5 - Solar?
Kaki menapak ke tempat dimana tragedi besar menimpa mereka. Halilintar melihat kiri dan kanan. Merinding dengan hawa yang berbeda.
Pasar malam itu benar-benar hancur. Semua berantakan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Ia berhenti di tempat itu. Tempat kejadian semuanya berlangsung. Ketika Ice dan Taufan terkapar tidak berdaya di atas tanah.
"Ice? Taufan?"
Mata Halilintar membelalak saat menemukan Ice yang bersimbah darah dan Taufan di sana. Tepat di tempat mereka jatuh. Lima tahun yang lalu.
Halilintar terpaku diam. Badannya mendadak kaku. Ia ingin menggapai kedua adiknya itu. Namun kakinya tidak sanggup melangkah.
"Kenapa kau meninggalkan kami?"
Halilintar berbalik dengan cepat. Ada Solar di belakangnya. Solar menatap Halilintar sendu. Manik kelabunya terlihat kosong.
"A-aku ..." Halilintar juga tidak tahu. Kenapa ia meninggalkan mereka?
Kenapa?
Bagai ilusi. Namun nyata. Halilintar seolah di sihir. Kedua tangan Solar tahu-tahu saja sudah berada di leher Halilintar. Seolah ingin mencekiknya.
"Kami--"
"MEMBENCIMU."
"Bang Hali!!"
"AAAAAA!!"
Halilintar mencengkram bajunya. Nafasnya ngos-ngosan. Ia mengangkat kepala. Rupanya ia tertidur saat sebentar saja berbaring di sofa depan.
"Astaghfirullah, terkejut aku bang. Bang Hali kenapa sih?" Blaze mengusap-usap dadanya dengan wajah shock. Sudah dibangunin, malah dikejutin. Blaze mah orangnya sabar diginiin.
"Tidak." Halilintar mengusap wajahnya. "Tidak apa-apa."
"Ayo buru bang, kita kan mau ke pasar malam itu." Blaze menarik lengan sang kakak.
Halilintar menghela nafas. Sepertinya ia tertidur karena berjaga semalaman. Apalagi pikiran tentang pasar malam itu tidak bisa pudar dari kepalanya.
"Sudah? Ayo kita berangkat."
Grace sudah siap di kursi kemudi. Semuanya langsung naik. Setelah itu, Grace tancap gas untuk pergi menuju pasar malam, tempat yang harus mereka tuju hari ini.
Dalam perjalanan. Grace sengaja melambatkan mobilnya. Ia bisa melihat bagaimana wajah bersaudara itu gugup. Takut jika ternyata mereka yang berharap bahwa saudara mereka hidup, ternyata hanyalah harapan kosong.
Halilintar yang paling tegang tentunya. Dahinya bahkan sampai berkerut meski tetap saja ketampanannya tidak berkurang. Ia terus terngiang-ngiang soal mimpi barusan.
Bagaimana kalau semisal mereka menemukan mayat Ice dan Taufan?
Haruskah mereka sedih karena Ice dan Taufan telah mati?
Atau senang karena mereka berdua ditemukan?
Reaksi apa yang akan keluar darinya? Apakah mimpi itu benar-benar sebuah pertanda?
Halilintar tidak bisa berpikir jernih. Selama lima tahun ia selalu terbayang-bayang tentang ketiga adiknya yang menghilang. Ditambah [name] yang waktu itu entah kemana.
"Jangan terlalu gugup," ujar Grace. "Terima apa adanya."
Mereka tidak bisa membantah. Melihat bagaimana kehidupan Grace sampai saat ini. Tentu saja itu tidak mudah.
Mereka akhirnya sampai ke tempat yang dituju. Grace memarkirkan mobilnya ke pinggir pasar malam. Ia tidak bisa masuk karena isi pasar malam yang benar-benar hancur.
Semuanya keluar dari mobil. Menatap palang tanda pasar malam dengan nafas bergetar. Mereka harus siap, menerima segala yang takdir berikan pada mereka.
Grace masuk lebih dulu. [Name] menyusul, begitu juga yang lainnya. Sambil melihat-lihat keadaan sekeliling. Semuanya benar-benar berantakan. Duri berjalan disamping Blaze, menggenggam erat tangan sang kakak.
Grace berhenti saat mereka telah mencapai tempat tersebut. Tempat dimana perkelahian tersebut terjadi. Lalu Grace, bisa melihat mayat-mayat bekas pertarungan tersebut.
Setidaknya, ada dua mayat yang telah busuk dan hancur.
"Kalian melihatnya?"
"Itu bukan mereka, itu bukan mereka." Gempa mengucapkan itu berulang-ulang. Menutup mata dan telinga. Berpaling karena takut.
[Name] memberanikan diri maju. Mendekati kedua mayat yang ada di sana. Ia langsung mengecek, meski perutnya terasa mual.
"Bukan."
[Name] melihat kearah abang-abangnya dengan wajah tersenyum menahan tangis. "Bukan mereka."
Gempa ambruk terduduk ke tanah. Duri menangis kencang sambil bersyukur bahwa itu bukan kedua kakak mereka. Blaze terlihat memegangi dadanya yang sempat berdetak kencang. Sementara Halilintar menghela nafas, memejamkan mata karena pikiran anehnya.
"Untunglah kalau begitu." Grace mendekati [name]. Menendang kedua mayat busuk itu untuk segera menyingkir. Yang satunya terdapat luka tusukan di wajah dan satunya di jantung. Grace sangat tahu itu karena dia.
Berarti selain kedua orang ini. Sisa pengawal lainnya berhasil melarikan diri walau terluka parah.
"Jejak darahnya." Blaze menunjuk ke jejak darah yang kering. Seperti ada sebuah kubangan, lalu bekas diseret.
"Sepertinya itu bekas darah Ice. Apa dia diseret seseorang? Atau menyeret dirinya sendiri?" Halilintar mencoba menerka.
"Dia diseret," ujar Grace. Ia menunjuk ke arah bekas jejak darah itu. "Tidak ada cap tangan."
"Benar juga," Blaze mengangguk-angguk.
"Siapa yang menyeretnya? Solar? Taufan?" tanya Halilintar. Masih bingung dengan hal-hal yang terjadi ini. Grace memperhatikan darah tersebut lamat-lamat. Lalu melihat sekeliling.
Ia berlari mengikuti arah jejak darah tersebut. Lalu ia sampai di pinggir sebuah dinding. Bekasnya seperti kubangan darah juga. Bahkan terdapat bekas pakaian seseorang yang terkena darah. Ia mengambilnya dan kembali lagi.
"Ini." Grace menunjukkan pakaian tersebut ke mereka. "Sepertinya seseorang itu mencoba menghentikan pendarahan dengan bajunya."
"I-itu!" Suara Gempa membuat mereka semua menoleh. Ia berucap dengan nada bergetar.
"Itu ... baju yang dipakai Solar malam itu."
.
.
.
[Name] mencoba berjalan sendirian. Seharusnya ia bersama Grace, namun Gracenya malah menghilang begitu saja. Gempa dan Duri kembali ke mobil untuk ditenangkan akibat shock. Halilintar dan Blaze sedang mengantar mereka.
[Name] menggaruk kepala karena kesal. Bisa-bisanya ia tersesat di sini. Ia heran kenapa pasar malam ini bisa seluas ini.
[Name] berjalan sendirian. Memutari tempat dimana banyaknya stand bekas jualan lima tahun lalu.
"Oh!" Ia menemukannya. Salah satu abangnya terlihat sedang berdiri menatapi kincir angin. Langsung saja [name] menghampiri sang kakak dan memegangi lengannya.
"Ah untunglah! Kupikir bakal tersesat." [Name] mencoba melihat wajahnya. Ia agak bingung karena semua abangnya mirip. Hanya mata yang membedakan mereka. "Eh, bang?"
Saat itu [name] tidak tahu. Memangnya abangnya ada yang bermata kelabu?
Orang tersebut menatapnya shock. Mata kelabunya yang tiba-tiba langsung memberi ingatan ke [name]. Ekspresinya benar-benar shock.
"Bang ... Solar?"
Ia terkejut saat itu. Langsung saja melepas tangan [name] dengan kasar sehingga [name] terjatuh. Lalu berlari pergi.
"T-tunggu!" [Name] langsung berdiri. Ia mengejar orang tersebut. Jantungnya berdetak tidak karuan. Namun orang itu larinya jauh lebih cepat daripada [name].
Saat di belokan. Orang itu menghilang. [Name] panik, melihat ke kiri dan ke kanan. Namun tidak menemukan sosoknya sama sekali.
"Tidak, kenapa? Kenapa dia lari?!"
"[Name]."
[Name] langsung menoleh saat ada yang memanggilnya. Terlihat ada Grace di belakang. Melihat [name] dengan tatapan bingung. "Ada apa? Kenapa kau berlari terburu-buru seperti itu?"
"Grace!" [Name] menghampiri Grace. "Tadi! Tadi kulihat bang Solar! Aku yakin dia berlari ke arah sini tapi hilang. Tapi kenapa dia lari?"
"[Name]." Grace memegangi pundak [name]. "Tapi tadi aku hanya melihat kau berlari sendirian."
Mata [Name] membelalak. Ia merasa tidak mungkin, jelas-jelas ia melihat bahkan memegangi tangannya. "Tapi! Aku benar-benar mengejarnya!"
Grace hanya memasang raut bingung. [Name] benar-benar merasa shock. Lalu yang ia lihat tadi itu apa? Apa hanya sekadar ilusi belaka?
Apakah dia hanya berhalusinasi saja?
"Tapi ... tapi ..." [Name] menggigit bibirnya. Ia mengepalkan tangannya karena kesal. Tapi Grace benar-benar yakin jika [Name] hanya berlari sendiri, tidak mengejar apapun. Mendengar itu, [Name] menyerah.
"Sepertinya kita harus kembali. Tenangkan dulu dirimu, [Name]." Grace menepuk-nepuk pelan pundak [name]. [Name] mengangguk, ia berjalan beriringan dengan Grace untuk kembali ke mobil.
.
.
.
"Minum ini." Grace melempar sekaleng minuman ke [name]. [Name] menangkapnya, "Terima kasih."
[Name] meneguk minuman tersebut setelah membukanya. Ia menatapi pasar malam dari luar. Raut wajahnya kembali sendu karena hal tadi.
Halusinasi? Apakah benar?
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya [name] ke Grace yang tampaknya sibuk membongkar sesuatu di bagasi mobil. Mendengar pertanyaan itu, ia menyudahi pekerjaannya dan menutup bagasi.
"Kita akan mencari penduduk yang tinggal di sini." Grace pergi ke kursi pengemudi dan mengambil handphonenya. [Name] terlihat bingung. "Apakah ada penduduk di sini?"
"Ya," sahut Grace. Ia menunjukkan peta di handphone miliknya. "Tak jauh dari sini, kudengar ada pemukiman penduduk yang masih tinggal di pulau ini."
"Wow, darimana kau mendapat informasi itu?"
Grace menarik kembali handphonenya. Lalu memasukkannya ke saku celana. Ia menyenderkan tubuhnya ke pintu mobil. "Sebelum kita kemari, aku sudah mencari-cari informasi tentang pulau ini terlebih dahulu."
"Sudah kuduga, kau jenius."
Grace tersenyum miring mendengarnya. "Kau juga jenius. Tapi sepertinya akhir-akhir ini ketajaman berpikirmu mulai menumpul, huh?"
"Yah." [Name] memutar bola matanya malas. "Banyak pikiran kurasa."
"Kuharap begitu, lalu aku akan mengalahkan nilaimu lagi."
[Name] tertawa. "Coba saja, aku tetap yang tertinggi tahu."
Grace tidak membalas. Ada jeda sebentar saat angin berhembus pelan. "Bagaimana pelajaran di SMA? Apakah sulit?"
[Name] memanyunkan bibirnya sambil berpikir. Ia terkekeh kecil. "Mudah, tapi akan sulit untukmu yang terakhir belajar lima tahun lalu."
Grace mendelik. "Jadi? Apakah aku harus masuk SD lagi?"
"Tidak!" tukas [name] dengan bernada. "Kau nikah saja dengan salah satu abangku, nanti kita saudaraan."
Grace menatap [name] dengan raut tak percaya. Lalu menggelengkan kepala saat tahu betapa randomnya pembicaraan mereka.
"Kalau menikah nanti tidak perlu belajar. Kau kan kaya. Nikah dengan bang Gempa atau bang Hali, dijamin hidupmu bahagia." [Name] turun dari atas kap mobil. Berdiri di samping Grace dengan tampang jahil.
Grace langsung menjitak kepala [name] dengan kaleng minuman miliknya yang telah kosong.
"Dasar, kau mau mengambil alih kekayaanku ya?"
"Itu juga," sahut [name] tanpa rasa bersalah. Grace jadi tertawa karena tingkahnya. Sedangkan [name] mengusap kepalanya yang benjol.
"Seandainya kau laki-laki, pasti bisa kunikahi," ujar [name] lagi. "Pasti kaya tujuh turunan," sambungnya.
Grace menaikan sebelah alisnya. "Kau kenapa sih? Kebelet nikah?"
"Bukan, aku kebelet kaya."
Grace tertawa lagi. "Memangnya kalau aku laki-laki, kau beneran mau nikah sama aku?"
Sontak [name] memperhatikan Grace dari atas sampai bawah. Lalu langsung menggeleng. "Pasti bakal ganteng, tapi psiko. Ga jadi deh."
"Kau ga bosan nyebut aku psiko ya."
"Habisnya kan bener."
Grace menjitak [name] lagi.
"Aduhh!!"
.
.
.
***tbc***
A/n:
Apakah Solar yang bawa Taufan dan Ice pergi?
Yang dilihat [name] itu beneran Solar atau cuma halusinasi seperti kata Grace?
"Kak Ruru update setiap hari?"
Maybe yes XD karena Ruru nantinya bakalan sibuk, jadi sebisa mungkin mempercepat tamatnya cerita ini dan bakalan hiatus (mungkin).
Ga pasti bakal berapa chapter. Tapi target Ruru cuma sampai 30-an chapter. Ruru ga sanggup bikin banyak-banyak soalnya.
Ruru perhatikan, yang komentar ga sebanyak dulu. Kayaknya udah pada lenyap hilang ditelan tugas ya?
Respect dong Ruru sama yang bertahan baca cerita sebelah bahkan sampai kemari. Komentar kalian adalah moodboster, jadi komentarlah sebanyak-banyaknya meski Ruru ga sanggup balasin semuanya XD
Biar Ruru makin semangat update tiap hari euy 🌚
Eyy emot Ruru makin lama makin meresahkan ya. Kalo ngeliat kalian berteori, kayaknya enak aja make emot bulan berwajah. Biar semakin misterius hehehe
See you ✌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top