4. Truth
Sudah beberapa hari berlalu semenjak Taufan tidur dikamar bersamaku. Pagi saat aku bangun, Taufan sudah menghilang dari kamar begitu saja. Mungkin dia terlalu canggung untuk tidur bersama adik perempuannya. Padahal dia bukan tipe-tipe canggung seperti itu.
Sesuai perkataan Gempa saat makan malam hari itu. Sekarang adalah hari senin dan waktunya aku sekolah. Mereka mempersiapkanku dengan baik. Semua buku dan perlengkapan sekolah telah mereka siapkan terlebih dahulu. Beserta pakaian dan yang lainnya yang akan aku pakai. Tidak lupa nasehat Gempa agar aku tidak berbuat macam-macam disekolah. Dan tidak boleh pergi keluyuran sembarangan.
Dia bahkan lebih cerewet daripada tanteku dirumah.
Selesai sarapan, aku berangkat pergi bersama Solar dan Duri. Solar dan Duri SMP dan sekolah mereka berada tepat disebelah sekolahku. Berbeda dengan SMAnya Halilintar dan yang lain. SMA mereka arahnya berbalik dari sekolahku.
Kami berjalan kaki menyusuri jalan. Tidak lupa masing-masing menggandeng tanganku. Aku berjalan ditengah-tengah Duri dan Solar. Duri tampak antusias, sesekali mengayunkan tangannya seperti anak kecil.
Saat sampai disekolahku. Mereka berdua juga ikut dan mengantarku sampai keruang guru. Disana, Solar menemui seorang guru sementara Duri menemaniku diluar. Sepertinya ia melaporkan tentang kondisiku saat ini pada guru.
Tak lama kemudian, Solar keluar bersama seorang guru. Solar mengajak Duri pergi dan sempat-sempatnya mengelus kepalaku. Duri melambai sebelum akhirnya mereka menghilang dilorong sekolah.
"Udah lama enggak berjumpa [name], kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan raut wajah khawatir. Aku mengangguk kecil. Guru itu tersenyum kecil dan mengajakku untuk mengikutinya ke kelas.
Kelas VI-A
Begitu nama kelas yang terpampang didepan pintu tadi. Dan jelas, ini adalah kelas unggulan. Karena kelas ini cukup diam dibanding kelas-kelas lain yang ricuh.
Para murid langsung duduk rapi begitu aku dan guru ini masuk ke kelas. Guru itu membawaku masuk dan tersenyum ke arah murid-muridnya.
"Pagi anak-anak. Ibu mau memberitahu soal [name], ia sekarang menderita hilang ingatan jadi mohon dibantu untuk kedepannya ya." Anak-anak serempak menjawab 'ya' kepada guru itu. Guru itu lantas menunjuk sebuah bangku kosong yang berada diujung kelas, tepat disebelah jendela. "Disana tempat dudukmu."
Setelah berterima kasih, aku segera duduk ditempat yang ditunjuk oleh guru tadi. Segera guru itu menjelaskan pelajarannya hari ini. Aku membuka buku dan menyimak pelajaran.
Sebenarnya tidak menyimak juga. Lagipula ini adalah pelajaran anak SD. Aku sudah pernah mempelajarinya dulu.
Aku menolehkan kepalaku kearah bangku kosong yang berada tepat disebelahku. Apa selama ini aku duduk sendiri?, pikirku. Namun mungkin saja tempat duduknya telah diubah semenjak diriku tidak ada.
Setelah lama waktu berselang. Bel akhirnya berbunyi dan guru itu keluar dari kelas. Anak-anak dikelas segera berhamburan keluar. Namun masih ada beberapa anak yang tetap berada dikelas dan membawa bekal.
Aku juga membawa bekal, buatan Gempa pastinya. Juga beberapa biskuit dari Taufan. Saat baru saja hendak menyuap suapan pertama. 3 orang anak kecil datang ketempatku sambil membawa bekal makanannya. Satu orang perempuan dengan rambut pirang tampak antusias. Sementara 2 lainnya tampak ragu-ragu bersembunyi dibelakang si gadis pirang.
"Wah kamu bawa bekal juga? Mau makan bareng?" tawarnya. Aku mengangguk, "Boleh."
Si gadis pirang mengambil duduk berhadapan denganku. Sedangkan keduanya mengambil tempat disebelahku dan sebelah gadis pirang.
"Oh iya, kamu hilang ingatan bukan? Namaku Grace." Gadis pirang itu berseru semangat. "Kalau dia Anya dan Dewi," ujarnya sambil menunjuk si gadis berkacamata dan si kepang secara berurutan.
"Begitu," jawabku singkat. Mereka lalu makan dengan canggung. Kecuali Grace didepanku yang tampak semangat. Mungkin dia tipe gadis yang membara dan tidak bisa diam seperti Blaze.
Aku terdiam sejenak. Mumpung ada yang mendekatiku, aku bisa tanya mereka bertiga. Bisa jadi, ada yang tahu tentang hal yang terjadi pada gadis ini.
Apakah dia dibully? Apakah dia diancam? Apakah dia seorang gadis yang mempunyai alur hidup yang rumit?
Mereka hanyalah anak kelas 6 SD. Mereka pasti akan menjawab segala pertanyaanku tanpa pikir panjang.
"Boleh aku bertanya?"
Mereka bertiga menoleh kearahku. Grace menanggapi dengan ceria. "Tanya saja."
"Apa aku punya banyak teman?"
Grace berpikir sebentar. "Waktu kelas 3 temanmu banyak."
"Lalu, bagaimana dengan kelas 4, 5 dan 6?" tanyaku lagi.
"Kau punya. Tapi kau berubah galak sehingga tidak ada yang mau mendekatimu lagi."
"Kau hanya baik pada Rena," sahut Anya tiba-tiba. Sepertinya ia tidak canggung lagi.
"Rena?"
"Rena itu sahabatmu. Dulu sih, tapi kulihat dia sepertinya enggak mau dekat-dekat kamu."
"Iya, perbuatannya jahat banget!" Dewi bahkan ikut menyambung topik dengan wajah kesal.
"Dia mengacuhkanmu terus. Tapi kamu masih aja baik sama dia doang." Mereka terus bercerita meski aku hanya mendengar.
"Kami mau bantu tapi kamu saat itu galak. Aku takut sama kamu." Anya terlihat sedih, ia memainkan garpu dan sendoknya di kotak bekal. Menusuk-nusuk tomat hingga tomat itu dipenuhi tusukan.
"Baguslah kamu enggak ingat dia lagi. Dan juga, dia sudah pindah sekolah."
Tanganku terhenti ketika sendokku menyendok nugget buatan Gempa. Aku melihat kearah mereka bertiga. "Kenapa dia pindah sekolah?"
"Karena dia itu orang yang sudah menusuk perutmu pakai pisau."
Apa--?!
"Iya iya! Aku dengar beritanya loh."
"Dia langsung diberhentikan dari sekolah."
Mereka terus berceloteh tentang itu. Tiba-tiba kepalaku berdenyut. Rasanya sakit. Aku bahkan menjatuhkan sendok dan memegangi kepala.
"ITU SEMUA GARA-GARA KAU!"
Suara apa itu? Kenapa terngiang dikepalaku?
"Kenapa harus kau? Kenapa?!"
Apa itu? Kenapa suaranya begitu familiar?
"Maafkan aku, mari kita bertemu dikehidupan selanjutnya."
"[Name]!!"
"Eh?"
Aku mendongak. Melihat ketiga anak tadi menatap khawatir ke arahku.
"Kamu gapapa?" tanya Grace khawatir. Aku menggeleng sambil memasang senyum kecil. "Gapapa kok."
Kami berempat telah menghabiskan bekal. Aku menawarkan biskuit Taufan tadi kepada mereka. Mereka memakannya dan mengatakan bahwa biskuit ini enak. Tentu saja, aku juga mengakui bahwa biskuit buatan Taufan enak. Ternyata dia punya bakat lain selain mengacau.
"Oh ya, aku mau bertanya satu hal lagi." Mereka mendengarkan. "Bagaimana hubunganku selama ini dengan abang-abangku?"
Mereka diam sesaat. Kemudian Grace menyahut dengan dahi berkerut. "Kau punya abang?"
.
.
.
Aku menunggu dalam diam didepan gerbang sekolah. Para guru mengadakan rapat jadi para murid pulang cepat hari ini. Ini baru jam 1 siang dan SMP disebelahku baru pulang jam 2. Itu artinya aku harus menunggu 1 jam lagi.
Tapi aku tidak mau menunggu selama itu.
Lagipula sekarang adalah kesempatan selama tidak ada seorang pun dirumah. Aku bisa mencari-cari hal lain yang bisa kutemukan dirumah itu. Mungkin saja mereka menyembunyikan sesuatu.
Aku bergegas pulang kerumah sendiri. Lagipula rumah tidak terlalu jauh. Dalam beberapa menit dan aku sampai dirumah. Aku ambil kunci yang berada dibawah pot dan masuk ke dalam rumah.
Biasanya rumah ini sangat ramai namun sekarang sepi karena sekolah. Ini adalah saat yang tepat untuk menggeledah rumah. Sebelum jam 2, setidaknya aku harus menemukan sesuatu.
Baru saja hendak melangkah. Bunyi dering telepon dari ruang tamu menghentikan langkahku. Aku berbalik dan mengangkat telepon.
"Halo, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam. Ini dengan siapa?" balasku. Orang yang ada di ujung telepon terdengar tertawa sebentar.
"Aduh masa [name] lupa dengan ayah nih? Mentang-mentang ayah belum pulang 6 bulan."
Ayah?!
"Ah hehe Halo Ayah. Habisnya udah lama [name] enggak dengar suara ayah jadi lupa."
Kupikir ayah mereka telah meninggal. Ternyata masih hidup. Lalu, sepertinya ayah mereka tidak mengetahui bahwa [name] sedang hilang ingatan. Apakah mereka tidak memberitahunya?
Tapi kenapa?
"Ih padahal ayah kadang-kadang telepon loh. Oh ya, abangmu yang lain mana? Kok [name] yang angkat telepon?"
"Mereka sekolah ayah. Ini kan hari senin. Belum jam pulang sekolah."
"Oh iya ya, loh kok [name] gak sekolah?"
"Tadi guru ada rapat jadi [name] pulang cepat."
"Eh begitu ya. Tadi ayah coba telepon abangmu enggak ada yang angkat, ternyata masih disekolah."
Lelaki yang dikenal sebagai ayah ini tertawa.
"Oh ya ayah enggak punya banyak waktu nih. Bilang sama abang-abangmu, ayah dan bunda akan pulang bulan ini."
Dia akan kesini?
"Iya, nanti akan [name] kasih tahu ke abang-abang." Tanpa sadar, aku tersenyum tipis. "Ayah yang semangat kerjanya."
"Iya tentu saja demi anak-anak tercinta. Kalau begitu ayah tutup ya. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Setelah itu telepon terputus. Aku menaruh gagang telepon kembali ketempatnya.
Jadi keberadaan orang tuanya sudah pasti. Sedang bekerja diluar kota dan masih hidup. Tapi, orang tua mereka tidak mengetahui kondisi [name] saat ini. Itu berarti, mereka sama sekali tidak memberitahu tentang tusukan diperut juga. Tapi kenapa? Apa alasan mereka tidak memberitahu orang tua mereka?
.
.
.
Tepat sesuai dugaanku setelah memutuskan untuk pulang langsung kerumah. Gempa menasehatiku panjang lebar. Katanya, Duri dan Solar panik begitu tidak menemukanku saat hendak menjemputku dari sekolah. Mereka sibuk mencari, tahu-tahunya aku ada dirumah.
Saat itu aku terciduk sedang makan es krim di kulkas oleh Ice. Dia langsung menelepon yang lain. Alhasil mereka meneriaki namaku. Sedangkan Ice meratapi es krimnya yang sudah kumakan 3 cup. Sungguh, kupikir itu milik kita bersama.
Aku menyodorkan bekas bekal tadi ke Gempa. "Habis?" Tanya Gempa. Aku mengangguk.
Melihat itu, Taufan tiba-tiba mendekat. "Bagaimana biskuitnya? Dihabiskan?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Iya, enak banget. Makasih abang."
Taufan tersenyum sumringah. Bahkan aku bisa melihat bunga-bunga bertebaran disekelilingnya.
Dan aku baru ingat hal yang penting tadi siang.
"Oh ya, tadi ayah telepon."
Tiba-tiba saja, atmosfir terasa memberat. Wajah mereka semua tegang.
"La-lalu ayah bilang apa?" Gempa bertanya dengan gugup.
"Ayah bilang, dia akan pulang bulan ini bersama bunda."
Wajah mereka makin gugup. Malahan Gempa dan Blaze meneguk ludah.
"Lalu, apalagi?" tanya Halilintar penasaran. Aku menggeleng, "Cuma itu."
Melihat wajah mereka yang takut begini. Aku malah memikirkan sesuatu yang gila. Bisa dibilang, percobaan untuk mengetes? Entahlah.
"Tadi [name] tanya kenapa mereka enggak jenguk [name]."
Wajah mereka memucat. Skakmat. Mereka benar-benar menyembunyikan hal ini dari kedua orang tua mereka.
"La-lalu apa kata mereka?" Dengan susah payah Taufan bertanya. Aku memasang senyum lebar sambil tertawa singkat. "Tapi teleponnya sudah ditutup duluan."
Mereka menghela nafas. Entah kenapa, jahat sekali rasanya aku memainkan mereka seperti tadi.
"[Name] tidur gih, besok sekolah."
Aku mengangguk lalu pergi dari sana.
Dan yah, penggeledahanku dirumah ini berakhir sia-sia. Aku tidak bisa menemukan apapun yang mencurigakan. Mungkin aku bisa mencari lain kali.
Itu karena aku tergoda makan es krim milik Ice huhu.
.
.
.
"[Name] sudah tidur?"
Taufan yang baru saja turun dari lantai atas lantas mengangguk. "Sudah."
Halilintar menghela nafas panjang. Gempa disampingnya hanya diam. Perkataan [name] barusan hampir membuatnya jantungan.
"Ayah dan bunda akan datang bulan ini." Blaze bergumam. Ia senang orang tuanya pulang, namun disisi lain ia juga takut.
"Apa kita akan memberitahukan yang sebenarnya pada ayah dan bunda?" Solar bersuara meski matanya tak lepas dari handphone miliknya. Mereka semua saling bertatapan.
"Memangnya ayah dan bunda bakalan percaya?" Sahut Ice disela-sela tidurnya. Ia diam-diam menyimak perbincangan mereka yang sangat dalam ini. Mendengar perkataan Ice barusan membuat mereka lagi-lagi menghela nafas.
"Lalu kita harus bagaimana? Ayah dan bunda pasti akan tahu dengan luka tusukan diperut [name]." Gempa mengerang frustasi. Taufan menenangkannya dari samping. Mengusap pelan punggung adik pertamanya itu.
"Apalagi jika [name] yang memberitahu."
"Ayah dan bunda pasti marah besar." Duri merengek. Tidak sanggup ia memikirkan bagaimana dimarahi oleh sang ayah dan bunda. Ia sangat menyayangi keduanya.
"Aku tidak sanggup memikirkannya." Gempa menenggelamkan wajahnya dibalik telapak tangan. Mereka semua terdiam sembari meringis. "Aku tahu ayah dan bunda tidak mungkin percaya pada omongan kita, karena yang ia lihat selama ini berbeda dengan apa yang selama ini terjadi."
"Ingatan [name] juga jadi masalah bukan?" Taufan menyahut. "Jika ia kembali ingat, menurutmu apa yang bakal ia lakukan?"
"Tentu saja kembali seperti dulu," Halilintar meringis pelan. Tidak sanggup dirinya memikirkan kembali ke masa lalu. "Kalau bisa, aku tidak ingin ia kembali ingat."
Taufan tersenyum miris. "Kau tahu? [Name] yang sekarang benar-benar berbeda dan itu entah kenapa membuatku senang."
"Tidak masalah kalau dia kembali seperti dulu," Ice tiba-tiba bersuara. Membuat mereka semua menoleh ke arahnya. "Yang harus kita lakukan sebagai abangnya adalah tetap melindunginya dan menyayanginya." Air muka Ice tampak tegas. Membuat saudara lainnya tersenyum.
"Duh Ice kok tiba-tiba bijak begini sih?" Blaze merangkul adiknya itu. Ice menepis tangannya dengan kasar. "Sudahlah aku mau tidur." Kemudian ia berlalu. Disusul oleh Blaze, Duri dan Solar.
Hingga Taufan ikut menyusul sebelum lengannya ditarik oleh Halilintar.
"Maaf," lirihnya. "Aku tidak bermaksud memukulmu saat itu."
Mendengar hal itu membuat senyum Taufan mengembang. "Maaf juga karena mengatakan hal itu kemarin. Aku tahu itu bukan salah bang Hali sama sekali. Itu murni kecelakaan."
"Tidak. Itu memang salahku. Seandainya aku--"
"Sstt." Taufan menutup mulut Halilintar dengan jari telunjuk miliknya. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri."
"Sudah ayo tidur. Besok sekolah tahu." Gempa memukul pundak keduanya. Mereka beranjak dari sana menuju kamar mereka.
Tidak disangka. Perkataan Ice barusan menjadi motivasi dan pencerahan untuk mereka.
.
.
.
Tbc
A/n:
Gimana? Gimana?
Teori kalian terbantah semua? HAHAHAHA *dibantai readers*
Ternyata kedua orang tuanya masih idup gaes. Siapa yang bilang mati kemarin hah? XD
Serius, saya nggak belokin alur cerita karena teori kalian kok. Ini murni alur cerita yang sebenarnya.
Dan siapa sangka ada tersangka lain yang nusuk perut [name] hahaha
Nusuk perut sendiri? Sayangnya tidak seperti itu UwU
Apa itu? Apa itu? Muncul banyak clue baru. Silahkan kalian berteori lagi fufu~
Aku seneng bat baca komenan kalian. Calon detektif semua nih yeeeyyy.
Ada teori baru? Skuy cerita sini.
Btw, happy new year semua♥♥
Sebenarnya ini kecepatan update sih. Tapi anggap aja ini sebagai hadiah tahun baru buat kalian ehe~
Tetap tungguin cerita ini ya~ jan kemana-mana :'(
See you in the next chapter.
Babay~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top