Bagian 2

Panas matahari semakin terik, padahal jam baru saja menunjukkan pukul sembilan pagi. Dua kipas angin yang berada di langit-langit kelas seolah tidak berfungsi, bahkan angin yang keluar masuk dari jendela membawa hawa panas. Apalagi Pak Vito-guru matematika-sedari lima belas menit yang lalu berkeliling dan memantau agar tidak terjadi kecurangan, menambah kepanasan dalam kelas dua belas IPA satu ini.

Laki-laki berkemeja batik itu berhenti di samping meja Salsa, matanya memperhatikan kertas coretan yang berada di atas meja, lalu bertanya, "Sudah selesai, Salsa?" Gadis itu dari tadi hanya mencoret asal tanpa mengerjakan soal, sehingga ia memutuskan untuk menghampiri.

"Masih dua yang belum, Pak," jawab Salsa.

Waktu pelajaran matematika masih 15 menit lagi, sementara Salsa benar-benar lupa rumus untuk mengerjakan dua soal yang tersisa. Satu pelajaran kelas sepuluh, satunya lagi materi kelas sebelas. Percuma saja memanjangkan leher atau menoleh ke arah belakang, Pak Vito tak segan merobek kertas ulangan seperti dua temannya tadi saat ketahuan mencontek dan memberi contekan.

Ia tidak mau hasil yang sudah dikerjakan susah payah ini hangus hanya karena dua soal yang tersisa, apalagi tak ada remidi atau susulan. Lima menit terakhir sebelum bel pergantian pelajaran, Salsa teringat dengan rumus soal nomor sembilan yang belum dikerjainya.

"Kalau tangen alpha sama dengan sin alpha per cos alpha, berati kotangen sama dengan cos alpha per sin alpha. Kenapa gak dari tadi, sih, inget rumusnya!" gerutu Salsa sambil mengerjakan ke lembar jawaban tanpa mencoret ke kertas coretan terlebih dahulu, sudah tidak ada waktu lagi untuk menulis dua kali.

Tepat saat bel berbunyi, Salsa selesai menulis jawaban. Ia menatap nomor tujuh yang masih bersih dari jawaban, gadis itu mendesah pelan saat teringat mamanya yang pasti akan mengomel. Sembilan nomor yang dikerjakannya saja belum tentu benar, ditambah lagi satu nomor yang tidak berisi. Sudah pasti jika nilai ulangan kali ini jauh dari kata sempurna.

Tangan Salsa memegang kertas jawaban dengan erat, rasanya ia ingin meminta waktu tambahan meski terdengar sangat mustahil. Lembar jawaban diletakkan di atas meja guru, lalu gadis itu berjalan mundur sambil menatap nanar kertas miliknya yang sudah tertimpa dengan lembaran lain.

"Oke, pelajaran cukup sampai di sini. Bapak harap nilai ulangan kalian kali ini lebih bagus daripada yang sebelumnya, besok bapak akan mengirimkan nilai lewat email ke ketua kelas. Siang, Class," ucap Pak Vito mengakhiri pertemuan pada hari ini.

Setelah Pak Vito keluar dan pintu kelas kembali tertutup rapat, Daren selaku ketua kelas maju dan menuliskan sesuatu di papan tulis. Tampaknya pelajaran Seni Budaya hari ini tidak ada guru, sehingga meninggalkan tugas yang harus dikumpulkan minggu depan. Salsa menelungkupkan kepala ke atas meja, akibat mengerjakan ulangan tadi kepalanya terasa mengeluarkan kempulan asap.

Ia kembali duduk tegak dan mengacak rambutnya sambil meringis, sakit kepalanya mendadak hilang saat teringat jika mamanya pasti akan lebih dahulu mendapat laporan nilai. Salsa tidak mengerti dengan para guru yang selalu mengadukan nilai dan perbuatannya selama di kelas kepada kedua orang tuanya, sehingga setiap hari ada saja hal yang menjadi pembahasan Safira tentang sekolah Salsa selama berada di rumah.

Tepukan di bahunya membuat Salsa menoleh ke belakang, ia mengangkat sebelah alis sebagai isyarat karena terlalu malas untuk mengeluarkan suara.

"Kenapa lo?" tanya Anjani.

Dari dua puluh siswi di kelasnya, ia memang lebih dekat dengan Anjani. Selain selera mereka hampir sama, hanya gadis itu yang selalu mengajaknya mengobrol atau mendekatinya terlebih dahulu. Salsa memang tidak terlalu pandai bergaul dan agak kaku, tapi berbeda jika berhadapan dengan teman-teman terdekatnya.

Sebelum menjawab, Salsa memutar bangku menghadap belakang. Ia kembali menghela napas, kemudian mengatakan, "Mama pasti bakal marahin aku karena gak bisa ngerjain ulangan tadi. Aku cuma bisa sembilan soal, itu pun belum tentu betul semua."

"Ya elah, Sal. Lo bersikap kayak biasa aja, diam dan gak perlu ngasih perlawanan. Gue yakin, kok, mama lo pasti bakal berhenti sendiri," sahut Anjani santai.

"Iya, sih."

❤❤❤

Orang tua Salsa dipanggil sebagai salah satu murid berprestasi, Safira datang sebagai perwakilan karena kebetulan sedang tidak melakukan penelitian. Ia baru saja diberi cuti setelah melakukan perjalanan ke puncak kemarin, timnya berhasil mendeteksi bakteri baru yang tumbuh di daerah pergunungan.

"Ini, Bu Safira, laporan pembelajaran Salsa dari kelas sepuluh sampai sekarang. Nilainya berkembang cukup pesat, Salsa juga selalu juara satu di kelas. Sayangnya, dia tak pernah ikut lomba mewakili sekolah, sehingga tidak ada sertifikat yang bisa memudahkan dan menjadi pertimbangan masuk ke perguruan tinggi nanti," lapor Pak Willy selaku kesiswaan.

Di ruangan yang cukup besar itu, ada tujuh orang tua yang dipanggil menghadap kepala sekolah. Masing-masing diambil juara satu di kelas, empat dari IPA dan tiga dari IPS.

"Sebenarnya nilai Salsa paling tertinggi, tapi seperti yang Pak Willy bilang tadi, tidak ada prestasi dari Salsa untuk sekolah," ungkap Martin.

Kepala sekolah SMA Negeri satu itu tampak tenang, kemudian ia memberikan masing-masing satu amplop kepada Safira dan orang tua murid yang lain. "Itu undangan untuk berkunjung di Universitas Awan Terbang, mereka diajak untuk mengenal lingkungan kuliah di sana," jelasnya.

Safira tidak puas karena Salsa bukan satu-satunya murid berprestasi di sini, tapi ia tetap mengusahakan tersenyum agar terlihat lebih ramah. Saat dipersilakan bubar dan kembali ke rumah masing-masing, bertepatan dengan b jam pulang sekolah.

"Salsa!" panggil Safira saat melihat Salsa baru saja turun dari lantai dua.

"Kok, Mama ada di sini?" tanya Salsa, gadis itu terkejut melihat mamanya yang berada di sekolah. Tidak mungkin secara cuma-cuma dan iseng untuk menjemputnya.

"Dipanggil gurumu," jawab Safira.

Ibu dan anak itu masuk ke mobil berwarna merah milik Safira. Sepanjang perjalanan, telinga Salsa kembali panas karena mendapat omelan dari mamanya. Kali ini bukan karena nilai ulangan, tapi karena Salsa tidak memiliki prestasi untuk sekolah.

"Bahkan, Pak Martin menahan mama lebih lama tadi untuk membicarakan kamu. Ia sangat menyayangkan lomba-lomba yang gak pernah kamu menangi," kata Safira.

Semenjak masuk mobil hingga sekarang, Salsa tetap mengatupkan bibirnya dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Apa pun bentuk pembelaan dirinya tidak akan pernah didengar dan tetap saja disalahkan, jadi lebih baik ia diam saja.

"Kamu itu bodoh, Sa. Kalau kamu kayak gini terus, gimana mau sukses? Belajar, dong! Lihat kakak kamu, dia bisa jadi dokter karena cerdas. Kamu belajar keras aja belum tentu bisa menyamai prestasi kakak kamu, apalagi kalau nggak belajar dan malas-malasan," murka Safira tanpa bisa dicegah saat mobil berhenti di garasi rumah.

Sebelum turun dari mobil, Safira sempat mengatakan, "Hidup itu harus berguna dan tahu balas budi!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top