3. Letter

Lampu yang terang, menerangin tiap sudut ruangan. Banyak buku berserakan dilantai begitu saja. Suasana yang hening membuat atmosfir tegang diantaranya. Pemuda beriris ruby itu masih berdiri diambang pintu. Menunggu jawaban dariku yang dengan susah payahnya meneguk ludah.

Tidak boleh ketahuan!

Aku beranjak dari tempatku dan dengan cepat memeluk perut Halilintar yang sedari tadi hanya diam memandangiku. Ia sedikit tersentak namun tetap mempertahankan wajah datarnya. Aku tersenyum lebar sambil memandangi iris ruby lelaki itu. Berusaha mengalihkan perhatiannya dari buku-buku yang aku sebarkan dilantai.

"Makan malam udah siap? [Name] lapar." Sial, ini memalukan. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus bertingkah seperti anak kecil. Terserah mau dicap aneh atau bagaimana. Yang penting, barang bukti harus selamat atau tidak ada lagi yang bisa aku temukan. Aku harus menjauhkan Halilintar dari sini.

"Belum." Ia kembali memperhatikan buku-buku yang aku sebar dilantai. "Apa yang kau lakukan dengan buku-buku itu?"

Aduh

"Ehehe [name] tadi pengen gambar tapi enggak nemu krayon," ucapku dusta. Aku tahu, aku mana bakat dalam menggambar. Dan tetap memeluknya seperti ini. Ugh, aku bisa merasakan perut atletisnya dengan memeluknya seperti ini.

Tapi kok aku pendek banget?

"Begitu, besok akan aku belikan krayon untukmu." Dia mengelus kepalaku sehingga aku melepas pelukan itu. "Bereskan bukumu itu, nanti akan dipanggil kalau makan malam telah siap."

Aku mengangguk sambil tetap mempertahankan senyumku. "Hehe baik bang."

Kemudian dia berlalu, menjauhi kamar dan turun kebawah. Segera kututup pintu dan mengunci pintu kamar. Kutatap buku-buku yang berserakan dibawah sembari menghela nafas lega.

"Harus disembunyikan."

Lalu segera kubereskan semua buku-buku itu dan menyimpannya rapi seperti semula.

Menggambar? Omong kosong, aku bahkan tidak tahu soal seni. Apa-apaan itu. Selama 17 tahun hidup, aku tidak pernah melakukan hal-hal yang membuang-buang waktu seperti itu. Semuanya hanya tentang belajar dan sukses.

Aku menatap kosong ke arah dinding berwarna putih dihadapanku. Memikirkan beberapa hal tentang masa lalu. Mana tahu ada clue tentang alasan mengapa aku bisa berada disini sekarang. Dan kemana gadis yang ada ditubuh ini pergi. Pasti semua itu ada kaitannya dengan diriku yang dulu.

Apa aku mati?

Jelas tidak. Yang terakhir kali kuingat adalah saat itu aku sedang tidur. Baru saja tidur malam itu setelah mengerjakan tugas dan menghibur diri dengan handphone.

Lalu? Lalu apa yang terjadi setelah aku tidur?

Sepertinya aku melupakan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting dan berkaitan dengan ini semua.

Aku menoleh, memperhatikan barang-barang dimejaku yang masih mengkilap. Serta beberapa pena dan pensil yang belum diraut. Buku-buku bacaan terjejer rapi disana.

Tanganku meraih salah satu buku bersampul merah darah dan mengambilnya. Dicovernya tertulis judul yang menurutku sama sekali bukan untuk bacaan anak kecil.

'1001 cara untuk hidup bahagia'

Kubuka buku itu dan kubaca isinya. Sesuai judul, buku itu berisi tentang hal-hal yang direkomendasikan agar dirimu merasa bahagia. Juga beberapa cara agar tidak depresi. Dan beberapa hal lainnya tentang kebahagiaan.

Kucomot buku lain lagi dari rak diatas meja. Kali ini yang bersampul putih dengan hiasan emas-emas. Judulnya tidak jauh beda dengan buku pertama.

'Keluarga'

Kubuka halaman pertama. Kosong. Benar-benar putih bersih. Halaman selanjutnya dan juga seterusnya. Semuanya benar-benar kosong. Lantas buku apa ini? Kenapa isinya kosong?

Tanganku berhenti membuka tiap lembar ketika sebuah amplop putih terjatuh dari lembar yang kubuka. Kupungut amplop putih itu dan ternyata direkatkan. Tidak ada cara lain membukanya selain mengoyaknya. Dibagian belakang amplop itu tertulis 'keluarga', persis seperti judul bukunya.

Aku berniat mengoyaknya sebelum suara ketukan pintu menghentikanku.

"[Name]! Makan malam udah siap, yuk turun."

Segera kusimpan amplop itu dibalik bantal. Lalu berlari membuka pintu dan menemukan abangku dengan iris hijau zamrudnya menatapku sambil tersenyum. "[Name] udah lapar kan? Yuk turun."

Aku mengangguk.

.

.

.

Makan malam berlalu dengan lancar. Hanya ada keributan kecil diantara para saudara kembar. Mereka terlihat harmonis. Benar-benar seperti keluarga yang bahagia.

Keluarga, ya?

"Oh iya, hari senin nanti [name] masuk sekolah ya. Soalnya udah lama banget liburnya." Gempa tersenyum melihatku. Namun tatapan tajam datang dari abangku yang beriris ruby. "Dia harus pindah sekolah."

"Eh? Tapi bang Hali. [Name] itu sudah kelas 6 SD. Sudah tinggal beberapa bulan lagi sampai dia lulus." Gempa menolak. Terlihat kecemasannya dimata keemasan miliknya.

"Aku tidak peduli. Dia harus pindah sekolah." Halilintar tetap keras kepala. Tetap dengan perkataannya, dia benar-benar ingin aku pindah.

Bagaimana ini? Hal lain yang bisa kudapatkan untuk menambah clue adalah dengan mengetahui masa lalunya. Namun jika aku pindah sekolah. Maka semua bukti pasti akan hilang begitu saja.

Aku tidak bisa membiarkan ini.

"Bang Hali, kenapa [name] harus pindah sekolah?" tanyaku dengan wajah polos. Mereka semua memperhatikan kearahku.

"Karena sekolahmu itu enggak bagus," balasnya.

"Gapapa kok, [name] enggak peduli sekolahnya bagus atau enggak. Abang enggak usah repot-repot ngurusin surat pindah sekolah." Mereka semua terdiam termasuk Halilintar. "Kan kata abang Gempa tinggal beberapa bulan lagi," lanjutku.

Halilintar terdiam dan berpikir. Dia menatap dalam kearahku. Aku benar-benar harus membuatnya luluh kepadaku. Pokoknya, jangan sampai pindah sekolah. Aku yakin sekali bahwa disekolah pasti ada sesuatu sampai-sampai Halilintar bersikeras menyuruhku untuk pindah sekolah.

"[Name] enggak akan nakal kok, [name] janji hehe." Aku tersenyum lebar hingga rasanya mataku menyipit.

Dahi Halilintar tampak berkerut. Sesaat kemudian, dia akhirnya mengela nafas. "Baiklah," ucapnya.

"Kalau begitu baik-baik disekolah ya [name]. Kalau ada apa-apa nanti bilang aja." Taufan ikut menambahkan. Dengan senyuman lebar khas miliknya, ia tersenyum kearahku. Aku membalas senyumannya, "Iya abang, makasih."

Tapi aku senang, tidak perlu pindah sekolah. Aku harus mengetahui situasi disekolahnya dan menelusurinya. Aku yakin, pasti ada sesuatu.

.

.

.

Piring dan gelas-gelas dicuci lalu dibereskan. Meja dilap dari tumpahan air atau sesuatu yang lain. Sudah terbiasa, ini pekerjaan Gempa sehari-hari. Kadang dibantu oleh adik-adiknya yang membantu secara bergantian.

"Duri, Solar." Panggilan si sulung membuat keduanya yang hendak ke kamar lantas berhenti dan menoleh. "Ada apa?"

"Aku ingin kalian mengawasi [name] disekolah. Kalau ada apa-apa, tolong jaga dia." Halilintar mengalihkan pandangan. Duri dan Solar saling bertatapan kemudian mengangguk.

"Tentu saja, Duri akan senantian menjaga [name]," balas Duri semangat.

"Tidak masalah," ketus Solar. Namun raut wajahnya menunjukkan jika ia senang. Iya senang. Tidak menuntut seperti biasanya.

"Aku tahu bang Hali khawatir, tapi kita enggak punya hak sebesar itu untuk memindahkan [name] kesekolah lain," ucap Gempa tiba-tiba. Membuat Halilintar menoleh sesaat. Solar lantas menarik Duri naik ketika tahu pembicaraan akan semakin berat. Ice dan Blaze telah lebih dulu naik karena Ice ingin tidur dan Blaze harus mengerjakan tugasnya. Begitu pun [name] yang sepertinya sudah tidur dikamarnya.

Taufan memperhatikan kedua saudaranya dalam diam. Tidak tahu harus berkata apa untuk menceriakan suasana. Taufan tahu, mau dia berkata apapun, itu hanya akan memperburuk mood si kakak sulung.

"Aku tahu," sahut pemuda bermata ruby setelah beberapa saat. "Tapi kita tidak ingin mereka tahu."

"Tinggal menunggu waktu saja. Semuanya justru akan kembali seperti dulu," ucap Taufan tanpa sadar. Ia segera menutup mulutnya begitu Gempa dan Halilintar melihat kearahnya. "Ah, aku tidak bermaksud..."

Halilintar berdiri mendekati adik pertamanya itu. Ia mendelik tajam. "Kalau kita lakukan segala cara, pasti tidak akan terulang lagi seperti dulu."

Taufan jelas bingung. Ini tidak seperti kakaknya yang biasa. Apakah kakaknya terlalu senang melihat [name] yang berbeda sehingga berbuat seperti ini?

"Jangan bodoh Hali, jika ia ingat--"

"Takkan kubiarkan dia ingat!" Potong Halilintar dengan sedikit bentakan. Taufan menatap tak percaya.

"Percuma saja. suatu hari, ia akan kembali mengingat semuanya dan hal itu akan membuat hal yang lebih buruk dari yang sebelumnya!" Taufan membalas tak kalah membentak. Ia tahu ini salah, namun kebenaran tetaplah kebenaran. Ia juga senang dengan [name] yang sekarang namun ia tak mau kakaknya jadi gila karena terlalu memikirkan ini. Mereka juga punya adik lain selain [name] yang harus diurus.

Halilintar sudah kesal. Ia mencengkram kuat kerah baju Taufan hingga terdengar rintihan kecil. Gempa yang melihat hal itu langsung saja mencoba meleraikan kedua kakaknya. Namun Halilintar tak mau mendengar.

"Kau--"

"Apa? Aku benar bukan?" Taufan tertawa namun bukan tawa ceria seperti biasanya. Melainkan tawa yang pasrah. Mata biru saphirenya menatap langsung ke manik ruby kakaknya. "Jangan lupa kalau semua itu dulu terjadi karena kau, Hali."

Buak!

"Bang!" Gempa berteriak. Taufan terlempar jatuh ke lantai. Halilintar menggeram marah. Gempa menghampiri kakaknya yang terduduk dilantai. "Sudah cukup! Kenapa kalian malah bertengkar?!" Gempa mencoba menghentikan keduanya. Halilintar pergi tanpa aba-aba dan meninggalkan keduanya. Terdengar suara bantingan pintu dari kamar.

"Gapapa Gem, aku numpang tidur ditempat Blaze atau Duri aja." Taufan tersenyum, tidak ingin membuat adik pertamanya khawatir.

"Pipi kakak gimana? Tadi kan dipukul--"

"Gapapa Gem, kamu tidur aja gih. Ketua osis enggak boleh terlambat sekolah loh," potong Taufan. Ia mendorong adiknya pelan. "Cepet gih."

Akhirnya Gempa menurut walau enggan. Ia meninggalkan kakaknya didapur. Ia tahu Taufan sedang tidak baik-baik saja tapi ia tidak bisa memaksa. Ia berharap, besok mereka akan berbaikan.

Sesaat setelah terdengar Gempa menutup pintu kamarnya. Sebenarnya itu adalah kamar mereka bertiga namun Taufan tentu saja tidak ingin dipukul lagi ketika masuk kesana.

Taufan segera mengambil kotak P3K dan mengobati lebam di pipi kirinya. Mana boleh berbekas, bisa-bisa si Gopal yang kepoan bakalan bertanya-tanya terus tuh.

Ia tahu Halilintar tidak bermaksud. Abangnya yang satu itu memang pemarah. Tapi ia tidak menyangka bahwa akan dipukul seperti ini. Menyakitkan? Tentu saja.

Taufan selesai mengobati lukanya. Ia menutup kotak P3K dan menghela nafas. Sepertinya ia memutuskan untuk tidur disofa saja. Ia tidak mau melibatkan adiknya yang lain.

"Bang Upan gapapa?"

"Huwaa!!" Taufan hampir saja jatuh terjungkang jika ia tidak berpegangan pada meja. "Duh [name] ngejutin aja sih." Taufan mengelus dada. Ia mengatur nafasnya yang tidak teratur akibat terkejut tadi. Sungguh, ia tidak sadar jika ada [name] disana.

"Ada apa? Kok belum tidur?" tanya Taufan sembari mengelus pucuk kepala adik perempuannya. Yang ditanya kemudian menggeleng. "Tadi udah tidur tapi kebangun gara-gara suara pintu dibanting," jawabnya.

"Aduh maaf ya, bang Hali lagi badmood soalnya." Taufan terkekeh. "Ya udah tidur gih, udah malam ini."

"Bang Upan diusir dari kamar ya?"

Jleb-

Taufan tetap mempertahankan senyumnya. Duh kok rasanya sedih banget dengar kata seperti itu.

[Name] tanpa aba-aba langsung menarik kakaknya begitu saja menuju kamarnya. Taufan terdiam, sedikit bingung dengan perlakuan [name] padanya. Tanpa sadar, ia tersenyum tipis.

"Bang Upan nginap dikamar [name] aja dulu. Gapapa kok gratis."

Taufan tertawa. "Ih masa bayar, gapapa nih abang tidur disini?"

[Name] mengangguk. Ia menutup pintu dan baring dikasurnya, tak lupa mematikan lampu. Taufan hendak tidur dibawah namun [name] segera mencegatnya.

"Ngapain tidur dibawah? Mau jadi tikus? Tidur disini," ketus [name] sambil menepuk-nepuk kasur yang ia tempati. Taufan terlihat ragu, "Gapapa nih?"

[Name] lagi-lagi mengangguk.

Taufan naik ke kasur dan baring berhadapan dengan adik perempuannya. [Name] menatap mata Taufan, terlihat biru dan terang ketika dilihat lebih dekat. Kemudian mata [name] tertutup dan terdengar dengkuran halus.

Taufan tersenyum kecil. Ia masih menatapi adiknya itu. "[Name] udah tidur?"

Namun tidak ada jawaban.

Senyum itu luntur dan berganti wajah sendu. Mata birunya tidak lepas menatapi setiap lekuk wajah adiknya itu.

"Maaf ya [name], dulu aku tidak bisa jadi kakak yang baik untukmu." Tangannya bergerak, menyentuh tangan kecil adiknya. "Tapi, aku akan berusaha keras agar menjadi kakak terbaik yang bisa kau punya."

Air mata lolos dari pelupuk matanya. Ia terisak kecil. Berbagai memori masa lalu muncul memenuhi pikirannya. Ia menggenggam erat tangan kecil adiknya.

"Menyentuhmu seperti ini, bagai sebuah mimpi."

.

.

.

Tbc

A/n:

Wah gimana ya, saya masih writerblock hehe.

Btw gimana ceritanya? Masih nyambung kan?

Masih pada nungguin cerita ini kan?

Nah, kalo aku liat di chapter sebelumnya. Kalian hampir tahu semua bagian-bagian yang janggal dan clue.

Lope buat kalian semua♥♥

Wahh gak nyangka pembacaku makin pinter. Aku sebagai author bisa kalah nih :'

Semoga kalian nebaknya enggak terlalu bener wkwk, soalnya saya gak bakalan belokin alur UwU

Endingnya sudah tertera dikepalanya saya.

Beberapa teori kemarin bikin aku tercenggang. Keren banget. Aku suka sama teori-teori kalian.

//seketika para readers bertransformasi menjadi detektif

Nah kali ini banyak clue lagi yang terbuka. Kira-kira, teori apalagi yang muncul dikepala kalian nih.

Okay itu aja. See you in the next chapter~ babay.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top