4. Buka Hati
"Kalau masih bisa berusaha sendiri, jangan pernah coba merepotkan orang lain."
"Bukan seberapa banyak yang bisa kita dapat dalam hidup, Shil, tapi seberapa banyak kita bisa memberi dan bermanfaat."
"Maafkan Ibu. Karena Ibu, Ayah pergi. Maaf karena tidak bisa mempertahankan Ayah untuk kamu."
Shilla merindukan mendiang ibunya. Tak terasa air mata menetesi wajah gadis yang tengah mencuci beras pagi ini. Semalam ia memimpikan sosok ibu. Saat membuka mata, rasa sesak seketika mendera.
Suara pintu kamar mandi terdengar. Shilla mengusap cepat wajahnya lantas menoleh ke belakang. Andra baru saja keluar dengan boxer dan handuk yang mengeringkan kepala basahnya. Melihat suaminya, Shilla berusaha mengukir senyum.
"Kopinya sudah Shilla siapkan. Roti bakarnya juga," ucap gadis itu sebelum kembali fokus pada beras. "Baju Abang juga udah Shilla siapin di kasur."
Namun fokusnya sedikit goyah saat aroma sabun dan sampo tercium jelas.
"Kamu habis nangis?"
Shilla tersentak dan spontan menoleh pada Andra yang ternyata berada di belakangnya. Netranya mengerjap cepat seraya mencari jawaban untuk mengelak. Namun sebelum jawaban itu terucap, tubuh Shilla mematung mendapati Andra mengusap wajahnya.
"Air matanya masih tersisa," tukas Andra enteng. "Kalau berubah pikiran, belum terlambat untuk daftar kuliah gelombang dua." Dan tatapan Andra pagi ini, terasa lembut. "Baru satu bulan sejak kamu tolak tawaran Abang. Kampus masih buka pendaftaran."
Nayshilla menggeleng. "Terima kasih, Bang. Tapi Shilla menangis bukan karena memikirkan kuliah. Shilla hanya sedang kangen Ibu." Shilla mencoba mengukir satu senyum. Menunjukkan pada Andra bahwa ia baik-baik saja. Ia harus kuat, harus kuat menjalani ini seorang diri.
Andra tersenyum prihatin. Tatapannya menyiratkan rasa iba. "Jangan sedih. Ada saya dan Bunda yang akan menjaga kamu." Entah mengapa, satu tangan Andra terangkat dan mengusap lembut rambut Shilla. "Tetap semangat. Pria menyukai perempuan kuat. Jika kamu cengeng, bagaimana kamu bisa menemukan pria yang—"
"Abang nginap malam ini? Jadi ke Kuningan, kan?" sela Shilla dengan senyum yang ia paksa tampak ceria dan ringan. "Semalam Bunda bilang, pengen dibelikan jeniper dan tape ketan ember. Abang bisa bawakan untuk Bunda?"
Andra mengangguk. "Kamu mau dibawakan apa?"
"Gak usah. Abang pulang dengan selamat aja, sudah cukup buat Shilla." Deretan gigi Shilla tampak jelas. "Shilla bikin abon ayam, kemarin. Abang bawa satu toples kecil. Jaga-jaga gak cocok sama lauk di sana. Shilla juga bikin bolu pisang buat Abang ngemil. Semua bekal udah Shilla siapin barusan."
"Saya kerja, Shil, bukan piknik."
Binar mata Shilla seketika meredup dan sendu. "Shilla ... salah?"
"Ya, tidak," jawab Andra mulai tak enak hati. "Cuma ... jangan repot-repot."
"Gak repot, kok. Shilla sudah biasa buat kue dan camilan sama Ibu." Memberanikan diri, Shilla mendorong pelan dada bidang Andra yang tanpa busana. "Abang siap-siap. Sudah mendekati Subuh. Shalat lalu berangkat."
Enggan memperpanjang perdebatan di pagi hari, Andra mengangguk lantas beranjak menuju kamar mereka.
Sedang Shilla yang masih berada di depan meja cuci piring, mendesah panjang penuh kepedihan. Matanya menatap nanar ke arah pintu kamar mereka. Wajahnya sendu dengan netra yang mulai berair lagi. Otaknya kembali mengingat satu kalimat yang pernah mendiang ibunya ucapkan.
"Bukan Ayah yang membuat Ibu kecewa, tapi diri Ibu sendiri yang tak bisa mempertahankan Ayah untuk keluarga kita."
Sudah dua bulan mereka menikah. Andra pria baik. Tidak pernah memperlakukan Shilla dengan buruk. Seperti janji Bunda, bahwa Shilla akan hidup baik dengan orang-orang yang akan menjaga dan melindunginya. Namun Shilla tau, bahwa orang-orang ini bersikap baik padanya atas rasa kasihan, bukan cinta.
Statusnya keluarga, tetapi ia masih sering merasa asing. Terutama, jika sedang berdua dengan Andra di kamar. Pria itu memang acuh dan perhatian. Setiap malam sebelum tidur, Andra akan bertanya tentang hari ini pada Shilla. Apa yang gadis itu kerjakan, bagaimana Bunda dan banyak hal lain tentang rumah. Namun Andra, tak sedikitpun bertanya bagaimana hati dan perasaan Shilla.
Shilla sadar, bahwa mungkin saja pernikahannya akan berakhir mengenaskan. Namun Shilla juga tak lupa jika manusia berusaha, Tuhan akan memberikan hasil. Apapun hasilnya nanti, ia yakini adalah yang terbaik bagi takdirnya. Saat ini, biarkan Shilla membuktikan pada dirinya sendiri juga mendiang ibunya, jika rumah tangganya tak akan bernasib sama dengan kisah orangtuanya. Ia akan mencoba berjuang.
Meski mungkin saja terasa berat, Shilla akan berusaha. Membuka hati Andra perlahan dan memberinya kasih sayang. Meski Shilla tak memiliki hal besar yang dapat ia suguhkan. Ia akan memulai dengan hal sederhana yang bisa ia lakukan. Shilla juga belum mencintai Andra, tapi ia juga tak mau meremehkan hal sakral yang mengikatnya bersama Andra. Suaminya pria baik dan ia harus mempertahankannya.
"Abang berangkat." Andra memakai sepatu lantas berjalan menuju mobilnya. "Sampaikan ke Bunda, Abang gak sempat mampir ke warung untuk pamit. Sudah kesiangan, takut jalan semakin padat."
Shilla mengangguk. Gadis itu membuka pintu penumpang depan dan meletakkan beberapa kotak makanan di sana. "Kopinya Shilla taruh sini." Ia meletakkan botol di dekat persneling. "Abang hati-hati," pesannya dengan senyum manis.
Andra hanya mengangguk dari kursi kemudi. Mobil menyala dan suami Shilla beranjak pergi. Selang beberapa saat memulai perjalanan, Andra melirik pada beberapa kotak camilan yang Shilla siapkan. Ia tersenyum samar dan menggeleng. Anak kecil seperti istrinya, memang lebih suka memikirkan makanan. Tanpa peduli bahwa Andra pergi untuk bekerja, bukan wisata.
****
Hampir larut malam saat Andra sampai rumah. Ia sedikit terkejut mendapati Shilla masih terjaga. Gadis itu tengah menggoreng makanan ringan.
"Kenapa belum tidur?" tanya Andra seraya memberikan dua kantung oleh-oleh dan dua ember tape ketan pesanan bunda.
Shilla tersenyum simpul seraya menerima pemberian suaminya. "Nungguin Abang sambil bikin telur gabus keju. Tadi Bli Wayan datang kasih keju. Katanya oleh-oleh habis jalan-jalan ke Bandung. Kejunya banyak. Shilla minta ijin Bunda buat diolah jadi camilan. Sama Bunda dibolehin, kok."
"Kan bisa bikin besok. Gak harus malam, kan?"
"Sekalian nungguin Abang. Biar gak kekunci kalau-kalau Shilla atau Bunda udah pules ketiduran."
"Abang punya kunci cadangan."
"Shilla belum ngantuk juga sih, tadi. Sekarang baru terasa capeknya bentu-bentukin telur gabus keju ini. Abang mau mandi? Biar Shilla siapkan air hangat."
"Iya," jawab Andra. "Boleh kalau tidak merepotkan."
Shilla menggeleng tegas. "Gak repot, kok. Shilla rebus air dulu. Abang tunggu sebentar." Lalu gadis itu beranjak dari meja makan, tempatnya berkutat dengan adonan yang sudah tinggal sedikit itu.
Memindai pergerakan Shilla, Andra membatin iba. Shilla gadis baik. Andra yakin, mendiang mertuanya mendidik Shilla dengan baik dan itu terbukti. Melihat peringai Shilla yang pekerja keras dan senang membantu, Andra yakin akan banyak pria seumuran gadis itu yang jatuh cinta pada pesona Shilla. Sayang, Shilla memilih sibuk dengan kegiatan PKK dari pada Himpunan Mahasiswa.
"Bang, kalau boleh Shilla tau, kerjaan Abang kalau ke luar kota itu ngapain?" tanya Shilla seraya menggoreng adonan terakhir telur gabus. Sedang Andra, baru selesai mandi dan menikmati secangkir kopi yang Shilla siapkan.
"Memantau kandang dan jumlah ayam," jawab Andra santai. "Perusahaan Abang, bekerja sama dengan beberapa peternak lokal yang kami sebut dengan plasma. Plasma ini, adalah orang yang memiliki tanah dan kandang. Abang menitipkan benih ayam untuk mereka rawat hingga besar dan siap panen."
"Oh ... " respon Shilla seraya menyaring gorengan terakhir dan mendinginkan sebelum masuk toples. "Kenapa di luar kota?"
"Karena Bekasi sudah penuh dengan pabrik, apalagi Jakarta," jawab Andra enteng. "Peternak kebanyakan berada di desa. Tugas Abang memantau mereka dan memberi penyuluhan agar mereka bisa merawat ayam-ayam dengan baik."
"Abang suka ayam?"
"Suka. Apalagi kalau Bunda opor."
"Bukan. Maksud Shilla, Abang suka ayam sampai bekerja jadi peternak ayam."
Andra menyeringai geli. "Oh, Abang kira apa. Yang jelas, Abang nyaman dengan pekerjaan Abang saat ini." Andra kini menatap Shilla yang sibuk dengan tiga toples tupperware bunda. "Kenapa? Tertarik kuliah peternakan?"
Shilla tertawa kecil. "Enggak. Shilla lebih pilih kursus jahit dari pada kuliah ternak."
"Boleh," jawab Andra antusias. "Mau daftar kursus jahit? Abang dukung."
"Iya, tapi nanti. Shilla mau fokus urus Abang dulu."
"Shilla. Jangan repot urus saya. Kita menikah untuk melindungi kamu. Memberi kamu tempat untuk pulang dan bahagia."
Shilla tersenyum. Sekilas, senyumnya terlihat getir. "Terima kasih, tapi Shilla masih ingin seperti ini saja. Shilla sudah bahagia jadi bagian keluarga Abang. Kalau sudah waktunya, Shilla pasti kabarin Abang kalau mau kurus jahit."
Andra mendengkus pasrah. "Gorengnya sudah? Ayo tidur. Tidak baik kalau kurang istirahat."
Mengangguk, Shilla menata toples itu di meja makan, lalu tersenyum lembut. "Abang duluan aja ke kamar. Shilla mau cuci tangan dulu sama beresin dapur."
"Abang temani sampai selesai."
"Gak usah. Abang sudah lelah, kelihatan dari wajahnya. Abang istirahat duluan aja."
"Yasudah," jawab Andra seraya mengangguk. "Lekas istirahat, Shil," lanjutnya sebelum beranjak meninggalkan Shilla seorang diri.
Tak lama, Shilla memasuki kamar mereka. Gadis itu mendapati Andra sudah menutup mata dengan napas teratur. Menduduki ranjang, Shilla menatap wajah Andra yang kentara tampak lelah. Wajah pria yang tak pernah berlaku kasar pada ibu, adik, dan istrinya. Pada suami yang memperlakukannya dengan baik meski terang menyatakan tak ada rasa diantara mereka.
Keluarga ini sempurna. Meski rumah tangganya belum memiliki arah yang jelas. Shilla nyaman meski masih kerap merasa sungkan. Mengulurkan tangan mungilnya, Shila membelai lembut rambut suaminya.
"Semoga suatu hari nanti, Abang bisa membuka hati. Juga, Shilla bisa memiliki rasa sayang untuk Abang. Kalau boleh, Shilla ingin mempertahankan Abang," ucap Shilla lirih dan getir. "Semoga bisa," lanjutnya lagi saat ia sudah terbaring menghadap Andra dengan guling besat warna kuning di antara mereka.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top