2. Look for Clues
Aku duduk tepat didepan abangku yang lain--Taufan--sedang menyisir rambutku. Aku merasakan bahwa ia sekarang sedang mencoba berbagai macam model dengan rambutku. Karena sedari tadi, ikatan yang harusnya ponytail malah menjadi kucir dua. Dan entah kenapa aku bisa mendengar dia terkekeh setiap mengganti model rambutku.
Aku sudah selesai mandi sedari tadi. Tepat ketika Halilintar menyuruhku masuk untuk mandi. Ternyata Gempa saat itu baru kembali ke dapur dan langsung menarikku. Dia mengatakan hal yang sama kepada Halilintar agar aku mandi sendiri sebab sudah besar.
Gempa adalah penyelamat harga diriku.
Semua alat-alat mandi diturunkan dan keran dihidupkan. Meski menunggu agak lama, akhirnya bak mandi penuh dan aku bisa mandi.
Dan lagi, aku menemukan fakta mengejutkan. Tepat diperutku, ada bekas jahitan yang cukup besar. Kira-kira sebesar tusukan pisau dapur. Aku bergidik ngeri melihat jahitan itu. Tapi tampaknya sudah tertutup sempurna. Mungkin karena itulah dokter mengatakan bahwa aku hilang ingatan karena trauma. Mungkin ada hubungannya dengan bekas tusukan ini.
Tapi siapa yang melakukannya?
Aku menduga pelakunya adalah salah satu dari ketujuh saudaraku. Tapi jika memang benar begitu maka seharusnya aku dijauhkan dari salah satu orang tersebut. Dan berdasarkan kata 'trauma' itu artinya luka tusukan ini disengaja. Dan lagi-lagi ini menjadi misteri besar untukku.
Tidak sebenarnya, semua yang ada disini adalah misteri untukku. Maka dari itu, aku harus menguak misteri itu satu-persatu agar aku bisa kembali ke dunia asalku.
"Wah~ [name] lucu banget." Duri tiba-tiba muncul dihadapanku dan menatapku menggunakan mata hijaunya yang besar. Terlihat lucu sekali. Dia lalu terkekeh dan membuat wajahnya sangat manis. Sial, padahal harusnya aku yang lebih manis disini.
"Ehehe kucir dua memang manis untuk [name], dari dulu aku ingin coba menguncir [name] seperti ini." Taufan terkekeh. Memperhatikan mahakaryanya--yaitu diriku--dengan sangat bangga. Kemudian mengangkatku dan memindahkanku untuk duduk dipangkuannya. Lalu memelukku dari belakang seolah aku boneka.
Baiklah tahan [name], jangan mimisan ditempat.
Kemudian Blaze datang dan membuka televisi. Ia memperhatikanku sejenak. "Wah lucu juga, kayak boneka."
"Iya kan?"
Aku hanya diam. Memperhatikan siaran yang sedari tadi terus ditukar-tukar karena mereka tidak menemukan yang bagus. Kemudian tatapan mereka beralih padaku. "[Name] bosan gak? Mau main?" tawar Blaze. Taufan dan Duri mengangguk setuju sambil tetap memperhatikanku.
"Main apa?" tanyaku.
"Jalan-jalan aja gimana? Mumpung [name] cantik begini." Aku akhirnya mengangguk setuju. Jalan-jalan tidak masalah, pikirku.
Mereka bertiga bersorak ria sebelum akhirnya menggandeng tanganku untuk pergi. Tangan kiri dipegang Taufan dan tangan kiri dipegang Duri. Entah kenapa rasanya sangat familiar. Seperti sesuatu yang aku rindukan.
Aku mengikuti langkah mereka. Mereka berjalan dengan pelan agar aku bisa menyamai langkah panjang mereka. Kemudian berhenti disebuah sekolah dasar.
"Lihat? Itu sekolahmu [name]. Nanti kau akan sekolah lagi kalau kau sudah merasa lebih baik." Taufan menunjuk ke sekolah itu. Aku memperhatikannya dengan baik. Sekolah dengan gedung beberapa tingkat dan halaman sekolah yang luas. Sepertinya akan menyenangkan untuk kembali bersekolah dasar. Pelajarannya pasti sangat mudah.
"[Name] sudah lebih baik kok. Besok [name] boleh sekolah?" tanyaku. Jangan lupa dengan nada suara khas anak kecil dan mata memelas. Aku rasa aku akan betah menjadi anak kecil. Apalagi punya 7 abang yang cakep semua.
Mereka agak lama memandangiku. "Tanya bang Hali sama Gempa deh, bang Upan enggak tahu." Taufan mengelus tengkuknya.
Setelah itu mereka beranjak lagi dan berhenti disebuah kafe. Disana, mereka memilih tempat yang dekat dengan jendela. Blaze beranjak untuk memesan sesuatu. Selagi menunggu, sepertinya aku bisa bertanya-tanya sesuatu dengan kedua abangku ini.
"Bang Upan."
Taufan sontak memandangiku. Matanya agak terkejut namun ia segera tersenyum lebar.
"Hee~ Duri juga mau dipanggil abang sama [name]." Duri merengek. Ia menatapku dengan puppy eyes nya.
"Bang Duri." Setelah itu terlihat Duri yang senyumnya merekah. Ia terlihat sangat bahagia entah kenapa. "Hehe akhirnya [name] memanggilku abang."
Hah--?!
Blaze sudah kembali dengan sebuah nampan. Ia meletakkan nampan itu diatas meja dan terlihat beberapa minuman. Blaze menyerahkan segelas es coklat bertopping stoberi padaku.
"Aku gatau kesukaanmu apa, jadi kubelikan es coklat aja. Gapapa kan?" Aku mengangguk kemudian meminum es coklatku. Rasanya membuatku tertegun sejenak, benar-benar enak.
"Makasih Abang Blaze."
"Ohok--!" Blaze yang meminum-minumannya tiba-tiba keselek. Ia memukul-mukul dadanya lalu memelototiku. "Kamu tadi panggil aku apa?"
Aku terdiam sejenak. Agak bingung sekaligus jadi takut. "A... bang Blaze."
Tiba-tiba wajahnya berseri. Walaupun tidak tersenyum lebar seperti Taufan atau terkekeh senang seperti Duri. Aku yakin bahwa dia juga sedang senang.
"Haha! Duh Blaze, aku tahu kamu senang tapi wajahmu kondisikan dong." Taufan tertawa terbahak-bahak diikuti Duri yang terkekeh. Blaze hanya cemberut lalu menutup wajahnya. "Gapapa dong senang, gangguin orang senang aja," gerutu Blaze.
Aku hanya tersenyum kecil lalu kembali menyeruput es coklatku.
"Oh iya tadi [name] manggil bang Upan ada apa? Mau ngomong sesuatu?" Taufan tiba-tiba bertanya. Aku hampir saja melupakan hal itu. Itu karena Duri yang memotong pembicaraan.
Aku harus memastikan kondisiku saat ini dulu.
"Anu... orangtua kita kemana?" Aku teringat sesuatu saat ada dunia ini. Dirumah itu, aku tidak menemukan adanya tanda orangtua kami atau wali. Hanya ada mereka bertujuh dirumah itu.
"Orang tua kita pergi kerja diluar pulai ini, jadi jarang bisa ketemu." Taufan terlihat sedikit ragu saat mengucapkannya.
"Mereka enggak jenguk [name]?" Pertanyaanku membuat mereka bertiga sedikit tersentak. Lalu saling bertatapan sejenak. "Mereka sangat sibuk jadi enggak bisa jenguk [name]." Lagi-lagi Taufan yang menjawab disertai senyumannya. Ia mengelus kepalaku pelan. "[Name] kangen bunda sama ayah ya? Lain kali bakal ketemu kok."
Aku mengangguk kecil.
Sepertinya soal orangtua, aku harus mencari tahunya sendiri.
"Kenapa [name] punya luka tusuk diperut?"
Setelah perkataanku barusan. Atmosfir tiba-tiba menegang dan mereka semua terdiam. Aku bisa lihat mereka yang sepertinya enggan untuk berbicara.
Lalu aku sadar sesuatu. Sepertinya, aku tidak boleh membahas ini sama sekali dihadapan mereka semua.
.
.
.
Tubuhku serasa lelah dan dengan segera kubaringkan tubuhku diatas ranjang. Sembari menatap langit-langit kamar yang polos. Aku menerawang jauh memikirkan kehidupan anak kecil yang tubuhnya sedang kuambil alih ini. Sebenarnya siapa anak kecil ini?
Apakah aku adalah anak yang diculik?
Tapi itu mustahil, soalnya wajahku sangat mirip dengan mereka bertujuh. Jika aku memang benar adik mereka, kenapa mereka bertingkah seolah-olah--
--selama ini aku tidak bersama mereka?
Sebenarnya apa yang terjadi?
Dan luka diperut yang seperti tusukan pisau dapur ini. Bagaimana mungkin seorang anak kecil mendapatkannya.
Sebenarnya, sudah berapa lama anak ini tinggal dengan ketujuh saudaranya?
Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Lantas memasang pose berpikir sembari melihat keluar jendela.
"Apa ya? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Aku memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur dan memperhatikan kamarku dengan lebih jelas. Mana tahu ada diary disini. Itu bisa sedikit membantuku mengetahui apa yang terjadi disini.
Aku membuka laci-laci meja belajar dan mengecek satu-persatu buku disana. Melihat kolong tempat tidur atau sekelilingnya. Membuka lemari dan memperhatikan setiap sisinya. Entah kenapa, sepertinya kamar ini terlampau rapi. Dan aku tidak menemukan diary itu sama sekali.
Aku kembali duduk didekat meja belajar dan merapikan buku-buku yang tadinya aku keluarkan. Satu buku terjatuh ketika lenganku tidak sengaja menyenggol tumpukan buku. Aku segera mengambil buku yang jatuh itu. Ia terbuka disebuah halaman yang cukup jauh.
Sebuah tulisan disana menghentikanku untuk menutup bukunya. Tulisan yang ditulis secara asal, namun ini adalah bukti penting untukku.
Aku tidak berhak hidup.
Tanpa kusadari, bibirku tergerak untuk tersenyum. Anak ini sama sekali tidak pernah membuat diary. Itu berarti, semua catatan mengenai hidupnya ada di masing-masing buku dimana halamannya asal dan tidak beraturan.
Dengan segera, aku membuka satu-persatu buku itu.
.
.
.
"Gempa."
"Iya kak?" Gempa menoleh memperhatikan kakak sulungnya yang memperhatikan.
"Anak itu, dimana dia?"
"Sepertinya dikamar. Dia baru saja pulang habis berjalan-jalan dengan kak Taufan." Gempa melepaskan apronnya dan duduk disamping Halilintar. "Dia kelihatan lelah, memangnya ada apa kak?"
"Tidak. Kau sudah membersihkan kamarnya kan?"
Mendengar itu, Gempa tersenyum kecil. "Sudah kak, semuanya sudah kurapikan. Dan barang-barang itu sudah kusingkirkan."
Halilintar menghela nafas lalu bersender dikursi. "Baguslah."
Tepat saat itu, Taufan melewati mereka dan menuju kulkas. Mengambil air dingin dan menyeka keringat didahinya.
"Taufan." Kali ini Halilintar ingin menanyai adiknya yang satu lagi.
"Iya kak?" Taufan menoleh, melihat kakaknya yang memperhatikan dengan serius. "E-eh ada apa kak? Kok serius begini?"
"Apa disana, [Name] bertanya sesuatu?"
"A-ah itu..." Taufan menggaruk kepalanya meski tidak gatal. "Dia bertanya tentang orang tua kita dan tentang luka tusuk diperutnya."
"Aku bilang orang tua kita bekerja diluar pulau dan kalo tentang luka perut..." Taufan diam sesaat. "Aku tidak menjawabnya," lanjutnya.
Halilintar mengangguk. "Begitu."
"Bagaimana dengan buku diary?"
"Kalo itu, Gempa sama kak Taufan enggak nemu dimana-mana." Gempa menatap sang kakak. Mata rubynya menilik kearah Taufan maupun Gempa.
"Berarti dia enggak punya buku diary, ya sudahlah." Halilintar berdiri, hendak beranjak dari sana.
"Mau kemana kak?"
"Ngecek kamar [Name]." Setelah itu ia berlalu begitu saja dan meninggalkan kedua adiknya di dapur.
Halilintar sampai didepan kamar dan memegang kenop pintu sebelum berhenti karena mendengar suara dari dalam. Suara berlembar-lembar kertas yang dibuka secara terburu-buru. Kemudian disusul oleh suara [Name]. "Akhirnya ketemu."
Deg!
Apa yang ia temukan?, pikir Halilintar yang semakin khawatir. Jika [Name] menemukan diary itu maka habis sudah. Hubungan mereka bisa hancur seperti dulu.
Tidak boleh.
'Cklek!'
"[Name]." Halilintar masuk begitu saja. Mendapati adik perempuan bungsunya itu terkejut melihat kehadiran kakaknya diambang pintu.
Halilintar memperhatikan ada banyak buku berserakan dilantai. "Apa yang kau lakukan, [Name]?"
Gadis itu tersenyum kecut. Sudah terlambat untuk menyembunyikan semua buku yang telah ia buka.
Apa yang harus aku katakan?
.
.
.
Tbc
A/n:
Udah lama banget aku gak update cerita ini.
Maaf banget soalnya pas nulis setengah tiba-tiba ide buntu. Pas muncul ide malah writerblock.
Dan malah banyak kejadian-kejadian yang bikin aku badmood hingga ide lanjutin cerita ini nggak muncul samaa sekali.
Akhirnya aku memutuskan untuk tenang dan berusaha lanjutin ini sedikit demi sedikit.
Kalau kacau maafin deh, badmood itu susah banget ilanginnya. Aku paling ga suka kalo badmood dah.
Tapi kalo lagi goodmood. Dalam satu hari bisa bikin sampai 3 chapter. Apalagi kalo setiap hari goodmood. Beuh, dalam sebulan bisa tamat itu cerita.
Nah oke kita bahas chapter kali ini.
Chapter kali ini membahas tentang [name] yang berusaha buat mencari tahu kehidupan gadis ini sebelum dia ambil alih.
Banyak poin-poin penting disini yang bisa dijadikan acuan dan clue.
Nah, aku bisa kasih kalian satu clue.
"Ehehe kucir dua memang manis untuk [name], dari dulu aku ingin coba menguncir [name] seperti ini." Taufan terkekeh.
Nah kukasih yang ini aja deh. Kayaknya bakalan banyak yg nggak ngeh dibagian ini.
Aku gamau jelasin banyak-banyak sih, itu doang hehe. Cari tahu sendiri ya~
Oh ya, aku berencana buat fanfiction kali ini nggak banyak-banyak chapternya kayak kemarin. Jadi mulai chapter depan, akan kubuat satu-persatu masalahnya kebongkar.
Dah itu aja deh,
See you in the next chapter~
Babay~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top