9 - Ice
Mobil sedan itu melaju di jalanan yang sepi dan gelap. Lampu-lampu jalanan padam karena tidak ada yang menghidupkan. Hanya sorot lampu dari mobil yang menerangi jalanan.
Grace membawa mobil dengan pelan. Hari sudah pukul tujuh malam dan mereka harus menemukan tempat untuk bermalam. Awalnya [name] menyarankan untuk bermalam di pemukiman sebelumnya namun Grace menolak, dengan alasan bahwa ia tidak mau tinggal di tempat bekas orang tidak waras.
Baru hari kedua mereka di sini namun telah banyak hal yang terjadi. Dimulai dari diserang sekelompok orang, diserang sosok berjubah lalu pemukiman aneh.
"Kita mau kemana? Apa ke pemukiman lain?" tanya Blaze dari paling belakang. Jika kalian bertanya letak Taufan, dia ada di samping kemudi, kursi paling depan.
Grace melirik melalui kaca mobil. "Entahlah."
"Bukankah pemukiman lain bakal sama saja seperti tempat tadi? Tiba-tiba aku tidak bisa berpikir positif mengenai pemukiman yang ada di pulau ini," ujar [name]. Halilintar di sebelahnya pun mengangguk setuju. Benar juga, paling-paling pemukiman lain sama atau bahkan lebih parah dari pemukiman yang ini.
"Lebih baik ke salah satu rumah saja dulu, aku yakin masih ada beberapa rumah yang layak untuk ditempati sementara." Gempa memberi ide yang brilian. Grace mengangguk. "Beritahu aku jika kalian menemukan rumah yang utuh.
Mereka semua alhasil melihat ke luar jendela untuk mencari rumah yang akan mereka tempati malam ini. Taufan tentu saja ikut. Matanya menyipit saat menemukan satu rumah utuh di pojok jalan.
"Itu," tunjuk Taufan. Mereka semua langsung melihat ke arah mana Taufan menunjuk. Menemukan rumah berwarna biru muda yang masih utuh.
Grace langsung memarkirkan mobilnya ke halaman rumah tersebut. Lalu mereka berhenti di sana. Satu-persatu dari mereka turun dari mobil. Melihat-lihat situasi rumah yang sepertinya cukup layak untuk ditinggali.
Grace pergi ke belakang mobil dan membuka bagasi. Mengambil genset dari bagasi tersebut dan mengeluarkannya. Blaze mendekatinya. "Waw, kau dapat genset darimana?"
"Aku ambil dari pemukiman sebelumnya. Mereka punya barang-barang yang cukup berguna untuk perjalanan kita." Grace baru akan mengangkat genset tersebut untuk dibawa ke dalam rumah. Tapi Gempa lebih dulu mengambil genset tersebut. "Aku saja, aku bisa menggunakan genset."
"Oh, kalau begitu silahkan."
Selagi Gempa masuk ke dalam rumah tersebut bersama Duri. Untuk mencoba menghidupkan lampu di rumah tersebut. Yang lain masih berdiri di luar. [Name] mendekati Taufan.
"Bang."
Taufan menoleh. Manik safirnya yang sudah lama tidak [name] lihat itu terlihat berbeda. Mungkin karena tidak bertemu selama lima tahun lamanya.
"Bang Taufan baik-baik saja? Bang Taufan tenang aja, kami keluarga bang Taufan. Kami nggak akan menyakiti abang, jadi ..." [Name] memegangi tangan Taufan. Taufan masih diam, hanya memasang wajah bingung. "Bang Taufan jangan takut, kami ada di sini. Kami gak akan ninggalin bang Taufan lagi."
" ... lagi?" Ucapan Taufan saat itu terlalu samar sehingga [name] tidak dapat mendengar Taufan mengatakan itu.
"Jadi kalau ada apa-apa, bilang aja, ya?" [Name] tersenyum. Cukup lama hingga akhirnya Taufan mengangguk. Ia balas tersenyum. Namun tidak mengatakan apa-apa sebagai balasan.
"[Name]? Bang Taufan? Ayo masuk, udah hidup tuh!" panggil Blaze lalu menunjuk rumah tadi yang lampu-lampunya menyala.
"Iya bang Blaze! Ayo bang!" [Name] mengajak Taufan masuk ke dalam. Taufan merasa hatinya menghangat. Namun entah kenapa, ada rasa lain yang mengganjal di hatinya.
Duri turun dari lantai dua. Menghampiri mereka semua. "Kamarnya cuma ada dua!"
"Aku akan berjaga saja, kita masih belum aman," ujar Grace. Belum sempat ada yang membantah, Blaze lebih dulu mengajukan dirinya. "Aku kali ini ikut! Dari kemarin hanya Grace dan bang Hali yang highlight, kali ini aku juga."
Grace melempar senapan ke Blaze. Blaze langsung menangkapnya dan melihat senapan tersebut. "Wah, berasa jadi intel," komentar Blaze. Grace juga memegang satu senapan.
"Susah kalau hanya melawan pakai tangan kosong. Jadi kalau ini tinggal tembak lalu mati," ujar Grace dengan tampang biasa saja. Mereka cuma bisa geleng kepala. Karena mereka harus terbiasa dengan sikap Grace yang seperti ini.
Krucuk~
"Oh? Perut siapa itu?" tanya Gempa. Mereka melihat ke arah Taufan yang malah jadi salah tingkah. "Maaf."
"Tapi persediaan makanan kita habis gara-gara dicemilin Grace tadi pagi," sahut [name]. Grace jadi mendengkus. "Iya deh, tunggu di sini, aku pergi ke supermarket dulu."
"Di sini gak ada persediaan makanan? Coba cek dulu." Gempa langsung berlari ke dapur. Namun setelah kembali, ia menggeleng. "Semuanya sudah basi dan berjamur, tidak ada makanan ringan di rumah ini."
"Ya sudah, aku pergi."
"Aku ikut juga!" Blaze langsung menyusul Grace. Yang lain tetap di rumah itu untuk membereskan tempat tidur mereka malam ini.
"Bang Taufan sabar dulu ya, nanti mereka kembali. Duduk saja dulu." Gempa mendudukkan Taufan di sofa.
"[Name] ganti seprei ya, soalnya [name] nemuin seprei bagus di dalam lemari." [Name] berteriak dari atas lantai dua. "Iya, pakai aja," balas Gempa sambil ikut naik ke lantai dua. Duri berlari mengejar Gempa. "Duri juga mau~"
Tersisa di ruang tamu hanya ada Taufan dan Halilintar yang duduk di satu sofa yang sama. Hanya saja, mereka sama-sama berada di ujung sisi sofa.
Halilintar bukannya merasa negatif thinking tetapi sepertinya Taufan memang menjauhinya. Hanya diam di ujung sofa tanpa berani berbicara atau memandang.
"Kenapa jauh?" Taufan menggeleng. "Tidak ada."
"Coba kemari," panggil Halilintar. Taufan menoleh. Terlihat Halilintar menepuk sisi sofa yang kosong di sebelahnya. "Di sini lebih nyaman," tukas Taufan.
"Kau yang ke sini atau aku yang ke sana?" ancam Halilintar. Taufan tersentak. Ia menoleh patah-patah melihat ke arah Halilintar lagi. Berharap kalo yang Halilintar katakan hanya bercanda. Tapi namanya juga Halilintar, tatapannya malah seperti mengancam.
Karena takut. Taufan terpaksa menggesek duduknya. Namun masih jauh dari tempat Halilintar berada. "Mendekat lagi," perintahnya.
Taufan meneguk ludah kasar. Ia menggeser duduknya lagi, namun Halilintar langsung menarik Taufan agar duduknya benar-benar lebih dekat.
Jantung Taufan rasanya hampir mau copot. Ia keringat dingin karena berada di area yang berbahaya. Terlalu dekat dengan Halilintar membuatnya tidak bisa bernafas. Apalagi Halilintar malah memasang wajah menakutkan seperti itu.
Halilintar menghela nafas. Taufan benar-benar berbeda dengan yang dulu. Kalau dulu, mungkin malah Taufan yang selalu menempel dekat dengannya maupun dengan saudara yang lain. Sedangkan sekarang, berbicara pun dia enggan.
Sebelum Taufan menggeser duduknya untuk menjauh lagi. Halilintar lebih dulu merangkul pundak Taufan. Membuatnya tidak bisa kemana-mana.
"Katakan, apa yang terjadi selama lima tahun?"
Bukan Halilintar namanya jika wajah dan suara yang harusnya bertanya dengan lembut. Malah seperti seorang perampok berdarah dingin yang menanyakan password kode brankas bank.
"T-tidak ada."
"Lalu? Kenapa kau bisa hilang ingatan dan bersikap seperti ini?" tanyanya lagi.
Taufan menunduk. Tangannya bahkan sampai berkeringat. "Aku ... aku baru keluar dari tabung setahun yang lalu. Aku tidak tidak tahu bagaimana empat tahun sebelumnya."
Dahi Halilintar mengernyit. "Setahun yang lalu?" Ia melepas rangkulan. Menggantikannya dengan memegang kedua pundak Taufan dan memperhatikan Taufan dari atas sampai bawah. "Jangan bilang bahwa tubuhmu tidak tumbuh sejak lima tahun lalu gara-gara berada dalam tabung?!"
Taufan tidak mengerti bagian itu. Yang ia tahu, ia keluar sudah sebesar itu. Tanpa ingatan apapun kecuali namanya dan satu orang lagi di tabung sebelah.
"A-ada satu orang lagi di tabung sama sepertiku. T-tapi itu hanya ingatan samar sebelum sebelum aku tidur di dalam tabung."
"Satu orang lagi? Siapa?"
Taufan mencoba mengingat. "Aku tidak tahu namanya. Tapi dia mirip kita dan ... dan dia punya luka besar di perutnya."
Mata Halilintar membelalak. Dia tahu persis siapa itu.
Kejadian lima tahun lalu kembali berputar. Saat salah satu saudaranya mengorbankan diri tertusuk.
"Ice."
.
.
.
"Kita berpencar saja, ambil secukupnya." Blaze menyetujui hal tersebut. Langsung pergi dari sana. Grace berteriak lagi. "Kalau sudah nanti bertemu di depan pintu masuk!"
"Ya!" balas Blaze berteriak juga.
Grace menghela nafas. Lalu mengambil tas belanja yang jatuh di bawah lantai. Berjalan ke arah jajaran makanan ringan untuk mengambil beberapa makanan yang tidak basi.
Grace melihat-lihat tanggal kadaluwarsanya terlebih dahulu. Memastikan bahwa masih belum kadaluwarsa, ia memasukkannya dalam kantung belanja.
"Grace!"
"Astaga!" Grace terkejut saat tiba-tiba Blaze muncul di samping. Blaze terkekeh sesaat lalu menunjukkan makanan sereal. "Apa kita boleh ambil ini?"
"Tentu, ambil saja."
"Bagaimana dengan mainan di lantai dua?"
Grace menaikkan sebelah alisnya. Lalu menghela nafas. "Kalau kau sanggup membawanya, silahkan saja."
"Asyik!" Blaze pergi lagi. Langkah kakinya terdengar menjauh. Sepertinya Blaze sudah naik ke lantai dua.
Grace melanjutkan kegiatannya untuk mengambil makanan.
Beberapa menit berlalu. Setelah Grace merasa cukup. Ia pun memutuskan untuk kembali ke pintu depan.
Srak!
Grace berhenti saat mendengar bunyi barang jatuh di etalase sebelahnya. "Blaze? Sudah belum? Ayo kita kembali."
Grace berjalan ke etalase sebelah. Mengintip. Terlihat rambut coklatnya yang ia kenali itu. Sedang melihat sebuah jajanan sereal di tangannya. Sepertinya sedang melihat tanggal kadaluwarsa.
Grace dengan cepat menghampirinya. Ia memegang pundaknya. "Blaze, ayo cepat kita--"
Jleb!
Grace kaget saat benda tajam menusuk tepat ke perutnya. Ia melihat ke sosok yang ia kira adalah Blaze. Namun bukan. Matanya berwarna aqua, dan Grace tahu siapa itu.
"I-ice ..."
Pisau itu dicabut. Grace merasa pusing. Ternyata selain ditusuk, sudah ada racun yang dilumuri pada bagian pisau. Grace langsung ambruk seketika ke lantai.
Wajah lelaki itu datar. Manik aquanya kosong.
Samar-samar sebelum sepenuhnya hilang kesadaran. Ia bisa melihat Blaze yang baru muncul dari etalase sebelah. Menatap terkejut. Lalu berteriak ke arah Grace.
"GRACE!!"
Dan semuanya gelap seketika.
.
.
.
***tbc***
A/n:
Jadi Taufan baru keluar setahun yang lalu?
Seseorang yang berada di tabung sama seperti Taufan, apakah benar-benar Ice?
Kenapa Ice menusuk Grace?
Jadi gaes yang kemarin, alasan kenapa Halilintar bersihin dagu Grace itu karena~
Ituloh, kan waktu mereka ribut sama salah satu penduduk. Lelaki sebelumnya megang dagu Grace. Ciyee lupa.
Taufan jadi beda, padahal dulu dia jahil tapi sekarang malah Halilintar yang balik jahil. Iya, Halilintar lagi jahil itu makanya megang-megangin Taufan. Gatau aja dalam hatinya ketawa nista.
Kalau kalian lupa. Ice pernah muncul sebelumnya. Yang waktu itu pakai jubah hitam dan nyerang Grace waktu mereka lagi isi bensin.
Udah jelas? Ciee ga fokus berteori karena otaknya dipenuhi sama tugas daring 🌚
Semangat belajarnya ya 👍✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top