It's Complicated

Empat bulan yang lalu


Ladycat: Hey

Katakakatua: yup

Ladycat: kita bareng di Klubuk, grup review buku onlen

Katakakatua: yess

Ladycat: boleh share link review buku yang kamu buat? Review kamu bagus loh!

Katakakatua: wow, ok, thx! Pernah baca buku itu?

Ladycat: pernah tapi enggak selesai

Katakakatua: hm?

Ladycat: tau enggak, suka banget pas kamu kutip quote-nya: jatuh cinta itu seperti makan rujak, manis segar, nikmat saja kalau sedikit pedas!

Katakakatua: lol

Ladycat: pengalaman pribadi yak wkwkwkwk

Katakakatua: hm :)

Ladycat: eh

Katakakatua: y?

Ladycat: boleh minta pendapatmu tentang review buku yang kubikin? Besok giliranku bikin review tapi aku enggak pede

Katakakatua: sure, just send it

Ladycat: okay, tengkyuuuu somadddd

Katakakatua: you're welcome

Ladycat: anw, kamu udah liat berita di link ini? katanya ada wabah baru di Cina, hoaks atau bukan ya?

Katakakatua: virusnya bukan hoaks, beritanya di mana-mana, Wuhan lockdown

Ladycat: serem, semoga enggak sampe ke sini virusnya

Katakakatua: I hope so


***


Menelungkup, Mahes menghibur diri dengan membaca chat perkenalannya dengan si Kakatua. Wajahnya disembunyikan di antara kedua lengannya yang bertelekan di meja. Ketika lehernya terasa pegal, Mahes mengangkat wajahnya. Tatapannya bertubrukan dengan tatapan mata Shella. Kedua gadis itu berpandangan sejenak sampai kemudian tawa mereka berdua meledak bersamaan.

"Payah! Kamu ini jago bikin tugas matematika ekonomi, tapi parah banget kalau soal duit!" kata Shella di sela-sela ketawanya.

Mahes ikut terkekeh tanpa sanggup menanggapi.

"Sudah ... enggak apa-apa ... nanti pasti duitmu balik lagi. Kata orang, rezeki enggak bakal tertukar," hibur Shella.

Mahes cuma bisa manggut-manggut pasrah dan kembali meneruskan usahanya menghibur diri dengan ponsel. Telunjuknya bergulir pada layar ponsel, menuju akun yang akhir-akhir lebih sering dia pakai di dunia maya.


Ladycat

1 Message


Napas Mahes tertahan dalam tenggorokannya. Mungkinkah ini pesan yang ditunggunya sejak semalam? Ketika chat room terbuka, senyum lebar mengembang di wajah Mahes, menampakkan lekuk mungil pada kedua pipinya.

"Hes? Kamu kok senyum-senyum gitu ,sih?"

Mahes menoleh, lupa pada Shella yang diam-diam mengamati raut muka Mahes dari yang semula mendung kemudian jadi bersinar-sinar. Mahes tertawa menutupi perasaan girang yang aneh saat membaca pesan di ponselnya.

"Ini ada teman yang kirim joke lucu banget, Shel!"

Pandangan Shella menelisik. "Kamu habis jadian, ya?"

"Jadian? Kamu sendiri kan yang bilang kalau aku jadi kupu-kupu melulu sampai lulus kuliah juga enggak pernah jadian sama cowok."

Shella berdecak. Mahasiswi kupu-kupu alias kuliah-pulang-kuliah-pulang adalah julukan yang sempat dilekatkan Shella pada Mahes saat mereka baru kenal karena kegiatan Mahes sehari-hari hanya berkutat pada kuliah. Berbeda 180 derajat dengan Shella yang sejak semester pertama sudah malang melintang di kontes putri-putrian sehingga waktu Shella di kampus bisa dihitung dengan jari.

"Jadi siapa dia?" tanya Shella tak sabar.

"Eh maksudnya?" Mahes masih mencoba mengelak.

"Siapa yang bikin kamu senyum-senyum kayak orang gila biarpun belum jadian?"

"Enggak kayak gitu! Ini teman dari Klubuk, klub buku di insta. Semalam aku rekomen buku buat dia baca."

"Semalam? Kamu chat setiap hari sama dia?"

Gelagapan, Mahes mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Yah biasa aja kan teman satu klub tukar pikiran? Seru juga minta pendapat tentang orang lain tentang review yang kita tulis. Nothing special about..."

"Really?"

"Beneran enggak ada! Di luar buku paling-paling kami cuma tanya kabar masing-masing, dia yang bantu aku pilihin buku-buku bagus pas ada diskon besar kemarin, terus aku ingetin dia pakai masker karena baru perjalanan ke luar kota..."

"Kamu ingetin dia pakai masker?" Mode suara Shella berganti ke mode interogator polisi.

"Yah, kan dulu dia juga ingetin aku buat jaga makan waktu lagi sibuk-sibuknya jadi joki. Jadi apa salahnya aku ganti ingetin dia?" jawab Mahes, makin gugup.

"Kalau sampai perhatian gitu sih, aku enggak sebut teman lagi," ucap Shella, berkedip penuh arti.

"Enggak gitu, Shella! Nama asli dia pun aku enggak tahu, tinggal di mana juga aku enggak tahu."

"Kamu enggak nanya?"

"Enggak bakal! Kecuali dia tanya duluan."

Sejurus kemudian Mahes menambahkan, "Kalaupun dia tanya, aku juga belum yakin akan kasih tahu namaku. Kami sudah nyaman ngobrol anonim begini, kenapa mesti berubah?"

"Ih complicated amat relasimu! Kenal enggak tapi enggak kenal juga enggak. Kamu enggak kepikiran? Misalnya dia psikopat atau pembunuh berantai?"

"Shella!" jerit Mahes kesal, disusul dering ponsel yang menyelamatkannya dari olok-olok Shella.

"Papi? Iya, udah bangun, dong. Ini lagi bareng Shella. Iya, aku sehat, Papi." Suara Mahes terdengar lebih lembut sampai-sampai Shella mendongak penasaran. Dari cerita-cerita Mahes, Shella tahu bahwa hubungan Mahes dengan ayahnya sangat dekat. Namun, makin lama suara Mahes itu makin redup hingga pada akhirnya makin lirih.

"Iya, Pap. Iya, enggak ... enggak papa, kok ...iya, cuma mundur sebentar ...." Dan setelah lanjut ber-oh-eh-iya-iya lebih panjang lagi, Mahes menutup ponselnya dengan wajah lebih kusut daripada selimut Mahes yang belum disetrika.

"Kenapa, Hes?"

Mahes tak segera menjawab.

"Apa sih, Hes? Jangan sok misterius gitu!"

"Shell, kata Bapak semester depan aku enggak kuliah dulu, uangnya mau dipakai daftar sekolah adikku."

"What!"

"Jadi gini." Tarikan napas panjang Mahes terdengar sebelum ceritanya berlanjut.

"Adikku akan masuk SMK tahun ajaran depan. Sebetulnya Papi sudah siapkan dananya cuma gara-gara virus sialan ini kan bengkel Papi sepi dan mesti nombok buat bayar karyawan. Sebisa mungkin Papi enggak mau sampai ada karyawan yang dirumahkan. Sekarang pun kondisinya masih sulit dan kalau dananya masih kurang Papi bakal terpaksa minta bantuan ke rekanan yang punya bengkel besar di pusat kota."

Berikutnya napas Mahes makin berat sehingga dia merasa harus berhenti sejenak. Tangan Shella terulur ke pundak Mahes, berusaha membagikan kekuatan untuk sahabatnya.

"Terus?"

"Yah, intinya, dana buatku dipakai dulu buat adikku. Aku sih enggak apa-apa. Toh sebetulnya topik skripsiku kemarin udah disetujui. Aku juga udah punya gambaran teorinya jadi nanti tinggal kutuliskan isi proposalku dan saat masuk lagi: cling! Tinggal serahin berkas,minta acc dosen, terus langsung beres terima ijazah."

Mata Shella mengerjap. Diusap-usapnya pundah Mahes."Beneran kamu enggak papa, Hes?"

Tangis Mahes meledak."Huwaaaaa ... enggak mungkinlah aku enggak papa, Shella!"

"Mahes, kita pikirkan dulu jalan keluarnya, jangan nangis dulu, dong!" Shella berusaha menenangkan.

"Bukannya semester ini kamu dapat banyak job?"

Mahes mengangguk.

"Lalu? Udah dibayar sama mereka yang pake jasa jokimu?"

Mahes mengangguk lagi.

"Jadi ada simpanan, dong!"

Kali ini Mahes menggeleng.

"Sebetulnya udah dari bulan kemarin Papi belum mengurangi jatah bulananku, makanya aku nekat ambil semua job itu. Ada sisa sedikit yang kupakai untuk beli novel diskonan. Lalu ada juga yang dipinjam Dina karena usaha neneknya juga lagi sepi. Sisanya lagi..."

Erangan terdengar dari mulut Mahes.

"Sisa uangku terakhir udah kupakai buat beli buku pagi ini karena tadinya aku yakin Papi akan kirim uang sebentar lagi."

Shella mendesah. "Jadi kamu butuh duit buat apa aja?"

"Uang kos, SPP, sama buat makan, dan lain-lain."

"Aduh, Hes! Itu sih berarti kamu butuh buat semuanya, dong! It's totally complicated!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top