11. Knife

Singkatnya, saat dalam perjalanan pulang dari toko tumbuhan. Kami berpapasan dengan salah satu teman ketujuh bersaudara ini. Badannya gempal, ia memakai jaket hijau kuning dengan logo 'G' didepan dada kiri.

Ah ya, namanya Gopal.

"Dia adik kami, namanya [name]."

Gopal sendiri terlihat sangat terkejut. Ia lalu terlihat senang dan mencoba mencubit pipiku namun lebih dulu tangannya ditampol oleh Solar.

"Ih pelit."

"Sebaiknya cuci dulu tanganmu sebelum menyentuh [name]." Solar lalu mengelus-elus pipiku yang hampir dicubit oleh Gopal.

Sungguh kekanakan sekali.

"Benar kata Blaze, cantik." Gopal terkekeh. Aku hanya memandangnya datar. Sungguh, tubuh ini bukan milikku jadi tidak mungkin aku merasa senang bukan?

Aku diam. Kembali memeluk Solar dan tidak berniat memperhatikan mereka atau mendengar obrolan mereka.

Seperti biasanya, mereka membicarakan soal sekolah dan kegiatan mereka. Gopal mengajak Duri bermain game baru yang ia dapatkan dari ayahnya. Lalu meminta mengajak Taufan dan Blaze ikut.

"Kayaknya si [name] ngantuk, ayo pulang Duri." Solar menahan kepalaku. Duri mengangguk dan berpamitan dengan Gopal. Gopal sendiri juga langsung pergi dan menemui temannya yang lain di kafe.

Ah ya, gadis berkerudung itu yang waktu itu pergi bersama Taufan. Lalu ada satu gadis china berkucir dua dan memakai kupluk biru kuning. Mereka melihat ke arah kami. Duri dan Solar tampak melambaikan tangan. Dibalas oleh mereka dari balik kaca kafe.

Langit sudah kemerah-merahan. Kami baru sampai dirumah dan tak lupa mengucap salam. Orang-orang rumah membalas salam dan Gempa datang menghampiri.

"Kayaknya [name] lemas karena belum makan. Daritadi diam doang." Solar melepasku dan menyerahkanku ke Gempa. Masih dengan gaya gendongan yang sama. Kali ini Gempa terlihat lebih lembut daripada Solar yang erat.

Gempa terlihat khawatir. "[Name] kenapa? Lapar? Sakit?" Aku menggeleng.

"Menanamnya besok pagi aja ya [name]. Bibitnya mau abang simpan dulu." Setelah mendapat persetujuan berupa anggukan dariku. Duri langsung pergi dari sini dan menghilang ketika menuju dapur.

Gempa membawaku ke ruang keluarga. Disana semuanya berkumpul sambil terlihat sedang menonton sesuatu. Taufan menyadari kedatangan kami. "Eh [name] kenapa tuh?" Ucapannya barusan membuat semuanya langsung menoleh ke arahku.

Gempa menurunkanku disofa. Aku duduk. Lalu merebahkan diri ke tangan sofa. Mereka memperhatikanku dalam diam sebelum akhirnya lanjut menonton.

Halilintar yang berada disampingku hanya diam. Ia sibuk membaca sesuatu dari handphonenya.

"Orang itu sudah ditangkap, Blaze?" Halilintar tiba-tiba bersuara. Blaze menoleh ke arah Halilintar. Ia berpikir sejenak. "Maksudnya orang yang menyebarkan foto itu?"

Halilintar mengangguk.

"Belum. Ocho masih berusaha mencari tahu lokasinya."

"Kalau ketemu beritahu aku." Blaze tampak terdiam sesaat sebelum akhirnya memasang wajah ngeri. "Mau ngamuk ya?"

"Hm."

"Ya udah terserah. Akan kukirim nanti begitu ocho mendapatkannya."

Aku hanya menyimak. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

Foto? Sebenarnya sedang terjadi apa sih?

Terdengar langkah kaki yang terburu-buru. Aku menoleh, melihat ke arah Gempa yang wajahnya agak panik.

"Semuanya, be-besok ayah dan bunda akan datang."

Wah, sepertinya masalah baru untuk mereka.

.

.

.

Aku sudah bersiap dengan celemek, sepatu bot bahkan sarung tangan. Sekop ada ditanganku. Didepanku berdiri Duri yang dengan semangat menjelaskan cara menanam bunga.

Kumohon langsung praktek saja.

"Nah, kita tanam Lavendernya di pot ini ya." Duri mengambil sebuah pot kecil dengan hiasan di potnya. Warna potnya putih dan ada gambar bunga berwarna merah muda. Ia menaruh pot itu di hadapanku.

"Nah, sekarang [name] ambil tanahnya."

Aku mengangguk. Menarik pot itu mendekat dan mencongkel-congkel tanah yang memang sudah disiapkan oleh Duri. Memasukkan tanah tersebut ke pot.

"Stop! Sekarang taruh pupuknya." Duri mengambil sekantung pupuk dan menaruhnya disampingku. Aku mengambilnya dan menaruhnya didalam pot sedikit.

"Ini bibitnya." Duri menyerahkan bibit. Aku mengambil bibit itu dan menaruhnya didalam pot. Mengubur akar bibit itu dan membuatnya berdiri.

Aku mengambil penyiram yang ada disampingku dan mulai menyiram bibit tadi. Duri memperhatikanku sambil senyum-senyum.

Aku selesai. Duri bertepuk tangan. "[Name] pinter, kita tunggu sampai bibitnya dewasa ya."

Ia hendak mengelus rambutku sebelum menariknya kembali karena sadar tangannya kotor. Aku hanya memperhatikan, sepertinya dia ingin mengapresiasiku dengan sesuatu seperti pat-pat atau semacamnya.

Duri kemudian tersenyum lagi. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku.

Cup!

"...."

"Ya udah yuk kita taruh pot-nya dijejeran bunga biar rapi." Duri berdiri. Mengangkut potnya dan berjalan ke arah bunga-bunga miliknya.

Aku terdiam. Wajahku terasa panas. Aku menyentuh pipiku dengan pergelangan tangan.

Sungguh, mereka mudah saja melakukan hal-hal seperti ini terhadap adik perempuannya ya.

"[Name] kok melamun? Udah yuk, lepas celemeknya." Duri menarikku dan membuka celemek, sarung tangan serta boot. Ia menggandengku masuk ke dalam rumah.

Hari ini mereka sedang bersih-bersih karena katanya ayah dan bunda mereka akan pulang. Terlihat Taufan tengah membuat kue dan memanggang biskuit. Duri menghampiri kakaknya itu dan membantunya membuat kue.

Aku duduk di salah satu kursi di dapur dan diam memperhatikan mereka. Mereka semua tampak sibuk.

.

.

.

Mereka semua tengah sibuk mempersiapkan sesuatu untuk menyambut kedua orang tuanya yang telah pergi selama berbulan-bulan. Selagi bebersih, Taufan memutuskan untuk membuat kue. Duri datang dan ikut membantunya sementara [name] duduk diam dikursi dapur.

Taufan mengambil pisau dapur. Ia hendak memotong kuenya begitu jadi. Namun kejadian tidak terduga, terjadi dihadapan mereka.

"AAAAA!!"

Buk!

[Name] yang daritadi hanya duduk diam, tiba-tiba terjatuh dari kursi. Duri yang panik segera menghampiri [name] dan menenangkannya. "[Name] kenapa? Sakit ya?" Ia mengelus-elus kepala [name].

Taufan juga hendak mendekat. Namun mata [name] membulat dan langsung mundur-mundur.

Yang lain berdatangan. "Ada apa ini?" Halilintar tampak panik. Ia memperhatikan Duri yang berusaha menenangkan [name] yang ketakutan. Dan Taufan, berdiri terbengong dengan pisau ditangannya.

Gempa cepat mengerti. "Bang Taufan! Jauhkan pisaunya!"

"Uh oh." Taufan bingung. Ia langsung menaruh kembali pisau dapur itu di rak piring yang berada disebelah wastafel.

Taufan mendekati [name] dengan perasaan bersalah. "Maaf ya, abang nakutin [name]." Taufan bersimpuh di hadapan [name].

"Lebih baik bawa [name] ke kamar. Tolong Duri." Si sulung memerintah. Duri mengangguk tidak masalah. Ia langsung menggendong [name] dan membawanya ke kamar. Meninggalkan sisanya terdiam di dapur.

"Apa yang sebenarnya terjadi bang?" Gempa bertanya dengan lembut. Takut jika Taufan merasa tersinggung. Taufan kembali berdiri dan menatap sekilas Gempa. "Awalnya dia hanya duduk. Saat aku kembali sambil membawa pisau. Dia--" Taufan diam, tidak sanggup melanjutkan.

Salah satu dari mereka tersenyum tipis, terlalu tipis hingga tak ada yang menyadari. "Bukankah itu artinya [name] mulai ingat?" Si bungsu angkat suara. Membuat atmosfir terasa makin berat.

"Bukankah ini terlalu cepat? Belum ada sebulan..." Blaze meringis. Ia mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Mereka semua, sangat tidak ingin kembali ke masa itu.

Ice diam. Memperhatikan mereka dalam tatapan yang sulit diartikan. Ia lalu menatap ke arah Taufan. "Bang Taufan, aku ingin bertanya."

Taufan memaksakan senyumnya dihadapan adiknya. "Ada apa, Ice?"

"Soal itu--" Ice kembali ragu. Ia menatap manik safir kakaknya yang kelihatan bingung. "Surat yang kakak ambil dari kamar [name]."

"Surat?" Beo Gempa.

Taufan berpikir sebentar. Baru ia mengingat sesuatu. "Surat punya-nya [name]? Kenapa memangnya? Eh tunggu, kok kau tahu Ice?"

"[Name] waktu itu bertanya padaku soal suratnya yang hilang." Taufan mengangguk mengerti.

"Surat? Apa isinya?" Halilintar penasaran. Lantas memandang kedua adiknya dengan bingung.

Taufan sedikit tersenyum. Tidak menatap satupun ke arah saudaranya yang menatapnya bingung. "Isinya..."

Manik safirnya terlihat senang. "Mau lihat?"

.

.

.

Duri masih setia menjaga [name]. Terkadang mengelus pucuk kepalanya. [Name] diam di tempat tidur. Hanya menutup mata dan tidak tertidur.

Pikiran Duri melayang jauh. Mengingat [name] panik karena Taufan memegang pisau.

Ingatannya sudah kembali.

Duri sedih. Mata emeraldnya tampak berkaca-kaca. Ia sangat menyayangi [name] sama seperti saudaranya  yang lain.

[Name] waktu kecil sangatlah lucu. Ia selalu mengajak Duri dan yang lain bermain. Sifat hyperaktifnya mirip dengan Blaze. Ayah mereka pernah bilang bahwa [name] mengambil semua sifat atau bahkan keahlian abang-abangnya.

Contohnya ia jago karate seperti Halilintar, walaupun Halilintar dulu hanya mengajarinya sedikit. Sifat pandai berbohong dari Taufan juga ada. Kebaikan hati dan sabar milik Gempa. Hyperaktif milik Blaze. Kepekaan tinggi punya Ice. Polos seperti Duri dan bahkan bisa licik seperti Solar.

[Name] itu bagaikan versi sempurna dari ketujuh kembar. Meskipun begitu, [name] tetaplah adik mereka.

"Maaf [name] buat abang semua jadi panik." Mata coklat [name] menatap sendu ke arah Duri. Duri tersenyum, "Bukan salah [name] kok."

Duri sangat ingin bertanya. Apakah ingatan [name] sudah kembali? Tapi itu sangat beresiko. Ia tidak mau terjadi hal yang aneh-aneh nantinya.

"[Name] sayang bang Duri. Abang Duri jangan sedih."

Duri berusaha menahan tangisnya. Ia tidak ingin menjadi sosok yang lemah di hadapan adiknya. Ia harus bersikap seperti seorang abang.

Tangan Duri bergerak. Menggenggam erat tangan [name] yang berada diluar selimut. Ia tersenyum.

"[Name] harus tahu kalau Duri sayang banget sama [name]. Duri bakalan sedih kalo [name] jauh dari Duri." Duri tidak bisa setegar itu. Mengatakan hal itu ditambah mengingat masa lalu, membuat tangisnya pecah. Ia berusaha menahan air matanya namun sia-sia.

"Jadi apapun... hiks... yang terjadi nanti... Duri mohon... hiks... [name] jangan tinggalin Duri." Ia menangis sesenggukkan.

[Name] membalas pegangan tangan Duri padanya. Ia menggenggam erat tangan Duri yang bergetar. Mata emerald Duri menatap ke manik hazel adiknya. [Name] tersenyum sangat lembut.

"Terima kasih karena udah sayang sama [name]. Terima kasih karena selalu ada untuk [name]. Terima kasih karena udah ngenalin [name] bermacam-macam bunga. Terima kasih karena udah ngajak [name] main." [Name] merubah posisi duduk dan merentangkan tangan ke arah Duri. "Terima kasih karena tetap bersama [name], apapun yang terjadi."

Duri langsung menghambur ke pelukan [name]. Ia masih menangis sesenggukan. [Name] tersenyum tipis. Mengelus pelan kepala Duri.

Sepoi-sepoi angin masuk melalui jendela. Membuat suasana tenang dan damai kala itu.

Suara mobil mengalihkan perhatian mereka. Sang bungsu membuka pintu kamar. Tersenyum tipis ke arah mereka berdua.

"Ayah dan bunda sudah datang."

.

.

.

Tbc

A/n:

Jeng!

[Name] trauma dengan pisau~

Dan ketujuh elemental berpikir kalau ingatan [name] sudah kembali.

Okeyy ketemu dulu sama ayah bundanya, lalu isi surat, masalah sama Solar, ketemu Rena lalu-- oke stop! Terlalu banyak.

Dan masalah tentang Mey. Mereka semua benar-benar berhubungan loh.

Mey? Grace? Rena?

Pasti semuanya terlihat mencurigakan dimata kalian. Ya iya memang begitu //apa sih

Ruru ingin cepat-cepat namatin cerita ini karena otak Ruru sudah sakit. Pusing. Mikirin cerita satu ini aja gak kelar-kelar subhanallah :')

Ada yang bisa nebak isi surat punya [name]? Hayo hayo coba tebak UwU

Akhir-akhir ini yang berteori makin sedikit TwT tapi gapapa. Kayaknya kalian udah pusing.

Udah dulu ngebacotnya. See you next time~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top