga jam ia menghabiskan waktu di sini, ditemani cemilan dan minuman soda.
Terbesit di benaknya untuk menyeburkan diri di kolam renang yang berada di sisi lain taman belakang ini, tapi kemudian diurungkan karena ia tak mau diomeli mamanya. Tak lama, Safira berjalan ke arahnya dan meletakkan sepiring brownis. Wanita itu sedari pagi memang bertempur dengan peralatan dapur untuk membuat stok cemilan selama seminggu ke depan, aktivitas ini rutin dilakukan setiap akhir pekan.
"Kalau udah habis, ambil aja ke dapur. Mama simpan di atas meja dekat kulkas," pesan Safira sebelum kembali masuk ke rumah.
"Oke, Ma. Makasih," balas Salsa.
Perhatian-perhatian kecil seperti ini dari kedua orang tuanya yang membuat Salsa tidak bisa membenci mereka, meskipun ia selalu dikekang dan harus melakukan perintah dari keduanya. Sembari lanjut belajar, gadis itu memakan brownis buatan Safira sedikit demi sedikit. Lembut teksturnya membuat Salsa tidak pernah bosan, rasanya juga selalu enak dan pas di lidah.
"Bila kertas lakmus merah dicelupkan dan berubah warna menjadi biru, maka larutan tersebut bersifat basa. Sebaliknya, jika lamkus biru dicelupkan hingga menjadi warna merah, maka larutan tersebut bersifat asam." Penjelasan tutor tersebut diingat-ingat oleh Salsa sambil dicatat ke buku kecil khusus untuk rumus kimia, sementara catatan lengkapnya di binder.
Setelah paham dengan materi yang dijabarkan, Salsa lanjut mengerjakan latihan soal. Ia harus mengisi sifat larutan atau warna kertas sebelum dan sesudah dicelupkan pada beberapa larutan yang tertera di tabel. Sambil mengisi jawaban, gadis itu mengingat-ngingat apa yang tadi dipelajari. Otaknya memang agak susah diajak untuk bekerja, sehingga perlu sering diasah.
Gadis itu tersenyum melihat kotak yang tadi kosong sudah terisi semua, ia puas meski belum tahu benar atau salah. "Akhirnya, selesai juga," ucap Salsa sambil merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku.
Diliriknya jam yang tertera di layar ponsel, sudah pukul sebelas siang. Ia ingin tidur sebentar sebelum lanjut belajar lagi, lagi pula mata Salsa sudah memerah dan lelah karena terlalu lama menatap ponsel dan kertas. Ia meraih ponsel ber-case doraemon untuk keluar dari aplikasi bejar online, lalu mengemaskan buku-buku dan menyusun rapi sesuai mata pelajaran.
"Kok, udah selesai, Sal?" tanya Bram saat Salsa memasuki rumah dengan menenteng buku-bukunya.
"Istirahat bentar, Pa, nanti lanjut lagi," jawab Salsa.
Dahi Bram langsung mengerut ketika mendengar jawaban dari Salsa, lalu tak lama Safira ikut menyeletuk, "Kamu baru belajar sebentar, Sal. Contoh Rachel, dia belajar siang malam dan terbukti sekarang udah sukses jadi dokter. Harusnya kamu bisa kayak dia, tapi apa buktinya? Kamu dimasukin les, belajar online, disekolahin, hasilnya mana? Dulu kakak kamu waktu zaman sekolah udah bisa buat mama dan papa bangga dengan jadi perwakilan lomba fisika se-Indonesia, belum lagi perlombaan lain."
"Iya, kalau bisa kamu juga harus jadi dokter kayak Rachel," sahut Bram.
Salsa hanya terdiam mendengar ucapan orang tuanya, ia tahu maksud mereka baik tetapi bukan seperti ini caranya. Gadis itu yakin bisa sukses melebihi kakaknya, hanya saja patokan Safira dan Bram adalah dokter sehingga sulit ada peluang profesi lain. Menurut keduanya, pekerjaan tersebut sangat bergengsi dan keren daripada profesi lain.
Tak ingin lebih lama mendengar ucapan kedua orang tuanya, Salsa memutuskan untuk pamit ke kamar. Ia meletakkan buku ke meja belajar dan duduk di kursi untuk sekadar mengatur napas dan mengendalikan amarah. Walaupun sering kali kejadian ini terjadi, tetap saja gadis itu tidak tahan dibanding-bandingkan dan selalu jadi bayangan Rachel. Mereka dua orang yang berbeda, apa Bram dan Safira tidak mengerti?
Dibukanya laci yang berada di meja belajar, lalu mengambil sebuah kunci yang diletakkan di sana. Ia meraih kotak yang tersusun rapi di antara buku-buku, kemudian membuka gembok dan mengeluarkan buku dari sana.
Dear diary.
Entah sudah berapa kali mama dan papa membandingkanku dengan Kak Rachel, tapi rasanya tetap saja sakit. Aku juga anak mereka, hanya saja perhatian keduanya lebih besar pada kakakku.
Apa karena Kak Rachel lebih pintar?
Ataukah gara-gara aku yang terlahir bodoh?
Mungkin dua-duanya benar. Aku hanya berharap jika di masa depan nanti bisa sukses seperti Kak Rachel, meskipun bukan dengan menjadi dokter seperti yang mama dan papa inginkan.
Sekali saja ....
Aku ingin bebas seperti burung-burung yang terbang di langit, pergi ke mana pun sesuka hati mereka. Aku berharap layaknya kura-kura, berjalan lambat di depan lain tapi sebenarnya memiliki kekuatan berlari dengan cepat.
Ya, seperti itu. Biarlah orang lain menganggapku bodoh, tapi di masa depan nanti aku memiliki kekuatan yang besar tanpa mereka ketahui.
Selepas menulis curahan hatinya hari ini, Salsa kembali memasukkan buku ke kotaknya dan langsung digembok. Ia tak mau ada orang lain yang membaca tulisan tersebut, meskipun mustahil itu terjadi. Sambil merebahkan diri di kasur, Salsa memutuskan untuk menelepon kakaknya. Kemungkinan Rachel sedang istirahat karena sekarang sudah jam makan siang.
Hingga deringan tiga Rachel belum juga menjawab panggilannya, ia mulai pesimis bisa berbincang sebentar dengan kakaknya. Mungkin gadis 24 tahun itu sedang ada pasien dan tidak melihat ponsel, sehingga jika panggilan ini tidak terjawab gadis tak akan menghubungi lagi. Namun, pada dering keenam suara Rachel menyapa terdengar di telinga.
"Halo, Kak Rachel. Kakak apa kabar? Baik-baik aja, kan?" sapa Salsa.
Cukup lama Salsa menunggu jawaban dari Rachel, tetapi tidak ada jawaban. Dilihatnya layar ponsel yang masih menampilkan jika telepon mereka masih terhubung. "Iya, Sal? Ada apa? Tadi Kakak habis ke toilet sebentar," jawab Rachel.
"Enggak, cuma kangen aja. Kakak apa kabar?" tanya Salsa mengulang pertanyaannya tadi.
Suara tawa Rachel terdengar renyah, bahkan Salsa ikut tersenyum. "Kamu, tuh, selalu nanya kabar kakak kalau kita lagi teleponan. Kakak baik, selalu baik. Harusnya kakak yang nanya kamu, kamu baik-baik aja, kan? Papa sama mama-"
"Baik, Kak. Kak, aku mau cerita," potong Salsa sebelum Rachel menyelesaikan ucapannya.
"Apa?"
Sebelum berbicara lebih lanjut, Salsa memilih dahulu cerita yang akan dicurhatkan. "Kemarin mama dipanggil ke sekolah karena aku termasuk murid berprestasi," ucapnya.
"Oh, ya? Bagus, dong," sahut Rachel.
"Iya, aku seneng banget. Akhirnya, bisa juga masuk salah satu murid berprestasi." Salsa menutup mulutnya seolah Rachel bisa melihat, ia kelepasan. Gadis itu menepuk bibirnya berkali-kali sebagai hukuman kecil telah kecoplosan bicara.
"Bentar, salah satu? Mama gak marahin kamu, kan? Kayaknya mustahil kalau kamu dibiarin gitu aja, pasti kamu disuruh belajar mati-matian lagi sama mereka dan gak diberi waktu istirahat?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top