8. Sorry

"Kami pergi dulu, jaga [name] baik-baik ya Ice."

Setelah mengatakan hal itu. Mereka pergi dikarenakan ada acara kemping di SMA mereka. Lain dengan Duri dan Solar yang ada tugas kelompok dan harus menginap dirumah temannya. Mereka tidak akan pulang sampai dua hari ke depan.

Selesai mengunci pintu depan rumah. Ice berjalan lunglai menuju kamarnya dan berbaring diranjangnya. Ia diancam agar tidak terus menerus tidur karena diwajibkan menjaga [name] dirumah. Lagipula itu alasan Ice saat ia bilang tidak ingin pergi kemping.

Orang tua mereka yang menjanjikan akan pulang bulan ini belum ada kabar. Ini memang belum mencapai tanggal akhir bulan. Namun coba setidaknya kedua orang itu menghubungi anaknya. Atau mungkin mereka memang sibuk mengurus segala sesuatu untuk pulang. Orang tua memang sibuk bahkan ketika kecelakaan yang dulu pernah terjadi.

Sempat heboh memang. Bahkan kedua orang tua mereka sampai cuti bekerja karena sibuk mengurus ketujuh anak laki-lakinya yang stress karena kehilangan adik perempuannya.

Namun mereka mendapatkannya kembali. Saat itu, mereka menemukannya di panti asuhan. Sedang bermain dengan riang tanpa menyadari kedatangan abang-abangnya. Halilintar yang menemukannya lebih dulu kala itu. [Name] menyambut mereka dengan haru dan senang. Apalagi Halilintar yang saat itu akhirnya tersenyum pertama kalinya sejak mereka kehilangan [name].

[Name] masuk sekolah bahkan lebih dulu daripada umurnya. Ia bisa lompat-lompat kelas karena otak jeniusnya yang setara dengan Solar. Ia akrab dengan seluruh teman-teman sekolahnya.

Namun, kebahagiaan itu berakhir seketika.

[Name] berubah. Tidak seperti yang dulu mereka kenal. Ia menyembunyikan semuanya dalam wajah datar dan dinginnya. Seolah ada sesuatu yang membuatnya seperti itu.

Taufan saat itu berkelahi dengan Halilintar. Karena [name] berubah karena berbicara dengan Halilintar saat itu. Mereka sampai sebulan tidak bertegur sapa. Namun akhirnya Taufan lebih dulu meminta maaf.

Kondisi mereka tetap tidak berubah. Menghubungi orang tua juga tidak ada gunanya karena mereka tidak dipercaya.

Tiga tahun berlalu dan suasana rumah ini menjadi selalu mencekam dan dingin. Tidak ada teriakan membahana dari Taufan setiap bangun tidur atau pulang sekolah. Tidak ada teriakan Blaze ketika ia membangunkan Ice atau dikejar oleh Halilintar. Tidak ada senandung ria dari Duri yang menyiram tanaman. Bahkan tanaman-tanaman itu sempat layu selama berbulan-bulan lamanya.

Tidak ada obrolan di meja makan atau sendau gurau. Tidak ada acara kumpul-kumpul diruang keluarga dan menonton film horor bersama sampai Halilintar pingsan ditempat. Tidak ada teriakan Gempa yang menyuruh mereka untuk tenang. Semuanya hilang begitu saja ditelan bumi. Keceriaan, kebahagian, semua yang dulu pernah ada kini hilang tak berbekas.

Kejadian demi kejadian terus terjadi. Kemudian hal itu terjadi.

"[Name] hilang ingatan."

Tiga kata dari mulut Halilintar kala itu membuat mereka menarik nafas dalam. Tiba-tiba mereka semua menjadi kompak. Seolah keajaiban muncul.

Kamar [name] dibersihkan dan barang-barang lama dibuang. Mereka semua melakukan kegiatan itu dalam diam. Segala hal, semuanya yang menyangkut masa lalu [name] pun dibuang.

Cermin pecah, seprai bernoda, alat-alat tulis yang hancur. Mereka semua menggantinya secepat kilat.

Kemudian [name] pulang. Taufan menyambutnya dengan tawa. Blaze berteriak semangat. Duri berseru riang. Gempa menawarkan makanan dengan nada lembut. Halilintar membawanya masuk perlahan.

Solar dan Ice hanya diam menatapi. Tidak senang ataupun sedih. Mereka mengikuti semuanya seperti biasa.

Kemudian semuanya terasa seperti candu.

"Aku tidak ingin ingatan [name] kembali."

Ice meringis mengingat itu semua. Ia membenamkan kepalanya dibantal. Membiarkan plushie pausnya terjatuh dari ranjang. Ia tidak bisa menangis ataupun tertawa bahagia. Semua emosinya tersimpan rapat-rapat didalam wajahnya yang sayu.

"Abang."

Suara bernada itu membuat Ice menoleh. Memperhatikan gadis kecil yang sedang memeluk plushie pausnya yang jatuh ke lantai. Ia mengembalikan plushie itu ke ranjang Ice.

"Abang Ice tidur?"

"Tidak." Ia mengganti posisinya menjadi duduk. Menyuruh [name] untuk ikut duduk disebelah ranjangnya. [Name] sesekali mencuil-cuil plushie paus itu.

"Ada apa [name] kemari?"

[Name] melirik Ice. "Ini udah jam makan siang, [name] lapar."

Ice menepuk jidatnya. Ia lupa. Bisa habis dia nanti oleh Gempa karena lupa memberi makan bidadari kecilnya ini.

"Tapi abang gak bisa masak, kita pesan online aja ya?" tawar Ice. Lagipula dia juga tidak mau repot-repot. [Name] mengangguk dan Ice langsung memesan beberapa makanan lewat handphone.

"Abang Ice pesan apa?" [Name] mendongak. Ingin mengintip sesuatu yang ada didalam layar ponsel tersebut. "Sepaket ayam."

"Kita enggak makan nasi?"

"Gak usah, makan ayam doang lebih enak."

[Name] mengangguk. Ia kembali mencuil-cuil plushie paus milik Ice.

"Oh iya bang, abang Ice ada masuk ke kamar [name] gak?" Ia tiba-tiba berseru. Ice yang sudah selesai dengan handphonenya langsung menaruh sembarang handphonenya di kasur. Kemudian menatap manik coklat adik bungsunya itu.

"Enggak, memang kenapa?"

"Barang [name] ilang."

Ice berpikir sejenak. Apa mungkin Gempa yang mengambilnya?

"Sudah tanya bang Gempa?"

[Name] menggeleng. "Bang Gempa bilang gak ada masuk kamar [name]."

Ice berpikir. Seingatnya, tidak ada lagi seorang pun yang berani masuk ke kamar [name]. Begitu pun ketika [name] hilang ingatan. Kecuali saat mereka bersih-bersih.

"Bukannya bang Taufan pernah tidur dikamar [name]?" Mendengar itu, [name] terlihat seperti baru mengingat sesuatu. "Iya ya."

"Memangnya barang apa yang hilang?" Ice terlihat penasaran. Adiknya kini terlihat berpikir. "Surat."

"Surat?" beonya. [Name] mengangguk.

Ice teringat sesuatu. Manik aquanya sedikit membulat. Membuat [name] ikut penasaran.

"Waktu aku sedang minum ke dapur. Kulihat Taufan sedang membaca sebuah surat."

"Apa suratnya dibuang?"

"Sepertinya enggak. Ia membawanya ke dalam kamar."

Suasana hening karena [name] tak menyahut. Ice penasaran dengan isi suratnya. Dan kenapa [name] sangat mementingkan surat itu.

"[Name] isi surat--"

'Ting-tong'

Terkutuk kau gopud sialan, rutuk Ice.

"Yeeyy ayamnya datang." [Name] berlari keluar kamar terlebih dahulu. Disusul oleh Ice yang berjalan dengan malas. Mereka mengambil pesanan dan duduk didapur. Terlihat tiga paket jumbo ayam goreng didepan mata. [Name] mencomot ayam-ayam itu lalu mulai makan. Diikuti Ice yang makan dalam diam.

.

.

.

Malam tiba. Aku duduk santai di lantai kamarku sembari mengaduk cat merah dalam satu wadah. Menambahkan sedikit cat berwarna hitam agar terlihat kental dan lebih gelap. Tidak banyak namun lebih dari cukup untuk percobaanku malam ini.

Aku seharusnya mencoba dikala semua orang berada dirumah. Namun itu terlalu beresiko. Kali ini, aku akan coba dengan reaksi Ice.

Karena Ice terlihat lebih tenang daripada yang lain. Dan ini bisa menjadi sebuah perbedaan yang berarti besar.

Aku akui bahwa Ice terlihat penasaran namun ia seolah takut bertanya lebih jauh. Entah karena takut aku tidak akan menjawabnya atau takut aku akan mengingat sesuatu.

Namun melakukan hal ini lagi-lagi seperti sebuah de javu bagiku. Sasaranku kali ini adalah cermin oval dihadapanku ini.

"Maafkan aku cermin, kau harus dikorbankan."

Karena aku harus mencari tahu reaksi mereka.

Aku tidak mendengar suara Ice. Mungkin dia sedang terlelap dikamarnya atau rebahan. Tunggu, itu sama saja.

Kurasa sedikit suara berisik tidak akan membangunkannya. Aku bisa melempar isi cat ini tanpa resiko membangunkannya. Lagipula ia tidak seperti Halilintar atau Gempa yang peka dengan suara kecil yang berada di kamarku. Padahal letak kamar mereka ada dilantai bahwa. Apakah ini insting adik-kakak?

Aku telah mempersiapkan segalanya dan akan menerima resiko yang terjadi. Jika Ice yang tenang ini menunjukkan ekspresinya. Aku bisa mendapatkan petunjuk lainnya.

Aku berdiri. Mematikan lampu kamar lalu bersiap.

Aku menghela nafas panjang. "Bersiaplah."

.

.

.

Ice sepanjang hari hanya terus-terusan berbaring di ranjangnya. Tidak ada niat untuk melakukan kegiatan yang bisa menguras energi. Ia tidak tidur selama seharian ini karena harus menjaga [name].

Ia tidak mau kena banting oleh kakak sulungnya.

Suara dirumah begitu sunyi. Bahkan tidak ada suara dari kamar [name].

Apakah dia tidur?

Ice mengubah posisinya menjadi duduk. Mencoba menajamkan pendengaran namun tetap saja sunyi.

Apa aku harus cek ke kamarnya?

Ice baru saja hendak beranjak sebelum mendengar suara jatuh yang sangat besar.

Mata aquanya mengecil. Jantungnya berdegup kencang dan tangannya mulai berkeringat. Ia hapal betul suara itu. Suara yang dulu juga pernah ia dengar sebelum suara teriakan menyusulnya.

Ice langsung keluar kamar dan berlari menuju kamar [name]. Ia membuka kamar itu dan menemukan kamar dalam keadaan gelap. Meski begitu, ia bisa dapat melihat apa yang terjadi di dalam.

Sesuatu yang berwarna merah berceceran di lantai. Cermin oval yang mereka taruh di ujung ruangan kini pecah dan kacanya tersebar dimana-mana.

Tapi bukan hal itu yang membuat ia rasanya ingin berteriak frustasi.

Disana, ada adik perempuannya duduk terdiam memandang ke arahnya dengan tubuh dipenuhi noda berwarna merah.

"Ti-tidak... jangan lagi."

Ia tidak bisa berpikir. Mendadak pikirannya kosong. Ia melangkah begitu saja, membiarkan serpihan-serpihan kaca itu menusuk telapak kakinya. Ia tidak merasakan sakit. Namun kini jantungnya berdetak tidak karuan.

Kemudian terjatuh berlutut dan memandangi adiknya itu berulang kali. Dari atas sampai bawah, bahkan memeriksa tubuhnya.

"[Name] gapapa bang."

"Ta-tapi itu..." suaranya bergetar. Sial, umpatnya.

"Tadi cat merah punya [name] jatuh terus [name] nyenggol kaca. Maaf bikin abang Ice khawatir."

Ia kembali memperhatikan noda yang mengenai adiknya itu. Benar, tidak ada bau amis. Itu benar-benar bau cat. Ice terlalu khawatir hingga tidak bisa berpikir jernih. Namun kini bau amis itu datang dari kakinya yang menginjak berbagai serpihan kaca begitu saja.

"Itu kakinya sakit? [Name] obati ya?"

Ice menggeleng. Ia tersenyum sendu. Air mata meluncur begitu saja tanpa seizinnya. Ia merengkuh adik perempuannya itu dalam dekapannya. Terisak-isak kecil dalam kamar yang gelap.

Tubuhnya bergetar. Rasa takut yang ia alami sama sekali bukan main-main. Meski ia sendiri saat itu tidak terlalu peduli. Namun entah kenapa, ia ternyata juga memiliki rasa sayang sebesar itu.

Walaupun saat itu ia bilang tidak peduli. Ternyata, ia sendiri juga tidak rela jika [name] kembali seperti itu.

Ia ingin [name] apa adanya. Yang selalu datang ke kamarnya setiap tidak bisa tidur dan meminta tips agar bisa tidur. Kemudian dengan lembut Ice akan bacakan cerita, bersenandung lembut bahkan mengelus kepalanya hingga tertidur.

Namun sejak berubah. [Name] tidak pernah lagi datang ke kamarnya. Ice sendiri bahkan tidak berani untuk menyapa [name]. Dan hubungan mereka makin merenggang.

Ice membenci dirinya sendiri. Membenci dirinya yang tidak peduli pada [name] saat itu. Ia mengaku ia peduli.

Sekarang ia bisa mengatakan hal yang dulu tidak bisa ia katakan.

"Aku menyayangimu. Sungguh sangat menyayangimu. Tetaplah menjadi [name] kami yang dulu."

Ia masih terisak.

"Maafkan aku, [name]."

.

.

.

Tbc

A/n:

Ahhh... aku gatau mau ngebacot apa di chapter kali ini.

Oh ya, sekalian promosi cerita baru. Judulnya 'takdir' kisah si Gempa sama Taufan.

Cek ajalah langsung wkwk.

See you in the next chapter~

Babay

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top