2. Menikah

Andra mengembuskan napas di depan cermin kamar mandi rumah ini. Ia sudah rapi dan siap menjabat tangan ayah Shilla sesaat lagi. Tepat di hari kedua kematian ibu gadis itu.

Ini gila. Bagaimana mungkin ia menikahi gadis belasan tahun yang bundanya pinta malam lalu. Semalam, usai bunda melamar Shilla pada ayahnya, Andra mengajak bunda bicara berdua di dalam mobilnya. Andra hendak berkata pada bunda untuk memikirkan cara lain menolong Shilla. Bukan dengan menjadikan gadis itu menantu.

Namun jawaban dan penjelasan bunda semalam, membuat Andra akhirnya menyerah.

"Ndra, Bunda tau ini mungkin merepotkan kamu. Tapi serius, Bunda gak tega sama Shilla. Kamu gak perhatikan dia? Wajahnya kuyu. Meski punya ayah, tapi pria itu tidak pernah mengurus Shilla. Sibuk sama istri muda dan keluarga barunya. Kemana Shilla bisa berlindung setelah ini?"

"Tapi, Bund-"

"Gak pake tapi, Ndra. Menolong sesama itu wajib."

"Andra gak cinta."

"Loli juga dulu benci Hesta tapi akhirnya mereka nikah. Lihat adik kamu itu, dikit-dikit Hesta. Apa-apa Hesta. Pokoknya dunia Loli sekarang Hesta. Padahal kamu lihat sendiri apa yang dulu Loli lakukan ke suaminya."

"Tapi, Bund-"

"Gak ada tapi, Ndra. Nikahi Shilla. Dia gadis baik dan Bunda yakin kamu akan cinta sama dia. Gak pake lama. Bunda yakin itu."

Andra menghela napas. Memejamkan mata dengan hati meredam emosi dan otak yang berputar mencari sanggahan kalimat bunda.

"Atau ...," lanjut bunda. "Bunda pindah ke sini temani Shilla."

"Bund, dia bukan siapa-siapanya kita. Jangan masuk ranah pribadi orang."

"Justru karena dia bukan siapa-siapanya kita, Ndra. Bunda mau kamu nikahi dia biar jadi anak Bunda! Rosi udah pergi, sebelum Bunda sempat membalas kebaikan dia. Kalau udah gini, Bunda bisa apa selain menjaga anak dia satu-satunya?"

"Tapi Bund-"

"Lihat ke kanan kamu!"

Andra menoleh. Beberapa langkah dari mobilnya terparkir, tampak Shilla tengah berjalan tertatih dengan sosok ayah yang menggiringnya paksa. Mereka berdua tampak bicara empat mata dengan Shilla yang terus menunduk dan menggeleng. Bahu gadis itu terlihat naik turun. Andra tau, Shilla menangis lagi. Sedang pria di depan gadis itu, tampak bicara tegas dengan wajah mengeras.

"Tega kamu, Ndra, lihat anak sahabat Bunda diperlakukan gitu sama pria yang harusnya melindungi dia?" Suara Bunda bahkan sudah parau. Saat Andra menoleh, air mata bunda mengucur lagi. "Gak bisa tenang hidup Bunda kalau tau anak sahabat Bunda yang nolong hidup kita, hidup tanpa orang yang bisa menolong dan melindungi dia."

Andra mendongak ke atas, menghela napas, lalu mengusap wajahnya dengan tangkupan tangan. "Andra gak punya apapun untuk jadi mahar, Bund."

Bunda menoleh pada putranya. Senyum bahagia seketika terbit di wajah wanita itu. "Besok pagi, Bunda ke pasar beli alat shalat dan emas."

Kini, di pagi menjelang siang, Andra duduk tegap menghadap ayah Shilla. Dengan pak RT dan RW yang menjadi saksi pernikahan bawah tangan ini. Penghulu menanyakan ketersediaan calon mempelai wanita atas penikahan. Shilla menjawab setuju atas pernikahan dan mahar yang Andra berikan. Gadis ini tampak sederhana dengan gamis brokat berwarna biru muda dan hijab senada.

"Sah!"

Para tamu yang hadir mengucap hamdalah. Bunda menangis haru atas satu fase hidup baru anaknya. Sedang Andra, menoleh pada gadis yang menjadi istrinya ini. Mata pria itu berbinar gamang. Bagaimana nasib hidup dan rumah tangganya kelak, dengan perempuan yang terpaut belasa tahun dengan dirinya.

Lihatlah Nayshilla Putri, istrinya. Di hari pernikahan mereka, ia hanya memakai bedak dan lipstik. Tidak ada warna mata dan pipi seperti yang Lolita pakai setiap hari. Gadis itu selalu menunduk dan jarang bicara. Berbeda dengan para perempuan yang hadir di hari-harinya. Juga, parasnya yang terlampau belia. Sungguh wajah Shilla belum cocok menyandang status nyonya.

Namun mau bagaimana lagi jika Shilla sendiri yang berkata siap menjadi menantu Bunda, beberapa saat setelah percakapan empat mata gadis itu dengan ayahnya. Meski tampak berat, ayah gadis itu akhirnya memberikan restu Shilla menjadi seorang istri.

"Nanti kuliah di kampusnya Lolita saja. Kamu mau ambil jurusan apa?" Bunda bicara santai seraya melipat kotak kue untuk pengajian tiga hari kematian Rosi. "Nanti, biar suami kamu yang biayai kuliah kamu. Bunda bantu uang jajannya. Alhamdulillah Loli udah ada yang urusin, jadi Bunda bisa jagain Shilla mulai sekarang."

Nayshilla hanya tersenyum tipis seraya menata tumpukan kardus kue itu. Netranya melirik pada Andra yang tengah menikmati kopi bersama suami Lolita, petang ini. Lalu matanya, mengarah pada Lolita yang mengambil makan malam di meja seraya berteriak memanggil suaminya.

"Bang Andra belum makan malam. Apa Shilla ...."

Bunda tersenyum. "Iya, Boleh. Ambilin saja buat dia. Biar kalian dekat juga."

Malu-malu, Shilla beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju teras rumah. Mengajak Andra makan malam yang hanya pria itu jawab dengan dehaman.

"Makan sono gih, Bang. Ini Loli ambil nasi satu piring buat berdua sama Bang Hesta. Abang ambil sendiri atau makan sama Mbak Shilla. Aduh, Loli punya kakak baru, muda banget," celoteh wanita itu.

Andra tak merespon. Wajahnya tetap datar namun tubuh pria itu bergerak mengikuti Shilla menuju meja makan dan menikmati makan malam pertama mereka. Tak ada obrolan. Hanya hening dan kecanggungan yang menyergap diantara mereka. Andra menghabiskan makannya dengan cepat sedang Shilla tak repot bertanya atau membahas ini itu. Padahal, bisa saja mereka bicara tentang dokumen pembuatan surat nikah yang belum sempat diurus atau sebagainya. Namun Shilla, lebih memilih diam.

Saat malam pun, Andra memilih tidur di luar dengan alasan menemani Hesta yang tidak mendapatkan jatah kamar. Meninggalkan Shilla yang tertidur seorang diri namun mata gadis itu tak sekalipun terpejam hingga dini hari. Membayangkan bagaimana hidupnya setelah ini. Setelah satu-satunya manusia yang ia cintai pergi.

Acara pengajian tiga hari kematian Rosi diadakan siang hari. Tepat setelah acara selesai, bunda dan anak-anaknya pamit kembali ke Bekasi.

"Maaf belum bisa ikut Bang Andra pulang. Shilla masih harus di rumah ini hingga tujuh hari kepergian Ibu."

Andra mengangguk. "Saya jemput minggu depan."

"Siap-siap ya, sayang. Mulai beberes baju dan perlengkapan kamu. Nanti Bunda rapi-rapi kamar Andra dan ganti kasur dia."

Andra terbatuk kecil. "Berapa nomor rekening kamu? Saya ... mau kirim uang."

Hestama berdecak kesal. Ia merogoh saku lalu membuka dompet dan mengambil beberapa lembar uang. "Ini satu setengah juta. Dari Andra, bukan saya. Dia akan mengganti uang ini ke rekening saya."

"Rekening Loli aja," sanggah Lolita dengan seringai antusias. "Tapi Mbak Shilla tetap harus kasih nomor rekening, nomor gopay, nomor shopee pay, nomor OVO, sama nomor-nomor lain. Bang Andra gak suka pegang duit. Mungkin takut diambil tuyul. Bang Andra itu, sukanya cashless. Modelan transfer doang."

Shilla tersenyum bingung seraya menerima uang yang disodorkan Hestama. "Ini ... uang apa?"

"Nafkah dari Andra untuk kamu. Bisa kamu simpan atau dipakai untuk pengajian tujuh hari nanti. Jangan kemana-mana sampai Andra jemput kamu ya, Shil," pesan bunda.

Shilla mengangguk lantas mengantar keluarga barunya menuju mobil Andra. Saat Andra hendak memasuki mobilnya, Shilla memanggil lirih.

"Ya?" tanya Andra datar dengan satu alis terangkat.

Shilla mengulurkan tangan. Andra terdiam tak mengerti maksudnya.

"Apa ada yang kurang?" tanya Andra terbata dengan dahi berkerut jelas.

Menggeleng, Shilla memajukan tubuhnya lalu meraih tangan kanan Andra. Ia menunduk dan mencium punggung tangan pria itu. "Hati-hati," pesannya malu-malu dengan rona wajah yang kentara memerah.

Andra mendadak didera canggung. Ia hanya berdeham dan mengangguk. Ia menaiki kursi kemudi, lalu pamit pada gadis yang menjadi istrinya kini.

***

"Biyu, bisa kita bicara?"

Andra melirik pada sekretaris direktur tempatnya bekerja. Wajahnya datar namun kentara memendam rasa kecewa.

"Tentang apa, Mira? Undangan pernikahan kamu yang belum sampai di meja saya atau tentang jadwal kunjungan lapangan Bapak bersama beberapa penyuluh termasuk saya?"

"Biyu."

Andra beranjak dari meja kerjanya. "Saya ada meeting dengan tim PPL. Ada modul baru yang ingin kami pelajari. Saya permisi."

Berjalan cepat, Andra meninggalkan Miranti yang telak membuangnya hanya dengan satu pesan singkat. Andra tau, Miranti meminta watunya untuk menjelaskan sikap wanita itu. Namun bagi Andra, percuma. Toh, Miranti akan menikah dan dia .... sudah menikah.

Mulai saat ini, mungkin Andra harus menjaga jarak dengan sekretaris direkturnya itu. Ini yang terbaik. Meski hatinya harus menahan perih akibat kecewa dan ... menerima takdir yang membuatnya harus menjadi bagian dari hidup seorang Nayshilla.

Tak terasa Jum'at kembali lagi. Andra bimbang. Ia enggan menjemput Shilla namun bunda setiap hari selalu membicarakan menantunya itu. Bagaimana ia harus bersikap dengan Shilla? Ia tidak mencintai anak kecil itu. Demi Tuhan, Shilla baru lulus SMA dan usianya belum 19 tahun. Topik apa yang bisa mereka diskusikan? Korea? Oppa yang selalu Lolita puja? Fashion? Yang jelas, Andra yakin, tak ada satu topik yang akan menyatukan selera mereka.

Mengambil gawai, Andra menghubungi sahabatnya.

"Ta, lo gue jemput pulang kantor. Antar gue ke Purwoketo jemput Shilla. Lolita biar tidur sama Bunda dulu malam ini."

Tak peduli dengan jawaban adik ipar, Andra berkeras meminta Hestama menemaninya menemui si istri belia.

Mereka sampai di kediaman Shilla tepat tengah malam. Bahkan, masih mengenakan baju batik yang biasa para karyawan pakai di hari Jum'at. Shilla bergerak salah tingkah hendak mempersilahan Andra untuk masuk ke kamarnya. Namun Andra yang juga canggung, mengatakan bahwa ia terlampau lelah dan memilih tidur bersama Hestama.

Pagi hari saat Andra membuka mata, ia mendapati sarapan sudah tersaji. Hestama yang bangun lebih dulu, tengah menikmati kopi seraya mendengar omelan istrinya dari video call.

"Nih ... Nih ... Nih ... orangnya nih yang bikin Loli gak bisa bobok nyenyak!" Suara Lolita kencang terdengar. Andra hanya meringis menatap layar ponsel Hestama.

"Pagi, Ndra. Shilla udah siapin kopi lo," sapa Hestama seraya melirik pada satu cangkir kopi.

"Loli kesel sama Bang Andra! Culik laki Loli gak bilang-bilang! Loli kepikiran sama kancutnyaaaa! Udah berapa jam itu kancut gak ganti? Apa kabar isinya? Loli kepikiran!"

"Lolita." Hestama menegur istrinya. "Siang ini kami berangkat ke Bekasi. Diam di rumah dan bantu Bunda."

"Bener pulang ya, Bang! Awas kalo nginep lagi! Gak usah repot temenin Bang Andra bulan madu." Lalu vidio call itu, Hestama putus setelah berjanji esok hari mereka akan pergi berdua entah kemana.

"Bulan madu," cibir Andra seraya mengambil sepotong ubi rebus. "Lo betah hidup sama cewek kayak Lolita?"

"Gue cinta, Ndra. Jujur semalem gue gak nyenyak tidur mikirin dia."

Andra meringis. "Njir, bini gue masih bocah. Loli yang gitu aja, gak bisa apa-apa. Apalagi dia."

"Gue gak bisa bantu apa-apa, Ndra. Gue gak pernah ada di posisi lo. Kebetulan, bini gue yang lo bilang gak bisa apa-apa, udah gue taksir dari lama. Sialnya, gue cinta sama bini gue."

Andra mendesah. Tak lama, netra pria itu mengarah pada pintu utama dimana Shilla nampak baru datang dengan dua kardus besar yang tampak berat dibawa.

"Itu apa?" tanya Andra.

Shilla menoleh pada Andra. Senyum manis seketika terbit di wajahnya. "Oleh-oleh buat Bunda."

"Bisa kita bicara?"

Shilla mengangguk lalu meninggalkan dua kardus itu dan berjalan ke meja tamu. "Ada apa, Bang?"

Andra menatap Shilla lamat. Mengambil napas panjang, lalu pria itu mulai bicara, "Kita menikah atas permintaan Bunda dan persetujuan kamu. Jujur, saya tidak cinta kamu."

"Ndra," suara Hestama tampak terkejut.

"Kita mungkin akan tidur satu kamar dan satu ranjang. Namun saya pastikan, tidak akan terjadi apa-apa diantara kita."

"Ndra!" Suara Hestama terdengar sedikit meninggi.

Andra menoleh pada Hesta dan menggeleng. Mengisyaratkan agar adik iparnya tidak ikut campur dalam obrolan ini.

Sedang Shilla, tampak mematung dengan wajah yang kentara terkejut. Ada kecewa juga sedih yang terpancar dari wajah belianya.

"Saya akan membiayai kuliah kamu, sesuai janji Bunda. Setelah kamu lulus kuliah dan menemukan pria yang kamu cinta, kita bisa berpisah. Anggap saja, saya melakukan perniakahan ini untuk membantu melindungi kamu sampai kamu menemukan pria yang mencintai kamu."

"Ndra lo sehat?"

"Bagaimana, Shilla? Saya harap kamu bisa memahami keputusan saya ini."

Shilla melengkungkan senyum getir. Ternyata, cinta yang tulus itu benar tak ada. Mungkin hidupnya akan sama dengan apa yang ibunya alami. Menjalani pernikahan dengan pria yang tak tulus mencintai.

"Shil, saya rasa Andra tidak bermaksud seper-"

"Shilla paham," potong Shilla dengan wajah yang lamat menatap Andra. "Shilla tetap ikut Abang yang sudah menjadi suami Shilla dan akan berbakti layaknya istri. Untuk hal yang Abang sebutkan tadi, Shilla akan menerima."

Hestama beristighfar dengan nada kecewa. "Gue gak ikutan," ucapnya pasrah.

"Ini memang rumah tangga gue, Ta, dan hidup kami."

"Terserah lo, deh. Gue gak ikutan kalau Bunda murka dengar kesepakatan kalian yang ini."

"Shilla pastikan Bunda tidak tau tentang ini," ucap gadis yang wajahnya sudha tampak pias. "Shilla ambil tas dulu, kita berangkat sebentar lagi." Lalu istri Andra ini, melangkah memasuki kamar dan menutup pintu. Menangis dalam diam, seraya membereskan beberapa barang pribadi yang belum sempat dikemas.

Meredakan isaknya, Shilla bergumam sendiri seraya menatap bingkai poto ibunya. "Doakan Shilla mampu menjalani ini, Bu. Semoga Shilla bisa sekuat ibu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top