16. Flashback Rena (2)
Rena termenung dikamarnya sendirian. Wajahnya masih shock karena perkataan sang bunda kemarin sore. Tentang ia yang akan diadopsi oleh sebuah keluarga.
[Name] mengucapkan selamat kepadanya dan [name] ingat janjinya untuk pulang kerumah. [name] sekarang sedang mengucapkan perpisahan kepada yang lainnya. Rena memilih untuk tidak ikutan. Lagipula dari awal orang sepanti ini membencinya.
Ia memang sudah diharapkan untuk pergi dari sini secepatnya.
Anak aneh sepertinya.
Rena sudah selesai berkemas. Tidak banyak, hanya beberapa barang yang bahkan tidak terlalu penting. Rena memutuskan untuk pergi keluar. Katanya, keluarga yang mengadopsinya akan datang hari ini.
Rena berjalan menyusuri koridor dengan langkah hampa. Ia berhenti disebuah ruangan. Ruangan yang memang dikhususkan untuk menerima tamu-tamu. Rena mengintip dicelah. Tampak sepasang suami istri tengah berbincang dengan bundanya. Membicarakan tentang dirinya.
Rena malas mendengarnya. Ia berjalan menjauh dari sana dan langkah kakinya membawa ia keluar dari pekarangan panti asuhan. Langkahnya terhenti melihat dua mobil terparkir didepan panti asuhan.
Dan beberapa pemuda tengah berdiri menyender didepan pagar panti asuhan. Sepertinya itu adalah keluarga yang berniat mengadopsinya.
Rena awalnya hanya acuh saja. Kemudian kembali terhenti. Matanya kembali melihat ke arah ketujuh pemuda itu.
Rambutnya.
Mata Rena membulat. Memperhatikan rambut hitam ketujuh pemuda itu yang dihiasi sedikit rambut putih. Sangat mirip seperti rambut yang dimiliki oleh [name].
Salah satu pemuda menyadari tatapan Rena. Rena terperanjat dan segera lari namun malah tersandung. Membuat beberapa pemuda itu berlari ke arahnya.
"Kamu gapapa?" Taufan mengangkat gadis itu dan memperhatikan hidungnya yang lecet. Mata safir Taufan menangkap manik ungu Rena. Gadis itu memalingkan wajah.
Yang lain datang menghampiri. "Ada apa bang?" Gempa memperhatikan. Duri dan Blaze juga melihat-lihat dari belakang.
"Kamu Rena ya kan? Yang mau diadopsi?" Taufan bertanya. Rena tersentak.
Hatinya makin sakit. Rena sama sekali tidak menduga hal ini. Rena kembali menatap mereka semua. Wajah mereka yang sendu itu.
Warna jiwa mereka.
Biru.
Kekecewaan yang dapat dirasakan oleh Rena. Rena tidak mau. Rena sangat yakin. Meskipun Rena tidak pernah melihat keluarga [name] itu bagaimana.
Orang-orang dihadapannya ini. Sangat depresi hingga memutuskan untuk mengadopsinya ini.
Rena tidak ingin menjadi iblis.
"Kalian semua--" kata-kata Rena sempat terjeda karena melihat wajah mereka. Rena meneguk ludah. "Kalian abang [name] kan?"
Mendengar hal itu membuat ketujuh bersaudara itu tersentak. Mata mereka membulat.
"K-kamu tahu?"
Rena semenjak kejadian dimana gedung hotel terbakar dan ia menyelamatkan [name]. Dan [name] yang memutuskan untuk tidak pulang kerumah. Dengan alasan ingin melindungi dirinya dari pembully itu.
Padahal dia juga rapuh.
Rena selalu mencari tahu berita terkini tentang hotel yang meledak tersebut. Katanya, arus pendek listrik namun juga ada yang mengatakan bahwa itu sengaja dilakukan oleh seseorang.
Dan dalam berita tersebut. [Name] dinyatakan telah tiada.
Halilintar berdecih. Merasa tidak senang karena diingatkan kembali oleh masalah adiknya itu. Adik yang paling mereka sayangi itu.
Rena melepas pegangan Taufan pada bahunya. Lalu menatap mereka semua dengan manik ungu miliknya.
"Kalian mengira [name] telah mati kan?" Rena tersenyum miris. "Dia masih hidup."
Halilintar kesal. Menatap tidak senang pada Rena. "Jangan berkata yang tidak-tidak, kami baru saja mengikhlaskannya dan mencoba mengadopsimu!"
Rena tertawa remeh sambil menatap lancang ke Halilintar. "Mengikhlaskan katamu? Haha, bukannya kalian yang tidak bisa mengikhlaskan hingga mengadopsiku karena aku yang paling mirip dengan [name]?"
"Kau--" Halilintar langsung ditahan oleh Gempa.
"Tolong jangan begitu Rena, jangan bercanda soal [name]." Gempa berkata dengan lirih. Terlihat gurat kesedihan diwajahnya.
Tangan Rena bergerak menunjuk ke arah panti. "[Name] ada ditaman belakang, jika kalian tidak percaya."
Wajah mereka semua terlihat bingung dan pucat. "J-jangan bercanda."
Rena menggeleng. Masih setia dengan senyum simpulnya. "Aku tidak berbohong. Mau aku panggilkan?"
Mereka semua meneguk ludah. Rena berbalik menghadap panti dan berancang-ancang untuk berteriak. Ia mengambil nafas panjang.
"[NAME]!!"
Mereka masih melihat Rena dengan tatapan tak percaya. Rena melihat ke arah mereka bertujuh. Terutama kepada Halilintar.
"Jika itu benar-benar [name] yang kalian cari. Batalkan adopsiku dan jangan pernah bicarakan tentang aku." Rena berjalan ke arah Halilintar dan melewatinya begitu saja. "Jangan pernah lepaskan [name] lagi."
"Oh dan satu hal lagi. Anggap kita tidak pernah bertemu dan aku dari awal sangat tidak sudi untuk diadopsi." Setelah itu, Rena berlari menjauh dari pekarangan panti tanpa menoleh sedikitpun.
Mereka bertujuh menatap Rena dengan pandangan bingung. Kemudian suara yang muncul mengalihkan perhatian mereka.
"Eh loh, perasaan kak Rena manggil."
Suara itu membuat mereka semua menoleh. Sosok yang mereka cari-cari selama satu tahun ini. Kini muncul dihadapan mereka dengan tanpa kekurangan apapun.
Sosok yang mereka rindukan.
"[Name]?"
[Name] menoleh ke arah pagar. "Abang." [Name] tersenyum. Membuat yang lain tak kuasa menahan air matanya.
"[NAME]!!" Taufan, Blaze dan Duri langsung menghambur ke pelukan [name]. [Name] memeluk mereka semua.
Halilintar terdiam ditempat. Memandangi [name] dengan tatapan tak percaya.
[Name] beralih ke Halilintar. "Abang gak kangen [name]?"
Halilintar langsung memeluk adiknya itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setetes air mata mengucur di pipinya. Halilintar, begitu juga dengan yang lain, sangat menyayangi adiknya.
Rena menguping dibalik dinding dekat dengan panti. Ia menengadah, menatap langit biru berhias awan. Mata ungunya teduh. Ia tersenyum simpul.
"Iblis sepertiku, hanya akan membuat seorang malaikat sepertinya diusir dari surga." Ia berucap lirih.
Ia sama sekali tidak peduli bagaimana dengan nasibnya sekarang. Memangnya dia menginginkan apa?
Iblis sepertiku sudah sangat terbiasa disiksa, dimanapun aku berada.
Yah, mau bagaimanapun. Jika seandainya dirinya diadopsi. Dia pasti akan mendapatkan keluarga yang tidak sebaik itu.
.
.
.
Dua tahun lamanya setelah [name] kembali pada keluarganya dan Rena sama sekali tidak bertemu lagi dengannya. Rena akhirnya diadopsi oleh sebuah keluarga yang menurut Rena sangat aneh.
Sebelumnya saat adopsi Rena benar-benar dibatalkan. Ia jadi bulan-bulanan anak-anak dipanti dan dihina habis-habis. Karena Rena digantikan oleh [name] yang memang seperti malaikat.
Rena tidak terkejut dengan alasan kenapa keluarga [name] tidak tahu ada [name] disini. Padahal saat kesini, mereka pasti ditunjukkan sebuah buku yang berisi semua anak-anak dipanti.
Sudah 3 kali [name] hampir diadopsi karena bunda mereka memasukkan [name] dalam buku. Rena marah dan mengoyak lembar bagian [name] tersebut karena Rena tidak ingin [name] diadopsi oleh keluarga selain keluarga aslinya.
Karena itulah tidak ada yang mengadopsi [name] lagi semenjak saat itu.
Dan sekarang Rena sudah pindah ke keluarga barunya di pulau rintis. Rena sangat ingat dengan pulau ini. Karena katanya, [name] juga asalnya dari pulau ini.
Tapi Rena tidak berharap bertemu dengan [name].
Ayah dan ibu yang mengadopsi Rena, mereka terlihat aneh. Mereka seperti sangat suram. Dan warna jiwa mereka yang biru dan abu-abu, mengartikan kecewa dan takut.
Rena merasa, ada yang tidak beres dengan keluarga mereka.
Sebelum Rena memasuki kamar miliknya. Ayah barunya itu berbisik kecil.
"Maafkan aku."
Kemudian Rena ditendang masuk oleh ayah barunya dan pintu ditutup. Rena sedikit mengaduh kecil dan mengangkat kepalanya. Ia merapikan rambutnya yang menghalangi penglihatannya.
Ia tersentak. Ada seseorang dikamar tersebut.
Ia perempuan. Tengah duduk diatas ranjang sembari memegang sesuatu ditangannya.
Dan lagi, di kamar tersebut. Berisi dengan banyaknya mayat perempuan maupun laki-laki yang diawetkan dan dimasukkan ke tabung. Dirapikan dan dipakaikan pakaian bagus lalu dibungkus seperti boneka.
Bukan hal itu yang membuat Rena terkejut. Tapi dihadapannya ini, gadis ini. Punya jiwa dengan warna hitam yang sangat hitam dan besar.
Jiwa hitam yang mendominasi ruangan tersebut.
Rena meneguk ludah.
Gadis itu menoleh dan berjalan dengan langkah malas menuju Rena. Gadis itu berjongkok. Menatap Rena yang jatuh dengan posisi telungkup dihadapannya.
Gadis itu tiba-tiba dengan cepat meraih wajah Rena. Mengapit wajah Rena dengan tangannya. Lalu memperhatikan mata ungu Rena dengan antusias.
Gadis itu tertawa.
"Mata ungu? Aku belum pernah melihatnya."
Ia memperhatikan tubuh Rena yang dipenuhi dengan balutan perban dan plester. Ia mendesah kecewa. "Kau memang cantik tapi tubuhmu rusak."
Tapi kemudian ia tersenyum. Senyum yang membuat Rena merinding.
"Tapi tenang saja, aku akan merapikan dulu tubuhmu baru akan memajangmu bersama dengan yang lainnya." Ia kemudian tertawa kencang. Gema suaranya membuat Rena merinding.
"Tanpa perlu aku jelaskan, kamu mengerti bukan?" Ia masih setia dengan senyumnya yang mengerikan. "Rena~ aku tahu kamu gadis cerdas."
Tubuh Rena bergetar. Tidak mungkin ia tidak takut melihat situasi seperti ini. Jika ia adalah gadis kecil yang polos. Pasti akan berteriak ketakutan dan akhirnya dibunuh.
"Baru kali ini ada yang tidak berteriak ketika dimasukkan kemari." Ia terlihat antusias dengan keberadaan [name]. "Mungkin kamu bisa jadi asetku yang berharga."
Rena meneguk ludah. "Jadi, kamu takkan membunuhku?"
Ia sedikit tertawa mendengarku berbicara. "Tentu, asal kamu tidak macam-macam. Kamu bisa hidup dengan tenang dengan keluargaku."
Gadis itu berdiri, berjalan dan memperhatikan semua boneka-boneka manusianya yang memang rupanya terlihat menawan.
"Mata ungumu sungguh menawan." Ia terkekeh. Menari-nari balet ditengah-tengah kamar.
Rena merubah posisinya menjadi duduk. Sedikit memegangi rahangnya yang terasa sakit akibat dicengkram oleh gadis tadi.
Rena masih belum terbiasa dengan jiwa hitam pekat milik gadis itu. Auranya sungguh mendominasi ruangan ini.
Gadis itu sebaya dengannya. Rambutnya pendek berwarna pirang dan matanya biru pudar. Disekeliling tubuhnya terdapat bercak-bercak darah.
Rena merutuki nasibnya. Nasibnya yang terlalu tidak beruntung. Dari lahir maupun sampai sekarang. Hidupnya terlalu menyedihkan.
Rena menertawai nasibnya sendiri.
Iblis sepertinya.
Takkan pernah dibiarkan bahagia.
Rena menatap gadis yang masih setia menari-nari balet tanpa rasa bersalah.
Gadis gila yang psikopat.
Mengerikan.
Rena benar-benar tidak beruntung.
"Oh ya, omong-omong kau belum tahu namaku kan?"
Gadis itu berhenti dari baletnya dan menatap Rena yang masih duduk dilantai. Rena menatap gadis itu dengan manik ungunya.
Senyuman menghiasi wajahnya.
"Namaku Grace, salam kenal."
.
.
.
Tbc
A/n:
UWOHH SESUATU YANG TIDAK TERDUGA!!
Ternyata gaes, Grace itu--
Rena itu--
Udahlah iya kalian udah tahu. Ruru cuma mau menambahkan kehebohan kok '3'
Dah deh masih belum selesai flashbacknya hehe.
See you next time~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top