18. Happy birthday

Langit kemerahan telah menandakan bahwa hari sudah sore. Dan memberitahu bahwa mereka sudah cukup lama berbincang. Angin sepoi sore hari berhembus pelan. Menambah suasana diantara keduanya yang kini terdiam setelah Rena selesai bercerita tentang kisah masa lalunya.

"Aku sempat masuk rumah sakit jiwa. Namun dikeluarkan lagi karena ternyata aku masih waras." Rena tertawa mengejek. Ia mengejek dirinya sendiri yang kenapa saat itu tidak berpura-pura gila saja. Jadi ia tidak perlu mendapat penghinaan sebesar ini dalam hidupnya.

"Jadi Grace itu... Psikopat?" [Name] sedikit merinding ketika mengatakan hal itu. Padahal, selama ini ia selalu berada disekitar Grace. Karena memang Grace sendiri yang mendekatkan dirinya pada [name] ketika ia terbangun ditubuh gadis ini.

"Bisa dibilang begitu. Tidak ada yang tahu mengenai hal ini kecuali aku dan kau." Rena menatap langit sore. Sedikit menerawang ke masa lalu dimana bisa-bisanya terjadi hal gila seperti itu. Rena benar-benar merutuki nasibnya.

"Cerita yang cukup gila." [Name] meringis  ngeri. Tidak sanggup membayangkan jika ia pernah berada di posisi itu.

"Kau tidak mau pulang? Ini sudah sore, abang-abangmu pasti akan mencari." Rena hendak berdiri dari duduknya sebelum [name] menggeleng. Rena mendengkus kecil sembari tersenyum samar. "Kau ini, nggak jauh beda sama [name] yang asli."

[Name] sedikit terkekeh mendengarnya. "Sebenarnya namaku dan [name] mirip loh." Rena sedikit tertarik. "Benarkah?"

[Name] mengangguk sebagai balasan.

Manik ungu Rena menatap langit sebelum kembali menatap manik coklat [name].

"Karena kau tidak mau pulang. Bisakah kau ceritakan padaku tentang dunia aslimu?"

[Name] terdiam sejenak. Kemudian tersenyum kecil sembari mengangguk samar. "Tidak masalah, aku bisa menceritakannya padamu."

Tidak peduli dengan hari yang mulai malam dan jalanan yang sepi. Bercerita kini telah menarik perhatian mereka sepenuhnya.

"Aku akan mempersingkat saja."

"Tidak masalah."

Setelah mendapat persetujuan dari Rena. [Name] mulai bercerita mengenai kisah aslinya.

"Aku anak yatim piatu dan tinggal bersama bibi di desa. Namun karena aku ingin mendapatkan ilmu yang lebih baik, aku memutuskan untuk pergi ke kota dan hidup sendirian. Aku berhasil mendapatkan beasiswa dan kemudian dipindahkan ke sekolah ternama disana."

"Kamu... SMA?" Rena bertanya. [Name] mengangguk kecil. "Yep! Saat dipindahkan di sana tepat kenaikan kelas 3. Aku bertemu dengan Mey."

Alis Rena berkerut. Merasa sedikit familiar dengan nama tersebut. "Mey?"

[Name] mengangguk lagi. "Aku tidak punya teman saat itu dan Mey adalah teman pertamaku." Wajah [name] terlihat senang saat bercerita tentang Mey. Namun tiba-tiba menjadi murung. "Tapi karena suatu masalah, hubungan pertemananku dan Mey menjadi renggang."

"Masalah apa itu?"

[Name] tersenyum pahit. Agak tidak rela untuk menceritakannya. "Mey sepertinya menyukai seorang laki-laki namun laki-laki gila itu malah menyukaiku."

Rena sedikit tercengang. Masalah anak remaja rupanya. "Oh."

"Mey makin jarang bertemu denganku dan kulihat dia selalu bersama laki-laki itu."

Rena mulai resah. Ia mengetuk tanah dengan ujung sepatunya. "Bagaimana rupa laki-laki itu?"

"Dia itu anak populer. Jadi ia pasti tampan dan banyak uang."

Rena memotong. "Bukan! Maksudku... Cirinya."

"Oh." [Name] mencoba mengingat. "Tinggi, berambut pirang kemerahan dan bermata biru."

"Oh." Rena memalingkan wajah. Sedikit berpikir mengenai cerita [name] barusan.

Mey dan seorang laki-laki berambut pirang.

"Laki-laki itu psikopat! Dia menculik Mey dan mengatakan bahwa ia akan membunuh Mey jika aku tak mau bersamanya. Tentu saja aku tak mau bersamanya namun aku juga tidak mau meninggalkan Mey." Rena mangut-mangut. Merasa sedikit familiar mendengar cerita ini. "Lalu, apa tindakanmu?"

[Name] terdiam sejenak. Ia menggigit bibirnya dengan raut kesal ditambah bersalah. "Aku mengambil kesempatan disaat dia lengah dan memukulnya. Aku melepaskan Mey namun..." Ucapannya terhenti. Rena masih setia menunggu lanjutannya.

"Mey tiba-tiba malah menusuk perutku dengan pisau dan mengatakan 'maafkan aku, mari bertemu dikehidupan selanjutnya' dan saat terbangun. Aku berada disini."

Mata Rena membelalak. Netra ungunya terlihat bergetar. "Mey—ah... Begitu rupanya..."

Senyuman Rena saat itu membuat [name] merinding. Ia hanya memperhatikan sebelum wajah Rena kembali normal dan tersenyum ke arahnya.

"Cukup asik berbincang denganmu. Namun sepertinya sudah ada yang menjemputmu ya."

"Jemput?" [Name] terlihat cengo sesaat sebelum sadar dan menoleh ke arah sebaliknya. Disana, Solar berjalan ke arah mereka berdua. Lalu berhenti tepat dihadapan [name] yang tengah duduk di ayunan. "Ayo pulang, yang lain menunggu."

[Name] sempat mematung karena terkejut dengan kedatangan Solar yang tiba-tiba.

Apa dia mendengar semuanya?

"Tidak." Suara itu berasal dari Rena yang tersenyum ketika [name] menoleh padanya. "Tenang saja, tidak kok."

Peka sekali!!

"K-kalau begitu [name] pulang dulu ya kak Rena." [Name] sedikit terbata-bata. Solar menggandeng tangan [name].

"Oh ya [name]." Rena buru-buru menghampiri [name] yang hendak pergi. Ia memberikan sebuah jepitan rambut berbentuk petir berwarna merah. Jepit rambut yang telah lama Rena simpan karena lupa mengembalikannya sejak saat itu. Rena sedikit tersenyum melihat jepitan itu.

"Terima kasih saat itu sudah memberikan plester padaku." Rena bergumam samar. Tetapi [name] dengan jarang yang dekat dapat mendengar dengan jelas. "Tapi aku bukan—"

"Pokoknya. Jangan ulangi masa lalu, omong-omong jangan terlalu membenci Grace. Karena jika bukan karena Grace yang memberikan pertolongan pertama padamu. Kau pasti akan mati." Rena masih menggenggam tangan [name] yang menggenggam jepitan merah itu. "Kita akan bertemu lagi."

Setelah itu tanpa aba-aba. Rena langsung berlari pergi meninggalkan [name] dan Solar yang hanya menatapi kepergiannya.

Siluet Rena yang sedang berlari itu membuat [name] terasa familiar.

"Ya udah ayo pulang." Solar menarik [name] pergi dari sana. [Name] hanya patuh dan mengikuti abangnya yang satu ini.

.

.

.

"SELAMAT ULANG TAHUN, NAME!!"

Aku sedikit terkejut ketika saat membuka pintu dan menemukan rumah dalam keadaan gelap. Aku dikejutkan oleh kemunculan ayah dan bunda tengah memegangi kue ulang tahun besar saat lampu dihidupkan. Belum lagi teriakan melengking dari trio troublemaker yang membuat suasana semakin riuh.

Mereka menggiringku untuk duduk di atas sofa dan menaruh kue itu di hadapanku. Duri meletakkan sebuah topi ulang tahun di atas kepalaku sambil tertawa riang.

"Makasih ayah, bunda dan abang-abangnya [name]." Aku membalas dengan tersenyum manis dan membuat ketujuh pemuda itu memegang dada.

Takut jantungnya lepas.

"Ayo tiup lilinnya dan buat permohonan."

Aku berpikir ini kekanakan. Aku tidak pernah merayakan ulang tahun sebelumnya.

"[Name] harap [name] bisa terus bersama ayah, bunda dan abang-abang serta teman-teman [name]. Dan kita hidup bahagia." Setelah mengucapkan permohonan ala anak kecil. Aku meniup lilin kue tersebut dengan semangat. Begini-begini, aku juga ingin tahu rasanya ulang tahun dirayain.

"Amin." Mereka membalas ucapanku dengan riang pula.

"Nah! Ayo [name] mau suapin siapa dulu nih?" Sang ayah terlihat menggoda. Bunda meletakkan sepotong kue di atas piring kecil dan sebuah sendok. Aku membalas dengan senyuman ke arah lelaki itu. "Tentu ayah dan bunda dong."

Mereka sedikit tersipu. Aku menyuapi bunda lebih dulu. Kemudian perempuan itu mengusap kepalaku dengan lembut. Lalu aku ganti menyuap sang ayah. Ia memakannya dengan antusias dan senang.

"Nah ayo abang-abangmu lagi. Siapa yang bakalan duluan disuapin sama [name] nih?" Lelaki itu malah menggoda anak-anaknya. Bisa kulihat kerutan kesal diwajah ketujuh pemuda itu. Mereka memperhatikanku, menunggu siapa yang duluan akan kusuapi kue.

Mereka sepertinya sangat menginginkan suapan pertama ini.

Daripada seperti itu dan membuat satu dan lainnya ribut karena tidak mendapat suapan pertama dari mereka bertujuh. Aku mengarahkan sendok berisi kue itu ke mulutku sendiri dan memakannya.

"Nyam!"

"Eh?"

Mereka semua yang memperhatikan lantas cengo. Aku mengunyah kue itu kemudian tersenyum tanpa rasa bersalah.

"Daripada nanti abang-abang ribut karena suapan pertama. Mending suapan pertamanya buat [name] hehe." Aku menampilkan senyum lebar dengan gigiku. Mereka menghela nafas sembari tersenyum geli.

"Iya deh, suapan pertamanya buat [name] aja ya." Taufan mengusap rambutku dengan gemas. Halilintar mengusap bagian bibirku yang ternodai oleh krim kue. Lalu menjilat bekas itu tanpa rasa jijik. "Kalau makan jangan berantakan."

Gempa datang mengusap mulutku dengan sapu tangan sembari sedikit melotot pada si sulung. "Jangan asal jilat begitu, bang Hali gak boleh ajarin yang aneh-aneh ke [name] nanti dia malah ikut-ikutan jilat bekas punya orang." Raut wajahnya kesal.

Blaze ikut nimbrung sambil terkekeh. "Bilang aja bang Gempa cemburu."

Kue yang sudah ku sendok lagi jadi nganggur karena mereka ribut. Tak lama, Ice memakan kue dari sendok yang aku pegang. Membuatku sedikit terkejut karena ia yang tiba-tiba nongol. "Kasian nanti kuenya dihinggapi lalat."

Aku mengangguk kecil. Kemudian Duri yang melihat kami pun ikutan mendekatiku sambil menganga lebar. "Duri juga mau disuap [name]!" Aku mengambil kue itu dan menyuapinya ke Duri. Duri terlihat senang namun jadi belepotan karena krim kuenya.

Kue di piring telah habis. Aku kembali ke kue besarnya. Dapat kulihat Halilintar, Taufan, Gempa dan Blaze masih ribut masalah Halilintar tadi dan Gempa yang tidak mau mengaku kalau dia cemburu. Ice tengah berbincang sedikit dengan Duri. Sedangkan ayah dan bunda hanya memperhatikan anak-anak mereka sambil terkekeh.

Oh, dan dimana Solar?

Aku mencuil-cuil coklat dan krim di kue dan memakannya dengan tangan. Memang enak, coklat cukup enak juga jika dimakan sambil belepotan begini.

Aku mencomot satu potongan kue dan menggigitnya sedikit. Ku abaikan semua di sekelilingku dan sibuk pada kue besar itu. Kuenya manis namun tidak terlalu manis. Sepertinya gadis ini juga tidak terlalu menyukai manis. Manisnya tidak terlalu menyakiti gigi.

"Makan sendirian aja nih."

Sebuah suara di sampingku membuat aku sedikit terkejut. Saat aku menoleh, ku dapati Solar sudah berdiri di sampingku. Menatap kue di tanganku yang di penuhi oleh krim. "Oh ya, aku belum disuapi."

"Oh tunggu, [name] ambil sen—"

"Gak usah."

Ia meraih tanganku dan memakan kue itu langsung. Kue di tanganku telah direbut olehnya. Ia menghabiskan kue di mulutnya sebelum berbicara lagi.

Ia tersenyum miring. "Sudah kuduga, manis."

Ia tak kunjung melepas tanganku. Malah menjilati krim di tanganku dan membuatku sedikit tersentak.

"Eh, kata bang Gempa gak boleh jilat-jilat bekas orang."

Ia terhenti. Memandang kearahku dengan mata kelabunya yang ditutupi kacamata visor oranye. "Kamu adikku, bukan orang lain." Lagi-lagi ia tersenyum miring. "Tak masalah jika aku mengambil bekasmu."

Ajaran yang sangat tidak baik untuk anak kecil!

Kami berdua sama-sama menoleh ketika mendapati atmosfer tidak menyenangkan dari arah samping. Terlihat sisa pemuda lainnya menatap kami dengan pandangan terkejut. Serta ayah dan bunda yang melongo ke arah kami.

Kemudian, suara lengkingan serentak memecah malam damai ini.

"SOLAAAAAR!!!"

.

.

.

Tbc

A/n:

Flashbacknya udah selesai. Tinggal flashbacknya si [name], [name] yang asli, Grace dan Mey. Hadeh banyak bet 😂

Bagian cerita [name] dikit doang. Karena belum waktunya buat dia cerita.

Dan udahin dulu teorinya. Kita uwu uwu an dulu sama tujuh uhukcoganuhuk.

Gimana? Baper gak? Ya maap ruru gak bisa bikin yang baper-baper. Aman lah sama adik sendiri jadi bisa uwu uwuan sepanjang hari //ditendang

Oiya, menurut kalian. Kenapa Rena gelisah pas dengar [name] cerita masa lalunya dan siapa laki-laki itu? Ruru tau banget dipikiran kalian siapa XD

Okey segitu dulu. See you next time~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top