6. Adik tapi mesra
"Kamu bikin bolu?" Andra menyernyit saat netranya mendapati lima loyang bolu di atas meja makan. "Saya kan sedang tidak ke luar kota. Lagi pula ini Sabtu, bukan hari kerja saya."
Shilla yang tengah mengangkat bolu ke enam buatannya, tersenyum seraya mengangguk. "Iya. Ada pesanan dari Bu RT. Lima loyang bolu marmer untuk acara arisan keluarga." Lalu gadis itu berjalan menuju meja makan dan meletakkan bolu ke enam yang tampilannya beda sendiri. "Yang ini, buat Abang. Bolu coklat pake almond. Tapi nanti di atasnya mau Shilla taburin parutan keju."
"Kok Bu RT bisa pesan? Tau dari mana dia, kalau kamu suka bikin bolu?"
"Bunda suka jualin bolu, kalau Shilla lagi bikin bolu buat Abang. Orang-orang komplek sini jadi tau kalau Shilla bisa bikin bolu. Tadinya, pada minta Shilla jual bolu setiap hari, tapi kata Bunda jangan. Shilla bikin bolunya kalau Abang mau pergi aja, sisanya baru dijual."
Andra tersenyum kecil. Netranya menatap Shilla yang bergerak mengambil dus kue lalu kembali ke meja makan. Istrinya dengan konsentrasi tinggi, memindah bolu yang sudah dingin ke dalam boks.
"Kamu suka bikin kue? Tapi kenapa maunya kursus jahit?" Andra bertopang dagu dengan satu tangannya. Matanya menikmati setiap pergerakan Shilla pagi ini. "Saya gak keberatan daftarin kamu ke sekolah kuliner."
"Terima kasih," jawab Shilla seraya menggeleng. "Shilla bisa bikin bolu karena biasa bantu Ibu dulu. Sedang Shilla pengennya bisa jahit baju. Jadi, ya kursus jahit saja."
"Kapan?"
Mengedikkan bahu, Shilla menyeringai santai. "Entah, nanti saja. Shilla masih nyaman begini. Membantu Bunda di warung, membersihkan dan merawat rumah ini, mengurus Abang, dan sibuk jadi kader Posyandu dan Jumantik. Buat Shilla, ini seru."
Melihat semua bolu sudah rapi dibungkus dalam masing-masing boks, Andra kini memindai Shilla yang sedang mengikat boks bolu dengan tali plastik. "Kamu anter ke Bu RT jalan kaki? Rumahnya kan lumayan jauh."
"Naik motor Bang Andra. Jalan dua kali. Yang pertama bawa tiga boks, yang kedua bawa dua boks sekalian Shilla mau cari permak baju. Kebetulan Shilla ikutan beli seragam ibu-ibu PKK untuk acara RW dan Posyandu. Punya Shilla kebesaran, mau dikecilin."
"Saya antar. Biar kamu gak kelamaan di jalan. Sekalian pakai baju rapi. Kita ke rumah Bu RT antar bolu, terus saya antar ke tempat permak baju yang bisa ditunggu, lalu ...." Netra Andra dalam menatap Shilla yang sabar menunggu lanjutan rencananya. "Ka Mall beli ponsel baru untuk kamu."
"Eh, gak usah," tolak Shilla seraya menggeleng dan menggerakkan telapak tangan ke kanan kiri. "Hape Shilla masih hidup ini. Ya emang agak susah kalau buat ngetik chat karena retak, tapi masih bisa kalau sabar."
Andra menggeleng tegas. "Beli ponsel baru saja sekalian antar saya beli kaus kerah baru."
"Shilla takut merepotkan," ucap gadis itu dengan binar mata tulus. "Serius, Abang gak usah repot belikan Shilla ponsel baru."
Andra beranjak dari kursi lalu berjalan mendekati Shilla. "Gak repot kok, lagian sudah jadi tugas saya untuk memastikan kebutuhan kamu terpenuhi." Tangan pria itu kini menyentuh kepala istrinya dan mengacak lembut seraya tersenyum. "Cepat siap-siap. Saya tunggu. Kita naik mobil saja," lanjut Andra sebelum pergi menuju ruang tempat pria itu biasa menghabiskan waktu dengan playstation.
Shilla tersenyum. Mati-matian ia menahan sesuatu yang timbul di dadanya. Rasanya ... entah mengapa sebegini indah. Hatinya berdesir hangat dan matanya terasa ingin menangis.
****
"Shilla baru tau ada tempat sejuk kaya gini."
"Ini danau perumahan. Kebetulan luas dan dipakai untuk tempat wisata kecil-kecilan. Bagusnya, danau ini jadi tempat mangkal para tukang permak keliling. Jadi, kalau cari tempat permak yang bisa ditunggu, langsung ke sini saja. Duduk di tepi danau, sambil jajan dan nunggu jahitan kamu selesai"
Shilla tersenyum bahagia. "Asik, ya!" seru gadis itu riang. "Danau ini bahkan gak begitu jauh dari rumah Bunda."
Andra tertawa kecil. "Kalau lagi jenuh, tapi malas keluar jauh dari Bekasi, ya ke sini aja. Ajak Lolita atau Mbak Lastri."
"Iya," jawab Shilla dengan anggukan. "Kalau di Purwokerto, biasanya Shilla sama Ibu jalan ke Baturraden saja. Dulu naik angkutan umum, tapi sejak Shilla bisa naik motor dan punya SIM, ya naik motor berdua."
Andra tak menjawab. Hanya menoleh pada Shilla dan menatap gadis itu dengan sorot mata serius mendengarkan.
Shilla menghela napas."Tapi itu dulu. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Kalau mau jalan-jalan, ya sendiri atau—"
"Sama saya," sela Andra cepat. "Kamu punya saya. Paling tidak, sampai kamu menemukan pria yang kamu cintai dan mencintai kamu." Senyum Andra terbit. Tampak menyenangkan. "Kalau butuh atau menginginkan apapun, bilang saja. Saya usahakan memenuhi itu untuk kamu."
"Tapi kesannya Shilla merepotkan sekali." Shilla balas tersenyum. Namun entah mengapa, terlihat sendu. "Bang Andra terpaksa jadi suami Shilla demi memberikan Shilla tempat pulang. Masa iya Shilla masih harus meminta apapun sama Abang?"
"Kalau saya bisa, kenapa tidak?"
"Shilla takut."
"Saya gak akan minta ganti apalagi balas budi."
Shilla menunduk. Ia menghela napas seraya mengulum bibirnya. Ragu, apakah harus bicara atau tidak. "Bukan masalah itu. Shilla takutnya—"
"Shil! Ada es doger. Mau? Saya mau beli."
Shilla mengangguk sebelum Andra beranjak dari tempat mereka duduk dan menghampiri gerobak es doger yang sedang melewati tempat mereka singgah. "—jatuh cinta sama Abang, tapi Abangnya enggak. Shilla takut usaha Shilla mempertahankan Abang akan gagal dan sia-sia," lanjutnya sendiri seraya menatap Andra berada beberapa meter dari tempatnya.
"Tadi kamu ngomong apa?" Andra bertanya lagi saat peria itu sudah kembali dengan gua gelas es. Satu tangannya mengulurkan es untuk Shilla seraya kembali duduk di sebelah gadis itu.
Shilla menggeleng. "Shilla takutnya merepotkan Abang. Jangan sampai Shilla jadi penghalang Abang meraih mimpi. Kata Bunda, Abang pengen punya rumah. Kalau Shilla manja dan dikit-dikit minta, uang Abang lama kekumpulnya."
Andra sontak tertawa kecil. Entah mengapa, mendengar ucapan polos gadis yang ia sunting ini, membuat hatinya seperti terasa ringan. "Kok Lolita gak pernah mikir gitu, ya?" ucapnya ditengah tawa. "Tapi seriusan, Shil. Saya gak masalah kalau harus hidupi kamu sampai kita pisah nantinya." Andra meletakkan gelas esnya lalu menangkup wajah Shilla dan mendongakkan agar mereka bisa saling tatap. "Jujur fokus saya sekarang memang rumah, tapi saya beneran gak keberatan membantu memenuhi kebutuhan kamu. Saya percaya rezeki itu sudah diatur oleh Tuhan. Kalau sudah waktunya, saya yakin saya bisa memiliki rumah. Saya bukan pria yang perhitungan soal memberi nafkah."
Shilla menggeleng dengan tatapan dalam, ditengah tangkupan tangan Andra di wajahnya. "Jangan, Bang," tolaknya lirih. "Shila takut kalau—"
"Merepotkan dan menghalangi saya punya rumah." Andra tersenyum geli dengan tatapan yang Shilla rasa ... seperti ada sayang. "Saya tidak akan melepas tanggung jawab saya terhadap kamu, selama kita bersama. Catat itu, Shil. Kamu berhak bahagia bersama pria suatu hari nanti dan saya akan menjaga kamu sampai saat itu tiba."
Tatapan mata Andra lembut dan terasa penuh sayang. Namun entah mengapa, hati Shilla yang harusnya berbunga, justru nelangsa.
"Jahitan kamu kayaknya sudah, tuh. Abangnya udah lambai tangan ke kita." Andra membuang gelas es mereka yang sudah kosong, lalu mengambil tangan Shilla dan menggenggam seraya berjalan menuju tempat tukang permak berada.
Shilla hanya terdiam. Berusaha menyadarkan dirinya bahwa sebaik apapun Andra, belum tentu artinya cinta. Andra hanya menganggap dirinya manusia yang harus diberi belas kasih hingga ia menemukan jalannya sendiri.
"Lolita kirim pesan. Katanya Hesta mau ajak kita dan Bunda makan malam keluarga. Sekarang masih menjelang sore. Jadi, beli ponsel kamu dulu sama kaos saya, lalu kita susul Hesta di restaurant yang sudah dia pesan."
"Keluarga Bunda, kompak ya."
Andra tersenyum simpul seraya mengencangkan sabuk pengamannya. Tangan pria itu kini sibuk dengan kontak dan persneling. "Hidup kami mungkin sederhana dan secukupnya, Shil. Namun saya selalu berusaha memastikan Bunda dan Lolita tidak kekurangan apapun. Baik kebutuhan materi atau sekedar perhatian dan perlindungan. Begitu pun kamu, yang sekarang jadi anggota keluarga kita. Jadi, jangan sungkan minta tolong atau sesuatu ke saya."
Mobil Andra melaju meninggalkan danau tempat mereka menghabiskan Sabtu siang ini. Dalam perjalanan yang dilingkupi hening ini, Shilla tersenyum samar. Sepertinya, keputusannya menjadi istri Andra sudah tepat, meski mungkin saja sementara. Kecuali, jika ia berhasil mengambil hati suaminya dan mempertahankan apa yang sudah ia punya.
****
Pusat perbelanjaan seperti Summarecon Mall Bekasi pasti padat di akhir minggu. Seperti sore ini, Andra yang khawatir Shilla mungkin saja hilang di keramaian atau mendapat tindak kriminal kecil, menggenggam tangan gadis itu erat. Sejak mereka menuruni mobil hingga dua kantung belanja berisi kaus Andra dan tunik untuk Shilla sudah terbeli.
"Ayo lihat ponsel buat kamu." Andra kini melepas genggam tangan mereka dan merengkuh pundak Shilla agar mengikuti arah Andra melangkah.
"Selamat datang, Bapak. Ada yang bisa kami bantu?" Seorang pramuniaga tampan menyambut dengan senyum manis dan gestur selamat datang yang sopan. Namun, ada jengah yang Andra rasa saat pria berseragam toko ponsel itu melirik Shilla penuh kagum. Siang ini memang Shilla tampak lebih rapi dari biasanya, tapi bukan berarti boleh ditatap penuh minat seperti itu.
Melepas rangkulannya pada Shilla, Andra kembali menggenggam tangan istrinya seraya berdeham. "Saya mau cari ponsel untuk a—" Andra menimbang ucapannya sepersekian detik mendapati pramuniaga tampan itu tersenyum manis pada Shilla. "—istri saya," lanjutnya seraya tersenyum samar mendapati pramuniaga itu terkejut.
"Ah ... baik, Pak. Silakan." Pramuniaga itu berjalan menuju meja display diikuti Andra dan Shilla.
Melihat display aneka model ponsel berikut informasi spesifikasi dan harga, napas Shilla sempat terhenti sesaat. Ponsel model saat ini, harganya relatif fantastis. Milik Shilla yang pecah ini saja, bukan dari merek ternama yang ia beli purnajual dengan harga kurang dari lima ratus ribu. Sedang yang akan Andra belikan untuknya ...
"Abang, harganya mahal-mahal," bisik Shilla canggung.
Andra menoleh pada Shilla dan menaikkan satu alisnya. "Harga ponsel memang segini, Shil. Kamu memang mau yang harga berapa?"
Mengerjap dengan gestur wajah tak enak hati, Shilla berucap pada Andra tanpa suara. Takut jika pramuniaga tampan yang masih setia berdiri diantara mereka, mendengar. "Di bawah lima ratus ribu aja."
Paham apa yang Shilla ucap, Andra seketika mengulum bibirnya. Menahan tawa atas polos dan lugunya si istri rasa adik ini. Tertawa kecil hingga pundaknya naik turun, Andra tanpa sadar gemas hingga mengecup singkat kepala Shilla yang dibalut hijab warna moka. "Punya Lolita saja, yang ini." Tunjuk Andra pada satu model ponsel berharga tujuh juta. "Dia merengek ke suaminya minta dibelikan ponsel baru tipe ini, padahal ponsel lamanya masih sehat."
"Tapi mahal banget," bisik lirih Shilla hingga nyaris tak terdengar.
"Kalau lihat spesifikasinya, enggak mahal, Shil. Emang segitu harganya. Gini deh, kalau kamu gak mau yang seperti milik Lolita, gimana kalau beli yang ini saja?" Kali ini, Andra menunjuk pada ponsel seharga lima juta.
"Kemahalan," cicit Shilla lagi. "Kalau hilang, Shilla bisa pingsan."
Lagi, Andra tertawa ringan. "Ya sudah. Yang ini saja dan gak boleh nolak." Andra menunjuk pada display ponsel seharga tiga jutaan seraya menatap Shilla dengan binar mata seakan tak bisa ditolak.
Shila mengerjap pelan saat tatapan mereka intens bertemu beberapa saat. Entah mengapa di hatinya ada rasa dihargai dan disayangi. Andra seperti tak mempedulikan berapa banyak yang akan pria itu keluarkan hanya untuk dirinya.
"Shil?"
"Gimana, Pak?" Suara pramuniaga tampan terdengar. "Nanti bisa saya ajukan cash back atau free head set dan power bank."
Mengangguk seraya tersenyum dengan binar mata haru, Shilla berucap manis. "Iya, yang itu saja."
Hingga mereka keluar dari gerai ponsel itu, Shilla masih mengukir senyum bahagia yang malu-malu. Andra membelikannya ponsel baru dan harganya mahal. Lebih dari itu, saat transaksi tadi, Andra memilih free head set dan power bank alih-alih cash back. Alasan yang pria itu utarakan tadi, membuat hati Shilla melambung tinggi sore ini.
"Istri saya sibuk dengan usaha kue dan sering kali bepergian menghadiri acara PKK. Power bank perlu untuk jaga-jaga kalau dia lupa isi daya."
Istri. Shilla bahagia disebut sebagai istri Andra. Apalagi, dibelikan barang mahal yang belum pernah ia punya.
****
"Abaaang .... itu durinya kecil-kecil. Loli gak kelihatan."
Shilla melirik pada Hestama yang menarik piring istrinya dan mengambil duri-duri dalam ikan bakar yang menjadi menu makan malam keluarga saat ini.
"Manja," tukas Bunda dengan wajah judesnya. "Kalau gak berani makan ikan malam-malam, ya ambil udang saja tadi."
"Tapi kan ikannya enak," elak Lolita santai seraya menerima suapan dari tangan suaminya. "Lagian Bang Hesta juga. Udah tau pengen makan seafood, harusnya kita sepiring berdua, biar bisa suapin Loli."
Hestama terlihat tak merespon ucapan istrinya. Pria itu tetap fokus pada piring dan mulut istrinya yang tak henti mengunyah.
Shilla mengulum senyum. Lolita dan suaminya selalu tampak mesra meski dengan cara yang kadang sedikit beda. Mengalihkan lirikannya dari Lolita dan Hesta, kini netra Shilla menatap Andra yang sibuk dengan cangkang kepiting.
"Mau Shilla bantu buka kepitingnya?" tawar Shilla lembut.
Andra mendongak dan seketika tersenyum pada Shilla dengan satu alis terangkat. "Buka cangkang? Keras, Shil. Kamu gak kuat." Lalu Andra, justru menuang sedikit daging kepiting ke atas piring Shilla. "Kalau mau, biar saya buka cangkangnya buat kamu."
"Saya?" Suara bunda terdengar lantang. "Kalian udah berapa bulan berantakin kasur, tapi masih saya-saya-an?"
Shilla dan Andra, kompak menoleh pada bunda dengan wajah penuh tanya.
"Manggilnya jangan formal gitu, sih. Kesannya kaya ada jarak. Abang dan Shilla. Seperti kamu dan Lolita atau Lolita dan Hesta. Pake panggilan lebay yang suka Loli ucap juga gak masalah."
Lolita terdengar berdecak tak terima, namun wajah wanita itu terlihat jelas enggan membantah.
Andra dan Shilla kompak canggung. "I ... iya, Bund. Belom terbiasa aja," kilah Andra terbata. "Ya, kan, Shil?"
Mengangguk cepat, Shilla melanjutkan, "Iya. Nanti juga kita terbisa, Bund."
Baik bunda dan Lolita, tak lagi memperpanjang topik tentang panggilan antara Andra dan istrinya. Namun pasangan pengantin rasa adik-kakak ini, jelas menyadari tatapan Hestama yang menghunus mereka dengan sejuta arti.
Sial, Andra salah tingkah hanya karena satu tatapan tajam Hestama. Begitu pun Shilla yang salah tingkah dan menutupi canggungnya dengan fokus mengupas kulit udang rasa saos padang.
Hingga makan malam berakhir dan Bunda memilih pulang dengan mobil Hestama. Alasannya, mau ikut Lolita belanja bulanan. Padahal, Lolita berucap lantang bahwa alasan bunda adalah agar Andra bisa kencan mumpung sedang di luar.
Apapun yang Andra dengar itu, ia hanya mengangguk mengiyakan ucapan adik dan bundanya. Biar mereka senang dan puas.
"Maaf untuk pembahasan bunda dan Loli yang tadi, ya." Andra berusaha berucap santai meski nyatanya, tetap terdengar canggung. "Saya usahain membiasakan agar kita terdengar dekat."
"I .. ya," jawab Shilla tak kalah kikuk. "Pelan-pelan aja, Bang. Shilla gak apa, kok."
Mengangguk kaku, Andra kembali fokus pada kemudi dan mereka mencoba mengalihkan topik agar suasana kembali cair.
"Iya, Shilla tuh heran sama tipe perempuannya Bang Tigor." Shila tertawa kala mereka akhirnya membicarakan Tigor dan Wayan. "Masa dia bilang mau cari perempuan yang cantik tanpa skin care."
"Tigor emang kadang sableng. Sebelas dua belas sama Lolita," tukas Andra yang juga ikut tertawa.
"Padahal skin care yang murah juga banyak. Shilla aja pake merek yang dijual minimarket. Bunda juga."
"Tapi Lolita enggak. Sejak gaul sama pacarnya Wayan yang jadi atasan dia, Loli jadi suka ke salon dan klinik kecantikan. Untungnya Hesta gak keberatan sama kebiasaan baru Loli yang ini."
Memiringkan tubuhnya, Shilla menatap Andra dengan dada yang seketika berdebar. "Kalau Bang Andra, tipe perempuannya seperti apa?"
Tak menyadari pertanyaan Shilla, Andra yang masih terbawa suasana riang percakapan mereka, menjawab tanpa sadar. "Seperti Miranti." Lalu saat mobilnya sudah berhenti di lampu lalu lintas, sontak wajah Andra berubah tegang saat menyadari kalau ia ...
"Miranti?"
Menoleh pada Shilla yang sudah memiringkan tubuhnya dari tadi, Andra menelan ludah cekat dengan wajah yang datar.
"Siapa dia?" Suara Shilla entah mengapa terdengar getir.
Menggeleng cepat dan tegas, Andra menatap Shilla dalam dan tajam. "Bukan siapa-siapa. Saya tadi hanya salah bicara," kilah Andra seraya menggerakkan persneling karena lampu lalu lintas sudah hijau.
Hening seketika melingkupi mereka. Shilla yang sudah kembali duduk menghadap depan, menatap jalan dengan binar mata yang mulai berkaca.
"Shilla ... bukan orang ketiga di antara Abang dan dia, kan?"
Tak ada jawaban. Andra tetap diam dan fokus pada kemudinya. Shilla bahkan merasa bahwa kendaraan yang ia tumpangi, berjalan lebih cepat sejak melewati lampu lalu lintas tadi.
****
Fiiuuhhh ... maap panjang banget.
Tetap jangan lupa vote dan komen yess!!
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top