6. Best Brother
"Kau dijemput abangmu lagi ya?" Tanya seorang perempuan berambut pirang. Aku mengangguk kecil, mengiyakan pertanyaannya.
Kemudian dia bergabung denganku berdiri menyender di dinding gerbang. Ia memperhatikanku dengan mata birunya. "Aku enggak sangka kalau kau punya abang," ujarnya.
"Aku juga enggak menyangka," ketusku. Grace terkekeh kecil. "Ada ada saja, kau kan hilang ingatan."
Aku memperhatikan lalu lalang. Banyak sekali mobil dan motor yang berhenti untuk menjemput murid-murid sekolah dasar disini. Mereka semua dijemput oleh ayah dan ibu mereka. Entah kenapa rasanya aku merasa iri.
"Bagaimana rasanya punya abang?" Tanya Grace untuk memecah keheningan diantara kami. Aku melirik sebentar melalui ekor mata. "Sesak," ungkapku.
Dia kembali terkekeh. "Kenapa sesak?"
"Mereka berisik."
Dan mencurigakan.
"Pasti asik punya abang ya kan?" Sebuah kata yang terlontar dari gadis keturunan amerika-malay itu membuatku membeku sejenak.
"Aku membencimu. Kau dengar? Aku membenci semuanya."
Semua yang ada disekitarku mendadak senyap. Pandanganku kosong.
"Kenapa harus kau?"
Lagi-lagi suara orang itu lagi. Kenapa suaranya selalu muncul dikepalaku?
Kepalaku tiba-tiba saja sakit. Berdengung hebat. Aku memegangi kepala guna mengurangi rasa sakit. Seperti ditusuk-tusuk jarum berkali-kali. Tapi badanku terasa beku, aku tidak bisa terjatuh.
"Enak ya punya keluarga."
"[Name]!!"
Lagi-lagi suara Grace yang menyadarkanku. Aku menoleh kearahnya. Rasa sakit dikepalaku mulai berkurang. Aku tersenyum tipis kearahnya. "Aku tidak apa-apa."
"Kau yakin?"
Aku mengangguk.
Mata Grace terpaku dengan sesuatu yang berada dibelakangku. Aku mengikuti arah pandangnya. Tak cukup jauh, terlihat Duri dan Solar tengah menyebrang jalan untuk menjemputku.
"Abangmu jemput. Aku pergi dulu ya. Sampai jumpa besok, [name]." Ia menepuk pelan bahuku lalu berlalu pergi setelah melambaikan tangan.
Setelah itu aku menghampiri Duri dan Solar yang berhasil menyebrang jalan. Duri tersenyum ke arahku dan langsung menggandeng tanganku. Solar menyisir rambutku dengan tangannya.
"Rambutmu berantakan. Lain kali diikat aja." Solar mulai merapikan rambutku yang memang tergerai. Ia mensejajarkan tingginya denganku. Lalu menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga sembari mengelus pelan pipiku.
Mata kelabu yang terhalang visor oranye itu menatap dalam ke mata coklatku. Aku hanya diam. Seolah terhanyut dengan mata kelabunya yang antik. Penasaran dengan mata kelabunya yang tertutup dengan kacamata visor oranye itu.
Kemudian Solar tersenyum tipis. Ia kembali berdiri dan memegang satu lagi tanganku. Kemudian kami mulai berjalan meninggalkan pekarangan sekolah.
"Yang disamping tadi temannya [name] ya? Yang rambutnya pirang?" Duri bertanya. Aku mengangguk kecil. Duri kemudian hanya terkekeh kecil.
"Kau dekat dengannya?" Kali ini Solar yang bertanya. Ia sendiri tidak menghadap kearahku. Aku hanya melihat figurnya dari samping.
"Dia hanya teman sekelas."
"Jangan terlalu dekat dengannya," ujar Solar tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa?"
"Entahlah. Menurutmu?" Bukannya menjawab. Ia malah bertanya kembali yang pertanyaannya malah nambah bikin bingung. Aku mendengkus kecil. Menendang beberapa kerikil kecil yang berada dihadapanku.
"Abangmu jemput. Aku pergi dulu ya. Sampai jumpa besok, [name]."
Kaki-kaki kecilku yang tadinya melangkah kini terhenti. Membuat kedua pemuda ini lantas ikut terhenti. Duri menatapku bingung dengan mata hijaunya. "Ada apa?"
Benar!
Grace baru tahu jika aku mempunyai abang.
Namun, kenapa dia tahu kalau Duri dan Solar adalah abangku?
"[Name] kenapa diam?" Duri panik dan melambai-lambaikan tangannya dihadapanku. Aku mengangkat kepala dan menatap Solar yang menatapku dalam diam.
Solar tersenyum tipis. Sangat tipis hingga aku hampir tak menyadarinya.
Tanpa kusadari, mulutku membentuk senyum secara tiba-tiba. Mata coklatku menatap mata kelabu dibalik kacamata visor oranye itu.
'Terima kasih.'
.
.
.
"Blaze masih belum pulang?"
Itu pertanyaan sepersekian kalinya yang keluar dari mulut Gempa. Yang lain menggeleng. Gempa terlihat khawatir. Tentu saja, sudah lewat beberapa jam dari jam pulang sekolah namun belum ada kabar dari Blaze.
"Memang dia kemana? Ice gak lihat?" Halilintar melirik ke arah Ice yang sedang berbaring santai disofa. Ice melirik yang lain sebentar sebelum memalingkan wajah. "Entahlah."
"Aku sudah telpon tapi gak diangkat juga Gem." Taufan memperlihatkan panggilan ke sepuluh kalinya yang tidak terjawab juga. Namun terlihat ia mencobanya lagi.
"Bang Blaze kemana ya?" Duri jadi ikutan khawatir.
Aku memperhatikan dari balik tembok dilantai dua. Mendengarkan mereka dengan seksama. Tidak ingin memunculkan diri selagi melihat keadaan mereka yang merasa khawatir. Karena aku sendiri tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Rasanya seperti sebuah dosa berada disini.
Mereka terlihat larut dalam pikiran masing-masing. Aku akhirnya melangkah keluar dari persembunyian. Gempa yang menyadari kemunculanku langsung menyambutku dengan wajah tersenyum.
"Ada apa?"
"[Name] mau keluar ya. Tadi buku [name] jatuh dari jendela."
"Begitu, baiklah."
Setelah mendapat izin dari Gempa. Aku keluar dari rumah.
Buku jatuh dari jendela? Sayangnya itu cuma alasanku agar bisa keluar dari rumah. Sekarang saatnya mencari pemuda bermata merah itu.
Aku segera berlari menjauhi pekarangan rumah menuju SMA tempat dimana kelima kembar pertama itu bersekolah. Jalannya berbalik arah dengan sekolahku. Aku tentu sudah menghapal daerah ini karena Taufan dan yang lain sering mengajakku bermain diluar. Ada untungnya juga mengikuti mereka bermain.
Sesampainya disekolah mereka. Tentu saja sekolah mereka sepi dan hanya menyisakan beberapa siswa yang sedang memiliki keperluan sekolah. Aku juga tidak bisa masuk sembarangan.
"Permisi, adik cari siapa?"
Suara seseorang mengagetkanku. Aku menoleh mendapati seorang pemuda dengan seragam sekolah sedang memperhatikanku. Aku melihatnya dari atas sampai bawah. Surai biru tua seperti landak dengan mata ruby yang dihalangi dengan kacamata berlensa biru. Jaket yang diikat dipinggang dan postur tubuh seperti Halilintar.
"Cari abang."
"Abangmu siapa?"
"Blaze."
Mata pemuda itu sedikit membulat terkejut. "Kamu adiknya Blaze? Adiknya si Halilintar itu?" Ujarnya heboh. Aku mengangguk kecil.
"Ternyata imut banget. Pantas saja abang-abangmu nggak nyerah ya." Dia terkekeh lalu mengelus pelan kepalaku. "Kayak bidadari."
"Namaku Fang. Oh kau cari Blaze? Tadi dia bolos terus hilang entah kemana." Dia menarik tangannya kembali. Lalu berkacak pinggang dengan wajah sedikit menggerutu. "Aku khawatir dia akan membuat masalah lagi."
"Begitu ya. Makasih bang Fang. [Name] pulang dulu."
"Iya hati-hati ya." Ia melambaikan tangan. Aku sudah lebih dulu berlari menjauh darinya. Sembari memikirkan kemana Blaze pergi.
Namun langkahku terhenti begitu melihat seseorang yang familiar sedang duduk disamping toko dengan kepala tertunduk. Sudah cukup lama memandangi dan yakin itu adalah orang yang aku kenal. Aku mendekatinya.
"Bang Blaze?"
Sosok itu menengadah sambil terkejut. "Kok [name] disini?!" Dia langsung melirik ke kiri dan ke kanan dengan panik. "Sendirian?"
Aku mengangguk.
Dia sedikit lega namun pada akhirnya sedikit was-was melihatku dihadapannya.
Wajahnya terlihat lebam di beberapa bagian namun tidak terlalu parah. Baju seragam putihnya terlihat kotor terkena tanah dan noda darah kering.
"Abang Blaze berantem ya?"
Dia tersentak. Kemudian menggeleng kuat. "Ja-jangan beritahu yang lain."
"Ayo pulang." Aku mengabaikan ucapannya. Menarik tangannya untuk segera pergi namun ia masih tetap diam disana.
"[Name] pulang aja duluan, nanti mereka khawatir," tukasnya. Ia terlihat enggan pulang kerumah. Tangannya bergetar. Sepertinya dia takut jika ketahuan babak belur dan membuat keluarganya kecewa padanya.
"Abang kenapa berantem?"
"Bukan urusanmu."
"[Name] kan adik abang Blaze. [Name] berhak tahu."
"Berisik."
Suaranya semakin dingin. Emosinya semakin memuncak. Tapi aku tidak bisa membiarkannya disini. Aku juga tidak punya handphone untuk menghubungi yang lain karena belum cukup umur.
"Bang Blaze pulang yuk."
"Pergilah."
"Tapi bang--"
"KUBILANG PERGI YA PERGI!! KAU TULI ATAU BAGAIMANA?!"
Kesabaran Blaze sudah benar-benar habis. Dia membentakku dengan sangat keras. Orang-orang yang lewat terkejut dan kami mendapat tatapan dari berbagai orang yang berada disana.
Mataku membulat. Aku diam tidak bergerak. Menatap Blaze dengan tatapan tidak percaya. Blaze sendiri tampak terkejut dengan perlakuannya. Dia langsung berdiri dari sana dan pergi meninggalkanku.
.
.
.
Blaze berlari tak tentu arah namun ia kembali terhenti. Ia jatuh berlutut dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan yang aneh.
Kenapa aku melakukan itu padanya?
Kenapa aku meninggalkannya?
BODOH!!
Blaze kembali berdiri. Ia kembali berlari ketempat dimana [name] berada. Ia tahu ia sangat salah. Ia terlalu terbawa emosi dan perasaan yang bercampur aduk.
Keadaan disekolah yang membuatnya terpaksa bolos. Ice mencegatnya namun Blaze sudah lebih dulu termakan emosi. Blaze sangat tidak terima. Apalagi ketika temannya--ocho--memberitahu dalang darimana foto-foto sialan itu tersebar.
Foto-foto ilegal yang seenaknya diperjual-belikan.
Manusia brengsek seperti itu.
Dia tidak ingin membuat hal itu menjadi masalah besar nantinya. Dia ingin sesegera mungkin menyingkirkan masalah itu sebelum diketahui.
Tanpa banyak pikir. Ia mendatangi dalang dari foto-foto itu dan meninjunya. Mereka terlibat perkelahian cukup lama hingga mereka memilih melarikan diri. Menyelamatkan diri dari Blaze yang sedang mengamuk.
Blaze sangat kesal hingga tidak bisa berpikir jernih dan malah membentak adiknya seperti itu.
Ia sampai ditempat tadi namun yang ia lihat malah hal yang membuat dirinya kembali naik darah.
Manusia brengsek itu.
Tiga orang laki-laki mengelilingi [name] dan menyentuh-nyentuhnya. [Name] berusaha menghindar namun salah satu dari mereka mencengkram lengannya sehingga [name] terlihat kesakitan.
Emosi Blaze sudah pada puncaknya. Pikirannya mendadak kosong. Tubuhnya maju sendiri dan menghantam wajah lelaki yang mencengkram lengan [name] dengan tinjunya. Lalu menindihnya dan terus memukulnya secara berulang.
Orang-orang yang memperhatikan itu mendadak heboh. Dua dari mereka mencoba melawan Blaze dan memukulnya. Blaze terpental namun kembali berdiri dan menerjang mereka.
"Kami akan membalasmu, brengs*k!!" Orang-orang itu pergi dengan menyeret salah satunya yang sekarat karena ulah Blaze. Blaze hendak kembali mengejar sebelum orang-orang disana menghentikannya.
Blaze lantas memalingkan wajahnya ke [name]. [Name] terlihat memegangi lengannya yang tadi dicengkram oleh laki-laki itu. Ia menatap Blaze dalam diam.
Blaze mendekat, ia lagi-lagi jatuh berlutut. Ia memandangi [name] yang sedari tadi hanya diam. Mata merah membara milik Blaze bertemu dengan manik coklat hazel milik [name].
Tanpa aba-aba, Blaze menarik [name] dalam dekapannya. [Name] sendiri sama sekali tidak melawan ketika dipeluk oleh abangnya yang enerjik itu. Tubuh Blaze bergetar, terdengar isakan kecil. Blaze menangis dipelukan [name].
"Maaf... seharusnya aku gak bentak kamu begitu. Maaf [name]...." Isakan terus terdengar. [Name] bisa merasakan bahunya yang basah namun ia tidak terlalu peduli. Tangan kecilnya bergerak dan balas memeluk Blaze. Sesekali mengelus punggungnya untuk menenangkannya.
"Maaf... maaf... aku memang tidak berguna seperti katamu... hiks... seharusnya aku berpikir lebih dulu... hiks..."
[name] masih mengelus punggungnya. Matanya tertutup, merasakan betapa hangatnya pelukan itu.
"Abang Blaze adalah abang terbaik yang [name] punya. [Name] sayang bang Blaze."
Tangisnya semakin menjadi. Mengundang orang-orang untuk melihat yang mereka berdua lakukan. Mereka ada yang terlihat terharu dan ada juga yang merasa risih. [Name] mengabaikan pandangan itu dan menatap langit yang mulai kemerahan, menandakan hari telah sore.
"[Name] sayang keluarga kita."
.
.
.
"Kalian dari mana aja?!" Gempa menghampiri dengan khawatir. Blaze memalingkan wajah karena takut. Tubuhnya jauh lebih babak belur dari sebelumnya.
"Astaga Blaze kau kenapa babak belur begini?!" Gempa berteriak histeris. Mengundang penghuni rumah itu untuk melihat apa yang terjadi.
"Jelaskan." Suara mengintimidasi itu terdengar dari Halilintar. Blaze terlihat gugup. Baru saja ia akan membuka suara, ucapannya dipotong oleh [name].
"Tadi bang Blaze nolongin [name]," ujarku. Taufan menghampiriku dan mengajakku menjauh dari kerumunan. "Nolongin kenapa?"
"Tadi [name] diganggu sama orang jahat. Terus bang Blaze datang dan menghajar mereka semua." [Name] berseru dengan ceria. Mereka semua terdiam termasuk Blaze.
"Benar begitu Blaze?" Tanya Halilintar. Ia mengangguk pasrah. Gempa segera menarik Blaze masuk dan mendudukannya di sofa. Ia segera mengobati luka-luka lebam Blaze. Sedangkan [name] sudah digendong oleh Taufan.
"[Name] sendiri gapapa?" Duri mendekat. [Name] Menggeleng kecil dan tersenyum. "Gapapa berkat abang Blaze."
Wajah Blaze terlihat sedikit merona. Dan mengundang seringai jahil dari Taufan yang mencoba menganggu Blaze.
"Abang Blaze cepat sembuh ya biar nanti main sama [name]." [Name] tersenyum menunjukkan deretan giginya yang putih bersih. Blaze membalas senyumnya, "Iya."
Ice sedari tadi hanya diam saja. Memperhatikan mereka semua dalam diam. Halilintar mengernyitkan dahi tanda curiga. Solar memperhatikan mereka selagi bermain handphone. Senyum tipis terlihat diwajahnya yang rupawan. Gempa membersihkan luka-luka lebam Blaze dengan telaten. Blaze sendiri selalu mengaduh kesakitan ketika batu es itu menyentuh luka lebamnya. Duri terkekeh melihat Blaze yang kadang-kadang memberontak. Taufan sendiri ikutan tertawa sambil menggendong [name].
.
.
.
Tbc
A/n:
Heyyo~
Udah berapa lama saya gak nongol?
Duh sorry lagi mageran nyahaha
Okeh aku memutuskan untuk membuat grupnya. Linknya kutaruh di papan pengumuman ya? Kalian bisa cek disitu.
Yep disitu untuk kalian berdiskusi da mendapat sedikit bocoran.
Gimana chapter kali ini? Mungkin kalian ada yang penasaran. Maksudnya foto apa sih? Kenapa Blaze marah sampe segitunya? Kenapa dia takut yang lain tau kalo dia berantem?
Yak mungkin ada juga yang bisa pikirin alasan diatas? *tepuk tangan*
Okay see you in the next chapter~
Babay~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top