A Friend in Need is A Friend Indeed

Katakakatua:

Kalau harus memilih antara kopi atau teh, mana yang kamu pilih?

Hari ini dapat kabar dari Bunda kalau Amador tiba-tiba lari ke luar hanya gara-gara dipanggil Bibi Tukang Jamu. Baru tahu kalau kucing bisa seramah itu, adorable sekaligus culik-able. Kamu pengin punya kucing? Kalau udah beneran piara kucing, ingat-ingat ya, ajarin kucingmu supaya jaim ke orang lain, jangan kayak Amador.

Balik ke kopi atau teh, pagi ini kupilih kopi biar ampasnya bisa meresap ke otakku yang lagi buntu.

Lady, pernah enggak kepikiran, kalau bisa balik ke masa lalu apa yang mau kamu ubah?

Kalau aku, mau kubikin Bunda enggak pernah ketemu Ayah.


Ladycat:

Pagi!

Kamu tahu apa yang paling kusuka tentang pagi? Aroma tanah di udara pagi! Padahal kata adekku, enggak ada tuh yang yang namanya aroma tanah di pagi hari. Lalu apa dong yang kucium tiap pagi?

Yang jelas bukan aroma kopi yang kamu bikin. Menurutku kamu bangun kepagian sampai kepikiran macam-macam. Bangunlah di jam normal biar pikiran segar.

Oiya, orang bilang cewek biasanya lebih pilih teh daripada kopi, tapi aku pilih kopi!


Katakakatua:

Ah, jadi kamu bukan cewek biasa?

Aroma yang kamu cium pagi itu yakin bukan pup-nya Amador? lol

Aku bangun di jam biasanya aku bangun, kok.

Buku yang kubaca ini bikin kepikiran tentang time travel to the past. Emang kamu enggak pernah kepikiran mau time travel?


Ladycat:

Mau! Mau! Tapi ke masa depan donk! Ngapain balik ke belakang? Kata Papi, dont cry over the pass, its gone.

Kamu pikir aku cium aroma kucing tetangga? T.T

Eh kamu suka kopi kan? Aku lagi baca Surat Kopi punya Jokpin. Kamu harus baca. Mungkin bisa bikin kamu enggak pengin lagi balik ke masa lalu. Buat apa kembali kalau hanya bikin sakit hati?

Eniwei, got to go, I have a class. Ciao!

***

Mahes menutup laptopnya, mengakhiri obrolan bersama si Kakatua yang akhir-akhir ini sudah seperti tambahan sarapan paginya. Semangkuk mi instan sudah siap berpindah ke perut Mahes ketika terdengar ketukan tak berirama di pintu.

"Yang punya kamar enggak ada, lagi kuliah!" Teriakan Mahes menggema di kamarnya yang hanya berukuran 2x3.

"Hes! Buka!"

"Enggak mau, sarapanku cuma satu mangkuk, enggak bisa dibagi!" balas Mahes dengan mulut penuh.

"Nandini Maheswari, siapa juga yang mau minta sarapan! Aku mau nawarin empat seri original buku Terra Nova! Mau enggak?"

Mahes melontarkan diri dari kursi menuju pintu, buru-buru menyambar selotnya. Dina berdiri tepat di depan kamar mengacungkan empat buku tebal di tangan.

"Terra Nova cuma ada tiga seri!" sembur Mahes, "Pagi-pagi udah bikin hoaks!"

"Yang satu lagi Behind The Scenes of Terra Nova!" Dina tak mau kalah teriak sambil menggoyang-goyangkan buku di tangannya. "Mau enggak?"

Mahes tidak bisa menahan diri untuk tidak meloncat-loncat kecil saat jemarinyanya menyentuh salah satu sampul novel fantasi berwarna biru metalik yang dibawa Dina.

"Pinjam ya, Din!" Mahes menarik tumpukan buku yang disodorkan teman satu kosnya, tetapi tangan Dina masih erat mencengkeram buku-bukunya.

"Empat ratus lima puluh ribu!" tukas Dina.

Mahes ternganga, tidak menyangka teman sebelah kamar di kosnya ini akan menarik bayaran. Raut wajahnya berubah kesal.

"Jangan sadis gitu, dong. Itu sewa kos sebulan kamarku. Tukeran pinjam buku aja kayak biasanya," bujuk Mahes.

"Enggak bisa tukeran lagi, Maheswari Sayang, aku mau pulang kampung sekarang."

Kening Mahes mengernyitdengan pipi menggembung seperti kebiasaannya saat kesal. Udah dipaksa bangun, dipamerin buku bagus tapi enggak boleh pinjam.

"Kamu kan bilang enggak mau pulang kampung liburan ini. Lagi banyak virus dan biar hemat, katamu. Kamu bilang mau bikin proposal skripsi liburan ini biar tahun ajaran depan bisa lulus bareng aku. Gimana sih?"

Raut muka Dina berubah keruh, bahunya meluruh saat menjawab, "Bokap kena PHK. Aku mau cuti kuliah, kerja dulu kumpulin duit buat lanjut kuliah."

Mahes terdiam.

"Hes? Kok bengong?"

"Din ..."

"Hes, kamu bisa pindah ke kamarku loh! Lumayan kan, lebih luas daripada bekas gudang yang sekarang jadi kamarmu."

Mahes masih tertegun memindai kamar Dina yang sudah kosong melompong. "Din! Kamu kok enggak bilang-bilang, sih?"

Tangan Dina yang memegang sapu terhenti sejenak. "Aku juga baru tahu setelah ujian selesai. Waktu itu kamu lagi ketiban job banyak banget, aku enggak mau ganggu konsentrasimu."

Kata-kata Dina membuat Mahes meringis. Akhir semester lalu memang Mahes mendapat serbuan job dari teman-teman kuliahnya yang kewalahan mengerjakan tugas kuliah daring. Rezeki nomplok buat Mahes yang selama kuliah selalu mengirit-irit pengeluarannya agar bisa menabung buat beli novel-novel kesukaannya. Namun tak disangka Mahes, job sebagai joki tugas kuliah bisa benar-benar menyita waktu dan membuatnya buta dengan kondisi teman di kamar sebelah. Rasa bersalah menyergap Mahes karena tidak bisa jadi tempat berbagi untuk Dina.

"Hes, Kamu mau pakai kipas anginku? Sama cermin ini juga pakai aja, ya."

"Din ..."

"Hm?" Dina tidak mengacuhkan Mahes karena sibuk memasukkan barang-barang yang masih tersisa di kamar ke dalam sebuah tas besar.

"Din, kamu enggak boleh nyerah ya! Tinggal selangkah lagi udah lulus dan kamu bisa kejar cita-citamu!"

"Hm ...." Kepala Dina terangguk-angguk mengikuti usahanya menutup resliting tasnya yang macet karena terlalu banyak barang berdesakan.

"Din, pandemi enggak akan terjadi selamanya. Mendung tak selamanya kelabu, nanti tiba saatnya matahari bersinar lagi! Jadi kamu enggak boleh ragu untuk terus berharap! Pokoknya kudu-wajib-harus-enggak pake tapi-tapi, mesti balik ke sini!" Mahes mengeluarkan semua kata-kata motivasi yang diingatnya.

"Nandini Maheswari!"

"Iya?"

"Lima ratus ribu deh, tambah lima puluh ribu buat nambah ongkos pulang kampung ..." ujar Dina memelas.

Mahes cuma bisa manyun tapi tak tega menolak permintaan terakhir Dina. Lima lembar uang warna merah berpindah ke tangan Dina sebelum gadis itu menyeret tas-tas besarnya ke luar dari kos.

"Itu siapa, Hes? Dina pindah?" Suara merdu milik gadis berparas oriental yang baru masuk menyadarkan Mahes yang masih mematung di teras kos. Rupanya, Shella, teman kos Mahes, yang selalu tampil cantik biarpun cuma pakai kaos oblong dan celana gombrong dan wajah tertutup masker.

"Kamu udah tahu Dina mau pindah, Shel? Kok kamu enggak cerita ke aku? Padahal kemarin-kemarin kita begadang bareng bikin tugas." Mahes mengikuti Shella ke menuju kamar yang luasnya dua kali kamar Mahes serta dilengkapi AC. Sejak Shella langganan jasa jokinya, Mahes jadi sering nongkrong di kamar Shella.

Shella membuka maskernya, berkata, "Dina enggak cerita apa-apa ke aku. Cuma waktu itu dia tawarin semua barang-barangnya ke aku jadi aku berkesimpulan dia berencana pindah."

"Jadi kamu beli semua barang-barang Dina?" tanya Mahes, matanya tertuju pada kardus besar yang ada di pojok kamar Shella.

Pertanyaan Mahes dijawab dengan gelengan kepala. "Aku cuma beli pernak-pernik yang bisa kupakai buat property foto dan akeseoris. Lalu Dina kasih aku buku-bukunya buat bonus. Enggak semua buku kok! Masih ada empat buku yang Dina bilang itu bakal jadi milikmu!"

Kening Mahes berkerut. "Jadi buku-buku Dina diberikan gratis ke kamu? Lalu kenapa aku kudu bayar!"

Shella mengangkat bahu dengan santai sementara Mahes merutuki diri sendiri karena telah menghabiskan jatah sewa kos bulan ini gara-gara tergoda tawaran Dina.

"Yah, setidaknya aku dapat tiga seri Terra Nova plus satu buku lagi, yang harganya di toko bisa lebih dari lima ratus ribu." Mahes mencoba menghibur diri.

Wajah Shella tanpa ekspresi, hanya kepalanya bergerak sedikit miring ke kiri. "Engg ... tapi, Hes ... bukannya Dina masih pinjam uangmu buat sewa kamar yang bulan lalu?"

Skak Mat.

Mahes mendelik lalu terbatuk keras-keras membuat Shella buru-buru menuangkan segelas air dengan panik. "Hes! Ssst! Jangan keras-keras! Nanti disangka kamu positif kena virus! Bisa-bisa dijemput ambulans!"

"Jadi aku rugi, dong! Padahal kukira dapat durian runtuh pagi-pagi!" keluh Mahes di sela-sela batuknya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top