27 - Penyesalan gadis itu
[5 tahun sebelum ledakan pulau rintis]
"Bukankah dia terlalu berbeda dari abang-abangnya?"
Di pagi hari dimana hawa masih terasa dingin. [Name] yang baru saja bangun dan turun dari lantai atas, mendengar percakapan ibu dan ayahnya di ruang tengah.
[Name] yang masih berumur 6 tahun itu hanya berdiri dibalik tembok. Memperhatikan sang ayah dan ibu yang tengah mengobrol dengan serius.
Para abang-abangnya pasti sedang sekolah. Hanya [Name] yang belum masuk sekolah. Sebenarnya [Name] sudah bisa masuk TK, namun [Name] yang masih kecil itu menolak dengan alasan 'takut tidak punya teman'.
Meski alasannya aneh untuk seorang anak kecil. Ibu dan ayahnya hanya memaklumi saja. Mungkin [name] masih terlalu kecil untuk bergaul dengan teman sebayanya.
"Mau bagaimana pun, mungkin dia hanya terlalu lebih cepat belajar dari anak-anak lainnya." Sang ibu mencoba melepas rasa khawatir suaminya. Meski sang suami sendiri terlihat masih memikirkan hal itu.
"Melihat [Name], aku merasa bisa melihat ketujuh anak laki-laki kita dalam satu raga." Ayahnya berujar kembali. Dengan helaan napas panjang, ia kembali berucap. "Seperti versi sempurna."
[Name] hanya mendengarkan semua percakapan itu dari balik dinding. Merasa bahwa semua hal tersebut rahasia. Akhirnya, [name] memilih untuk naik lagi ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar miliknya.
[Name] memiliki kamar tersendiri. Tidak terlalu besar, namun nyaman untuk ukuran anak kecil. Kamarnya di dekorasi dengan warna ungu, meski [Name] sendiri bilang ia suka dengan warna merah.
Lalu ada ranjang kecil dan meja belajar. Di sudut ruangan, ada peti kecil tempat menyimpan mainan. Biasanya, [Name] suka asal memasukkan apa saja miliknya ke dalam sana.
Bahkan [Name] pernah memasukkan salah satu abangnya ke dalam peti itu. Membuat satu keluarga panik mencari, ternyata sang abang justru tidur tenang di dalam peti milik [Name].
Jangan salahkan [Name] . Ia hanya ingat jika tempat tersebut bisa ia masukkan segala hal yang penting bagi [Name]. Karena tidak cukup jika dimasukkan semua, maka [Name] hanya menarik dan menyuruh salah satu abangnya untuk masuk ke dalam peti itu.
Lucu sekali jika para abang [Name] mengingat hal tersebut.
Sekarang isi peti [Name] hanya hal-hal tidak jelas. Dan barangnya pun sedikit. Biasanya [Name] hanya akan memasukkan pena yang diberikan seseorang atau hadiah dari orang lain.
Contohnya saja, jepit rambut yang pernah dikasih oleh Halilintar. Ia masukkan ke dalam sana.
[Name] akhirnya membuka peti itu. Lalu melihat-lihat isinya, sebelum mengambil salah satu barang.
Sebuah batu kerikil berwarna biru yang pernah [Name] temukan sewaktu berlibur ke pantai. [Name] hanya mengambil itu lalu menutup peti kecilnya kembali.
Ia berpindah untuk duduk di atas kasur. Sambil memegangi batu kerikil kecilnya.
Setelah beberapa saat, ia keluar lagi dari kamarnya dan berdiri di dekat tangga. Lalu melempar batu itu ke tangga. Membuat suara berisik dimana batu itu jatuh satu-persatu di atas tangga.
"Astaga, apa itu?"
Kedua orang tua [Name] buru-buru menghampiri tangga. Lalu menemukan [Name] yang ada di ujung tangga, sedang terkekeh senang sembari menutup mulutnya.
"Astaga, [Name]. Kamu ternyata."
"Hehe. Ayah! Bunda!" [Name] turun dari tangga. Kedua tangan ibunya terbuka lebar dan langsung memeluk putri tercinta. Sang ayah hanya terkekeh saja.
"Aduh [Name]. Kenapa kamu melempar batu kerikil disini?" tanya Ibunya dengan nada khawatir. [Name] menggeleng dalam pelukan ibunya.
"Cuma mau manggil Ayah sama Bunda," akui [Name].
Sejujurnya tadi [Name] hendak memanggil. Tapi, ia melihat kedua orang tuanya serius akan sesuatu. Jadi [Name] mencari cara lain agar kedua orang tuanya memperhatikan dirinya.
"[Name] mau ketemu abang!" ujar [Name]. Kedua orang tuanya saling bertatapan. Ayahnya berkata, "Nanti aja gimana? Sekalian kita jemput abang-abang [Name] ya?"
Berpikir beberapa menit. Akhirnya [Name] mengangguk setuju saja. Di dalam gendongan ibunya, [Name] dibawa ibunya ke ruang tengah untuk menonton siaran kartun.
.
.
.
"Abang sedang apa?"
[Name] memunculkan kepalanya dari bawah meja. Halilintar terkejut karena kemunculan adiknya yang tiba-tiba, kemudian mengelus pucuk kepala adik bungsunya itu.
"Belajar."
"Belajar? Belajar apa? [Name] mau ikut." [Name] memanjat naik ke pangkuan Halilintar, lalu duduk di sana. Lalu ikut melihat pelajaran-pelajaran milik Halilintar.
"Abang, susah tak belajar ini?" tunjuk [Name] pada buku-buku pelajaran itu. Halilintar menggeleng, "Kalau rajin belajar, pasti tidak akan susah."
"Ohh, begitu ya."
"[Name]~ main yuk~"
Ketiga abang [Name] muncul dengan wajah riang. Ada Taufan, Blaze dan Duri. [Name] bergegas turun dari pangkuan Halilintar dan berlari ke arah Taufan.
"Hupla!" Taufan menangkap [Name] dan menggendongnya. [Name] hanya terkikik saja.
"Kami main dulu, Ayah! Bunda!"
"Iya! Hati-hati ya mainnya!"
.
.
.
"Bang."
"Hm? Kenapa disini?"
"Abang yang lain sedang sibuk." [Name] manyun. Lalu duduk di satu kursi di sebelah Solar.
Solar hanya menepuk-nepuk kepala adiknya dengan lembut.
"Abang lagi ngapain?" tanya [Name]. Tampak Solar yang tengah melakukan sesuatu pada sebuah bunga. "Abang ada praktek dari sekolah."
"Praktek menumbuhkan tanaman yang sudah mati ya bang?"
Solar diam. [Name] berbicara seolah-olah dia sudah paham akan hal ini. Meski Solar juga masih SD. Justru aneh seorang anak kecil yang belum masuk sekolah, sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Solar.
"Iya, kok kamu tahu?"
"Habisnya, tanamannya kasian sekali. Dia layu. Pasti abang Solar mau membuatnya hidup lagi ya kan?"
"Ya, benar."
Solar melanjutkan pekerjaannya. Sementara [Name] hanya melihat saja. [Name] sedikit heran, kenapa SD ada praktek yang sulit seperti ini.
Jika memang hendak membuatnya segar. Yang dilakukan harusnya hanyalah memberi pupuk, menyiram dengan air, dan memberinya cahaya matahari.
"Tanaman ini sudah layu, pasti sulit untuk dibangkitkan kembali," ujar Solar tiba-tiba. [Name] mendengarkan dalam diam. "Sama seperti manusia, yang sudah memilih untuk menyerah, pasti susah untuk membuatnya berjuang kembali."
Solar memberikan kata-kata yang aneh. Sebenarnya, ia ingin mendengar jawaban [Name] atas pertanyaan ini.
"Kalau menyerah, kenapa harus dibuat berjuang lagi?" tanya [Name] dengan lugu. "Mereka kan awalnya pernah berjuang, lalu menyerah karena hasilnya tak sesuai dengan yang ia inginkan."
Solar diam sesaat. Ia melepas kacamata oranyenya.
"Tapi manusia tidak boleh menyerah begitu saja. Mereka harus terus berjuang hingga hasilnya akan bagus."
"Kenapa? Apakah menyerah itu adalah tindakan tabu?"
Semakin lama, percakapan ini berlalu ke arah yang tidak benar. Solar memutuskan untuk menghentikannya. Pikiran anak kecil memang sulit dihentikan.
Lagipula [Name] masih kecil. Ada saatnya dia akan berubah nanti.
.
.
.
Tiga tahun berlalu dan [Name] sudah mengenakan baju seragam sekolah. Sekarang, [Name] bisa belajar sendiri dan punya teman.
Sang Ayah dan Ibu pun harus berpamitan pada anak-anaknya karena harus bekerja di luar kota. Demi menghidupi kedelapan anak-anaknya.
Ketiga kakak pertama telah diamanahi untuk menjaga adik-adiknya yang lain. Juga mengurus segala keperluan [Name]. Namun [Name] terkadang sudah bisa melakukan beberapa hal sendiri.
Hal itu jugalah yang menjadi kecondongan [Name] merubah perilaku.
Entah apa yang terjadi sejak [Name] menghilang selama setahun penuh. Lalu mereka menemukan [Name] di panti asuhan.
Sifat [Name] berubah total.
Ia mengerjakan semuanya sendiri. Bahkan yang lebih parah, ia bersikap kasar ke abang-abangnya tanpa alasan yang jelas. Bahkan menolak dijemput, kalaupun dijemput, ia akan mengabaikan abang-abangnya itu.
Tidak banyak berbicara, menolak bekal yang dibuat oleh Gempa. Bahkan tidak pernah sekali pun meminta tolong kepada abangnya.
Hingga setahun berlalu, dan mereka jadi tidak saling menganggap satu sama lain.
Suatu ketika, [Name] sedang belajar di kamarnya. Solar, berdiri di pintu kamar [Name] yang terbuka.
[Name] tidak memperdulikannya. Namun Solar masih berusaha untuk bicara pada adik bungsunya.
"Kenapa kau berubah sejauh ini? Apa kau tidak berpikir betapa sakit hatinya abang-abangmu yang lain?"
Hening. [Name] tidak membuka mulut sekali pun. Membuat Solar geram, ia masuk dan menarik tangan [Name] untuk membuat gadis itu melihat ke arahnya. "Jawab!"
"Kenapa? Bukankah dulu abang pernah bilang jika seseorang sudah menyerah itu harus terus bangkit?" [Name] mengungkit percakapan yang sudah lama sekali.
"Lalu?"
"Aku sedang berjuang untuk seseorang yang sudah menyerah akan hidupnya."
[Name] lantas menepis tangan Solar yang masih memegangi lengannya. Membuat Solar mundur selangkah, lalu memandangi [Name] dengan heran.
"Kau--"
Solar muak. Entah kenapa ia ingin marah sekali pada [Name].
"Kau bilang berjuang untuk seseorang! Tidakkah kau lihat orang yang kau jatuhkan justru lebih banyak!!"
"Kau ... membunuh puluhan orang hanya untuk satu orang yang kau sayangi?"
Perkataan Solar itu membuat [Name] terhenti menulis. Namun tidak membuat reaksi apapun, [Name] hanya diam saja.
"Aku membencimu, [Name]."
.
.
.
[Masa kini]
Ribuan hingga jutaan ingatan kembali berputar. Kertas-kertas film itu menyatu sesuai urutan. Menyatukan segala hal yang berhubungan.
Momen yang membuat [Name] terlempar ke masa lalunya membuat kertas-kertas film itu hancur dan berantakan.
Dengan penampilan yang sama namun sosok yang berbeda. [Name] adalah satu orang dengan idealismenya. Mengatakan jika sesuatu itu benar, maka itu benar.
Hidup layaknya anak-anak kecil pada umumnya adalah hal tabu bagi [Name]. Yang ia lakukan justru diluar akal sehat manusia.
Lalu tanpa sadar, [Name] kini terjerat dalam sebuah takdir tragis. Yang membuatnya kini harus kehilangan satu-persatu orang yang ia sayangi sebagai balasan dari masa lalu.
Penyesalan yang [Name] rasakan, justru membuatnya semakin kehilangan kesadaran. Perasaan takutnya untuk kembali berkhianat dari yang lain.
Di tanah yang dibasahi oleh hujan itu. Banyak mayat bergelimpangan dan darah yang berserakan. [Name] menangis di tengah itu semua.
Semua hal yang ia pilih, selalu berakhir pada hal tragis.
Tapi [Name] kini harus menerimanya. Untuk menebus semua kesalahan di masa lalu.
[Name] adalah orang yang sudah menyerah, namun tetap berjuang untuk orang lain.
Karena [Name] juga adalah salah satu penyebab kenapa semua hal terjadi setragis ini.
.
.
.
***tbc***
A/n:
Hanya sepenggal kisah masa lalu [Name] dan isi hatinya.
Itulah alasan kenapa Solar waktu itu sifatnya paling berbeda ke [Name] di LSSB yang pertama.
Selain itu. Mereka berdua juga sama-sama anak bungsu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top