5. Harus Bagaimana?

"Heem ... enak!" Lolita mengunyah dengan mata yang terpejam nikmat. "Bilang-bilang dong kalau Mbak Shilla bikin kue. Lolinya minta. Sisain."

Shilla menyeringai tak enak hati. "Shilla biasa bikin bolu kalau Bang Andra mau ke luar kota saja. Biasa bikin satu atau dua loyang saja. Sama Bunda suka dipotongin terus dijual di warung nasi."

Lolia berdecak. "Bunda tuh, makanan enak gini dijual. Harusnya simpenin buat Loli."

"Mbak Loli ke sininya sore terus, sih. Kalau pagi, bolunya masih ada."

"Loli kan kerja, Mbak. Biar kaya. Biar bisa ke Amerika sama Bang Hesta," celoteh Lolita enteng seraya menyesap teh manis yang ia buat sesaat lalu. "Oya, ngomong-ngomong, Bunda masak apa? Loli mau minta, kaya biasa."

"Semur tahu dan sapi, Mbak." Shilla menunjuk pada panci yang ada di atas kompor. "Mau Shilla siapkan? Sekalian nasinya?"

Lolita menggeleng. "Gak usah repot. Kalau ketahuan disiapin Mbak Shilla, Bang Hesta bisa rewel. Dia tuh manja, mintanya apa-apa Loli yang siapin. Termasuk bungkus makan malam.Pokoknya yang berhubungan sama kebutuhan Bang Hesta, harus Loli yang turun tangan. Kebutuhan a-pa-pun." Lolita menyeringai sendiri dan pipinya bersemu. Entah apa yang ada di pikiran adik ipar Shilla ini. "Nasi biar Loli masak sendiri di rumah. Minta lauk aja, Mbak."

Shilla mengangguk dan mempersilakan Lolita menyiapkan kebutuhan makan malamnya sendiri. Sambil lanjut mengupas bawang putih, Shilla memperhatikan Lolita yang masih mengenakan seragam hotel tempat wanita itu bekerja. Lolita hidup bahagia dengan suami yang mencintainya. Lolita tidak bisa memasak, tapi wanita ini bisa cari uang. Shilla tahu persis, bahwa Lolita manja. Namun Hestama, tetap tak bisa hidup tanpa wanita itu. Shilla berpikir, apa yang harus ia miliki agar dirinya bisa menjadi arah bagi Andra untuk pulang.

"Eh, Mbak Shil." Tiba-tiba, Lolita berbisik setelah menutup kotak tupperware berisi semur. Adik Andra ini mendekati Shilla yang masih duduk di kursi meja makan. "Bang Andra gimana? Uhm ... maksud Loli, gak bikin kecewa, kan?"

Shilla mengerutkan kening. Mengerjap seraya mencerna maksud pertanyaan adik iparnya.

Menyadari Shilla tak paham pertanyaannya, Lolita berdecak. "Maksud Loli, kalau 'malam' bisa bikin Mbak Shil merdeka, gak?" Lolita gemas mendapati Shilla masih tak paham. "Bisa ngajak Mbak Shil ke puncak, kan?"

Shilla masih terdiam, tak paham tentang apa yang sedang dibicarakan.

"Suami istri, Mbak." Suara Lolita mulai terdengar geregetan. "Bang Andra suka gigit-gigit gak, kalau mau bobok?"

"E ... e ...." Menangkap apa topik yang Lolita angkat, Shilla seketika gagap dan salah tingkah. "Enggak, kok," jawab Shilla berusaha menekankan bahwa Andra tidak seberingas itu.

"Enggak?" Lolita mendelik tak percaya. "Itu Abang Loli gahar gak sih?" Suara Lolita bahkan sudah naik beberapa oktaf.

"Eh, gimana-gimana?" Shilla semakin tak paham lalu panik. Ia takut salah bicara dan rahasianya terbongkar.

Lolita mengibaskan tangannya. "Kalian harus pacaran deh kayaknya, biar Bang Andra ada hasrat buat gigit Mbak Shilla." Mengambil kotak isi semur, Lolita hendak pamit pulang ke rumahnya. "Kalau Bang Andranya pasif, Mbak Shillanya yang harus inisiatif memulai. Biar ... kita bisa lomba siapa yang duluan." Lolita mengedipkan satu matanya lalu melengos pulang meninggalkan rumah bunda.

Shilla mengerjap bingung seraya memindai sosok Lolita yang kian jauh dan menghilang. Saat ia memahami apa yang Lolita sampaikan, tangannya seketika lemas hingga pisau yang ia pegang, terlepas. Menghela napas panjang, Shilla bergumam sendiri, "Bagaimana caranya, Mbak?"

****

Andra memarkirkan mobilnya. Seperti biasa, ia pulang larut malam dari luar kota. Membuka pintu rumah, ia mencari Shilla yang biasanya berada di dapur, melakukan apapun sambil menunggunya. Selama mereka menikah, Shilla selalu berlaku sebagai adik yang baik bagi Andra. Menunggunya pulang seraya membuat camilan untuk makannya esok hari. Shilla akan bercerita tentang segala hal yang terjadi saat pria itu tak di rumah. Tentang bunda, Lolita, Hestama, hingga Mbak Lastri. Namun malam ini, di mana Shilla?

Meletakkan tas jinjing berisi pakaian kotor di ruang cuci, Andra hendak memasuki kamarnya namun baru membuka sedikit pintu, gerakannya terhenti. Rungu suami Shilla ini mendengar isak tangis lirih Shilla dengan segala kalimat penolakan yang ia utarakan pada seseorang yang menghubungi Shilla selarut malam ini.

Andra hendak melangkah pelan memasuki kamar namun gerakannya lagi-lagi terhenti. Wajah Andra bahkan terkejut melihat Shilla membanting ponselnya penuh emosi, lalu menangis keras seraya menangkup wajahnya dengan kedua tangan.

Menghela napas, Andra mendekati Shilla. Netranya melirik pada ponsel yang kacanya retak namun masih hidup. Karena ponsel itu, berdering lagi dan Andra membaca dengan jelas siapa penelepon tengah malam ini. Ayah.

Mengabaikan ponsel, Andra duduk di pinggir ranjang. Tepat di sebelah Shilla yang masih menangis sesegukan. Melihat bagaimana rapuhnya gadis yang ia nikahi, hati Andra merasa iba. Tangannya terulur membuka tangkupan tangan Shilla pada wajah gadis itu. Ia mengusap lembut air mata di wajah istrinya, lalu menarik tubuh Shilla untuk merangsek ke dalam pelukannya.

"Saya tidak tau apa yang membuat kamu emosi seperti ini. Tapi yang jelas, apapun itu, saya akan bantu selesaikan masalah kamu." Andra merekatkan pelukan mereka saat Shilla tak menolak masuk ke dalam pelukan Andra. "Kita memang bukan suami istri seperti yang rumah tangga lain miliki. Tapi kamu tetap keluarga saya, adik saya. Jangan tutupi jika ada masalah. Saya pasti bantu, Shil."

Isak tangis Shilla masih terasa naik turun. Andra tetap diam dan menunggu hingga emosi Shilla berangsur reda. Tangan pria itu bergerak mengusap lembut punggung Shilla dan tanpa sadar, ia mendaratkan satu kecupan ringan di pucuk kepala istrinya. "Jangan menangis, Shilla. Cerita ada masalah apa dan kita cari solusinya bersama."

"Ayah," cicit Shilla lirih dan terpatah. "Ayah meminta uang tabungan milik Ibu. Untuk biaya berobat anak dari istri mudanya. Anak mereka sering sakit dan Ayah selalu meminta uang pada Ibu untuk membantu biaya berobat dia."

"Lalu?"

"Shilla gak mau kasih," lanjutnya terdengar emosi. "Ibu menabung untuk biaya sekolah Shilla. Kami mengumpulkan uang dari jual kue."

Memahami apa yang terjadi dengan istrinya, Andra meregangkan pelukan mereka lalu menangkup wajah Shilla agar menatap dirinya. Netra mereka saling beradu. Andra mampu melihat seberapa sakit hati Shilla terhadap apa yang gadis itu alami.

"Biar saya bicara dengan Ayah." Lagi, Andra mengusap lembut pipi Shilla. Kali ini, dengan ibu jarinya.

Shilla menggeleng panik. "Jangan! Nanti Ayah minta uang Shilla. Shilla harus mempertahankan apa yang jadi hak Shilla. Shilla gak mau kalau harus mengalah lagi!" Tangis gadis itu pecah lagi. Ada ketakutan dan emosi yang jelas terlihat dari tubuhnya yang gemetar.

Andra mengira-ngira, seberapa berat tekanan batin yang Shilla miliki terhadap kondisi keluarga gadis itu. Hingga ia bisa emosi sedalam ini. Sampai tubuhnya gemetar.

"Ayah tidak akan mengambil apapun yang kamu miliki sekarang. Saya akan memastikan itu."

Mendengar ucapan dan perlakuan Andra malam ini, entah mengapa hati Shilla mendadak lega. Ia sungguh merasa memiliki seseorang yang memberinya perlindungan. Sesuatu yang tak ia dapat dari ayahnya sejak kecil. Sejak ia harus mengalah memberikan ayahnya pada wanita lain.

Shilla mendongak. Menatap wajah Andra yang tampak lelah. Ada rasa sayang yang terpancar dari wajah pria itu untuknya. Meski tampak gurat letih di wajah, Andra tetap tersenyum dan memasang badan untuk menjadi sandarannya malam ini. Entah apa yang terjadi. Yang jelas, hati Shilla seperti ada yang menyentuh dan menggenggam.

Menyadari sudah berapa waktu saling berpelukan, Shilla salah tingkah dan melepas rangkulan mereka. "Ehm, maaf Shilla jadi lupa diri." Ia berdiri dengan gestur gugup dan canggung. "Shilla siapkan air mandi Abang. Tunggu sebentar." Lalu gadis itu melengos keluar kamar tanpa menatap wajah Andra lagi.

Mendapati Shilla sudah menghilang dari kamar, Andra mengambil ponsel Shilla yang tergeletak di lantai, lalu mengambil nomor ayah Shilla untuk ia simpan. Ponsel istrinya retak, meski masih bisa menyala. Andra hanya menghela napas dan menggeleng samar, membayangkan apa yang telah Shilla lalui.

Andra dan Shilla tengah berbaring di ranjang. Dengan guling warna biru yang terletak kokoh di antara mereka. Shilla belum bisa tidur. Begitupun Andra. Mereka saling diam namun pikiran mereka entah mengapa berisi hal yang sama.

Pelukan dan ... demi Tuhan, Shilla sadar betul Andra tadi mengecup keningnya.

"Ehm ... Bang," panggil Shilla lirih dan canggung, tapi netranya konstan menghadap langit-langit.

"Ya?" Begitupun Andra yang tak berani menoleh pada gadis di sampingnya.

Tenggorokan Shilla terasa kering. Entah mengapa, untuk bicara saja, ia seperti butuh air yang banyak. "Terima kasih."

"Untuk?" Dada Andra berdebar. Pria itu mengumpat dalam hati, merutuki dirinya sendiri. Apa yang terjadi sih, hingga hatinya berdesir lembut begini.

"Memberi Shilla perlindungan dan ... rumah untuk pulang."

"Ini rumah Bunda. Saya belum punya rumah."

Shilla kikuk. "Maksud Shilla, tempat untuk Shilla merasa nyaman. Berbagi kesedihan dan bahagia. Terima kasih untuk ... yang tadi."

"Hem," respon Andra ala kadarnya. Sebenarnya, Andra ingin mengucapkan banyak hal terkait kejadian sebelum ia mandi tadi. Seperti minta maaf atau setidaknya klarifikasi. Namun, entah mengapa lidahnya terasa kaku.

Tak ada lagi suara hingga beberapa saat kemudian. Andra yang masih terjaga, melirik pelan gadis di sampingnya. Senyum samar terbit saat netranya mendapati Shilla sudah tertidur pulas. Andra yakin, gadis ini pasti lebih lelah darinya.

Seperti Lolita. Andra menganggap Shilla adiknya. Sosok yang harus ia jaga dan dampingi hingga mereka menemukan bahagia. Ia juga pasti pasang badan jika adiknya sedih atau terluka. Dan demi adik baru, Andra menggeser pelan guling diantara mereka. Membuang benda panjang bersarung biru itu ke lantai dan menarik pelan Shilla dalam pelukannya.

Semoga, dengan ini Shilla bisa tidur nyenyak, harap Andra seraya memeluk lembut istrinya.

****

"Perekrutan plasma-plasma baru harus kita lakukan segera mungkin. Saya memiliki beberapa data calon plasma yang bisa kita ajak kerja sama. Dengan bertambahnya plasma, kita harapkan ketersediaan ayam dapat terus memenuhi kebutuhan pasar. Terutama menjelang hari raya dan akhir tahun."

Andra memperhatikan dengan seksama arahan atasannya dalam rapat internal. Tugas kerjanya akan bertambah karena para petugas penyuluh lapangan diminta untuk bermitra dengan peternak lokal di kawasan Jawa Barat hingga Jawa Tengah.

Penuh konsentrasi, Andra mencatat beberapa informasi yang akan menjadi bekalnya kerja setelah rapat ini. Meski sebenarnya, pikiran pria itu kerap mencoba melenceng. Ada Miranti di ruang rapat ini. Gadis itu nampak cantik seperti biasanya.

Mencatat, selesai. Kini, mata Andra mau tidak mau mengitari ruang meeting dan menemukan Miranti di kursinya. Hati Andra entah mengapa kesal. Mengingat bagaimana cara wanita itu memutuskan hubungan diam-diam mereka. Tidakkah Miranti tahu jika Andra sudah menyiapkan satu cincin untuk gadis itu?

Ponsel Andra bergetar. Senyum benci seketika samar terlengkung saat ada pesan masuk dari mantan kekasihnya.

Biyu, bisa bicara sebentar setelah ini?

Meletakkan gawainya di atas meja, Andra menoleh pada Miranti dan tatapan mereka bertemu. Binar mata gadis sendu. Andra menangkap ada permohonan dari mata berkaca Miranti. Mungkinkah masih ada rindu? Namun, apapun yang masih tersisa di antara mereka, Andra memilih melengos lalu beranjak pergi dari ruangan setelah rapat internal resmi ditutup.

Miranti akan menikah. Begitu pun Andra yang sedang memiliki tanggung jawab. Dia pria. Dia harus mengedepankan apa yang ada di depan mata. Shilla dan perlindungan untuk istri yang ia anggap adik sendiri. Ia harus mampu menghapus rasa pada Miranti. Pun menghapus segala hal yang mengaitkan mereka. Bagaimana pun caranya.

****

Ramein votes dan komen yess!!! e-book Rentang Waktu sudah tersedia. Yang penasaran sama isah Adam-Hiya paskamenikah, beli kisahnya di playstore. Jangan beli bajakan, yess! Biar Hapsari Hepi hehehhe

LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top