10. Prioritas
"Ibu-ibu, maaf loh ya semalam saya slow respon di wa grup. Bapaknya baru pulang dari luar kota, jadi rada manja." Wanita berjilbab merah berucap saat rapat evaluasi posyandu sudah selesai.
"Duh, iya, gak apa Bu, semua perlengkapan sudah di-list sama Mbak Shilla." Ibu berbaju biru menimpali, seraya membereskan beberapa alat ukur dan timbangan.
"Tinggal kita pendataan saja nih, anak-anak yang belum dapat vitamin A siapa saja. Nanti minta tolong para Ibu RT untuk mengimbau agar Agustus tidak ketinggalan vitamin A," lanjut Bu RW yang tengah mengeluarkan konsumsi panitia dari wadah yang ia bawa.
"Mbak Shilla rajin, ya."
Ibu berbaju biru menyentuh pundak Shilla dan gadis itu terperanjat.
"Loh kok kaget? Melamun?"
"Eh? Enggak, Bu." Shilla tersenyum tak enak hati. Tubuhnya bergerak menyamankan duduknya yang sejak tadi bersila. Sejak tadi, sejak melamunkan perubahan sikap Andra.
Shilla menghela napas pelan. Ia bahkan tak begitu fokus mendengar arahan Bu RW saat rapat evaluasi posyandu tadi. Yang ia lakukan hanya duduk bersila dan menyender pada tembok dengan pikiran berkelana jauh mengejar Andra.
Miranti dan suami wanita itu yang sepertinya kaya raya. Shilla tidak tahu apa hubungan Andra dengan perempuan bernama Miranti itu. Namun yang jelas, setiap Andra mendengar nama itu, suaminya pasti berubah sikap.
Ingatan Shilla kembali pada Sabtu, beberapa hari lalu. Saat mereka makan di Ancol, usai Andra bertemu rekan kerjanya. Andra yang semula mengajak makan berdua di restaurant pesawat terbang, tiba-tiba membawa Shilla ke restauran ayam cepat saji. Makan dengan cepat lalu mengajak Shilla pulang. Melupakan janjinya untuk memasuki musium lilin dan mengambil gambar bersama. Hanya karena satu nama, Andra mutlak berubah menjadi sosok yang tak Shilla kenal.
Apa kurangnya? Batin Shilla miris. Apa lebihnya perempuan itu yang tak Shilla miliki? Cantikkah dia? Atau ...
"Mbak Shilla!" teguran lantang itu mengentakkan Shilla dari lamunannya. Ia menoleh dan wajahnya membentuk gestur penuh tanya. "Yah, ngelamun lagi dia."
Shilla tersenyum sungkan. "Maaf, Bu. Semalam saya begadang. Bang Andra ke Cirebon hari ini jadi—"
"Dua ronde? Pantes kaya lemes gitu sepagian ini," sela ibu berbaju biru.
"Bukan, Bu. Buat bolu untuk camilan Bang Andra. Kalau ke luar kota, biasanya saya membawakan bekal bolu."
"Oya, ngomong-ngomong bolu," Bu RT menimpali, "Mbak Shilla bisa bantu siapkan menu camilan untuk acara perkumpulan PKK RW di kelurahan dua minggu lagi? Setiap perwakilan PKK RW, diminta bawa makanan ringan. Kita sumbang dua macam saja. Bolu Mbak Shilla sama lemper isi abon ayam buatan Mbak Shilla yang waktu itu pernah kita coba. Mbak Shilla apa bisa membantu?"
Tersenyum sopan, Shilla mengangguk. "Bisa, Bu. Nanti Shilla buatkan."
"Duh, punya istri muda, kinyis, cantik, lembut, pinter masak sama cari duit gini, Mas Andra yakin cinta mati. Enaknya kita, cari duitnya gak harus naik angkot. Dari rumah bisa sambil nonton berita artis," tukas ibu berjilbab kuning.
Menanggapi komentar rekan kader posyandunya, Shilla hanya menyeringai seakan ia bersyukur dan bahagia mendapati Andra dalam hidupnya. Memang betul, Shilla bersyukur, namun sayangnya ia belum bahagia.
"Tapi penghasilan kita, gak sebesar yang kerja kantoran, Bu," celetuk salah satu kader. "Kadang tuh, yang seperti kita suka gak dianggap cantik cuma karena gak pake tas bermerek dan skin care kaya para artis. Mereka gak tahu saja, gimana cara kita siasati makan enak tapi budget murah."
"Duh, jadi pada curhat, ya," tukas Bu RW santai. "Ya, bagaimanapun kondisi rumah tangga masing-masing hunian, yang penting saling melengkapi dan membantu. Karena keluarga bahagia itu, dibentuk oleh anggota keluarga yang saling menghargai dan terbuka. Jangan lupa, jujur dan komunikasi kuncinya."
"Iya Bu RW, betul itu," ucap salah satu kader yang hadir. "Suami saya, terbuka kalau soal apapun sama saya termasuk masalah ranjang. Saya pun terbuka dan jujur sama dia, apalagi soal uang."
"Alhamdulillah," respon Bu RW berwibawa. "Semoga semua rumah tangga di komplek ini, baik-baik saja. Semua warga sehat dan bahagia." Semua serempak mengamini. "Jangan lupa sampaikan ke tetangga sekitar rumah tentang hal yang saya informasikan tadi ya."
"Yang mana?" tanya Shilla dengan kening berkerut.
Bu RW tersenyum manis dan lembut. Mencoba maklum dengan Shilla yang mungkin saja kelelahan membuat bolu selama dua ronde. "Tentang rumah sakit dekat perumahan kita, yang menyediakan etalase berbagi nasi bungkus untuk penunggu pasien. Jika ada rejeki lebih, dipersilakan memberikan beberapa porsi makan untuk diambil gratis oleh penunggu pasien."
"Oh, iya." Shilla mengangguk malu. "Nanti Shilla sampaikan ke warga sekitar rumah bunda."
"Terima kasih, Mbak Shilla," jawab Bu RW. "Jangan lupa, nanti kita diskusikan perwakilan yang akan berangkat ke kelurahan dua minggu lagi, ya." Lalu wanita paruh baya ini menutup pertemuan singkat mereka usai posyandu bulanan yang diadakan pagi tadi.
Shilla mengemudikan motor matik Andra menuju rumah. Di perjalanan, ia memikirkan ucapan Bu RW tentang rumah tangga bahagia. Shilla menghela napas, seakan mengeluarkan segala sesak yang sejak Sabtu lalu mendera.
"Karena keluarga bahagia itu, dibentuk oleh anggota yang saling menghargai dan terbuka."
Shilla bertanya pada diri sendiri. Apakah Andra menghargai setiap hal kecil yang ia berikan? Setiap usaha kecilnya untuk mendekatkan diri pada suaminya? Setiap pengabdian kecil yang selalu ia lakukan meski lelah, demi membuktikan pada Andra bahwa ia menganggap Andra suaminya meski dalam pernikahan mereka, terdapat perjanjian tak masuk akal.
Bu RW juga berkata tentang keterbukaan. Seperti apa keterbukaan bagi pasangan suami istri? Shilla yakin Andra sudah tau semua tentang keluaga gadis itu. Namun Shilla, sedikitpun tak bisa meraba tentang perempuan yang selalu berhasil merubah suasana hati suaminya.
Shilla tahu, keluarga tempatnya bersandar adalah keluarga yang rukun dan bahagia. Namun suami yang seharusnya ada untuk mendampinginya justru ...
"Mbak Shilla!"
Teriakan kencang itu membuyarkan lamunan Shilla sebelum ...
"Aw!"
Ia terjatuh bersama motor matik Andra ke dalam parit kecil.
Shilla meringis menahan nyeri yang terasa di sekitar betis hingga mata kaki. Sepeda motor Andra menibani tubuh mungilnya. Rok plisket yang ia pakai, sedikit terbuka hingga knalpot mendapat kesempatan berkenalan dengan kulit mulusnya.
"Mbak Shilla gak apa?" Seorang pemuda penjaga warung menghampiri Shilla. Ia menegakkan sepeda motor lalu membantu Shilla berdiri. "Kakinya kotor. Masuk got. Saya antar pulang, ya?" tawarnya dengan raut wajah khawatir bercampur iba.
"Gak usah, Bang. Masih kuat kok. Motornya gak papa kan ya?" Shilla menggerakkan kakinya pelan. Mencoba meraba rasa sakit yang mulai menjalari sekitar kaki hingga punggungnya.
Pria penjaga toko itu melihat sepeda motor Andra sesaat sebelum mengangguk. "Gak apa kok. Ini motornya jatoh di atas badan Mbak Shilla. Jadi gak ada kerusakan, justru Mbak yang kelihatannya gak baik-baik saja."
Shilla tersenyum. Meski lengkungan itu terpaksa ia bentuk di tengah rasa sakit yang amat sangat menganggu. "Saya duluan ya, Bang. Mau cepat-cepat sampai rumah dan bersih-bersih."
"Benar gak diantar?"
Menggeleng, Shilla menaiki motor lagi dan memegang kemudi. "Shilla baik-baik saja kok. Lagian rumah juga sudah dekat." Tersenyum dan mengucap terima kasih, Shilla lalu bergerak mengarahkan motornya ke rumah bunda.
Tubuhnya terasa sakit, namun ia harus bertahan karena Andra akan pulang malam ini. Suaminya berkata tidak akan menginap karena tidak ada hal yang mengharuskannya tinggal di Cirebon lama. Ia harus menyiapkan keperluan suaminya. Andra adalah prioritasnya saat ini. Mengambil hati andra, membangun rumah tangga dan keluarga, lalu bahagia.
****
Hidup sebagai petugas penyuluh lapangan yang kerap ke luar kota mengunjungi kandang plasma, membuat Andra terbiasa dengan lolongan anjing malam dan suara langkah satpam komplek perumahan. Seperti biasa, mobilnya baru masuk rumah saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat sekian menit. Waktu-waktu akhir dalam hari ini.
Membuka pintu rumah, kening Andra sedikit menyernyit mendapati rumah sepi dan gelap. Biasanya, Shilla masih di dapur untuk menunggunya sambil melakukan sesuatu. Jika tidak ada yang dikerjakan, gadis itu tetap menunggunya di ruang tivi. Mungkin Shilla terlalu lelah dengan rutinitasnya? Ini bukan salah Andra, batin pria itu. Andra tak sekali pun meminta Shilla membantu bunda atau ikut bergabung kelompok PKK. Harusnya gadis itu kuliah saja. mencari ilmu, pengalaman, kenalan dan ... pria yang menjamin hidup lebih baik dari pada dengan dirinya.
Menghela napas, Andra mengambil satu gelas air putih dan menandaskan dalam beberapa tegukan. Ia kesal pada dirinya sendiri. Ada kecewa namun ia tahu ini bukan salahnya juga. Melihat hidup Miranti yang berubah drastis, mengusik ego Andra. Wanita itu kini terlihat lebih cantik dengan baju dan perlengkapan yang terlihat mahal. Setiap hari pun, wanita itu diantar jemput oleh mobil mewah dan supir yang siap sedia menunggunya.
Pantas saja ayah wanita itu menolak Andra. Dia kalah telak soal kemapanan. Karena wajah tampan, seperti tak ada harganya jika pria tak memiliki harta.
Andra membuka tudung saji. Ada satu gelas kopi yang mulai dingin, satu mangkok soto ayam bening dan perkedel kentang. Ini pasti Shilla yang menyiapkan. Andra sudah hapal betul bagaimana cara gadis itu menyediakan keperluan makannya. Setelah merebus air untuk mandi, Andra mengambil piring lalu menghabiskan makanan yang Shilla siapkan secepat mungkin.
"Shil, kamu kenapa?" Andra mengguncang tubuh Shilla dan berbisik pelan saat pria itu mendapati memar dan luka bakar di kedua betis istrinya.
Andra meringis pilu melihat Shilla yang mendesis menahan sakit dalam tidurnya. Perlahan, pria itu menyingkap sedikit daster kaus yang Shilla kenakan untuk melihat lebih jauh luka yang Shilla miliki.
Lecet panjang, beberapa memar, luka bakar, dan ... Andra menggeleng. Kaki mulus Shilla bukan hal yang boleh ia nikmati. Shilla adalah adiknya. Fokus Andra saat ini adalah menjadi mapan dan melepas Shilla pada pria yang lebih baik darinya kelak.
Ia tak boleh bermain hati dengan perempuan yang menjadi istrinya kini. Sakit ditinggal Miranti yang memilih pria lain karena alasan harta, membuatnya tak ingin lagi berurusan dengan perempuan manapun sebelum memiliki apa yang setiap perempuan inginkan. Hunian layak dan nyaman.
Membenahi bagian bawah daster kaus Shilla, Andra mengambil ponselnya yang berada di meja rias lalu melesak ke atas kasur. Ia membuka laman jual beli properti dan melihat-lihat pasaran harga hunian saat ini.
"Abang sudah pulang?" Suara Shilla terdengar serak. Tubuh wanita itu bergerak pelan dengan ringisan menahan sakit. "Shilla siapin air mandi dulu."
Tangan Andra mencekal pergelangan tangan Shilla. "Abang sudah mandi dan makan. Kamu kenapa sampai luka-luka begitu?"
"Jatuh di parit dekat toko Bang Sendi."
"Kok bisa?"
Shilla menggeleng dengan senyum segaris yang tampak sendu. "Shilla ngelamun. Maaf. Tapi motor Abang gak apa kok."
"Abang gak tanya motor. Kamu sudah ke dokter?"
"Belum," jawab Shilla seraya menggerakkan pelan kakinya untuk bertumpu di atas guling. "Cuma luka kecil. Tadi sudah pakai salep untuk luka. Dibelikan Mbak Lolita."
Andra menghela napas panjang. Prihatin dengan apa yang menimpa gadis di hadapannya kini. Gadis yang setiap hari menyiapkan dan memperhatikan setiap keperluannya. Gadis yang pulas bermain di alam mimpi, di sampingnya setiap malam. Gadis yang tak akan ia biarkan hidup sederhana bersama dirinya. Gadis yang akan ia lepas suatu hari nanti. Demi gadis itu dan kebahagiaannya.
"Abang olesin salepnya lagi. Luka bakar kamu lumayan besar. Kena knalpot, pasti."
"Iya," jawab Shilla seraya meringis. "Maaf, Bang," lanjut Shilla dengan suara lirih dan gestur wajah sarat akan rasa bersalah.
"Lain kali hati-hati. Apalagi kalau jarak perjalanannya jauh." Andra turun dari ranjang lalu keluar kamar untuk mengambil salep di kotak obat.
Meninggalkan Shilla yang melirik ponsel pria itu dan paham apa yang menjadi prioritas suaminya. Hunian.
Tersenyum sendu, Shilla menatap layar ponsel itu nanar dan bahunya terasalemas. Shilla bukan prioritas suaminya. Gadis itu, justru penghalang Andrauntuk memiliki hunian yang menjadi impian pria itu selama ini. Juga,kemungkinan menjadi orang ketiga antara Andra dan perempuan yang selaluberhasil merubah sikap suaminya
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top