21. Injury

Kami semua berkumpul di ruang tamu begitu aku ketahuan memaksa Rayn untuk mengerjakan tugas dirumahnya. Aku tidak tahu kenapa Gempa bisa ada disana. Tapi kata Taufan, SMA mereka juga tiba-tiba mengadakan rapat guru. Jadi, Gempa berinisiatif untuk melihat SMP dan SD tempat ketiga adiknya bersekolah.

Dan tak disangka, Gempa menemukanku tengah memaksa Rayn untuk mengerjakan tugas dirumahnya. Gempa tentu saja marah, bukan tanpa sebab, ia berpikir aku seenaknya saja pergi tanpa seizinnya.

Akhirnya kami disini, semuanya entah kenapa ikut berkumpul. Aku dapat melihat Rayn jadi gugup. Meskipun ia telah menelepon ibunya karena mau mengerjakan tugas kelompok dirumah teman, tetap saja ia harus pulang cepat karena kondisi fisiknya tidak memadai.

"Abang-abang kenapa sih liatin [name] mulu. Mending pergi sana, kerjain peer." Usirku dengan tegas. Taufan memperlihatkan wajah sedih, sok dramatis. "Teganya adik kecil kita mengusir kita seperti ini." Ia mengelap matanya yang nyatanya tidak ada setetes pun air keluar dari sana.

"Abang semuanya cuman ganggu tahu, lihat Rayn jadi gugup gini. [Name] cuman mau ngerjain tugas biar Rayn bisa pulang cepat." Aku masih memaksa mereka untuk pergi. Halilintar mendekat lalu mengusap kepalaku, "Kalau gitu kerjain cepat-cepat biar cepat selesai."

Bilang aja mau ngusir Rayn.

"Dah lah ngantuk." Ice duluan yang minggat dari sana. Solar angkat bahu, "Soal anak SD pasti mudah, [name] kan sejenius aku." Lagi-lagi dia membanggakan diri sendiri. Aku dapat melihat banyak ilusi bunga disekitarnya.

"Kalau begitu Upan mau bikinin cemilan buat [name]. Tunggu ya." Taufan melesat pergi dari sini.

Tunggu, buatku doang? Rayn enggak?

Gempa juga bangkit. "Hari ini mendung, Gempa mau angkat baju dulu." Ia juga lalu pergi dari sini. "Blaze sama Duri kerjain peer nya ya." Pesan Gempa ketika dia sudah pergi. Blaze berjalan dengan tidak niat. "Siapa sih pembuat peer? Pengen ku geprekin," Keluhnya.

"Orangnya udah mati, bang Blaze mau geprekin mayat?" Sahut Duri dengan nada polosnya. Suatu kata yang tidak di sangka dari seorang sepolos Duri. "Ihh nggak jadi deh." Blaze merinding.

Halilintar juga berdiri. Namun ia keluar rumah. "Mau kemana bang Hali?" tanyaku. Ia memperhatikan sebentar lalu melangkah lagi. "Ada urusan." Setelah itu ia benar-benar pergi.

Aku melanjutkan menulis. Rayn juga sudah tidak terlihat gugup lagi. Ia sekarang lebih santai. Ia menyodorkan selembar kertas padaku. "Aku nggak tahu Grace itu suka pelajaran apa, jadi bagian dia kita kosongin dulu."

Aku melihat tulisan bahasa inggrisnya yang sempurna. "Waaaahhh!! Kau hebat Rayn, inggrismu bagus banget." Aku memegang kertas dengan berbinar-binar. Meskipun dia hanyalah anak kelas 6 SD. Tak kusangka ia punya kepintaran seperti ini.

"Ah tidak juga, ayahku orang Amerika jadi aku mempelajari bahasa inggris darinya." Ia mengelus tengkuknya. Wajahnya yang pucat itu tersenyum tipis. Membuat dia terlihat manis sebagai bocah laki-laki.

"Baiklah, giliranku kan? Emm... Aku suka pelajaran matematika."

"Matematika? Serius?" Aku mengangguk. "Kenapa? Apa aneh?"

"Ah nggak, tak kusangka kamu suka matematika. Kupikir kamu suka seni budaya atau sejarah."

Mendengar kata 'sejarah', aku mengipas kepala dengan tangan. "Sejarah? Huwaa nggak deh, aku paling benci sejarah."

"[Name]!"

"Eh iya?"  Aku sedikit terkejut karena dia memanggil namaku dengan nada sedikit tinggi. Ia memandangku dengan serius. Kemudian mengalihkan pandangannya lagi lalu muncul rona merah di pipi.

Apa aku salah soal sejarah tadi?

"Tidak, hanya saja... Bisakah kamu memanggil dirimu dengan nama saja seperti tadi? Bukan pakai 'aku'?" Aku menatapnya bingung. Ia lalu kelabakan dan rona merah di pipinya makin menjadi. "A-ah tidak usah dipikirkan."

"Oke."

"Hah?"

Aku memiringkan kepalaku. "Nggak masalah kok? Kalau Ryan maunya begitu." Aku tersenyum. "Ryan sukanya yang polos-polos begitu ya."

Rona merahnya makin menjadi. Tahu-tahu dia sudah menyembunyikan wajahnya dibalik kedua tangannya. Telinganya pun terlihat memerah. "N-nggak juga."

Hoo, enak juga jahilin anak ini nih.

"Kok Rayn nutupin muka? Kenapa gak liat [name]? [name] jelek ya?" Aku mengarahkan wajahku mendekatinya. Namun dia terus-menerus menghindar dengan kedua tangan yang masih menutupi wajahnya. "B-bukan begitu... [N-name] c-can..."

Aku sedikit menyeringai tanpa ia sadari. "Eh? Can apa? Liat [name] dong."

Aku menarik tangannya. Akhirnya wajahnya yang sudah merah padam itu kelihatan. Ia terlihat gagap. "A-aa... I-itu anu..."

"Ya?"

"[Name] c-cantik kok." Suara terdengar berbisik. Tapi sudahlah, tidak baik menganggu percintaan anak-anak. Gadis ini atau bisa dibilang [name] yang kupinjam tubuhnya pasti cocok dengan anak ini. Mereka benar-benar mempunyai wajah yang bagus.

"Wah makasih!" Aku tersenyum riang. Rayn sedikit terpana sebelum lagi-lagi memalingkan wajah. "T-tidak masalah."

Prak!

"Eh?"

Kami berdua menoleh ke arah seseorang yang terbengong melihat kami. Nampan berisi biskuit semuanya jatuh dan buyar di lantai. Mata safir birunya membelalak tak percaya. Terlihat bulir-bulir air mata di ujung pelupuk matanya.

"HUWAAAAA!!! [NAME] UDAH BISA BUCIN."

HEH! GAGITU!!

.

.

.

Dikamar yang gelap itu. Terlihat seorang gadis terbangun dari tidurnya. Ia meringis saat hendak duduk.

Ia memperhatikan sekujur tubuhnya. Terdapat perban di beberapa bagian tubuhnya. Ia berdecak kesal. "Sialan," umpatnya kesal. Lalu memperhatikan jam yang menunjukkan pukul 7 pagi.

Ia memutuskan turun dari ranjang diiringi dengan suara ringisan kecil. Langkahnya tertatih menuju lemari miliknya. Ia membuka lemari dan mengambil seragam sekolah miliknya lalu memakainya. Ia juga merapikan rambutnya dan mengikat ponytail.

Bagian lengan, kaki, dan wajah terdapat beberapa goresan luka. Namun ia abaikan karena sudah mengering. Ia hanya memakaikan plester di wajahnya saja.

Setelah itu mengambil tas dan keluar dari kamar. Langkahnya sudah ia paksakan normal. Meski sakit, tak ada alasan lebih untuk dia bolos sekolah hari ini.

"Mau pergi?"

Langkahnya terhenti di depan rak sepatu saat seseorang bicara. Ia menoleh, menemukan seorang gadis yang sebaya dengannya tengah menatap ke arahnya. "Lebih baik kau istirahat, Grace."

Grace mendengkus. "Tak perlu kau khawatirkan aku, urus saja dirimu sendiri, Rena." Grace mulai menunduk. Mengambil sepatu miliknya dan mulai memakainya.

"Apa yang kau lakukan hingga bisa pingsan seharian?" Rena bertanya lagi. Namun pertanyaan ini lantas membuat Grace terhenti saat hendak mengikat tali sepatu.

"Seharian?" Dahinya berkerut. Ia menatap Rena, meminta penjelasan.

Rena mengangguk samar. "Dua hari yang lalu, kau dibawa pulang oleh seorang laki-laki kerumah dalam keadaan pingsan dan tubuhmu dipenuhi luka. Setelah itu, kau tidak sadarkan diri hingga sekarang." Wajah Grace tiba-tiba tampak tak senang. Ia bahkan menggigit bawah bibirnya dengan kuat.

"Laki-laki itu, apa dia—"

"Bukan siapa-siapa," potong Grace cepat. "Lupakan saja, dia tidak penting." Grace kembali mengikat tali sepatunya. Berusaha menetralkan kerutan diwajahnya.

Rena diam. Tidak mau bertanya lebih jauh tentang laki-laki itu. Tapi dia akan bertanya tentang hal lain. "Omong-omong, apakah kau yang membuat para pembully itu keluar dari sekolah?"

Grace terdiam lagi, lalu terkekeh samar. "Untuk apa aku melakukan itu? Hanya buang-buang waktu."

"Lalu, kenapa kau tidak membunuhku?" Rena masih tidak paham dengan pikiran Grace. Grace itu misterius. Meskipun sudah tinggal serumah dengannya selama 4 tahun. Rena tidak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi pada Grace hingga dia bisa menjadi psikopat seperti itu. Walaupun Rena tidak pernah benar-benar melihat Grace membunuh orang lain, namun semua mayat di ruang bawah tanah itu adalah bukti untuknya.

Grace menghela nafas panjang lalu berdiri membelakangi Rena. "Kalau kau bilang karena tubuhku penuh luka, itu alasan klasik. Padahal kau bisa menyembuhkan luka itu dan langsung membunuhku. Tapi kau malah membiarkan aku sekolah dan menjalani hidup normal." Rena berbicara lagi sebelum sempat Grace memberi penjelasan.

Grace tertawa sesaat, meski wajahnya itu tidak terlihat oleh Rena. "Sudahlah, yang harus kau lakukan hanyalah hidup sampai saat itu. Tidak lebih!"

"Terima kasih."

"Hm?" Grace sedikit melirik melalui ekor matanya. Agak terkejut dengan ucapan seorang Rena padanya.

"Entah apa yang akan kau rencanakan padaku. Tapi terima kasih. Karena kau, aku bisa bersekolah, bisa merasakan hidup layaknya keluarga tanpa ada hinaan dan cercaan dirumah ini." Rena sedikit menunduk. "Aku bisa makan semeja dengan kalian, bisa melakukan aktivitas normal, bisa tidur tanpa perlu menutup telinga, bahkan tidak perlu merasakan rasa sakit dirumah."

Hening melanda. Rena sudah selesai dengan bicaranya namun Grace hanya diam. Ia kembali memalingkan wajahnya dari Rena. "Omong-omong yang mengobati lukaku adalah kau kan? Terima kasih."

"Eh?"

Grace berjalan maju tanpa memperdulikan Rena dibelakang. Ia meraih kenop pintu sebelum menemukan dua orang dewasa baru keluar dari kamar. Menatap Grace dengan ragu. Namun Grace tersenyum ceria kearah mereka berdua. "Grace pergi dulu paman, bibi."

"A-ah iya hati-hati di jalan nona."

Grace memutar kenop pintu dan membukanya lalu berjalan keluar. Ia mulai berlalu keluar dari halaman rumah dan memperhatikan jalanan.

"Wah, bolos sehari."

.

.

.

Grace sampai di depan kelas. Sedikit menghela nafas kasar karena terlambat masuk. Itu karena di rumah tadi ia kebanyakan berbincang dengan Rena.

Ia menghirup nafas dalam lalu menghembuskannya pelan. Ia masuk ke dalam kelas dan seketika semua orang menoleh ke arahnya. Terlihat [name] dan Rayn tengah berdiri didepan kelas sambil memegangi selembar kertas.

"Grace? Kamu sudah sembuh?" Sang guru menghampiri Grace. Ia memperhatikan anak muridnya itu dengan tatapan sendu karena plester di wajahnya. "Kemarin orang tuamu mengirim surat izin, katanya kamu sakit. Kamu baik-baik saja?"

Grace tersenyum kecil menanggapi kekhawatiran sang guru. "Gapapa kok bu."

Grace sedikit mengintip [name] yang tengah berdiri di depan kelas. "Mereka sedang apa bu?"

"Oh itu persentasi kelompok. Ibu kemarin membentuk kelompok untuk membuat dialog percakapan dan mempresentasikan hasilnya di depan kelas."

"Kalau begitu saya kelompok mana?"

"Oh." Bu guru mengarahkan tangannya ke arah [name] dan Rayn. "Kamu kelompok mereka tapi karena kamu tidak datang kemarin, kamu bisa duduk saja."

Grace sedikit tersenyum kecil, "Tidak apa-apa." Ia lalu menghampiri [name] dan Rayn, berdiri di sebelah Rayn yang memegangi selembar kertas itu.

"Tentang apa?" tanyanya. Rayn terlihat gugup lalu melihat isi kertas. "Ah i-itu, kami membicarakan tentang pelajaran kesukaan."

"Hem... Okeh mulai aja, aku bisa nambahin sendiri." Grace memperhatikan bagian dialognya yang kosong. Yang memang seharusnya diisi olehnya.

"Eh tapi itu bahasa inggris." [Name] bersuara disamping Rayn. "Kau tak tahu? Aku Amerika-Malay, aku bisa bahasa inggris tanpa perlu melihat teks."

"O-oh." [Name] sedikit cemberut. Ternyata dikelompoknya adalah orang-orang separuh negara semua.

"Kalau begitu silahkan dimulai." Sang guru kembali ke tempatnya. Dialog pertama dimulai oleh Grace.

"Hallo everyone, wanna talk about something?"

.

.

.

Tbc

A/n:

Hallo, dah lama gak berjumpa hihi!

Maaf ya, nggak bisa sesering dulu lagi updatenya karena udah mulai sekolah offline

And, jeng jeng!! Fakta baru lagi tentang Grace.

Loh ternyata seharian dia pingsan?

Siapa laki-laki yang membawa Grace pulang kerumah?

Kenapa tubuh Grace penuh luka?

Dan, ekhem cie ciee yang godain anak kecil. Ingat umur ya XD //ditabok reader//

Segitu dulu, see you next time~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top