23. Princess
Selagi kelas heboh karena tahu bahwa pemeran putri dan pangeran adalah orang-orang dengan wajah yang menawan. Grace tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya diam, seperti tidak menanggapi sorakan bahagia untuknya.
Tiba-tiba ia kembali mengangkat tangan. Membuat sang guru mendekat dengan wajah khawatir. "Maaf bu, sepertinya akhir-akhir ini saya kurang enak badan. Lebih baik pemeran putrinya diganti."
"Kamu sakit? Hm, sayang sekali tapi ibu tidak akan memaksa. Apa perlu di undi ulang?" Perempuan itu memastikan. Grace menggeleng sebagai jawaban. "Tidak perlu, saya sudah menemukan seseorang dengan peran yang cocok."
Ia berdiri dari bangkunya. Seisi kelas menatapinya sambil menerka-nerka tentang siapa yang akan mendapat peran putri menggantikan Grace. Grace berjalan ke arahku, lalu menaruh kertas undian itu diatas mejaku. Ia tersenyum tipis, "Kamu dekorasi kan? Tukaran saja denganku, aku tahu kamu payah dalam menghias."
Heh, rasanya kesal juga mendapat ucapan yang benar seperti ini.
"Tapi, aku tidak terlalu pandai akting."
Mendengar ucapanku, ia mendengkus sambil mengungging senyum. "Siapa bilang? Kau sangat pandai dalam akting, sudah ya." Ia merebut kertas bertuliskan 'dekorasi' dari tanganku begitu saja dan meninggalkan kertas bertuliskan 'putri' diatas mejaku.
Suasana kelas menjadi hening saat tahu bahwa aku yang diberikan peran putri oleh Grace. Dan aku terbengong karena ucapan Grace padaku. Guru didepan berdehem, lalu menuliskan nama Rayn dan aku untuk peran putri dan pangeran. "Karena tidak ada yang protes, berarti sah ya."
Grace kembali ke tempat duduknya dan lagi-lagi melamun. Hanya menatap kosong ke papan tulis tanpa menunjukkan raut ekspresi apapun.
Kemudian rapat kelas dimulai lagi. Dan mereka mulai menentukan hal lainnya untuk memperbagus drama mereka. Lalu soal dekorasi, Grace mengambil peran untuk membuat pakaian putri dan pangeran. Sedangkan bagian dekorasi lainnya, mereka ditugaskan untuk membuat dekorasi panggung seperti pohon atau istana.
.
.
.
"Wah! [Name] dapat peran putri ya?" Taufan tampak sumringah, diikuti Blaze dan Duri yang menatapku takjub.
"Darimana abang tahu?" tanyaku. Gempa yang menjawab selagi duduk santai di ruang tengah. "Tadi gurumu menelepon, mereka bilang kalau mulai besok akan latihan drama jadi pulangnya lebih cepat dan tidak ada jadwal belajar."
Oh.
"Aneh sekali, padahal sudah mendekati ujian sekolah tapi malah mengadakan pentas drama," gerutu Halilintar selagi menyeduh coklat panas miliknya.
Sesaat setelah kami pulang tadi. Tiba-tiba hujan dengan deras. Disini kami, berkumpul diruang tengah dengan selimut yang meliliti tubuhku dan secangkir coklat panas di tanganku. Hujannya bahkan belum reda hingga malam tiba.
Solar yang biasanya memegang handphone atau buku. Kini hanya duduk diam sembari bersender di sofa. Kacamatanya ia lepas dan ditinggalkan di kamar. Hujan deras ini benar-benar meninggalkan hawa malas yang sangat besar.
Aku menyesap coklat panasku dengan pelan. Rasanya enak dan entah kenapa aku merasa de javu. Rasa coklat yang entah rasanya seperti minuman yang sering kuminum sehari-hari. Dan suasana hangat yang menyenangkan seperti ini.
"Udah malam ini, ayo kembali ke kamar." Gempa berdiri, menyuruh yang lainnya untuk segera kembali ke kamar dan tidur. Kecuali Ice dan Solar yang sudah tertidur duluan di sofa.
"Ga usah dibangunin Gem, kayaknya capek banget itu." Tangan Taufan menahan tangan Gempa yang hendak membangunkan Solar. "Tapi kalau tidur disitu nanti badannya sakit." Gempa sedikit cemas karena posisi tidur Solar terbilang tidak nyaman. Solar tidur duduk dalam keadaan menyender dan kepala yang mendongak ke atas. Taufan memberikan senyum semangatnya. "Gapapa, biar kuangkat."
"Heh! Memangnya kuat?" Halilintar tahu-tahu sudah berdiri di samping Taufan sambil memasang wajah tidak yakin. Taufan mendengkus, "Jangan remehin, aku bisa kok kalau gendong adik bungsu kedua kita ini." Taufan menyingsingkan lengan bajunya lalu menggendong Solar dipunggung, dibantu oleh Duri. Mereka lalu membawa Solar pelan-pelan, dijaga oleh Duri yang menahan tubuh Solar dibelakang.
Halilintar hanya angkat bahu, lalu kembali ke kamar. Blaze menggendong Ice layaknya karung beras lalu menggandeng tanganku. "Yok ke kamar, hari ini giliran abang loh yang tidur sama [name]." Ia berujar antusias. Aku tersenyum kecil, tentu saja, dia sangat menantikan hari dimana bisa tidur bersama adik bungsunya ini.
Gempa hanya memperhatikan. "Selamat malam."
.
.
.
Blaze sudah tertidur dan dia memelukku benar-benar seperti memeluk guling. Aku tidak bisa bergerak karena seluruh tubuhku tenggelam olehnya. Bahkan pucuk kepalaku ditahan oleh dagu miliknya. Suara dengkurannya bahkan lebih keras daripada Taufan. Berbeda dengan Ice atau Halilintar yang mendengkur dengan halus atau malah tidak terdengar. Sekarang aku paham alasan Halilintar menendang Taufan setiap malam.
Hujan masih belum berhenti. Suara gemerisik air itu masih saja terus berbunyi dan membuatku tidak bisa mendengar hal yang lainnya.
Suara dengkuran Blaze perlahan mulai teredam oleh suara hujan. Hawa dingin mulai menelusup. Namun karena tubuh Blaze yang hangat, aku merasa aman di dalam pelukannya ini.
Blaze yang biasanya hanya memakai tanktop yang memamerkan ketiaknya. Kini memakai baju tidur panjang yang bahkan menutupi hingga telapak tangannya. Lalu memakai kain lagi yang menutupi setengah badan kami berdua. Jari-jemarinya kadang bergerak ketika kedinginan dan aku harus menyentuhnya agar diam.
Berbeda dengan Blaze yang merasa kedinginan. Aku bisa merasakan hawa hangat di tubuhnya. Terkadang aku menempelkan pipiku pada tangannya agar setidaknya merasa hangat.
Aku menatap langit-langit kamar yang gelap dan sudah didominasi oleh bayangan. Aku menutup mataku perlahan.
Blaze adalah orang terakhir yang tidur bersamaku. Karena mulai besok, aku akan disibukkan dengan ujian dan pentas. Gempa melarang yang lainnya agar tidak memaksa aku tidur dengan mereka. Dan lalu, mereka bilang akan memberikan hadiah sebelum ujian sebagai refreshing sementara.
Tapi aku merasakan hal buruk.
Seolah akan terjadj sesuatu nantinya.
"Semoga baik-baik saja nantinya."
.
.
.
"Aku adalah snow white, bisakah aku tinggal bersama kalian sementara waktu?" Aku menggenggam erat kertas naskah di tanganku. Kadang aku berharap mendapat peran menjadi pohon. Karena pohon tidak perlu berbicara dan menghafal naskah.
"Apel ini untukku? Terima kasih." Aku mengulangi kata-kata dinaskah lagi. Namun, dapat kudengar suara tawa di dekatku.
"Jangan tertawa, padahal Rayn tidak perlu menghafalkan naskah sebanyak ini." Aku cemberut. Ia tertawa kecil. "Yah begitulah seorang pangeran, hanya datang lalu membawa putri bersamanya," ujar Rayn.
"Lagipula cerita ini nggak masuk akal. Mana ada seorang pangeran yang langsung menikahi seorang putri yang baru dia lihat, apalagi dia bukan bagian dari kerajaan dan hanya rakyat jelata." Aku mengeluh pada Rayn. Rayn tersenyum kecil, "Ada kok."
Aku menatap ke arahnya dengan tampang tak percaya. "Masa? Siapa?"
Ia terkekeh sejenak. Mata coklatnya menatapku dengan lembut. "Aku."
Eh?
"Rayn! Kau dipanggil bu guru." Seorang murid berlari ke arahnya. Rayn mengangguk singkat lalu menoleh ke arahku sekilas. "Sampai nanti, putri."
.
.
.
Aku mengusap wajah dengan gusar di depan cermin. Wajah ini, wajah yang kecil dan lucu ini. Entah kenapa aku malah mulai terbiasa di tempat ini. Padahal harusnya aku mencari tahu cara untuk kembali ke tubuh asalku.
Aku menerka-nerka tentang bagaimana tubuhku disana. Apakah masih tergeletak disana atau malah sudah dikuburkan. Yang penting jangan malah dipotong-potong dan dibuang ke jurang. Aku merinding sendiri setelah memikirkan hal itu.
Selesai mengeringkan tangan, aku segera berjalan keluar toilet.
Langkahku terus berjalan hingga tanpa kusadari aku telah berjalan ke taman belakang sekolah. Aku menghela nafas, terkadang melamun bisa membuat dirimu berjalan entah kemana tanpa sadar. Dan berada di tempat asing.
Begitu baru berjalan beberapa langkah. Kulihat ada dua orang yang familiar tampak tengah mengobrol. Dan entah kenapa, aku langsung menunduk dan menyembunyikan diri dibalik banyaknya dedaunan.
Grace dan Rayn!
Dibalik celah dedaunan. Aku bisa memperhatikan mereka, namun aku kurang bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka bincangkan. Suara mereka seperti berbisik. Mereka berdiri sambil berhadapan, dan Grace yang menggumamkan sesuatu.
Wajah Grace tampak serius. Rayn hanya diam mendengarkan. Namun sesekali, Rayn terlihat sedikit terkejut dan membalas ucapan Grace dengan sepatah dua kata.
Tiba-tiba wajah Grace melunak. Tampak raut sedih di wajahnya. Ia berbicara lagi sambil mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan menyerahkan itu ke tangan Rayn. Aku tidak bisa melihat benda apa itu karena Grace langsung menaruhnya ditangan Rayn begitu Rayn mengadahkan tangan.
Aku berusaha mendekat lagi agar bisa mendengar percakapan mereka. Samar-samar, aku bisa sedikit mendengarnya.
"Kenapa? T-tidak bisakah dihentikan?" Rayn berucap dengan lirih. Ia menggenggam erat barang di tangannya itu.
Grace menggeleng. Masih tampak raut sedih di wajahnya. Ia menggigit bibirnya sendiri dengan kuat. Tampak menahan emosi. "Kalau bisa, aku sudah melakukannya."
"Tapi ini mustahil..." Grace berucap lagi.
Apanya yang mustahil?
Rayn menghela nafas. Lalu menatap Grace dan mengangguk. "A-aku mengerti, serahkan saja padaku."
Grace menyungging senyum tipis. Lalu berlalu sambil menepuk pundak Rayn. "Bertahanlah, aku berharap besar padamu."
"T-tapi kalau gagal nanti..." Rayn berbalik badan. Mencoba mencari jawaban di mata Grace meski Grace sendiri tidak menatap Rayn lagi. "Pasti berhasil, kalau gagal—" Aku tidak dapat melihat raut wajahnya.
"—jangan sampai," lirihnya lalu pergi menjauh. Meninggalkan Rayn disana hanya menatapi kepergian Grace dengan raut yang susah diartikan. Ia lalu menyimpan barang itu di dalam saku celananya.
Aku berjalan pelan menjauhi tempat itu. Lalu berlari pergi agar mereka tak menyadari.
Misteri yang sebelumnya belum selesai. Lalu ditambah lagi misteri yang baru. Sebenarnya, apa yang Grace dan Rayn rencakan?
Aku berlari di koridor yang sepi. Tapi kemudian terjatuh karena kakiku yang tiba-tiba saja merasa lemas. Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Lalu merasakan bulir-bulir air jatuh mengenai tanganku.
Kemudian aku menyadari bahwa air itu berasal dari mataku.
"Eh? Kenapa ini? Kenapa aku menangis?"
Seluruh tubuhku bergetar. Sudah diusap berkali-kali. Air mata itu tetap saja berjatuhan.
Aku sama sekali tidak mengerti. Ada apa ini? Kenapa tubuh ini menangis dengan sendirinya?
Dan, kenapa hatiku benar-benar merasa takut? Sebenarnya, apa yang terjadi?
Lalu dapat kudengar suara bisikan melewati telingaku.
"Ironis."
.
.
.
Tbc
A/n:
Lama-lama cerita ini makin slow update ya?
Kamu dapat peran putri? Wah selamat 🎉🎊 siapa nih yang kemarin kecewa?
Rayn udah mulai ekhem!
Lalu, apa sih yang dibicarain sama Grace dan Rayn? Kok mereka serius gitu? Kamu bisa nebak?
Dan suara bisikan siapa yang lewat itu?
Oh ya, Ruru mau kasih pengumuman. Ruru bakalan hiatus dulu sampai 2 minggu kedepan dikarenakan you know lah ya belajar habis-habisan lalu ujian. Doain aja nilai ujian Ruru bagus ya 😳
Semoga kalian sabar menunggu cerita ini sampai Ruru selesai ujian.
Oh! Oh! Dan satu hal lagi!
Jadi gini
Ekhem
Karena bakalan lama dan biar kalian bisa kirimin semangat buat Ruru. Ruru buka QnA 👉👈 tapi khusus buat para karakter yaw~
Tanya buat siapa aja boleh, mau tanya sama author boleh, Rayn, Grace, Rena, Mey, dan para abang abang yg overprotektif juga boleh.
Ditulis ya mau tanya sama siapa. Contoh: Author: umur berapa kak?
Ayo tanya banyak banyak 😳 semakin banyak maka kemungkinan makin cepet publish semakin tinggi, ehehe //halah
Tanya aneh aneh juga boleh 😳 asal jangan sara or 18+ ya~ ehehe
See you chapter depan all, muah💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top