4 - Nomor asing

"Ah, mana mungkin."

[Name] berjalan turun dari lantai dua. Menghampiri sang kakak yang memanggil namanya. "Ada apa bang?"

"Ya ampun, jangan masuk dulu. Pasti kotor dan banyak debunya kan?" omel Gempa. Ia mencari letak sapu dan serokan. Meski bentuknya sudah tidak terlalu layak untuk disebut sapu. Tapi tidak apa selama masih bisa digunakan untuk menyapu.

"Kamu panggilin Grace dulu gih, kita gatau dia mau nempatin kamar yang mana." Gempa berlalu naik ke lantai dua. Duri yang baru muncul dari halaman belakang, langsung mengejar Gempa. "Mau ikut bersih-bersih!"

"Kayaknya Grace tidur sekamar dengan [name] aja!" teriak [name] dari lantai bawah. Tidak ada jawaban dari Gempa. Entah dia mendengar teriakan tadi atau tidak.

Blaze masuk dari pintu depan. [Name] segera menghampirinya. "Bang, Grace udah kembali?"

Blaze menggeleng. "Dia pergi?" tanyanya balik. [Name] lantas mengangguk. Mengatakan jika Grace ingin berkeliling katanya. Seharusnya ia tidak jauh dari sini.

"Coba tanya bang Hali, dari tadi dia berdiri di bagasi mobil." Blaze menunjuk ke pintu keluar. [Name] memiringkan tubuhnya. Ia bisa melihat sang kakak sulung yang terlihat mengobrak-abrik koper di bagasi.

[Name] segera berlari keluar. Menghampiri sang kakak, ia lantas bertanya tentang Grace. Lagi-lagi Halilintar ternyata juga tidak tahu.

"Telpon saja," ujar Halilintar.

"Benar juga." [Name] langsung mengambil telepon di sakunya. Menekan nomor yang tersimpan dengan nama Grace. Ia menekan tombol hijau untuk memulai panggilan.

"Eh, bentar." [Name] membuka pintu mobil saat mendengar suara getaran dari dalam sana. Ia menemukan handphone Grace yang tertinggal di kursi kemudi.

"Ditinggal ternyata." [Name] langsung meraih handphone tersebut. Namun terdengar dering telepon lagi dari handphone Grace. Tentu saja bukan [name], melainkan nomor asing.

"Duh, angkat aja deh, mana tahu Grace."

[Name] menekan tombol hijau. Lalu mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan handphone ke telinga.

"Halo," ujar [name].

Setelah menunggu, ia tak kunjung mendengar balasa dari sebrang telepon. [Name] mengernyitkan dahinya. "Halo? Grace?"

Pip!

"Loh, dimatiin?"

"Ada apa?" Halilintar datang menghampiri. [Name] angkat bahu sambil menunjukkan handphone Grace. "Tadi ada nomor ga dikenal nelpon, tapi pas kuangkat malah ga ngomong apa-apa terus dimatiin gitu aja."

Halilintar jadi ikut memasang wajah bingung. "Mungkin salah sambung."

"Bisa jadi sih." [Name] mengangguk. Tapi bukan [name] namanya jika tidak penasaran. Kalau saja ia tahu kunci password handphone Grace. Pasti sudah ia bongkar semuanya.

"Grace mana sih?" gerutunya.

.

.

.

"Jadi mirip rumah hantu ya, kalau malam-malam," sebut Blaze. Duri jadi merinding dan menempel ke tangan Gempa. Halilintar menaruh alat penerangan ke tengah meja.

Mereka semua sedang berkumpul di ruang tengah. Dengan dibantu alat penerangan. Mereka bisa melihat wajah satu sama lain meski samar-samar.

Grace datang membawa makanan yang baru saja ia ambil dari garasi. Menaruhnya di atas meja.

"Kita tidak bisa menanak nasi di sini, juga memasak lauk. Aku hanya membawa cemilan ringan. Kita makan ini saja malam ini." Grace mengeluarkan berbagai makanan ringan dari dalam kantung belanja. Duri dan Blaze mencomot beberapa cemilan dan memakannya.

"Banyak sekali, apa tidak apa-apa? Bukankah besok kita juga perlu makanan? Stok makanan kita cuma ini, kan?" [Name] ragu saat Grace tidak tanggung-tanggung mengeluarkan semua cemilan ke atas meja.

"Tidak apa, kalau habis nanti kita bisa berburu."

"Berburu?" sahut Duri antusias. "Duri mau coba berburu!"

"Memangnya di pulau ini ada hewan yang bisa diburu?" Gempa terlihat tidak yakin. Grace duduk di sebelah [name] dan mengambil cemilan juga. "Tenang saja, kalaupun tidak ada hewan di darat. Masih ada laut dan langit."

"Mau berburu pakai apa? Kita kan tidak punya senjata." Kini Halilintar lagi. Blaze mengangguk setuju atas ucapan kakaknya. Mana bisa berburu dengan tangan kosong, menurutnya.

"Tentu saja dengan alat, kalian pikir kenapa bagasiku penuh?" Grace tersenyum remeh. Mata Duri berbinar. "Grace bawa senjata?"

Grace mengangguk. "Hanya senapan tiga buah. Lalu jaring dan beberapa belati."

"Astaga, kenapa kau bisa mempersiapkannya sampai ke sana?" [Name] terlihat shock. Padahal [name] saja hanya terpikirkan untuk membawa baju. Tak disangka Grace membawa semuanya begitu mereka memutuskan kemari.

Grace lebih maju ternyata, padahal jelas-jelas dia koma lima tahun. Tapi kenapa pikirannya tetap tumbuh dewasa? Bukankah seharusnya masih bersifat kekanak-kanakan?

"Bukankah harus ada yang berjaga di malam hari?" ujar Blaze. "Soalnya tadi siang saja ada yang menyerang seperti itu, bagaimana jika mereka menyerang kita saat tertidur?"

"Benar juga," gumam Gempa.

"Aku yang akan berjaga, kalian semua boleh tidur," tukas Grace. Ia mengunyah beberapa cemilan dalam mulutnya.

"Aku saja, lebih baik kau tidur bersama [name]," ujar Halilintar. Grace menautkan alis, "[name] bisa menjaga dirinya sendiri."

"Kau juga harus menjaga dirimu sendiri."

"Tapi aku lebih bisa menjaga diriku sendiri daripada [name]."

"Kau itu masih kecil, biar aku saja yang berjaga."

"Apa delapan belas tahun itu masih kecil menurutmu, pak?"

"Ekhem!" Gempa berdehem dengan keras. Membuat kedua orang tersebut berhenti cekcok.

"Grace," panggil Gempa dengan lembut. "Biar kami saja yang berjaga, kau bisa istirahat. Perempuan sepertimu tidak boleh bekerja terlalu keras, apalagi kau baru sadar dari koma."

"Tapi--"

"Tak apa, abang-abangku hebat loh." [Name] terkekeh kecil. Mencoba meyakinkan Grace bahwa ia bisa percaya saja kepada abang-abangnya. Mengetahui bahwa Grace sering ketiduran seperti itu, ia pasti lelah.

Grace mendengkus. Ia berdiri dari duduknya dan berjalan pergi dari sana. "Terserah."

.

.

.

"Grace, kau sudah tidur?" [Name] mendekati ranjangnya sendiri. Sudah ada Grace di sana yang berbaring menghadap tembok.

"Hm," jawabnya.

[Name] ikut naik ke atas kasur. "Tadi ada yang menelepon, nomor asing. Tapi saat kuangkat malah dimatikan."

Grace berbalik saat mendengar itu. "Nomor asing?" tanyanya lagi.

[Name] mengangguk. Ia memberikan handphone Grace yang tadi lupa ia berikan. "Saat ku sapa, langsung dimatikan."

Grace mengambil kembali handphonenya. "Begitu."

"Apa itu orang yang Grace kenal? Atau benar-benar hanya salah sambung?"

Grace mengutak-atik handphonenya. Melihat nomor yang telah menelepon dirinya. "Salah sambung."

"Oh begitu."

[Name] melihat situasi langit gelap melalui jendela. Gordennya telah sobek sehingga tidak bisa menutup jendela. Membiarkan cahaya masuk melewati jendela kamar. Beruntung kacanya tidak pecah, hanya retak.

[Name] ikut berbaring. "Selamat malam, Grace."

"Malam."

.

.

.

"Mau gantian?" Gempa menghampiri sang kakak yang duduk di teras depan. Halilintar menggeleng, "Kau juga tidur sajalah."

Gempa duduk di sebelahnya, sebuah kursi kosong. Lantas terkekeh sedikit. "Sudah hampir subuh loh, beruntung air ternyata masih menyala."

"Airnya menyala?" tanya Halilintar heran. Gempa mengangguk dengan senyum di wajahnya. "Yep, kupikir seharusnya sambungan air telah terputus. Apalagi sudah lima tahun berlalu."

"Sepertinya tidak ada yang mematikan karena mereka sibuk melarikan diri."

"Kurasa begitu."

Mereka memandang langit malam. Gempa bersuara lagi. "Bang Hali."

"Ya?"

Gempa tersenyum lagi. "Aku tidak menyangka bahwa [name] benar-benar kembali pada kita."

Halilintar terdiam sebentar. Melihat raut wajah adiknya yang senang. Ia mengangguk setuju. "Kurasa, takdir masih menginginkan kita bersama."

"Padahal sewaktu kecil, banyak sekali kejadian yang terjadi."

"Ya."

"Kira-kira bang Taufan, Ice dan Solar sedang apa ya?"

Halilintar sedikit tertegun saat Gempa menanyakan hal itu. Hatinya sakit. Teringat bagaimana ia menyaksikan mereka terkapar di depan tidak berdaya. Ice yang menahan agar dirinya tidak tertusuk, lalu Taufan yang berakhir dicekik seperti itu. Sedangkan Solar menghilang entah kemana.

"Kau yakin kalau mereka benar-benar hidup?"

Bukan.

Bukannya Halilintar menyerah.

Hanya saja, apakah ada keajaiban bagi kedua orang yang telah sekarat di depan mata untuk hidup? Apalagi mereka meninggalkannya begitu saja?

Bukankah jika mereka hidup. Justru mereka akan dendam karena ditinggalkan?

"Pasti!" Gempa terlihat yakin. Manik keemasannya membara. Menatap manik ruby Halilintar dengan sangat yakin. "[Name] yang menghilang saja kembali dengan selamat, apalagi mereka."

"Mereka kan kuat, pasti sudah menanti-nanti hal ini agar kita semua bisa bersama."

Halilintar terdiam. "Maaf," gumamnya.

"Bang Hali, ayo kita berjuang. Kita buat keluarga kita utuh lagi. Bukankah kita harus membuat kedua orang tua kita tidak khawatir?"

Sejenak mendengar ucapan Gempa. Tiba-tiba ia terkejut seolah kelupaan sesuatu.

"Gem."

"Apa bang?"

"Bukannya kita belum izin ke orang tua kita?"

Gempa ikutan panik.

"Oh iya ya!"

.

.

.

Brak!

Grace menaruh berkantung-kantung makanan ringan di atas meja. Gempa terlihat terkejut, "Darimana ini?"

Blaze dan Duri muncul dari belakang Grace dengan berseri-seri. Membawa makanan ringan juga di tangan mereka.

"Kami membobol supermarket!" sahut Blaze bangga.

"Kita bakal ditangkap gak ya? Kalau ada polisi gimana?" Duri celingukan. Gempa tertawa melihatnya. "Kan bang Hali polisi."

"Oh iya ya."

Mereka duduk di meja makan bersama dan memakan cemilan yang dibawakan.

"Tapi aneh," ujar Blaze disela-sela kunyahannya. "Barang-barang di minimarket tidak sebanyak itu, seperti ada yang mengambil juga."

"Maksudnya seperti ada yang tinggal di pulau ini?" tanya [name]. Blaze mengangguk.

"Sepertinya benar-benar ada penduduk di pulau ini," gumam Halilintar.

"Selama lima tahun tinggal di pulau yang tak berpenghuni seperti ini, mereka sangat sabar sepertinya." Mereka mengangguk setuju.

"Tapi kenapa mereka tidak pindah ke pulau sebelah?" sahut Duri dengan bingung.

"Tidak semuanya bisa diterima, kita bisa tinggal di pulau sebelah juga karena koneksi milih ayah dan bunda," sahut Halilintar datar.

"Berarti beberapa yang lain, masuk ke pulau lain dengan susah payah dan mungkin ilegal."

"Hidup itu susah ternyata."

"Pagi ini kita kemana?" tanya [name]. Grace minum untuk menelan makanannya. "Ke pasar malam."

"Pasar malam?"

"Ya, bukankah mayat mereka ada di sana jika mereka mati?" ujarnya. Mereka semua mengangguk mengerti.

"Kalau tidak ada, berarti ada kemungkinan bahwa mereka masih hidup!" Blaze benar-benar terlihat bersemangat. Diikuti Duri.

"Makanlah banyak-banyak. Kita akan mencari. Siapkan hati kalian."

"Siap."

.

.

.

***tbc***

A/n:

Maaf kesiangan hahaha, kemarin ngantuk pas ngetik jadi maunya pas pagi. Eh malah bangun kesiangan 🗿

Apa benar nomor asing yang menelepon itu salah sambung?

Loh? Ternyata mereka belum izin ke orang tua.

Ke pasar malam, apakah mereka bakal nemuin sesuatu di sana?

Tetap semangat daring dan berteori 💪

See you~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top