15. Flashback Rena (1)
"Kau bukan [name], ya kan?"
Suara itu terdengar begitu tegas dari mulut Rena. Gadis itu menatap ke arahku dengan sorot mata ungu yang memicing curiga.
Angin berhembus cukup kencang hingga menerbangkan rambut kami dan membuatnya cukup berantakan. Langit mulai menunjukkan warna oranye kemerah-merahan. Menandakan bahwa hari telah sore.
Gadis itu masih menunggu jawabanku. Tanganku mencengkram erat rantai ayunan.
Senyuman kuberikan padanya dengan kepala sedikit kumiringkan. "Apa maksudmu? Tentu saja aku [name]."
Tatapan matanya tidak berubah sedikit pun. Mata ungunya yang mirip dengan Mey itu masih memicing. Ia menyingkirkan poni yang menghalangi pandangannya.
"Aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa."
Suaranya terdengar sendu. Seolah itu bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan. Angin kembali berhembus, membuat decitan rantai ayunan terdengar.
"Kamu bisa melihat hantu?" tanyaku meminta kepastian. Rena diam, tidak menunjukkan raut wajah apapun. "Aku bisa melihat aura milik manusia."
"Aura?" Beoku.
"Setiap manusia memiliki warna jiwa atau aura yang berbeda-beda. Dan aku bisa melihat hal itu. Warna aura tergantung dari tindakan manusia itu. Hitam, artinya jiwanya telah kotor. Merah, artinya jiwanya mulai tercemar. Biru, hijau, ungu hingga putih yang belum ternodai." Tangannya bergerak lagi, menyelipkan helaian rambut dibalik telinga. "Warna jiwamu memang mirip dengan [name] jika kulihat sekilas. Tapi ternyata berbeda."
Aku meneguk saliva. Hampir sedikit tidak percaya dengan perkataannya tapi ia benar-benar tahu jika aku bukanlah [name]. Lantas, apa yang akan dia lakukan jika aku bukan [name]?
"Memangnya apa warna jiwaku?" Aku penasaran. Tentu saja, aku juga ingin tahu jiwaku sekotor apa.
Ia sedikit enggan untuk memberitahu. Ia memalingkan wajahnya. "Putih. Sama seperti [name] namun milikmu jauh lebih besar darinya."
"Berarti jiwaku bersih?" Rena mengangguk.
Ia sedikit tertawa remeh. "Kupikir tidak ada lagi orang-orang dengan jiwa berwarna putih."
Ia lalu berjalan mendekatiku yang masih duduk di ayunan. Aku diam, menunggu apa yang akan dia lakukan. Ia menunjuk dengan jari telunjuknya ke dada kiriku. "Jaga jiwamu, soalnya aku melihat warna ungu redup disini. Jangan sampai ia mengotori warna putihnya."
"Apa arti warna jiwa ungu?"
Ia angkat bahu. "Dari kebanyakan yang kulihat. Warna ungu itu menandakkan orang-orang memiliki rasa benci dihatinya dan itu akan menjadi rasa ingin balas dendam."
"B-balas dendam?" Aku menggigit bibir bawahku.
Mana mungkin aku dendam pada Mey kan?
"Tenang saja, itu hanya sama-samar. Lebih baik jangan terbawa emosi." Ia berucap demikian. Lalu kembali duduk di ayunan sebelahku. Ia sedikit berayun
Aku merasa bimbang. Haruskah aku memberitahu padanya bahwa aku bukanlah [name] yang asli?
"Bisakah kau bercerita kepadaku. Kemana [name] yang asli?" Rena menatapku lagi. Aku terlihat bingung. Membuka mulut tanpa mengatakan apa-apa. Dia mendengkus kecil sambil tersenyum tipis.
"Pasti sesuatu yang asing terjadi padamu." Ia berayun sedikit lebih kuat daripada yang tadi. Membuat deritan rantai besi itu berbunyi.
"Sebelum aku menceritakan soal diriku. Bisakah kau menceritakan lebih dulu soal apa yang terjadi antara dirimu dan [name]?" Ucapanku membuat ia lantas menghentikan ayunannya dengan paksa. "Berarti kau jujur kalau kau bukan [name] ya kan?"
Aku terkekeh. "Kau cukup pintar untuk seukuran anak SD."
"Terima kasih."
Hening sesaat hingga ia kembali memutuskan untuk berbicara. "Aku akan menceritakan masa lalunya. Mungkin akan panjang. Kuharap kau tidak bosan mendengarnya."
Aku menggeleng. "Cerita saja, aku akan mendengarkannya dengan baik."
"Baiklah, benar atau tidaknya cerita ini. Kau lah yang memutuskannya."
.
.
.
[flashback: On]
Seorang gadis kecil berjalan dengan lemah dipinggir jalan. Matanya terlihat sembab. Bajunya kotor dan banyak luka lecet ditubuhnya. Ia sedikit terisak, namun tidak ada satu orang pun yang memperdulikannya.
Rambut hitamnya hampir menutupi seluruh wajahnya. Mata ungunya terlihat melihat kesana kemari.
"Kakak nggak apa-apa?"
Suara lembut itu membuat Rena tersentak karena tidak menyadari ada orang didepannya. Seorang gadis kecil yang lebih pendek darinya. Dengan rambut hitam dan sejumput putih serta mata coklatnya yang menawan. Gadis itu terlihat seperti boneka di matanya. Belum lagi warna jiwanya yang putih bersih. Benar-benar sosok yang sempurna.
"Namaku [name]. Kakak terluka, sini [name] obati." Gadis kecil itu terlihat merogoh kantung rok miliknya. Kemudian tersenyum senang ketika mendapat apa yang ia cari. Sebuah plester berwarna merah muda ada ditangannya.
Ia lalu membuka plester tersebut dan menaruhnya di pipi Rena. Dimana luka itu berada. [Name] melihat ke bagian tubuh yang lain lalu cemberut. Karena ia hanya memiliki satu plester dikantungnya.
"Terima kasih," lirih Rena. [Name] mengangguk semangat. "Sama-sama kak."
Rena melirik gadis kecil itu. [Name] terlihat bingung sambil melihat-lihat ke arah lain. "Kamu tersesat?"
Mata coklat [name] kembali melihat ke arah Rena. "Hehe iya kak. Ini pertama kalinya [name] ke kuala lumpur. Aslinya [name] dari pulau rintis."
"Hotel kan? Beritahu hotelmu, Aku akan mengantarmu sebagai tanda terima kasih."
[Name] menggaruk pipinya. "Hotel Goldy roses, kamar nomor 217."
Oh, anak ini kelihatannya pintar.
"Aku hanya akan mengantarmu sampai didepan hotel. Cepat, sebelum hari gelap." Rena mulai duluan berjalan. Diikuti [name] dengan langkahnya yang riang. "Makasih banyak kak!"
.
.
.
Rena bimbang. Ia sebenarnya ingin mengembalikan jepitan rambut berlambang petir merah yang tadi jatuh ketika [name] berlari terburu-buru ke dalam hotel. Namun ujung-ujungnya, malah ia bawa sampai ke panti asuhan.
Rena berbaring dikasurnya. Menatap langit-langit kamar yang polos. Rena mengingat-ingat tentang [name] tadi. Seorang gadis kecil yang sempurna, dan warna jiwa putih yang menawan. Baru kali ini Rena melihat manusia yang seperti itu.
"Seperti malaikat."
Rena mendengkus kesal. Ia takkan berharap bisa berteman dengan malaikat tadi. Ia tahu bahwa dirinya sudah sangat dibenci ketika lahir.
Lahir sebagai anak hasil hubungan gelap dari ayah dan ibunya yang bukan merupakan suami istri. Ayahnya yang memilih pergi dengan istri aslinya, dan ibunya yang gila. Hingga akhirnya ia berakhir di panti asuhan. Lalu sama-sama dibenci oleh orang-orang karena bisa melihat warna jiwa manusia.
Warna jiwa mereka yang kotor itu.
Rena bangkit dari tidurnya. Ia menatap jepit rambut simbol petir merah itu lekat-lekat.
"Kupikir tidak ada salahnya mencari udara segar dimalam hari."
Rena beranjak pergi dari panti asuhan diam-diam. Dengan jaket hitam miliknya, ia menembus malam.
Sesampai disana. Bukan senyuman yang ia dapat. Sebuah malapetaka terjadi.
Muncul ledakan kuat dari lantai 10 gedung tersebut. Mata ungu Rena membulat. Tubuhnya bergetar hebat. "[Name]."
"Kakak nggak apa-apa?"
Kaki-kaki kecilnya bergerak sendiri. Orang-orang yang panik, berlari keluar tanpa memperdulikan orang lain. Rena memaksa menerobos kerumunan tersebut dengan sekuat tenaga. Lalu berlari menaiki tangga darurat dengan terburu-buru.
"Lantai 217!" Ia terus berlari hingga sampai di lantai 2 dan mencari nomor kamar dimana [name] berada.
Ia menemukannya. Namun ledakan kembali terdengar. Membuatnya panik karena pintu itu tertutup. Api dari lantai 10 ternyata sudah sampai ke bawah secepat ini.
Rena memaksa mendobrak pintu tersebut. "Ayolah!!" Sekali lagi ia lakukan dengan sekuat tenaga hingga berhasil terbuka.
Diantara banyaknya benda yang terbakar. Rena menemukan warna jiwa putih. Ia segera menghampiri tempat tersebut dan mendapati [name] tengah terbatuk-batuk.
"Bertahanlah! Aku akan membawamu pergi dari sini." Rena menarik [name] ke gendongannya. Ia menggendong [name] di punggung. Gadis kecil itu masih terbatuk-batuk dan keliatan kesakitan. Rena berjalan dengan terburu-buru menuruni tangga darurat.
"Bertahanlah!"
Sebuah nasib buruk bagi mereka. Pintu depan sudah dipenuhi dengan api. Rena tak habis akal. Ia tahu ada pintu lain dibelakang gedung.
Jalannya tertatih-tatih karena membawa [name] dalam gendongannya. Ia bukanlah gadis yang sekuat itu. Ia berkali-kali hampir jatuh karena tubuhnya tak kuat menahan berat badan [name].
Ia menemukan pintu itu. Ia segera membuka dan berlari menjauhi gedung. Ia yakin gedung itu akan meledak lebih dahsyat lagi. Ia berlari tergesa-gesa menuju panti asuhan miliknya.
Sesampainya disana. Ia berteriak di pintu depan yang terkunci. Karena awalnya ia melewati jendela diam-diam.
"BUNDAA!! BUNDAAA!! TOLONG BUKA!!"
Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru dan kemudian terbuka pintu itu. Terlihat seorang perempuan paruh baya terkejut melihat mereka.
"Astagfirullah. Apa yang terjadi?!"
Suara batuk dari [name] kembali terdengar. Tubuhnya makin melemah digendongan Rena.
"Tolong..." Rena terisak. "Tolong selamatkan dia."
.
.
.
Satu tahun berlalu di panti asuhan. [Name] tinggal dipanti asuhan bersama Rena. Dan [name] selalu mengikuti Rena kemanapun ia pergi. Para anak panti suka dengan [name] karena memang [name] sangat baik. Namun hal itu malah membuat Rena gundah.
"Kenapa kamu tidak memilih kembali pada keluargamu? Kenapa kamu malah tinggal disini? Bukankah keluargamu akan sedih?" Rena merasa frustasi. Ia senang karena [name] ada disampingnya namun ia juga risau karena [name] tak kembali pada keluarganya.
"Kembalilah pada keluargamu."
Mendengar itu. [Name] menggeleng. "Lalu bagaimana dengan kakak? Kalau aku pergi, bukankah kakak akan dibully lagi?"
Rena menggigit bibir bawahnya. Ia menggertak marah pada [name] karena menyia-nyiakan keluarga yang ia punya.
"Lupakan aku! Kembali saja pada keluargamu. Sudah satu tahun berlalu kamu pergi." Ia menjaga agar air matanya tak turun. "Mau tak mau kita akan berpisah, aku tidak mau kau nantinya malah diadopsi oleh keluarga yang hanya memanfaatkan kecantikanmu." Rena peduli pada [name]. [Name] masihlah kecil dan tidak tahu apa-apa.
"[Name] ingin balas budi pada kakak. [Name] janji akan pulang kalau ada orang yang mengadopsi kakak." [Name] mengulurkan jari kelingkingnya pada Rena. "[Name] beneran janji."
Rena awalnya ragu. Ia tak yakin akan ada orang yang mengadopsinya nanti. Paling-paling ia akan terjebak disini selamanya.
Rena menggapai jari kelingking itu. "Baiklah."
Seorang wanita paruh baya datang menghampiri mereka. Wanita itu menepuk pelan bahu milik Rena. Rena dan [name] menoleh ke arahnya dengan raut bingung.
"Berbahagialah. Karena Rena akan diadopsi besok."
"Benarkah?" [Name] terlihat senang. Wanita itu mengangguk.
Sedangkan Rena? Matanya terlihat tidak percaya.
Apa--?!
.
.
.
Tbc
A/n:
Uwu uwuan sama abang-abangnya udah dulu ya. Kita fokus sama masalah Rena dan [name] dulu.
Dan yah ternyata Ruru buatin jadi flasback. Tapi nggak langsung semuanya. Beda orang akan beda cara pandang bercerita dalam flashback dan tokoh yang dishoot secara penuh.
Makanya Ruru bilang di A/n kemarin bahwa flashbacknya bukan bikin lega tapi malah makin pusing karena bolak-balik.
Dan malah kayak puzzle yang harus disusun rapi biar nemu permasalahan yang sesungguhnya.
Cerita flashback ini dari sudut pandang Rena ya.
Dan Ruru nggak tahu bakalan sampai berapa chapter buat flashbacknya tapi bakalan banyak skip kok biar cepet.
Okeh itu dulu. See you next time~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top