10. Lavender
"Bang Duri lagi apa?"
Aku menjulurkan kepalaku untuk mengintip apa yang dilakukan oleh pemuda bermanik emerald ini. Ia tersenyum ke arahku lalu fokus ke kerjaannya lagi. "Lagi menanam, [name] mau coba menanam juga?"
"Mau!" Aku bersorak riang. Duri terkekeh kecil dan menarikku untuk melihat apa yang dia kerjakan. Beberapa gundukkan tanah yang sudah digemburkan dan terlihat bibit-bibit kecil. Aku memperhatikan bibit-bibit kecil itu dengan mata berbinar.
"Ini bunga matahari." Aku mendongak melihat Duri yang tersenyum ke arahku. "Bang Duri suka bunga matahari?" Lalu ia mengangguk.
"[Name] juga mau menanam."
"[Name] suka bunga apa?"
"Um..." aku berpikir, membiarkan angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutku. Aku tiba-tiba teringat masa lalu. Tepat dimana sahabatku yang bernama Mey mengajakku ke kebun bunga. Disana, ia memperlihatkan berbagai jenis bunga dengan riangnya.
Kemudian, ia menunjuk ke sebuah bunga berwarna ungu sambil tersenyum kearahku.
"Lavender, cocok untukmu."
"Lavender," gumamku pelan. Namun sepertinya Duri bisa mendengarnya karena ia sempat terperanjat. Mata emeraldnya sempat membulat. Namun ia langsung terkekeh dan tersenyum manis.
"[Name] tahu? bunga Lavender itu sangat cocok dengan [name]."
Aku menatapnya bingung. Pandangan Duri telah beralih ke sebuah tanaman yang baru ia tanam.
Kenapa orang-orang bilang aku cocok dengan Lavender?
"Arti bunga Lavender. Apa [name] tahu?" Aku menggeleng. Ia terkekeh geli melihatku.
"Artinya..."
.
.
.
Aku berlari masuk ke ruang kelas dan membuka pintu. Beruntung, aku tidak terlalu telat hari ini.
Entah kejadian apa tiba-tiba hari ini tidak ada yang bangun pagi. Sontak aku heboh dan langsung membangunkan semuanya. Mereka kocar-kacir, mandi secepat kilat. Lalu berseragam entah bagaimana bentuknya dan langsung lari menuju sekolah.
Kami bahkan belum sarapan.
Aku merebahkan kepalaku diatas meja belajar. Sembari mengusap peluh didahiku. Aku gusar karena sudah tidak sarapan, bawa bekal saja tidak. Dan lebih buruknya lagi, mereka lupa memberiku uang jajan.
Toloooong, aku lapaaaar
"[Name] kenapa pucat begitu, sakit?" Grace muncul. Kekhawatiran itu memancar dari mata birunya.
"Aku lapar, gak sempat sarapan."
"Oh." Dia langsung berlari ke bangkunya lalu kembali. Menyerahkan sebungkus roti coklat dan sekotak susu stoberi. "Makan ini," ujarnya.
Aku mengangguk, "terima kasih."
Aku mulai membuka roti dan memakannya. Semua pertanyaan-pertanyaan muncul dikepalaku. Tapi aku tidak mungkin bertanya semua hal itu padanya.
"Begini, kenapa kau sangat baik padaku, Grace?"
Dia sedikit terkejut dengan pertanyaanku. Selanjutnya ia terlihat gugup dan menggaruk kepalanya. Rambutnya yang diikat ponytail nampak bergoyang-goyang.
"Aku melakukannya karena balas budi."
Hah?
Ia tersenyum, terlihat benar-benar jujur. Sedangkan aku hanya bisa melongo bingung.
"Jangan melihatku seperti itu, makan makananmu sebelum dihinggapi lalat."
"Ah, iya," cicitku pelan. "Tapi, memangnya aku pernah melakukan apa?"
Grace tampak berpikir. Ia memandang jauh keluar jendela. Matanya terlihat teduh. Seolah memikirkan sesuatu yang membuatnya senang. Senyuman timbul menghiasi wajahnya. "Kau mungkin lupa--tidak! Sebelum hilang ingatan pun begitu."
Dia menoleh ke arahku. Wajahnya yang tiba-tiba terlihat lembut itu tersenyum. Berbeda dengan senyum semangat yang selalu ia tunjukkan. Senyuman itu entah kenapa bisa membuatmu terdiam.
"Kau--"
Baru mau mulai berbicara. Guru masuk dan anak-anak sontak kembali ke bangkunya masing-masing. Perkataan Grace masih terngiang-ngiang dikepalaku. Pernyataan yang digantung itu.
Guru sialan.
.
.
.
"Grace, bisa ikut denganku sebentar?"
Jam pulang baru saja berdering dan dengan sigap aku menghampiri Grace. Grace mengangguk lalu melambai pada kedua temannya.
Kami berdua berjalan melalui koridor sekolah dan aku memilih untuk berhenti ketika kami sampai di taman sekolah. Aku berdiri didekat sebuah pohon besar. Grace tidak berdiri didekatku namun justru agak jauh beberapa langkah dariku.
"Jadi, apa yang ingin dibicarakan?"
Aku menghela nafas.
"Bisakah kamu jujur. Sebenarnya, kau tahu kan kalau aku punya abang?" Grace tampak sedikit tersentak. "Kenapa waktu itu kau bersikap tidak tahu kalau aku punya abang?"
"Ah, yang waktu pulang itu ya? Aku mengetahuinya dari rambut kalian."
"Bohong!"
Grace terdiam. Aku tidak tahu gadis ini punya masalah apa dengan Grace. Yang pasti, ini perlu dibongkar.
"Saat itu kedua kakakku memakai topi. Apalagi warna mata kami yang berbeda." Grace benar-benar pucat untuk saat ini. "Jadi katakan padaku, kenapa kau melakukan itu?"
Tak disangka, Grace malah terkekeh kecil. Ia menatap kearahku melalui mata birunya. "Kau sangat hebat, [name]. Sama seperti dulu."
Ia berdehem kecil. Lalu terlihat bingung sejenak.
"Aku memang sudah tahu kau punya abang dari dulu. Namun kau selalu menyembunyikannya dan mengatakan bahwa kau tidak punya abang."
Aku terperanjat bingung. Entah kenapa teka-teki ini malah semakin membingunkan. Aku merasa kepalaku jadi sangat pusing karena semua hal ini.
"Jelaskan padaku semuanya, Grace."
"Aku tidak tahu banyak namun yang kutahu hanyalah kau dekat dengan Rena. Rena menjauhimu. Lalu kau mulai berubah. Abang-abangmu, mereka semua, takut."
Angin berhembus menerpa kami. Rambut kami berterbangan mengikuti arus angin. Perkatannya selanjutnya membuatku benar-benar terdiam.
"Dan kau memperlakukanku layaknya seorang tokoh antagonis."
Kenapa?
Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengerti jalan pikiran gadis ini?
Kenapa?!
Tiba-tiba kepalaku berdengung kuat. Aku menunduk sambil memegangi kepalaku. Bukan memori tentang gadis ini. Tapi memoriku sendiri di masa lalu.
Memori yang aku lupakan.
Memori tentang Mey malam itu.
Malam sebelum aku terbangun ke dunia ini.
"Kalau kau tidak kemari, kupastikan kau menyesal."
Suara yang sangat amat kubenci itu. Lelaki brengsek yang membuat hubunganku dengan Mey renggang.
"Jika kau menolak, maka ucapkan selamat tinggal pada sahabatmu ini."
Lelaki brengsek yang melakukan hal gila. Yang obsesinya bagai orang stress itu.
Karena dia!!
"Aku membencimu [name], sangat membencimu."
Kata-kata yang sangat tidak ingin aku dengar darinya.
Kepalaku makin sakit. Aku terduduk di rerumputan sembari memegangi kepalaku.
"Maafkan aku, mari kita bertemu dikehidupan selanjutnya."
Deg!
Pisau...
Pisau yang berlumuran darah itu menusuk tepat diperutku. Ia tersenyum, namun penuh rasa sakit.
Kenapa kau melakukan itu?
Kenapa kau membunuhku?
Air mataku keluar. Aku tidak tahan. Alasan selama ini kenapa aku tiba-tiba berada disini sedangkan aku mengira saat itu aku tengah tertidur.
Itu salah.
Aku mati. Jiwaku terbang ke gadis ini. Aku mencuri kehidupan orang lain. Dimana cara matinya sama persis dengan diriku.
Sakit itu menghilang. Aku menyeka bekas air mata dan mendongak ke arah Grace yang kali ini hanya diam memperhatikan. Tidak berteriak memanggil namaku seperti sebelumnya.
"Sudah ingat?"
Matanya saat itu berbeda. Hingga senyumannya pun terasa asing.
.
.
.
"[Name] dijemput kok malah ilang sih?" Duri khawatir. Ia memerika tubuhku lalu akhirnya menggandengku.
"Mungkin dia kelelahan karena nggak bawa bekal." Solar angkat bahu. Ia sekilas mengelus kepalaku sambil tersenyum tipis.
"Ya udah kalo gitu kita mampir ke tempat makan dulu yuk. Sekalian Duri mau beli bibir Lavender untuk [name]." Duri dengan riangnya menggandeng tanganku. Sebelah tanganku juga digandeng oleh Solar.
Solar tampak melirik sebentar ke arahku lalu kembali menghadap jalan. Ia sepertinya mengetahui sesuatu tentangku.
Pertama-tama kami mampir ke tempat makanan. Berbeda dengan Halilintar yang mengatakan bahwa Red velvet dan jus buah naga adalah kesukaanku. Solar menanyakan lebih dulu aku ingin apa.
Kami makan namun tidak ada obrolan. Itu karena aku memilih untuk diam. Setelah kejadian tadi, itu semua sangat sulit untuk dilupakan. Tingkah Grace benar-benar aneh.
Dan itu semua, seperti telah direncakan olehnya.
"[Name] sakit ya? Kok diam aja daritadi?" Duri khawatir. Ia memperhatikan wajahku lekat-lekat. Aku menggeleng.
"Sini, biar kugendong." Solar tiba-tiba menarikku dan menggendongku di depan. Seperti menggendong anak umur 5 tahun. Tangannya ditempatkan sebagai tempat duduk untukku. Kemudian memelukku dan membuat kepalaku ada dibahunya.
Oke, ini lebih baik daripada harus berjalan kaki.
"[Name] kalau sakit bilang ya." Duri mengelus pelan rambutku. Kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan ke toko tumbuhan.
Aku hanya diam digendongan Solar. Ia sendiri tidak merasa berat. Sekarang aku ragu apakah benar jika aku kelas 6 sd. Karena tubuhku benar-benar yang paling kecil diantara teman sekelas yang lain.
Solar sesekali mengelus rambut dan punggungku. Aku hanya diam. Entah kenapa rasanya hangat. Hal yang jarang kudapatkan ini.
Duri tampak memerhatikan beberapa Lavender.
"Nah [name] mau yang mana?"
Aku melepas tanganku yang melingkar di leher Solar dan memutar sedikit tubuhku ke arah Duri. Banyak jenis dan warnanya. Tapi tetap saja warna aslinya lebih menarik. Aku menunjuk ke arah bunga lavender berwarna ungu. Duri sendiri tidak terlalu terkejut. Ia membeli bibit lavender itu dan kami pergi dari sana.
"Nanti kita tanam lavendernya ya." Duri bersenandung ria. Sedangkan aku hanya mengangguk sekilas. Solar masih sesekali mengelus punggungku. Malah kadang menaikkan lagi tubuhku yang hendak merosot.
Hari sudah sore. Belum cukup sore untuk tenggelamnya matahari.
Bunga lavender...
Duri sudah menjawabnya kemarin sore. Tapi aku tidak merasa itu cocok denganku.
Ingatanku kembali melayang ke masa dimana aku masih berada ditubuhku. Saat itu aku adalah anak SMA kelas 3. Aku mempunyai sahabat, namanya Mey.
Dia suka bunga, suka hewan, dia bagaikan seorang dewi. Senyumannya bisa membuatku terdiam. Dia adalah sahabat terbaik yang aku punya.
Namun karena satu hal saja, semuanya berubah. Semuanya berantakan.
Mey sering mengajakku mengunjungi toko bunga atau kadang kebun binatang. Ia memperkenalkan semua bunga meskipun aku tidak ingat seluruhnya. Ia mengatakan hampir semua arti bunga kecuali bunga itu.
Lavender.
Aku lupa mencarinya di internet saat itu. Aku lebih suka jika dia yang mengatakannya secara langsung.
Lalu perkataan Duri kemarin sore soal arti bunga lavender sedikit membuatku tertegun.
"Artinya kesetiaan."
Aku menatap kosong jalanan. Tidak mungkin. Arti yang sangat tidak cocok untukku.
Kenapa kalian mengatakan aku begitu? Padahal aku ini tidak jauh dari kata.
Pengecut.
"Ah hei! Kalian dari mana? Oh, itu siapa?"
Yah, masalah disini bahkan belum selesai.
Sebenarnya kenapa orang-orang ini tidak mengenalku?!
.
.
.
Tbc
A/n:
Updatenya cepet? Tumben. Yaahh, gapapa Ruru pengen cepet cepet namatin cerita ini :')
Dan juga sebenarnya kuota Ruru lagi sekarat euy. Gatau kapan lagi bisa update cerita //hiks
Cluenya makin dipersedikit. Karena kita akan mulai membongkar satu persatu masalah di cerita ini.
Konfliknya bakal dimulai beberapa chapter ke depan.
Soal ingatan [name], pisau, dan surat yang hilang.
Pokoknya diceritain satu satu deh hehe.
Okayy see you in the next time
Babay~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top