Saved by My Buddy

Katakakatua:

Apa yang paling enggak asyik kalau bepergian saat pandemi?


Ladycat:

Heh! Seharusnya bahkan kamu enggak boleh pergi kemana-mana! Jangan lupa pakai masker! Dan jangan pernah dilepas maskermu!


Katakakatua:

Masker siap selalu kok. Aku juga sebetulnya enggak pengin pergi. Apalagi dimana-mana lihat orang pakai masker, faceless, dunia tanpa wajah. Aku enggak tahu apa orang di depanku tersenyum atau merengut. Enggak bisa juga kenalan dengan teman seperjalanan. Atau ngobrol santai sesama penumpang.


Ladycat:

Faceless? Kayak nonton film science fiction?


Katakakatua:

Pernah nonton short movies Danny Boy? Dunia tanpa kepala?


Ladycat:

Ugh horor ya? Enggak deh!


Katakakatua:

Animasi, kok! Ceritanya agak sedih menurutku. Sebuah dunia tanpa kepala dan seorang laki-laki yang punya kepala.


Ladycat:

Duh, kayak apa dunia tanpa kepala?

Katakakatua:

Baik-baik aja tuh. Kacau sih, orang-orang bertabrakan, mobil-mobil juga. Tapi selain itu ya semuanya tetap berjalan. Si laki-laki yang punya kepala malah kelihatan nelangsa, mungkin kesepian karena berbeda.


Ladycat:

Apa kalau kita berbeda akan kesepian?


Katakakatua:

Kamu harus nonton sendiri filmnya. Di ceritanya, laki-laki ini sedang membuat alat misterius. Lalu suatu kali dia jatuh cinta dengan seorang perempuan, mereka jalan bareng. Tapi saat perempuan ini tahu bahwa pasangannya punya kepala, dia lari ketakutan.


Ladycat:

Sedih banget!


Katakakatua:

Mau aku beri tahu endingnya?


Ladycat:

Nope! I hate spoiler!


Katakakatua:

Ok ok lol Kalau kamu jadi laki-laki itu apa yang kamu lakukan?


Ladycat:

Aku pindah ke dunia yang orang-orangnya punya kepala!


Katakakatua:

Cerdas lol


***

Erangan kembali terdengar dari mulut Mahes. Dia tidak ingin kembali ke rumah tanpa membawa hasil dari tiga tahun masa kuliahnya. Apalagi dengan kondisi pandemi seperti ini semakin tidak jelas kapan bisa kembali ke kampus. Meskipun banyak referensi bisa dicari di internet, tetapi sumber utama yang paling lengkap tetap ada di perpustakaan kampus.

Sebetulnya, Mahes tidak ingin menyerah menghadapi keadaan ini tetapi otaknya tak mau bekerja sama.

"Hes? Pernah terpikir jadi joki skripsi?"

"Mana bisa jadi joki skripsi kalau skripsiku aja belum kelar?"

"Wah, kemana perginya Mahes yang selalu bilang, 'Aku ini jenius, Shel! Sekali baca materi, aku bakal ingat selamanya!' Bukannya itu yang selalu kamu bilang setiap kali jadi joki tugas?"

Mahes meringis. "Ini beda dong, Shella!"

"Kamu tahu Regar?" Shella tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

"Regar itu temenmu SD yang satu jurusan di kampus kita, kan? Yang kamu bilang rumahnya gede banget dengan banyak pintu sampai-sampai orang bisa kesasar di dalamnya? Anak orang kaya setiap kali dia digangguin selalu kamu belain? Yang takut sama kecoa?" Mahes mengingat-ingat sosok Regar yang sering disebut-sebut Shella. Regar adalah cinta pertama Shella sejak mereka berdua masih pakai celana kodok, biarpun kodok enggak pernah pakai celana.

Mata belo Shella membulat. "Emang segitu banyaknya ya aku cerita tentang Rere?"

"Bukan banyak lagi, Shella! Mungkin sebentar lagi kamu juga bakal kasih tahu golongan darah Regar."

Senyum Shella mengembang. "Jadi gini, kemarin sebetulnya Rere... "

"Rere siapa?" seringai Mahes.

"Regar, maksudku! Jangan dipotong dulu, Mahes Sayang! Ini serius!" Telunjuk Shella bergoyang-goyang memberi peringatan.

"Gini, kemarin sebetulnya Regar sempat cerita, dia lagi pusing nyari joki skripsi."

"Kenapa juga mesti pakai joki?"

"Kamu bener-bener enggak tahu Regar selain dari ceritaku?"

"Ya mana aku tahu, sama kayak kamu kan, kalian jarang banget kelihatan di kampus."

Tangan Shella mengulurkan ponsel yang menunjukkan sebuah akun insta dengan ratusan ribu follower.

"BerbuatBike? Ini bukannya kelompok yang kemarin aktif menggalang sumbangan untuk yang terdampak pandemi?"

Shella mengangguk, berujar, "BerbuatBike sebetulnya penyedia jasa antar pakai sepeda, jadi konsepnya antar barang tanpa menambah polusi."

"Wah, keren banget konsepnya! Ini beneran dia yang jalankan?" Jemari Mahes bergulir cepat di layar ponsel yang ditunjukkan Shella.

"Masih ada lagi, nih! Ada KuloBike, toko perlengkapan sepeda yang kabarnya sebentar lagi mau buka cabang yang kedua di kota sebelah." Layar ponsel Shella menunjukkan akun insta dengan satu sosok biker sebagai model utama.

"Eh foto modelnya keren juga."

"Ya ampun, Mahes! Kamu beneran enggak tahu siapa dia? Cowok ini kan asisten dosen mata kuliah yang kemarin."

"Loh kakak angkatan kita?" Mata Mahes menyipit, berusaha mendeteksi wajah-wajah yang pernah ditemuinya di kampus.

"Dia teman dekat Regar. Tapi lebih baik enggak usah dekat-dekat kalau ketemu. Galak!"

"Oke, oke, aku enggak minat sama cowok galak," ujar Mahes serius dengan jempol yang menggeser satu foto cowok yang mengenakan warna serba hitam. Helm hitam, jersey hitam, celana hitam, sepatu hitam. Foto berikutnya, cowok yang sama bersepeda beramai-ramai, dia ada di depan bersama Regar. Di foto lain cowok ini mengenakan jersey dengan warna kuning mencolok, menyandarkan sepedanya di tombok kusam, sedang melepas kacamata hitamnya. Hm, Mahes baru tahu kacamata hitam bisa tampak sebagus ini dalam foto.

Terdengar Shella berdeham hingga Mahes buru-buru meletakkan ponsel di tangannya. "Eh, jadi gimana tadi soal joki skripsi?"

"Mahes, kamu tadi tanya, untuk apa Regar mencari joki skripsi. Kalau dilihat-lihat dia sih enggak ada kesulitan ya buat bikin skripsi."

"Nah, justru itu!" potong Mahes.

"Sebentar, Hes! Maksudku, setiap orang punya prioritas masing-masing dalam 3 atau 4 tahun masa kuliah mereka. Selain lulus tentunya ya! Kalo kamu, jelas target buat Mahes yang juara kelas sejak kecil pastilah lulus cepat dengan IPK sempurna. Buatku, target IPK sempurna enggak realistis. Enggak bakalan terkejar buatku. Lagipula fokusku bukan di situ. Fokusku adalah lulus dengan baik dan bisnis rintisanku berkembang."

Ternganga keheranan, Mahes berucap, "Targetmu bukan jadi Putri Indonesia, Shel?"

Shella tergelak, "Kamu sih payah, Hes! Cakep tapi enggak pernah dandan!" Tangan Shella menarik sebuah kotak rias besar ke depan Mahes, ditunjukkannya botol-botol kecil beraneka warna.

"Aku dan sepupuku yang kuliah di farmasi sedang merintis produk skin care. Aku akan fokus ke branding produknya. Konsepnya skin care yang bagus untuk anak muda dan terjangkau."

Mulut Mahes membentuk huruf "O" besar sambil tangannya asyik memilah kumpulan botol-botol kecil di hadapannya.

"Nah, Regar juga sama, malah dia lebih parah lagi sibuknya dengan komunitas bikers, jasa antar, toko onderdil. Dia butuh orang-orang yang bisa bantu dia lulus dengan baik dan cepat."

Mahes terdiam. Kalau Mahes fokus lulus dengan nilai terbaik, maka Shella fokus dengan pencapaian pribadinya. Pernah Mahes ragu dengan pilihannya untuk fokus pada studi dan menanyakan pada papinya, mana yang lebih baik dikejarnya dulu. Ternyata Papi menyerahkan pilihannya pada Mahes. Menurut Papi, semua akan dibutuhkan pada waktunya. Job atau proyek yang ada bisa dikejar untuk pengalaman tapi suatu saat pengetahuan juga perlu disegarkan lagi. Bisa juga saat ini menanam fondasi logika yang kuat dulu baru ke depannya fokus cari uang.

"Dan Regar berani bayar profesional loh!" Tampilan layar Shella sudah berubah menampilkan chat antara Regar dan Shella. Bola mata Mahes nyaris melompat melihat deretan angka yang tertulis di sana. Tekadnya bulat.

"Aku ambil, Shell!"

Dua jempol Shella pun teracung.

"Eh, tapi Shel...."

"Apa lagi, sih! Udah jangan ragu, kesempatan enggak selalu ada di depan mata! Kamu harus berani ambil begitu ada kesempatan yang muncul."

"Shel ... eng ... sebetulnya kamu usulin ini supaya aku bisa dapat duit dan lanjut kuliah atau biar kamu bisa PDKT sama Regar?"

Tawa Shella pun bergema di kamar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top