8. Shilla

"Ndra."

Andra menoleh pada bunda yang tengah menata ayam goreng untuk dibawa ke warung.

"Bunda kok tiba-tiba kepikiran ya. Kayaknya kamu selama menikah, gak pernah ajak Shilla jalan-jalan. Beda sama Lolita yang hampir tiap bulan kemping sama Hesta ke Puncak."

Meletakkan cangkir kopi buatan Shilla pagi ini, Andra menyernyit memikirkan ucapan bunda. "Udah. Ke Summarecon Mall waktu belikan dia ponsel baru."

"Masa iya, keluar rumah harus ada perlunya banget. Bunda tahu, kamu memang lebih suka menghabiskan waktu libur di rumah karena sudah lelah ke luar kota tiap minggu. Tapi, istri kamu tuh tiap hari di rumah dengan rutinitas itu-itu saja. Dia bisa bosan, kali."

"Bunda gak bosan," elak Andra.

Menghela napas, bunda menatap putra sulungnya. "Bunda sudah tua. Udah gak tertarik jalan-jalan. Mending nonton sinetron azab atau cinta-cinta. Tapi Shilla masih muda. Kasih dia pengalaman, Ndra. Loli aja sering banget main sama Tiana, dulu. Sekarang, jalan mulu sama Hesta. Apalagi kalau Hesta lagi libur kuliah."

"Shilla gak minta."

"Shilla bukan Lolita yang gak ada sungkan-sungkannya minta ke orang sekalipun Wayan atau Tigor. Shilla selalu nerima aja apa kata Bunda. Mereka beda dan kamu harus memperlakukan mereka beda juga, Ndra."

"Bedanya?"

"Ya kalau ke Loli dulu, kamu tinggal nunggu itu anak teriak-teriak minta uang, lalu kasih. Sedang Shilla, kamu yang harusnya nawarin dia. Karena pertama, dia istri kamu. Kedua, dia masih canggung bergerak bebas di keluarga kita. Bunda ngerasain itu banget. Setiap hari, Ndra, dia gak pernah membiarkan tubuhnya istirahat. Ada aja yang dikerjain. Entah bantuin Bunda di warung, beberes rumah dan cuci baju, ke acara PKK, dan ... semalam masak bolu lagi buat kamu."

"Anaknya mana sekarang?"

"Lagi bantu Lastri buka warung." Menutup kotak berisi ayam goreng dan telur balado, bunda menghampiri Andra di meja makan. "Kamu ke luar kota lagi?"

Andra mengangguk. "Iya. Ke Kuningan. Kalau bisa cepat ya pulang, kalau enggak ya nginap."

"Sudah Shilla siapkan semuanya. Ada di meja ruang tamu. Tinggal kamu angkut ke mobil." Meneguk teh hangat yang menantunya siapkan sesaat lalu, bunda lantas melanjutkan. "Jujur Bunda salut sama Rosi yang bisa didik anak perempuannya kayak Shilla. Ngurusin kamu banget." Lalu bunda, membawa dua wadah lauk itu ke luar rumah.

Meninggalkan Andra yang mengerjap seraya menggigit roti bakar isi krim keju buatan Shilla saat ia mandi tadi.

Menyelesaikan sarapan singkatnya, Andra bergegas siap berangkat. Ia menuju ruang tamu dan mendapati tas jinjingnya sudah tersedia dengan isi keperluannya setiap harus ke luar kota. Ada box kue berisi dua jenis bolu, toples isi abon ayam, termos kopi panas, dan ...

"Uang?" Andra bergumam sendiri. Ia tertawa kecil seraya menggeleng mendapati tiga lembar uang seratus ribu Shilla siapkan di atas kotak bolu. "Dia pikir gue bocah sekolah, pake uang jajan?" Mengambil lembaran Rupiah itu, Andra berniat menghampiri istrinya di warung sebelum berangkat dan mengembalikan.

"Emang Shilla siapin buat Abang," jawab Shilla saat Andra menyodorkan lembaran itu padanya. "Abang kayaknya jarang pegang uang. Jadi buat jaga-jaga, dibawa aja. Gak dipake juga gak apa."

"Shil, jaman sekarang tuh, transaksi pada non tunai. Abang beli bensin gesek, bayar toll pake kartu, bayar hotel pakai transfer, makan biasa disediakan sama plasma. Di hotel juga dapet makan. Abang gak perlu," tolak Andra lagi.

Shilla menggeleng. "Taro aja di laci mobil. Anggep aja duitnya gak ada." Lalu Shilla meninggalkan Andra. Gadis itu beralih pada catatan kecil yang ada di atas meja warung dengan beberapa lembar uang lima puluh ribu.

"Itu apa?" tanya Andra saat membuntuti Shilla.

"Uang bolu pesenan Bu Yudi. Dia pesen bolu dua puluh loyang untuk Sabtu pagi. Dia ada acara gathering dan mau bawa bolu ini."

"Bunda udah bilang ke Shilla padahal," sahut bunda melanjutkan, "gak usah jualan bolu, nanti badannya capek, tapi nekat aja terima orderan. Mana tadi Mamak Menik nitip pesen juga dua loyang."

"Lumayan, Bun, uangnya," kilah Shilla sopan.

Andra menaikkan satu alisnya. "Uang dari Abang kurang?"

Menoleh pada Andra, dua alis Shilla terangkat. "Memang harus kurang uang dulu, biar Shilla boleh ikutan cari uang?" Tak mendapat respon suaminya, Shilla melanjutkan, "Mbak Lolita kerja padahal suaminya punya uang banyak. Bunda cari uang padahal anaknya sudah kasih setiap bulan. Shilla juga mau cari uang meski Abang udah kasih juga buat Shilla."

"Tapi Bunda takut kamu capek, Shil. Loli kerjanya duduk doang pesen-pesen barang. Kamu pake tenaga dan bisa sampe larut malam. Takut nanti mempengaruhi kesuburan kamu. Andra udah tua. Kasihan dia kalau gak cepet-cepet hamil kamunya." Mencebik, Bunda melanjutkan dengan gerutu, "Lagian, Mamak Menik juga bayarnya tempo. Nunggu royaltinya cair katanya. Iya, kan?"

Shilla tersenyum geli. "Gak apa, Bund, cuma dua loyang ini. Lagian pasti bayar juga dia. Nambah dua loyang gak terlalu berat kok."

"Ya sudah, Bund, terserah Shilla saja." Andra menengahi. "Dia selalu tampak senang kalau sedang membuat bolu dan camilan." Menoleh pada Shilla, entah mengapa senyum Andra terbit tanpa diperintah dan kaki pria itu berjalan mendekat. "Abang berangkat. Jangan paksain kalau ternyata gak kuat kerjain pesanan bolunya." Lalu reflek, bibir Andra mendarat lembut di atas kepala Shilla yang berbalut hijab coklat.

Sebentar. Tadi itu apa?

Andra bergerak gelisah dari kursi kemudinya. Kenapa bisa ... kenapa bisa ada sesuatu yang mendorong dirinya untuk mengecup kepala Shilla tanpa sadar. Ada bunda yang melihat dan Mbak Lastri yang berdeham menggoda. Shilla kikuk, begitupun ia yang bergerak canggung lalu melangkah cepat menuju mobil dan berangkat.

Membelokkan kemudi memasuki rest area dan SPBU, Andra berniat mengisi bensin seraya beristirahat sejenak.

"Maaf, Pak, mesin EDC kami sedang eror. Ada gangguan sinyal di area ini."

Andra terperanjat. "Saya gak ada cash, Mas."

Petugas SPBU tampak jengah dan bingung. "Ya gimana, Pak. Ada masalah jaringan. ATM pun, kami tidak tau apa bisa atau tidak."

Kini, giliran Andra yang jengah. Pria itu mendengkus kesal sebelum mengingat uang pemberian Shilla yang ia simpan di laci dashboard. "Berapa total?"

"235.000, Pak."

Membuka dashboard, Andra mengambil dua lembar seratus ribu, dan beberapa lembar sepuluh ribu yang ada di mobilnya. "Ambil aja kembaliannya." Lalu ia menjalankan lagi mobilnya dengan perasaan dongkol.

Dan ya Tuhan, ada apa dengan hari ini? Mengapa segala sesuatunya tampak membuat Andra dongkol setengah mati. Karwayan baru plasmanya, sulit menelaah pengarahan dan penjelasan yang Andra utarakan panjang lebar. Hal itu membuat kunjungannya menjadi jauh lebih lama dari yang ia duga.

"Saya sudah bilang, tolong bersihkan kandang paling tidak dua hari sekali. Jangan sampai ayam-ayam ini sakit karena bakteri dari kotoran mereka. Pastikan juga sirkulasi udara kandang berjalan dengan baik. Ayam sangat sensitif terhadap suhu. Sehingga, Anda harus memperhatikan dengan sangat hal-hal yang menjadi catatan tadi." Andra bahkan bicara tak selembut dan sesantai biasa.

Petugas plasma itu mengangguk sungkan. "Baik, Pak. Akan saya perhatikan catatan dari Bapak tadi. Oya, Pak Boss sudah menyiapkan makan malam. Mari, silakan." Petugas itu berjalan mendului Andra menuju rumah pemilik kandang.

"Maaf, Pak. Karena sudah petang, sebaiknya saya kembali ke hotel saja. Besok pagi, saya kembali lagi untuk memantau perbaikan dinding kandang semi close house yang berada di utara tadi. Akan saya pandu jika Bapak mengalami kesulitan dalam perbaikan besok."

"Waduh, sayang sekali. Pak Boss sudah siapkan nasi jamblang untuk Pak Andra. Kalau begitu, dibawa saja ya, Pak."

Tak tega menolak, Andra tersenyum dan mengangguk berterima kasih. Seperti biasa. Andra sudah bisa menebak menu jamuan para plasma. Jika di kandang ini, Andra biasa disuguhi teh hangat atau kopi panas, indomie rebus dengan sawi dan telur atau nasi jamblang.

Membuka bungkusan daun jamblang, Andra menghela napas pelan dan sangat pelan hingga nyaris tak terdengar. Meski ia di kamar hotel sendirian, mendapati menu nasi jamblang adalah lauk yang berminyak, membuat nafsu makannya rontok seketika.

Ia gamang. Bunda mengajarkan untuk tidak membuang makanan. Namun Andra bukan penikmat makanan berminyak. Jadi harus bagaimana? Dengan berat hati, pria itu menyingkirkan lauk-lauk berminyak dan mengambil nasi putihnya saja. Mungkin ia bisa memesan menu hotel atau pergi keluar mencari menu makan malam lain? Atau ... netra Andra mengerjap saat kepalanya mengingat bahwa di mobil ada kotak bolu dan toples abon ayam buatan Shilla.

Tersenyum lega, Andra seperti mendapat solusi terbaik untuk masalah makan malamnya. Sepertinya, ide bunda tentang mengajak Shilla jalan-jalan boleh juga. Gadis itu harus mendapat hadiah atas perhatiannya pada Andra selama ini.

Abon ayam buatan Shilla enak. Manis dan gurihnya bisa berpadu sempurna. Andra bahkan sampai memesan makanan pada room servis karena merasa kurang dan ingin makan lagi dengan abon buatan istrinya. Usai merasa kenyang, Andra merebahkan diri di atas ranjang seraya tersenyum sendiri. Shilla menyelamatkan harinya. Mulai dari uang cash hingga abon ayam.

Melirik pada ponsel, Andra mengambil benda itu dan membuka aplikasi perpesanan. Membuka kontak Shilla ia mengetik satu kalimat ucapan terima kasih. Namun ibu jarinya, tak juga menekan tombol kirim, justru menghapus lagi rangkaian kata itu.

****

Jum'at malam memang waktu yang sangat sempurna untuk merasakan kepadatan lalu lintas. Dan Andra, mau tak mau ikut merasakan sensasi kepadatan itu. Mobilnya baru memasuki rumah saat jam tangannya menunjukkan pukul satu dini hari.

Menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri, Andra mencoba melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku akibat perjalanan jauh. Ia membuka pintu rumah dan berencana mencari Shilla di dapur. Langkahnya terhenti saat netra Andra mendapati Shilla duduk di meja makan seraya tidur dengan berpangku tangan. Ada beberapa kotak bolu yang sudah tertata rapi dan beberapa bolu yang masih berada di atas meja makan. Sepertinya, gadis itu ketiduran saat menunggu bolunya dingin sebelum masuk kotak.

Tersenyum simpul, tubuh lelah Andra mendekat pada Shilla dan perlahan menggotong tubuh gadis itu. Ia membawa istrinya ke dalam kamar dan menidurkan di atas ranjang. Mengusap lembut pipi Shilla dengan jarinya, Andra tersenyum lalu mencuri kecupan di pipi gadis itu.

Baiklah, sepertinya Andra harus mandi sebelum tidur. Sembari menunggu rebus air panas untuk mandi, Andra memasukkan bolu-bolu itu ke dalam kotak dan menata di atas meja. 22 loyang bolu. Sebanyak itu yang Shilla kerjakan seorang diri. Entah demi apa, gadis itu rela kelelahan hanya untuk memenuhi pesanan. Padahal jika gadis itu minta, Andra akan berusaha memenuhi setiap kebutuhannya.

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top