9. Status

Shilla membuka mata. Ia mengerjap mengumpulkan kesadaran. Saat kantuknya berangsur hilang, ia melirik pada jam dinding kamar dan ... "Astaga! Bolunya!" Ia berdesis kesal pada dirinya sendiri yang ... sebentar, kenapa ia ada di kamar? Bukankah terakhir yang ia ingat, ia tengah mengipasi bolu agar dingin sebelum dikemas dalam kotak?

Menoleh pada Andra yang tampak terlelap, Shilla mengerjap pelan dengan pikiran yang berasumsi. Mungkinkah Andra? Membayangkan dirinya berada dalam gendongan Andra, rona merah pekat seketika tergambar di pipi gadis itu. Setelah beberapa bulan mereka menikah, mungkinkah Andra mulai membuka hatinya pada Shilla? Jika iya, Shilla rela memberikan apapun yang gadis itu miliki untuk suaminya. Untuk Andra yang memberinya tempat ternyaman untuk berlindung dan bernapas. Keluarga.

Menghela napas lirih, Shilla bergerak pelan menggeser guling warna merah agar bisa menatap wajah pria yang kini mengisi hatinya. Senyumnya terkembang manis dengan binar mata yang menyoroti kelembutan. Tangan gadis itu perlahan terulur mengusap lembut kening hingga rambut tebal Andra.

Andra bergerak. Shilla segera mengangkat tangannya dan bergerak seolah-olah baru bangun dari tidur. Jangan sampai Andra tahu apa yang gadis itu lakukan sesaat lalu. Bisa bahaya nanti.

"Shil?"

"Ya?" Suara Shilla tampak gugup.

"Sudah pagi?" Andra menguap lalu memutar tubuhnya hingga menghadap Shilla.

Shilla mengangguk. "Sudah. Ini Shilla mau beresin bolu terus siap-siap antar ke rumah Bu Yudi."

"Capek, ya?" Andra tersenyum dengan tatapan lembut pada Shilla. "Abang gak tega lihat kamu semalam."

"Abang yang ... bawa Shilla ke kamar?"

Mengangguk, Andra bangun dari tidur dan bersandar pada kepala ranjang. "Kalau capek, besok-besok, mending gak usah ambil pesanan atau batasi jumlah pesanannya."

Shilla menunduk malu dan menggeleng. "Tapi Shilla suka. Memang lelah, tapi nanti juga terbiasa. Maaf kalau Shilla jadi merepotkan Abang."

"Gak repot, kok," tukas Andra santai. "Oya, segera siap-siap. Abang mau ajak kamu pergi. Kita antar pesanan bolu ke Bu Yudi dan Mamak Menik dulu, baru ikut Abang."

"Kemana? Abang ada acara?"

Andra menggeleng. "Lagi mau refreshing aja. Ajak kamu biar gak bosan di rumah."

"Kemping kayak Bang Hesta sama Mbak Loli?" Suara Shilla terdengar antusias.

Sayangnya, Andra menggeleng dengan tawa kecil. "Saya tidak suka kamping, Shil. Orang susah-susah membuat kasur untuk kita tidur, kenapa kita justru pilih istirahat di atas tanah? Abang kurang sepaham dengan pemikiran orang-orang sejenis Hestama."

Shilla tertawa kecil. Ia menutupi mulutnya dengan satu tangan. Entah mengapa, tampak manis di mata Deandra. Padahal gadis itu belum mandi dan rambutnya masih merantakan. "Jadi, kita mau kemana?"

Menyernyit sesaat, Andra lantas menjawab. "Ancol saja."

"Oke. Shilla siap-siap kalau begitu." Tersenyum ceria, istri rasa adik Andra ini turun dari kasur dan bergegas menuju dapur.

****

Senyum Shilla tak pernah padam. Sejak keluar kawasan Bekasi hingga mobil mereka memasuki Taman Impian Jaya Ancol. Ramai pengunjung yang berada di tepi pantai, suara teriakan orang-orang yang terlihat di wahana Dufan, hingga badut-badut yang berdiri di beberapa titik, membuat ceria Shilla semakin kentara.

"Belum pernah ke sini?" tanya Andra yang ikut tersenyum melihat rona bahagia Shilla.

Menggeleng pelan seraya menyeringai malu, Shilla menjawab, "Belum sempat. Padahal dulu Ayah pernah janji ajak Shilla dan Ibu ke sini, tapi sudah keburu nikah lagi."

Andra berdeham singkat dengan satu anggukan. Ia simpati dengan nasib naas yang keluarga Shilla alami, terutama gadis itu yang telak menjadi korban. "Mau ke mana dulu?"

Shilla tampak mengulum bibirnya dan memutar bola mata. "Shilla penasaran dengan sea world, gondola, pantai dan ... musium patung lilin itu."

"Ya sudah, kita parkir mobil dulu. Nanti ke tempat-tempat itu naik bis wara wiri saja."

"Owh, yang ada stasiunnya tadi itu, ya?"

Andra mengangguk mantap. "Yup."

Tangan Shilla menggandeng Andra. Mereka berjalan beriringan dengan obrolan ringan seputar apa saja yang bisa mereka nikmati di kawasan wisata ini. Pasar seni Ancol, sepeda, pantai, eco park, hingga water park dan hotel.

"Ubur-uburnya lucu," puji Shilla penuh kagum dengan mata yang tak berkedip melihat binatang laut itu. "Tadi, infonya, ada kasih makan ikan di akuarium besar itu, jam berapa ya?"

"Jam sebelas," jawab Andra santai. "Mau lihat?"

Mengangguk Antusias, Shilla melirik jam tangannya. "Sebentar lagi, Bang. Ayo kita ke sana!" Lalu tangan Shilla menggenggam tangan Andra dan menarik pria itu penuh semangat.

Di belakang tubuh Shilla, di tengah kerumunan orang-orang yang menunggu penyelam memberi makan, Andra mengulum senyum samar untuk istrinya. Gadis yang menggunakan tunik baru yang Andra beli di mall tempo lalu, tampak sebahagia ini hanya karena berlibur di kawasan utara Jakarta. Tangan Andra perlahan melingkari pundak Shilla hingga wanita itu tersentak kecil.

"Biar gak ada yang rese sama kamu," ucap Andra berbisik. "Kalau dempet-dempet gini, suka ada yang iseng," tambahnya seraya mengeratkan rangkulannya di pundak Shilla.

Shilla yang jantungnya berdegup kencang, mengulum bibirnya sebelum menggigit pelan kelembutan itu. Tangan Andra melingkari pundaknya dan dengan gerakan perlahan, ia mulai bersandar. Pada dada bidang Andra yang terasa nyaman.

"Bang," cicit Shilla saat pertunjukan feeding fish selesai. "Ada badut hiu dan pari. Lucu."

"Mau poto sama badut?" tebak Andra, melihat gestur Shilla yang matanya berbinar dengan senyum senang.

Mengangguk malu, Shilla menatap Andra lugu. "Memang boleh?"

"Ya boleh lah. Siapa yang larang?" Tangan Andra lalu menggandeng Shilla dan menarik gadis itu mendekat pada badut yang dikerumuni banyak pengunjung.

Shilla dan Andra antri mengambil gambar. Hingga saat mereka dipersilakan, Shilla mengambil tempat tepat di tengah dua badut itu. Dengan ceria, Shilla memeluk badut hiu dari samping dan tersenyum.

"Sebentar, Mas!" Andra menginterupsi juru poto berseragam sea world. Tubuh pria itu bergerak ke tengah dan mengambil tempat di sebelah Shilla. "Jangan peluk-peluk orang. Abang gak suka lihatnya." Lalu Andra menarik tubuh Shilla dan merangkul pundak gadis itu. 

"Tapi ini kan badut, Bang," sanggah Shilla.

"Badut isinya orang, Shil," tukas Andra tak mau mengalah. Lalu pria itu merekatkan rangkulannya hingga tubuh mereka menempel bak di beri lem aibon.

Jika tadi Shilla berpose dengan senyum ceria saat berpelukan dengan hiu biru, kini senyum Shilla bermetamorfosa menjadi senyum bahagia dengan binar mata penuh cinta. Ada pria yang mengisi hatinya, berada di samping gadis itu dan merangkulnya. Kali pertama mereka mengambil gambar bersama tanpa gugup dan canggung yang kerap melingkupi mereka saat berdua.

berdua.

Dua boneka pari dan penyu Shilla bawa pulang sebagai cendera mata. Andra memaksanya memilih di toko sovenir saat mereka keluar. Awalnya Shilla menolak dengan gestur antara mau tapi malu. Namun Andra yang mengingat perkataan bunda tentang Shilla, memaksa gadis itu memilih apapun yang diinginkan.

"Ini nanti di taruh di tengah, ya, Bang. Dekat guling." Shilla memeluk dua boneka itu seraya berjalan ke luar area sea world. "Habis ini kita ke mana lagi?"

Andra yang masih setia merangkul pundak Shilla, menggerakkan dagu dengan mata menunjuk pada satu arah. "Gondola."

"Yess!" Shilla terdengar antusias. "Shilla belum pernah naik itu. Pasti seru!"

Tersenyum simpul, Andra mengiringi langkah Shilla menuju stasiun gondola yang berada tak jauh dari sea world.

"Ih, kaosnya bagus." Shilla menoleh pada toko cendera mata kecil yang berada dekat stasiun gondola. "Shilla mau beli." Ia menoleh pada Andra dengan senyum manis.

Menuruti pinta istrinya, Andra melangkah di belakang Shilla yang berjalan penuh semangat menuju toko itu. Ia melihat Shilla mengambil kaus warna hitam bergambar maskot Dufan. "Shilla mau beli ini buat Abang."

"Beli di sini gak bisa bayar gesek, Shil."

Tertawa kecil, Shilla membuka tasnya dan mengambil lembaran rupiah setelah negosiasi dengan penjual. "Shilla mau beli ini buat Abang, pakai uang Shilla. Keuntungan bolu kemarin, lumayan."

"Nanti Abang ganti."

Shilla menggeleng tegas. "Enggak. Ini dari Shilla buat Abang." Menggenggam tangan Andra, Shilla menarik suaminya menuju stasium gondola.

****

Andra mengulum senyum. Ia menahan tawa setengah mati. Bagaimana tidak? Shilla sejak tadi sibuk dengan kamera ponselnya. Gadis itu berswafoto dengan latar laut dan kawasan taman impian dari dalam gondola.

"Ini kameranya yang bagus, atau cahayanya yang terang banget ya? Hasil foto Shilla cantik semua." Shilla yang biasanya pemalu, mendadak percaya diri.

"Ya memang kamunya cantik, mungkin?" respon Andra dengan seringai berjuta arti.

Shilla tersenyum lima jari. Matanya menatap Andra dengan binar bahagia atas apa yang ia lalui hingga siang ini. "Abang, dulu sama Mbak Lolita, pernah jalan berdua?"

Andra menggeleng. "Tidak. Kami selalu pergi bertiga jika tamasya."

"Apa ...." Ucapan Shilla menggantung. Binar mata wanita itu mulai tampak dalam dan menghanyutkan. "Mbak Loli pernah cium Abang?"

Andra mengerutkan kening seraya menatap Shilla penuh tanya. "Pernah. Sering. Kalau Abang sedang kasih dia uang jajan lebih atau belikan dia ponsel yang dia mau. Bukan cuma cium pipi, Loli juga puji Abang yang baik-baik. Biasa lah, Loli kalau lagi senang, suka berlebihan."

"Shilla juga sedang senang."

Alis Andra naik sebelah. "Terus?"

"Mau puji Abang yang baik-baik aja." Bola mata menghanyutkan Shilla entah mengapa membuat Andra seolah tenggelam dalam poros tatapan mereka. "Terima kasih sudah buat Shilla senang hari ini. Abang pria baik yang selalu membuat perempuan di hidup Abang bahagia. Menjaga mereka juga Shilla. Abang pria hebat. Selama tinggal berasa Abang, gak sekalipun Shilla merasa terlantar. Shilla berharap, Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk Abang."

"Aamiin," gumam Andra lirih dan ia masih hanyut dalam tatapan mata Shilla. "Cuma puji? Gak mau kasih cium kayak Loli?"

"Eh?"

Andra mengerjap. "Eh, tadi Abang bilang apa?"

"Enggak," jawab Shilla dengan gelengan kepala canggung. "Kayaknya Abang tadi bilang minta cium, kalau Shilla gak salah dengar."

"Anggap saja salah dengar," elak Andra seraya membuang muka. Ia berpura fokus melihat pemandangan laut di bawahnya.

Hening sesaat dan mereka terhanyut dalam canggung yang mengusai. Shilla bingung harus meneruskan topik apa lagi agar suasana mereka kembali cair. Andra membuang muka dan tak sedikitpun menoleh padanya. Namun demi Tuhan, hati Shilla sedang bahagia hingga terasa terbang ke nirwana. Jadi, bolehkah jika ia ...

"Shilla gak tau, pipi mana yang biasa Mbak Loli cium." Wajah Shilla memerah lalu gadis itu memberanikan diri mencium pipi kanan Andra. "Shilla cium pipi Abang yang ini saja."

Andra mengerjap dengan napas yang terasa naik turun dengan cepat. Tadi, Shilla secepat kilat menempelkan bibirnya di pipi kanan pria itu. Sial! Rasanya lembut dan membuat tubuhnya terasa panas dingin seketika.

Bergerak canggung, Andra memberanikan diri bersuara. "Loli biasa di pipi kanan. Harusnya kamu yang di pipi kiri. Biar adil."

"Sudah terlanjur," Shilla menunduk dalam dan bergumam. Wajahnya masih merah menahan malu. Sungguh, semakin lama hidup berdua dengan Andra, semakin membuat gadis itu dilanda rasa yang membuat hatinya kerap berdebar tak menentu.

"Abang gak keberatan kalau kamu mau memperbaiki."

Mendongak, Shilla menatap Andra dengan raut tanya. "Maksudnya?"

Andra menyodorkan pipi kirinya lalu mengetuk telunjuknya di sana. "Loli belum pernah cium pipi yang ini. Jadi kamu—"

Shilla bergerak secepat kilat. Untungnya, gondola tidak bergoyang. "Sudah." Ia menunduk lagi dan wajahnya merah merona lagi.

Andra berdeham dan mengangguk. Lalu hening dan canggung melingkupi mereka yang malu-malu dengan apa yang terjadi di dalam gondola sesaat lalu. Hingga mereka turun, keduanya masih saling diam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Apa yang mereka lakukan tadi? Seharusnya mereka ingat akan perjanjian dan niat awal dari pernikahan ini. Bukan terhanyut euforia hingga lupa diri dan mempertaruhkan kondisi hati.

"Kamu lapar gak? Mau makan siang sekarang?" tawar Andra saat mereka berjalan di tepi pantai. Tangan mereka masih terkait dan tak ada satupun yang ingin melepas.

"Terserah Abang," jawab Shilla dengan mata yang tak putus menatap penjaja topi pantai.

Andra menoleh pada Shilla dan seketika paham jika gadis itu ..., "Mau beli topi?"

"Eh?" Shilla memutus tatapannya ada aneka topi lalu menatap Andra. "Ehm ..., enggak. Shilla kan udah pakai hijab, gak usah topi lagi."

Andra mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu menarik lembut Shilla ke tempat penjaja itu. "Beli saja. Kalau Cuma beli topi, Abang ada uang tunai. Nanti cari ATM lagi buat ambil uang." Hingga mereka sampai, Andra melanjutkan, "Banyak yang berhijab tapi pakai topi juga."

"Beneran Shilla boleh beli?"

Mengangguk, Andra mengambil satu topi dan memakaikan pada Shilla. "Kamu manis pakai ini," puji Andra ditengah tiupan angin dengan senyum simpul yang tampak menawan di mata Shila.

Shilla bersumpah. Angin kawasan Ancol mungkin saja yang terbaik di muka bumi ini. Entah mengapa, meski terik matahari menyengat mereka, tak ada rasa panas atau gerah pada tubuh Shilla. Angin yang tengah berembus siang ini, membuat hatinya terasa bahagia dan tentram. Apalagi, ada topi manis seharga kurang dari 50 Ribu yang ia kenakan.

Usai transaksi, Andra mengajak Shilla berjalan santai menyusuri pantai sambil bergandengan tangan. Mereka membicarakan Jakarta, sejarah ibu kota, dan apa saja yang bisa mereka nikmati di kawasan ini. Sesekali, mereka berhenti dan mengambil poto bersama dengan ponsel baru milik Shilla.

"Sumpah, Bang, Ancol tuh keren banget. Shilla mau kapan-kapan ke sini lagi."

Andra tersenyum seraya mengintip hasil poto mereka dari belakang Shilla. Hati Andra antara senang dan bangga mendapati Shilla bahagia dengan hadiah kecil yang ia berikan.

"Jembatan ini memang sering dipakai untuk orang-orang ambil poto, sih," komen Andra santai seraya mengambil gambar Shilla yang tengah menyerder pada pagar kayu. "Coba ganti gaya. Abang ambilkan gambar dengan posisi yang beda." Lalu pria itu pindah posisi untuk mengambil sudut gambar yang beda.

"Andra?"

Suara pria yang terdengar, membuat Andra menoleh dan mendapati seseorang berjalan menghampirnya.

"Hendi. Ngapain lo?"

Pria itu tersenyum seraya meneguk minuman di tangannya. "Anter anak bini jalan-jalan, lah. Tuh, mereka lagi beli es kelapa." Tangan pria itu menunjuk satu wanita dengan dua anak sedang transaksi di toko minuman. "Lo ngapain? Sama siapa?"

Shilla mendekat dan mata pria itu menatap Shilla. Ada kerut samar di keningnya sebelum bertanya. "Siapa, Ndra?"

"Ini—"

"Oya! Gue lupa kasih tau lo! Kemarin gue anter Miranti pulang ke rumah barunya dia sama suaminya. Gila rumahnya cakep, gede, di perumahan elit. Pantes dia mau nikah meski lakinya tuwir gitu. Cewek mah, di mana-mana sama. Cari yang mapan dulu, baru yang tampan. Kelas kayak kita yang standar gini, mana mau dia."

Wajah Andra seketika berubah tegang. Tatapannya tak selembut dan sesantai tadi. Shilla yang berada di sampingnya, hanya diam melihat perubahan pada diri Andra.

"Rumah dia di Bekasi juga. Di perumahan elit deket sama rumah lo. Oya, ini siapa? Kenalkan saya Hendi, petugas penyuluh lapangan juga seperti Andra. Kami satu tim." Pria itu mengulurkan tangan dengan senyum semanis mungkin pada Shilla.

Tersenyum kikuk, Shilla menerima jabat tangan itu. "Shilla."

"Sodara Andra?"

"I—"

"Iya, adek gue," sela Andra dingin. "Gue duluan, Ndi. Mau cari makan. Laper."

"Elah, santai aja kali. Eh, bukannya adek lo gak pake hijab ya? Terus, seinget gue gak begini wajahnya."

Menelan ludah cekat, Andra mencoba tersenyum meski terlihat memaksa. "Memang bukan Lolita," jawabnya terdengar enggan. "Gue duluan, ya. Bini lu manggil-manggil." Andra menunjuk arah di belakang Hendi lantas berbalik meninggalkan rekan kerjanya. Juga Shilla yang berjalan dengan pikiran gamang melihat perubahan pada suaminya.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top