25 - Tidak bisa bersatu

Semua sudah berkumpul. Semua sudah lengkap. Bahkan tidak ada satupun dari mereka yang terluka parah. Harusnya, mereka semua bisa pulang dengan utuh.

Tapi kenapa justru [name] berpihak kepada Noel?

"[Name]? Apa yang kau lakukan?" Grace bertanya dengan dahi berkerut. Grace harusnya sudah paham jika [name] berkhianat. Tapi tetap saja, Grace tidak tahu alasan kenapa [name] memihak Noel.

Padahal [name] juga adalah orang yang sangat membenci Noel. Apalagi sejak kematian Rena dan Rayn. Sejak ingatan asli [name] kembali dan membuat mereka kembali berkumpul.

[Name] tidak mengatakan apapun. Justru hanya diam dan mengarahkan pedang itu ke arah Grace.

"[Name], apa-apaan ini? Hentikan itu." Halilintar memerintah. Namun [name] sama sekali tidak menuruti si sulung.

"Kembalilah." Noel kembali membuka suara. Namun tidak menjelaskan perihal [name] yang tiba-tiba berubah pihak. Mereka yakin bahwa Noel tengah mempengaruhi [name].

"Apa yang kau lakukan pada [name]?" pekik Halilintar ke arah Noel yang jauh darinya. Noel memilih untuk tidak menjawab apapun.

"Pergilah." Suara [name] terdengar. Gadis berambut coklat itu menyuruh Noel untuk segera pergi dari sana.

Noel tampak ragu sesaat. Namun pada akhirnya ia memilih berbalik dan melangkah pergi. Membuat yang lain lantas heran.

"Tunggu!" Grace hendak mengejar. Namun lagi-lagi [name] menghadangnya. "[Name], hentikan ini."

[Name] tetap tidak berucap satu kata pun. Membuat Grace merasa geram dengan kelakuan [name].

[Name] memang suka melakukan semuanya sendiri. Grace adalah orang pertama yang mengetahui hal tersebut. Itu karena hal pertama yang [name] lakukan sewaktu masih kecil. Ketika [name] memutuskan untuk mengikuti Rena pergi ke panti asuhan dan meninggalkan ketujuh abangnya.

[Name] sejak saat itu, selalu melakukan semuanya berdasarkan keputusan diri sendiri. [Name] tidak pernah mendengarkan perintah siapapun.

[Name] adalah versi sempurna dari ketujuh abangnya. Karakter yang idealis dan sempurna. Sosok manusia yang jalan pilihannya sulit untuk ditebak karena kelakuannya yang random.

Dan kelakuan [name] kali ini tidak bisa membuat Grace menebak apapun. Karena ia juga belum tahu kenapa Noel melakukan semua itu.

Bisa jadi jika [name] sudah mendengar semuanya dari Noel dan memilih untuk setuju dengan Noel. Tapi, hal apa yang membuat [name] langsung setuju dengan Noel?

"Aku bilang, minggir." Grace sudah marah. Namun [name] sama sekali tidak bergeming. Justru tetap menghadang Grace dengan acungan pedangnya.

"Jika itu maumu, baiklah." Grace dengan gerakan cepat mendorong pedang milik [name] dengan belati kecil miliknya. Namun karena [name] memiliki pedang di dua tangan, [name] menebas satu pedang lagi.

Grace menghindar dengan cepat. Lalu menendang perut [name] dengan kuat hingga terpental ke dinding. "[Name]!" panik Halilintar.

Saat tendangan kaki Grace kembali melayang ke arahnya. [Name] dengan cepat menunduk dan berguling. Lalu menggunakan pedangnya ke arah Grace.

Lagi-lagi Grace berhasil menendang tangan [name] hingga pedang di tangan kanan itu terlempar jauh. Tersisa satu pedang di tangan [name].

Namun alih-alih memakai pedangnya. [Name] menggunakan kepalan tangannya untuk meninju wajah Grace.

Buak!

Pukulan itu mengenai wajah Grace. Grace mundur beberapa langkah sambil memegangi pipinya.

[Name] memasang kuda-kuda. Dengan keadaan pedang yang ia pegang seperti memegang samurai. Mata hazelnya menatap Grace dengan tajam.

[Name] dan Grace sama-sama maju. [Name] mengangkat pedangnya dan hendak menusuk Grace. Grace pula dengan cepat langsung menunduk dan menendang kaki [name]. Membuat gadis berambut coklat itu terjatuh dan melepas pedangnya.

Grace lebih dulu menendang pedang itu jauh. Tidak, Grace tidak mau menggunakan senjata untuk melawan [name].

Grace menghantamkan kakinya ke arah [name] yang terjatuh. [Name] lebih dulu berguling ke arah sebaliknya lalu merubah posisi menjadi jongkok.

Grace datang lagi dengan tinjunya. Karena tidak sempat, [name] hanya berlindung dengan kedua tangannya yang ia silangkan ke depan.

"Agh ..."

Pukulan Grace bukan main sakitnya. Pukulan seorang pembantai memang berbeda. Kini tulang tangan [name] terasa berdenyut.

Saat [name] hendak terjatuh lagi. Grace memutar arah dan mengunci [name] dari belakang. Kedua lengan Grace memegang leher [name]. Membuat [name] tidak bisa bergerak.

"Hei bodoh, apa yang kau lakukan? Kenapa kau berpihak padanya? Apa yang sebenarnya terjadi?" Grace terus bertanya. "Jawablah."

Halilintar berjalan maju menghampiri [name] dan Grace. [Name] berhenti memberontak, kini diam dengan mata coklatnya yang menatap Halilintar.

"[Name]? Kenapa kau melakukan ini?" tanya Halilintar. Sementara saudara-saudaranya yang lain berada di lantai satu dan jauh dari mereka.

"Aku hanya memerintahkan kalian untuk kembali dan keluar dari pulau ini. Apa itu sulit?" [Name] bertanya balik pada Halilintar.

"Kau ... waktu kusuruh untuk kembali. Kau yang keras kepala minta untuk ikut. Lihat akibat yang kau buat!" Grace marah besar pada [name]. "Dan sekarang kau malah memilih pilihan untuk mengikut Noel tanpa memberitahu kami apapun?"

Bruak!

Mereka bertiga langsung melihat ke arah lantai satu. Tempat dimana saudaranya yang lain berada. Namun yang mereka lihat justru adalah mereka semua tak sadarkan diri. Dengan Luke yang berdiri menengadah kepada mereka bertiga.

"Luke? Apa yang yang kau lakukan?" pekik Grace.

Luke juga berkhianat.

"Maaf kak Grace, dari awal, aku mengikuti kak Noel." Luke tersenyum sedih. Luke memang sempat lupa tujuan awalnya. Namun setelah Luke sadari sewaktu dia diikat oleh ketiga orang itu di dalam mobil. Luke mulai sadar bahwa seharusnya ia mengikuti Noel.

Dan alasan dirinya terus berada di sisi Grace dan mengikutinya. Adalah suruhan dari Noel.

Makanya sewaktu Luke disuruh datang kemari oleh Grace bersama satu orang lagi bawahan Grace. Luke terlebih dahulu menyingkirkannya dengan memanfaatkan beberapa orang yang tiba-tiba menyerang.

"Grace, yang berlatih bukan cuma kamu." Tepat setelah [name] mengatakan itu. [Name] memegang kuat tangan Grace dan membanting tubuh gadis bule itu ke depan. Suara tulang beradu lantai itu terdengar saat keras. Grace sampai kesakitan.

Halilintar mencoba menangkap [name]. Namun [name] dengan gerakan lincahnya mampu menghindari setiap gerakan Halilintar. Hingga saat Halilintar tergelincir di tangga dan tubuh itu berguling hingga ke bawah.

Kepalanya menghantam lantai. Halilintar melirik ke atas. Hal terakhir yang ia lihat adalah [name] yang berdiri di ujung tangga atas.

Sambil menangis.

Lalu semuanya memudar dan gelap.

.

.

.

Semuanya terlihat berwarna putih. Baik itu kiri, kanan, atas ataupun bawah. Seluruh tempat itu berwarna putih.

Lalu di depannya. Tumbuh sebuah pohon yang awalnya hanya sepucuk daun. Kini berubah menjadi pohon yang sangat lebat dan besar. Dan di setiap tangkainya memiliki buah berbentuk apel berwarna emas.

Bahkan mengalir sebuah sungai dengan air yang sangat jernih. Dan dari balik pohon raksasa itu, muncul seorang anak kecil dengan rambut coklat sebahunya.

[Name] kecil.

"Kenapa ... aku kembali kemari?"

Satu orang yang sama. Dengan dua jiwa yang berbeda. Bertemu dalam satu tempat dimana mereka dulu pernah bertemu di tempat ini juga.

Bertemu dalam keadaan merasa mereka berdua berbeda. Tanpa diketahui bahwa mereka berdua adalah satu orang yang sama.

"Kita adalah satu orang yang sama, jadi kenapa?"

[Name] yang di masa sekarang berucap dengan nada bergumam. Namun [name] kecil mampu mendengar gumaman itu.

Mereka berdua terpisahkan oleh sungai mengalir. Sungai itu tidak besar. Bahkan tidak terlihat dalam. Dari atas, [name] bisa melihat ikan koi yang berenang bebas. Dan lucunya, ikan koi itu memiliki tujuh warna berbeda.

Membuat [name] jadi ingat sesuatu.

"Apakah kita berakhir begini? Melupakan jati diri sendiri?" tanya [name] kecil dari dekat pohon. Baju putih yang ia pakai, berhembus terkena angin.

"Aku tidak melupakan jati diri sendiri, aku hanya ..." [Name] bingung harus berkata apa ke dirinya sendiri. Dirinya sendiri di masa kecil. Yang memiliki kenangan yang berbeda pula.

"Menurutmu dari awal, ini salah siapa?" tanya [name] kecil lagi.

Perselisihan bahkan kehancuran mereka. Mereka tidak tahu siapa ujungnya atau apa yang membuat mereka semua jadi seperti ini. Yang mereka semua tahu, ini semua terjadi karena Noel dan Noel lah yang harus bertanggung jawab.

"Apa kau yakin ini semua salah Noel?"

Tiba-tiba [name] kecil sudah berdiri di depan [name] dewasa.

"Bukankah ini semua terjadi karena keegoisanmu?" balas [name] dewasa ke [name] kecil. [Name] kecil tidak membalas apapun.

"Kita tidak akan bisa bersatu," ujarnya. Apel-apel di pohon belakang itu tiba-tiba berjatuhan. Bahkan pohon itu mulai layu. "Kita terlalu berbeda."

Dan dengan sekali sentuhan dari [name] kecil. [Name] dewasa kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

Namun bukan hantaman keras di belakang punggung yang ia dapatkan. Justru dirinya masuk tercebur ke dalam air.

Bukan sungai. Justru air itu malah sangat luas seperti laut.

Di matanya, [name] bisa melihat sosoknya yang masih kecil itu melebur hancur terbawa angin. Menghilang bersamaan dengan pohon raksasa di belakangnya.

Tubuhnya makin tenggelam. Dirinya juga tidak bisa berenang atau pun menggerakkan tubuhnya.

Cahaya makin menghilang. Dan muncul tangan-tangan yang entah dari mana. Tangan-tangan gelap itu menarik tubuh [name] makin ke bawah.

Sesak. [Name] tidak bisa bernapas.

[name] tidak melakukan apapun. Terus tenggelam bersama penyesalannya.

"Maafkan aku."

"Aku tidak pernah bisa menjadi adik yang baik untuk kalian."

"Maafkan aku."

"Abang, [name] takut."

.

.

.

Pemuda berambut pirang kemerahan itu berjalan diantara lorong-lorong. Tujuannya adalah laboratorium di bawah tanah. Ia harus meledakkan tempat itu agar sebisa mungkin apapun yang berhubungan dengan Ian bisa hilang.

Ia tidak bisa membiarkan semuanya kembali seperti dulu.

Noel masuk ke laboratorium tersebut. Ia langsung mencari tombol darurat.

Jleb!

"Uhh ..." Noel merasakan sesuatu menusuk perutnya. Lalu, pisau tersebut ditarik kembali.

Darah mengucur deras dari perut Noel. Noel jatuh berlutut, darah keluar dari mulutnya. Ia menoleh ke belakang, lalu mendapati sesosok anak kecil yang berdiri sambil memegangi pisau yang berlumuran darah.

Sosok Rayn. Dengan ekpresi kaku dan tubuh berlumuran darah.

"I ... Ian ..."

Mata itu menatap nanar. Rayn menjatuhkan pisaunya. Sementara Noel mendapati bahwa ada racun di pisau itu.

Tubuhnya terjatuh ke belakang. Bahkan tidak bisa bergerak karena rasa menyengat yang tersebar di seluruh tubuhnya. Darah membanjiri lantai dan tergenang.

"Jangan menghentikanku lagi, Noel."

"Beristirahatlah dengan tenang."

.

.

.

***tbc***

A/n:

Heyyo saya update lagi.

Kenapa? Kok pada ngeluh-ngeluh sih di chapter sebelumnya? Ga boleh pusing. Sini sini saya beliin obat sakit kepala.

Kan sudah bebas dari ujian toh. Harusnya tetap bersemangat dan ceria.

Alurnya makin membingungkan? Tenang, bentar lagi bakal tamat kok. Tinggal pengungkapan kenapa semua terjadi dan ending. Taraa.

Cemungut <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top