Bagian 11
Awan-awan hitam sudah merata di langit, matahari juga tidak menampakkan diri. Hawa udara yang dingin menandakan akan turun hujan, apalagi guntur terdengar seolah bersahutan sejak tadi. Namun, hal tersebut tak membuat semangat Salsa untuk berangkat sekolah menjadi luntur. Bahkan, mood-nya menjadi naik berkali-kali lipat.
"Aku seneng, deh, diantar papa ke sekolah," ucap Salsa.
Bahagianya memang sederhana, cukup diantar Bram ke sekolah saja Salsa sudah kegirangan. Ini adalah pengalaman pertama untuk gadis itu, sejak taman kanak-kanak hingga duduk di bangku SMA ia selalu diantar oleh supir. Spesial hari ini, Pak Ardi dibawa Safira ke daerah perbukitan untuk melakukan penelitian.
Perkataan Salsa tidak langsung disahut oleh Bram, tiga menit kemudian barulah pria separuh baya itu membalas, "Sekolah kamu jauh dari kampus papa, terlalu makan banyak waktu kalau harus nganterin kamu dulu."
Dalam hati gadis itu membenarkan hal tersebut, bahkan hari ini papanya harus putar balik lagi karena persimpangan menuju sekolah dan kampus beda arah. Mungkin saat Salsa masuk kuliah di tempat yang sama dengan Bram mengajar barulah bisa berangkat bareng, tetapi sepertinya hanya harapan saja karena pasti ia disuruh mendaftar di kampus terbaik se-Indonesia.
"Kenapa aku gak disekolahin yang dekat aja? Padahal banyak sekolah dilewatin," tanya Salsa.
"Kualitasnya beda. Kamu gak sadar kalau setiap sekolah yang papa atau mama daftarin itu terbaik di Bandung? Dari segi pelajaran, guru, pergaulan, udah beda jauh. Lebih berkelas," jawab Bram dengan tatapan yang masih fokus ke jalan.
Saat itu pula Salsa baru sadar jika orang tuanya selalu ingin yang terbaik, tetapi sikap mereka membuatnya buta dengan semua itu. "Iya juga. Makasih, Pa. Rasanya aku beruntung banget, maaf belum bisa buat papa dan mama bangga. Aku janji, suatu saat nanti bakalan sukses," kata Salsa penuh keyakinan.
Tapi dengan caraku sendiri, sambungnya dalam hati.
"Bagus. Papa tunggu saat itu tiba," sahut Bram.
Sesampainya di sekolah, Salsa berpamitan dengan Bram. Setiap langkah gadis itu terlihat riang dan auranya memancarkan kegembiaraan. Anjani yang duduk di depan Salsa pun terlihat kebingungan hingga bertanya, "Kamu agak aneh hari ini. Ada apa?" Ia memutar tubuh agar berhadapan langsung dengan teman sekelasnya itu.
"Gak ada apa-apa, cuma lagi senang aja. Kenapa? Gak boleh?" tanya Salsa balik.
"Stress, ya? Kebanyakan belajar, nih. Jadi gini efek sampanginya," balas Anjani.
Salsa tidak lagi menyahut, ia tenggelam dengan buku pelajaran yang berada di atas meja dan tangan bergerak lincah di kertas coretan. Anjani semakin meringis melihat kelakuan gadis yang duduk di belakangnya, lalu mengatakan, "Mabok MTK kayaknya."
Selama berada di sekolah, mood Salsa tetap terjaga. Bahkan, ia semakin giat belajar. Padahal biasanya meski terlihat giat, tetapi jauh di dalam hatinya masih ada pemberontakan. Beberapa kali gadis itu bisa menjawab pertanyaan dari guru padahal tadi malam ia masih tak memahami materi tersebut dan berniat menanyakannya.
"Sal, jangan gitulah!" protes Anjani saat bel istirahat pertama berbunyi.
Dahi Salsa mengernyit heran, ia tidak merasa melakukan hal aneh yang membuat kerugian pada orang lain. Sikap Anjani dari tadi pagi pun menurutnya juga sedikit aneh, selalu mengingatkan agar ia bertingkah biasa. "Apa, sih? Kamu kalik yang aneh," tuduh Salsa.
"Gak sadar apa dari masuk kamu udah senyum-senyum sendiri. Nanti dikira gila, loh," ujar Anjani.
"Aku, kan, udah bilang lagi seneng hari ini," balas Salsa tidak terima.
Mata Anjani berputar malas, ia mengambil kotak bekal dan air putih yang terletak di mejanya, lalu memutar bangku agar berhadapan dengan Salsa. "Seneng gara-gara apa? Ada cowok yang nembak?" tanya Anjani.
Tangan Salsa melayang ke bahu gadis itu, memukulnya sedikit keras hingga Anjani meringis. "Sakit tahu," pekiknya.
"Ngeselin, sih. Ngomong yang enggak-enggak," ucap Salsa.
"Kan, gak tau. Makanya cerita, dong!" pinta Anjani sambil menyuap makanan ke mulutnya.
Salsa menimbang-nimbang harus bercerita kepada Anjani atau tidak, lalu gadis itu memutuskan untuk buka suara. "Tadi pagi aku diantar sama papa. Seneng banget rasanya. Waktu masuk mobil, aku sampai nanya-nanya dalam hati. Ini mimpi atau bukan, ya? Terus nyubit tangan. Eh, sakit, dong. Ternyata bukan mimpi," ungkap Salsa girang.
Dari nada bicara gadis itu, Anjani sedikit kasihan melihatnya. Ia tahu jika Salsa tidak pernah merasa baik-baik saja, hingga memutuskan untuk membuat klub. Ini juga pertama kalinya Salsa seterbuka itu kepada orang lain.
"Oh, ya? Terus gimana? Papa kamu ada bilang apa?" tanya Anjani seolah-olah antusias dengan cerita Salsa.
"Gak gimana-gimana, tapi diantar ke sekolah aja aku udah bersyukur banget," jawab Salsa.
❤❤❤
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Salsa berniat singgah ke toko kue dan es krim untuk menemaninya belajar di rumah. Bram sempat bilang jika ia pulang sedikit larut karena ada rapat dosen dan tambahan kelas malam, sementara Safira baru pulang besok. Sehingga, ia memutuskan naik taksi saja karena belum pernah naik bus tetapi tidak langsung pulang ke rumah.
"Red velved satu, ya, Kak," pesan Salsa setelah melihat kue yang disajikan di toko ini.
"Bungkus atau makan di sini, Kak?"
"Bungkus."
"Totalnya 48 ribu," balas gadis yang menjaga kasir kasir.
Kue yang dijual memang berukuran besar, kecuali memesan setengah bagian. Hanya saja, Salsa sangat suka dengan red velved sejak pertama kali Rachel membelikannya. Jadi, memakan sendiri dengan porsi banyak pun tetap saja habis.
Gadis itu mengeluarkan uang berwarna biru dari saku seragamnya, ia memang membawa uang jajan lebih hari ini. Belum lagi tadi pagi Bram menambahkan 50 ribu untuk ongkos pulang. Salsa merasa mendapat keberuntungan dan bisa menabung lebih.
Saat menunggu pesanannya dibuat, ia tak sengaja melihat keluarga yang tampak bahagia. Air mata Salsa mengalir dengan sendirinya, gadis itu tak pernah berada di posisi tersebut. Sekadar tertawa bersama orang tuanya saja sangat jarang, apalagi selepas itu mengekspresikan kebahagiaan.
Samar-samar, ia masih bisa mendengar percakapan mereka. "Nanti kalau aku udah tujuh tahun, kita rayain di sini lagi, ya," pinta sang anak.
"Boleh. Papa bakal beli kue yang banyak buat kamu," sahut pria yang tampak lebih muda dari Bram itu.
"Nanti mama juga bakal beliin boneka yang besar banget buat kamu."
Air mata Salsa semakin deras, ia sangat ingin berada di posisi tersebut. "Kapan aku bisa kayak gitu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top