Bagian 24

Sepulang dari les, Bram langsung menyuruh Salsa segera membersihkan diri dan turun untuk makan malam. Sepertinya ada yang ingin disampaikan oleh pria itu, terlihat sekali jika ia sampai diberikan waktu sepuluh menit untuk bersiap. Beruntung Salsa bukan termasuk orang yang mandi dalam waktu lama, biasanya ia hanya memakan waktu lima sampai tujuh menit saja, kecuali ketika berendam.

Gadis itu menatap pantulan cermin westafel di kamar mandinya, meskipun tubuhnya terlihat lebih segar setelah mandi tetapi rasa badannya masih lesu. Ia mengambil ikat rambut di dalam laci, lalu menggunakannya hingga rambut berwarna cokelat itu berkuncir kuda.

"Cantik," pujinya.

Namun, binar matanya kembali meredup ketika mendadak teringat sesuatu. "Tapi kalau dibandingin sama Kak Rachel jauh banget," bantah Salsa.

Ia segera keluar dari kamar dan turun ke dapur, tetapi ketika melewati ruang keluarga Salsa melihat sesuatu yang tak asing sehingga gadis itu memutuskan untuk berbelok sebentar. "Loh, ini apaan, Pa?" tanya Salsa sambil mengangkat lembaran brosur yang terletak di atas meja dan membawanya ke ruang makan.

"Les buat kamu," jawab Bram santai. Pria itu menyesap secangkir teh yang disediakan oleh Safira, sementara istrinya itu sedang menyiapkan makan malam mereka di dapur kotor.

"Aku pindah tempat les?" tanya Salsa lagi, ia sama sekali tidak mengerti dengan siatusi ini. Jika memang harus pindah, ia benar-benar berharap jika teman sekelasnya nanti lebih bisa terbuka terhadap dirinya. Walaupun tempatnya lebih jauh pun tidak apa-apa karena gadis itu tahu tak ada lagi tempat les yang lebih baik dari sekarang.

"Tambahan, nanti gurunya datang langsung ke rumah dan muridnya cuma kamu sendiri. Jadi lebih fokus dalam proses belajar mengajarnya," bantah Bram.

Harapan Salsa seolah diterjunkan dengan bebas, ia menatap Bram tak percaya. Gadis itu sama sekali tidak menyangka papanya semakin menekan waktunya untuk belajar hingga sampai memberikan les tambahan, padahal sekarang saja kepalanya pening karena terlalu sering menatap huruf dan angka-angka.

"Terus les aku yang ini gimana?"

"Tetap, kalau di sana, kan, cuma hari Senin, Rabu, Kamis, dan Sabtu sore. Nah, kalau yang ini setiap malam di rumah," balas Bram tanpa beban, tetapi hal tersebut membuat kepala Salsa seakan ingin pecah.

Safira datang dengan membawa lauk yang dimasaknya, melihat itu Salsa langsung bergerak membantu mengangkut masakan yang sudah jadi dari dapur kotor ke meja makan. Ia tidak ingin lagi mendengar ucapan Bram, bibirnya dikatupkan dengan rapat agar tak mengeluarkan suara yang malah bisa memperkeruh keadaan.

"Ini juga untuk kebaikan kamu, Sal. Turutin aja, siapa tahu setelah sering belajar kayak gitu bisa buat kamu pintar," celetuk Safira.

Selera makan Salsa benar-benar hilang setelah mendengar suara Safira, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran kedua orang tuanya. Tak bisakah mereka percaya dengan kemampuan yang dimilikinya, gadis itu lelah selalu ditekan seperti ini.

Tangannya bergerak sedikit cepat menyuap makanan, ia muak berada di sana. Namun, rasanya tidak enak kembali ke kamar sementara nasi yang di piringnya belum habis. Sehingga, Salsa memutuskan untuk menghabiskan terlebih dahulu.

"Aku ke kamar dulu, Ma, Pa, ada tugas buat besok," pamit gadis itu.

Langkah kakinya melebar meninggalkan ruang makan, sesekali juga berlari ketika menaiki tangga. Setelah sampai di kamar, ia langsung mengunci pintu agar kedua orang tuanya tidak bisa masuk untuk mengecek.

"Gila, aku bener-bener bisa gila kalau gak sukses di masa depan nanti," gumam Salsa sambil menjambak rambutnya.

Ia berjalan menuju meja belajar dan duduk di sana, tidak ada rasa ketenangan di dalam hati gadis itu. Setiap hari ada saja rasa gelisah dan ketakutan, tetapi Salsa selalu berhasil menutupinya di depan orang lain.

Matanya memandang jejeran buku-buku tebal berbagai pelajaran yang tertata di meja belajar dan pojok kiri dekat pintu, otaknya terasa ingin meledak karena terus-menerus belajar. Jika ia belajar sendiri terasa lebih santai, tetapi ketika ada guru yang mengajar dan mengawasi maka Salsa merasa otaknya lebih terkuras dan dipaksa untuk memahami.

Baru saja ingin membuka buku dan mengerjakan tugas untuk besok, suara Safira terdengar dari lantai bawah. "Salsa, turun!" perintahnya.

Sebelum beranjak, Salsa menarik napas dalam dan menghembuskan secara perlahan. Ia mencoba mengontrol emosinya agar tidak meledak dan berakhir menangis di depan Safira atau Bram. Setelah berhasil menenangkan diri, barulah gadis itu keluar dari kamarnya dan turun lagi ke ruang keluarga.

"Kenapa, Ma?" tanya Salsa.

"Tadi teman mama ada nelepon, dia setuju buat ngajar kamu les setiap weekend. Nanti lesnya via online," jelas Safira.

Belum selesai dengan keterkejutannya dari Bram, kali ini Safira kembali menambahkan beban. "Tapi, Ma ...." bantah Salsa, ia seolah kehilangan kata-kata untuk membalas. Otaknya belum bisa mencerna semua ini, belum lagi dengan kepalanya yang mendadak pusing.

"Gak ada bantahan, ya, Salsa! Kamu kalau gak dikasih les tambahan kayak gini pasti bakal keluyuran, sekalian biar otak kamu lebih terasah juga. Mulai sekarang gak ada waktu buat berleha-leha lagi, kamu wajib belajar dari pagi sampai malam," tuntut Safira tegas.

Salsa hanya mengangguk pelan, ia tidak berani lagi untuk membantah. Mungkin sudah takdirnya terus-menerus ditekan, gadis itu berharap fisik dan mentalnya bisa melewati semua ini. Terutama otaknya, ia selalu berdoa agar suatu saat nanti stress berat dan berakhir hilang kewarasan.

"Udah, tidur sana! Sistemnya mulai berlaku besok, jadi jam empat pagi kamu harus bangun dan belajar dulu sebelum berangkat sekolah."

Rasanya Salsa juga ingin mengikuti perkataan Safira tadi, tetapi tugas yang harus dikumpulkan besok terlalu banyak. Jika dikerjakan subuh nanti mustahil bisa selesai, sehingga ia memutuskan untuk mengerjakan sekarang. Lagi pula Salsa sudah terbiasa tidur malam dan bangun pagi.

Tangannya dengan lincah mencari jawaban dari soal Sejarah yang diberikan tadi siang, melihat soalnya saja ia tidak sanggup. Semua harus dijelaskan secara detail dan tulis tangan, belum lagi dengan tugas Kimia yang menunggu untuk dikerjakan.

"Kimia besok subuh aja," ucap Salsa ketika berhasil menyelesaikan tugas Sejarah miliknya.

Ia melirik jam bergambar doraemon yang terletak di meja belajar, sudah pukul setengah dua belas malam. Salsa memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya, besok adalah hari yang berat dan membutuhkan energi lebih besar.

"Kak Rey udah tidur belom, ya?" Gadis itu meraih ponselnya yang terletak di atas nakas, ia ingin menghubungi Rey dan menceritakan hal yang terjadi hari ini. Namun, Salsa takut laki-laki yang berstatus sebagai pacarnya itu sudah tidur dan menjadi terganggu jika ia mengirim pesan.

"Aku kangen Kak Rey."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top