28 - Akhir kisah
"Grace, bagaimana kalau kita berpencar?"
Grace sedikit tertegun mendengar saran dari [Name]. Ia tidak yakin. Bagaimana bisa seorang [Name] yang sayang keluarga, malah memutuskan untuk berpencar.
"Berpencar bagaimana maksudmu?"
"Membagi jumlah kita menjadi beberapa bagian. Karena sepertinya, kita harus buru-buru." [Name] memberikan saran dan alasan yang cukup masuk akal bagi Grace. Grace tidak bisa menolak. Lagian, dari awal dia juga memang ingin pergi sendirian.
"Bagaimana pembagiannya?" tanya Grace yang akhirnya tertarik. [Name] menarik senyum simpul di wajahnya. Lantas memberikan sehelai kertas yang sudah dipenuhi coretan.
Di kertas itu, [Name] menunjuk pada sebuah gambar yang telah dibagi-bagi pula.
"Aku dan Bang Hali akan berpencar mengelilingi kawasan ini untuk mencegah serangan dari luar. Bang Taufan, Bang Ice dan Bang Solar akan bersama Luke untuk pulang ke pulau sebelah. Lalu kau Grace bersama dengan Bang Blaze dan Bang Duri--"
"Tunggu dulu!" potong Grace. Tidak terima dengan bagian yang akhir. "Kenapa aku harus bersama kedua abangmu?"
"Kenapa? Mereka kan bagus, bisa membantumu."
"Tidak," sangah Grace. "Aku ingin sendiri. Dan lagi, Blaze pernah diserang. Lalu bagaimana bisa aku membawa manusia sepolos abangmu yang matanya hijau itu untuk ikut bersamaku? Aku tidak bisa terus-menerus melindunginya."
"Karena itulah aku dan Bang Hali akan mengelilingi kawasan ini. Untuk mencegah kalian diserang, kami akan berpatroli diam-diam. Lalu kau dan kedua abangku bisa dengan leluasa mencari sesuatu di dalam rumah itu. Lagipula bang Gempa juga bisa menjaga mobil diluar."
"[Name]--"
"Percayalah, Grace."
[Name] sampai-sampai memegang kedua bahu Grace. Ingin agar gadis bule itu menyetujui rencananya yang terbilang terlalu dadakan.
Grace berdecak kesal. Karena hal inilah dia tidak pernah mau memasukkan [Name] ke dalam rencananya sama sekali. [Name] akan selalu menghancurkannya.
Sama seperti dulu.
"Baik, terserahlah." Grace melepas tangan [Name] yang memegang bahunya. [Name] tersenyum lugu. "Makasih, hehe."
'Hehe ndasmu', batin Grace.
"Beritahukan rencanamu itu pada abang-abangmu yang lain dengan jelas, agar tidak salah paham lagi seperti dulu." Grace menekan ucapannya yang akhir dengan nada ancaman. Grace tahu betul bagaimana semua terjadi karena kesalahpahaman.
Sedangkan [Name] hanya senyum-senyum saja seperti tidak ada yang terjadi.
.
.
.
Menembak Halilintar lalu berencana menyelesaikan semuanya sendiri. [Name] merasa aneh. Ia tidak pernah melakukan apapun dulu.
Ia ingat dengan jelas perkataan sewaktu Rena masih hidup. Gadis berambut hitam itu pernah mengatakan bahwa [Name] memiliki aura berwarna putih. Aura yang menurut Rena sendiri adalah aura yang sangat putih dan polos.
Sejujurnya, Rena salah.
Rena yang masih kecil itu tidak tahu bahwa aura yang ia lihat itu. Bukanlah aura yang memperlihatkan dosa orang-orang.
Aura itu adalah bentuk wujud atas pikiran manusia sendiri.
[Name] sudah menduganya dulu. Sewaktu Rena mengatakan bahwa aura Grace berwarna hitam legam. Bahkan seolah-olah bergerak ingin menerkam orang lain.
Padahal saat itu, Grace cuma pernah membunuh ibunya saja sekali. Dan setelah itu, Grace tidak melakukan apa-apa.
Alasan kenapa aura Grace berwarna hitam adalah karena pikiran Grace yang rusak. Grace yang memikirkan segala hal bahkan ketakutan dan perasaan lainnya bercampur. Hal itu yang membuat perasaannya bergejolak.
Jadi, bukankah sudah jelas mengapa [Name] bisa memiliki aura berwarna putih?
Karena [Name], tidak memikirkan apapun.
Tidak mau merasakan apapun.
Karena itulah auranya bersih. Karena [Name] menolak untuk memikirkan sesuatu hal yang menyangkut perasaan.
Dan hingga mati, Rena tidak mengetahui kebenaran itu sama sekali.
Kini [Name] berencana mulai memikirkan segalanya. Yang harus ia lakukan dan masa depannya. Ia punya orang-orang yang ia sayangi dan harus dirinya lindungi.
Ia akan menemui Noel lebih dulu daripada Grace. Karena, [Name] sudah berhasil memecahkan teka-tekinya sendiri.
[Name] tidak mau memberitahukan hal tersebut pada Grace. Ia tidak mau Grace merasa kecewa dan bingung. Sosok yang ia benci ternyata adalah orang lain. Namun justru kakaknya menjadi target kebenciannya.
Maka dari itu, sebagai seorang adik yang sudah mengerti bagaimana seorang kakak bertindak. Ia tahu bahwa Noel sama sekali tidak berencana untuk menyakiti Grace.
Noel berusaha memendam semuanya untuk sendiri.
Namun, [Name] harus mencari sosok lain. Yaitu Niel, dalang dari semua ini.
Lucunya, Noel malah mengajak bekerja sama untuk mengalahkan musuh mereka.
"Aku tidak akan memaksa, akan lebih baik kalau kau mengajak mereka semua kembali ke rumah." Noel dengan tenang memberikan tanda damai ke [Name].
[Name] bingung. Meski Noel sepertinya hanya menawarkan penawaran basa-basi. [Name] merasa bahwa ia harus ikut sebagai penebusan dosa di masa lalu.
"Aku akan ikut denganmu, tapi ada beberapa syarat."
Noel sedikit terdiam. Tidak menyangka [Name] akan memilih ikut dengannya. Meski Noel sama sekali tidak berharap [Name] untuk ikut dengannya.
"Kau tahu, percuma saja aku menyuruh mereka pulang kerumah. Grace pasti bersikeras untuk tetap disini." [Name] memberikan alasannya sebelum Noel bertanya. "Karena itulah aku akan membantumu, asal kau memberikanku alat yang itu."
"Alat yang itu?" beo Noel.
"Alat yang dulu Grace gunakan untuk membuatku kehilangan ingatanku."
.
.
.
"I know you got the best intentions."
"Just tryna find the right words to say."
"I promise I've already learned my lesson."
"But right now, I wanna be not okay."
Senandung lagi terdengar merdu keluar dari mulut [Name]. Di bawah rinai hujan yang mengguyur. Air matanya bercampur dengan air hujan.
"I'm so tired, sitting here waiting."
"If I hear one more 'Just be patient'."
"It's always gonna stay the same."
"So let me just give up."
"So let me just let go."
Langkah demi langkah ia jalani. Jalanan yang awalnya bersih itu menjadi kotor terkena darah.
Air menggenang. Setiap hentakan kaki, percikan air melompat.
"If this isn't good for me."
"Well, I don't wanna know."
"Let me just stop trying."
"Let me just stop fighting."
Hujan yang mengguyur hanya sebatas gerimis. Suara [Name] yang terdengar sakit itu dapat terdengar.
Dan diantara semua manusia yang tergeletak tak berdaya. Ada [Name] yang berdiri di tengah-tengah jalanan.
Menangisi hal yang tidak bisa ia ulang kembali.
"I don't want your good advice."
"Or reasons why I'm alright."
"You don't know what it's like."
"You don't know what it's like."
Sekarang [Name] tahu rasanya menjadi Grace.
Sosok bule yang terlihat bahagia dulu. Tanpa ia sadari adalah sosok yang paling menanggung beban. Hidup tanpa mengetahui kebenaran, bahkan hingga saat ini.
Lalu Rena yang merupakan anak yatim piatu. Berjuang sendirian dan hidup sendiri. Mencoba untuk tetap hidup diantara banyak orang yang tidak menginginkannya.
Rayn bahkan rela melupakan soal penyakitnya demi menyelamatkan [Name].
Dan [Name], apa yang bisa gadis itu lakukan?
Ia hanya bisa menikmati pengorbanan orang lain. Dan terus-menerus melakukan kesalahan.
"[Name]."
Seseorang memanggil. [Name] menoleh. Menemukan sosok Noel yang jalan tergopoh-gopoh dengan memegangi sisi perutnya.
"Ah, Noel."
[Name] menghampiri Noel. Hujan membasahi mereka berdua. Kini Noel ikutan kebasahan dengan baju yang turut basah semua.
Noel tersenyum ke arah [Name]. "Kembalilah, kau tidak perlu memaksakan diri."
[Name] menggeleng. "Tidak, aku akan selesaikan ini."
"Kau hanya gadis kecil biasa." Noel menepuk-nepuk kepala [Name] dengan pelan.
"Aku tahu. Tapi kembali pun, aku tidak punya tujuan untuk pulang."
"Mereka pasti menunggumu, [Name]."
[Name] ragu. Lalu hanya membalas perkataan Noel dengan senyuman.
"Mari kembali dulu, kau harus mendinginkan pikiranmu," ajak Noel. [Name] mengangguk. Kemudian mengikuti Noel yang berjalan kembali.
Dari arah jauh. Ada seseorang berlari ke arah mereka.
"Aaaaaa!! Kak Noel kenapa kesini hujan-hujan sih!!" Luke langsung menuju Noel. Khawatir dengan luka di perut kakak sepupunya yang belum sembuh.
"Jangan berlari begitu, nanti asma mu kambuh," ingat Noel.
[Name] tertawa. Mereka berdua punya penyakit namun malah saling mengingatkan.
"Ayo kembali, Kak Noel, calon istriku."
"Hei, siapa yang kau sebut calon istrimu, hm?" Noel berkacak pinggang.
"[Name] lah, siapa lagi." Luke hanya menjawab seadanya. Lalu mereka tertawa lagi.
"Kau sanggup? Kakak laki-lakinya ada tujuh loh?" Noel menunjukkan angka 7 dengan ketujuh jari-jarinya.
"Hmph! Pasti bisalah." Luke tidak mau kalah. Padahal tanpa sepengetahuan Luke, dulu ada yang melindungi [Name] bahkan mengorbankan nyawanya.
Dan orang itu juga ditolak oleh abang-abang [Name].
[Name] tidak mencintai siapapun. Tapi ia menyayangi semuanya. Jika ia disuruh memilih orang yang harus dia nikahi.
Mungkin, dia akan memilih Rayn.
"Aku rindu adikku." Noel berujar.
Setelah beberapa tahun lamanya tidak bertemu. Sekali bertemu, malah beradu argumen. Dan kini harus dipisahkan lagi oleh takdir dan keadaan.
"Sabar kak Noel. Ayo kita bereskan dahulu semua hal yang ditinggalkan Ian. Agar kejadian seperti dulu tidak terulang kembali." Luke memberi semangat kepada dua orang yang rindu akan keluarganya.
Jangan tanya Luke. Ia tidak punya keluarga selain Grace dan Noel.
"Baiklah, aku mau mampir ke makam duplikat Ian dan yang lain."
[Name] menghela napas. "Duplikatnya malah mati, ya?"
"Ya, Ian sendiri yang membunuhnya. Meski aku memang sempat meledakkan laboratorium. Anehnya, aku masih hidup." Noel tersenyum dalam diam. "Mungkin sebenarnya Ian juga lelah."
"Tidak ada orang yang benar-benar jahat. Mungkin benar ya, seperti Ian." Mereka bertiga berjalan bersama untuk kembali. "Kalau tidak ada yang direbut, seseorang pasti tidak akan berusaha merebut milik orang lain."
"Dari awal, semua ini salah keegoisan dan diri kita masing-masing." Noel mengingat masa lalunya. "Tapi, mau disesali pun tampaknya cukup percuma."
"Berkata soal ini. Kalian sekarang saja egois tuh?" Luke menunjuk Noel dan [Name].
"Iya deh, aku egois."
"Hahaha, manusia ga bisa lepas dari egoisme ya?"
Mungkin nanti, tapi tidak sekarang.
Meski beberapa telah hilang dan tidak bisa diambil kembali.
Namun yang tersisa tetap berjuang untuk bahagia. Dan membahagiakan orang yang mereka sayangi tentunya.
Dan mungkin suatu hari nanti. Mereka akan menemukan kebahagiaannya sendiri.
.
.
.
***the end***
A/n:
The end of this story.
Makasih banyak udah mengikuti book ini sampai sejauh ini. Lop u.
Dan kini kisah [Name] dkk harus berakhir. Dengan pilihan [Name] yang akan terus berjuang demi orang-orang yang ia sayangi.
Aku gatau harus berkata apa untuk book satu ini. Tapi ini first time aku bikin book sampai dua season karena sebuah kesalahan. (Yak, tidak perlu disebut).
Overall. Kalian bisa kasih beberapa kata-kata untuk book satu ini.
Oh tenang, besok akan ada epilog terakhir untuk mengakhiri cerita ini dengan benar. So, stay tune~
Dan saya akan membawa cerita baru. Saya harap kalian tetap terhibur.
Thank you so much.
We meet in the next story.
Bay 💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top