24 - Memihak

Rena bersama Ian serta Rayn, berjalan masuk menyusuri tanah yang dipenuhi rumput ilalang. Jalan yang pernah mereka lewati dulu benar-benar sudah tertutup oleh tumbuhan. Mereka jadi harus bersusah payah untuk masuk.

Di ujung jalan. Rena menemukan sebuah pintu dari besi. Rena segera membuka pintu besi itu dengan kuat. Karena beberapa bagian pintu sepertinya macet akibat karatan.

Rena mendorong pintu besi itu dengan kuat. Setelah terbuka. Rena masuk. Ian menyusul masuk sambil mendorong kursi roda Rayn.

Mulai dari lorong pintu, semuanya gelap. Rena dan Ian harus berjalan dengan hati-hati agar tidak menabrak atau terjatuh.

Lalu di ujung sana. Mereka bisa melihat sebuah cahaya putih.

Setelah yakin bahwa itu adalah tujuan utama mereka. Mereka segera bergegas pergi ke sana.

Langkah pertama yang Rena injakkan di sini setelah bertahun-tahun lamanya. Tempat awal ia membuka mata dan bertemu Ian serta Rayn. Tempat dimana ia bertemu dengan anak-anak lain selain dirinya.

Namun, sama seperti hari itu. Hanya dia, Ian dan Rayn saja yang berhasil melarikan diri di hari pengebomam pulau bencana. Dan tepat seperti yang Rena lihat saat ini, laboratorium benar-benar kacau balau.

Pecahan kaca dimana-mana. Alat-alat berantakan. Namun yang lebih mengenaskan dari hal itu. Adalah anak-anak yang masih terkurung di balik ruang kaca selama lima tahun tanpa makan atau pun minum.

Rena melangkahkan kakinya untuk masuk lebih jauh. Ian mengikuti sambil melihat kesana kemari. Sedikit bergetar tubuh kecil itu ketika harus kembali ke tempat dimana dirinya menderita akibat percobaan.

Rena melihat satu-persatu ke arah ruang kaca. Ada yang tertimpa runtuhan, ada yang terbakar, bahkan ada yang mati dengan meminum racun. Jangan lupakan yang mati dengan bentuk utuh karena tidak makan selama lima tahun.

Selama lima tahun, mereka menderita dan terkurung. Sedangkan Rena hanya bisa kabur sambil membawa Ian dan Rayn untuk jauh dari tempat ini.

Rena berhenti ketika sampai di ruang kaca paling ujung. Ruang kaca yang dulunya selalu diisi air itu. Kini sudah pecah dengan air yang sudah surut entah kemana. Dari yang Rena tahu, isi dari ruang kaca itu adalah percobaan paling penting.

"Rena, apa yang harus kita lakukan?" Ian menarik baju Rena dengan kaku. Rena menatap sekilas anak-anak lain yang mati. Lalu menatap Ian yang tampak bingung sekaligus takut.

"Ian, kamu mau ikut aku atau tidak?" tanya Rena lagi. Tentu saja Ian mengangguk. "Aku akan selalu mengikuti kakak kemana pun kakak pergi."

Rena menarik napas dalam. "Bagaimana jika aku justru mengajakmu pergi ke tempat yang jauh?"

"Aku akan ikut, kemana pun!" Mata Ian terlihat berkaca-kaca. "Jadi kumohon, jangan tinggalkan aku."

Grep!

"Maafkan aku, Ian." Rena memeluk Ian dengan erat. Ian yang bingung hanya bisa balas memeluk. Ian tidak peduli kemana pun Rena akan membawanya pergi. Menurut Ian, ia akan tetap merasa lebih baik bersama Rena.

Mau Rena pergi menemui tuhan pun. Ian pasti akan mengikutinya.

Rena melepas Ian. Lalu mata gadis itu melirik ke arah obat-obatan antibiotik. Salah satunya adalah Klorin Triflorida. Bahan kimia berbahaya itu berada di tempat yang dapat dijangkau oleh Rena.

.

.

.

Gempa tahu tak aman jika ia langsung masuk melalui pintu depan. Jadi Gempa memilih untuk mencari pintu lain di belakang rumah yang bisa saja memudahkan dirinya untuk masuk.

Setelah beberapa menit berlalu untuk mencari pintu masuk. Gempa menemukan pintu tua. Gempa pun memilih untuk masuk dari pintu tua itu daripada tidak sama sekali.

Saat di dorong. Ternyata pintu itu macet akibat lapuk. Gempa harus mendorongnya dengan benar-benar kuat agar pintu tua itu terbuka.

Bruak!

Nah, Gempa malah mendorongnya terlalu kuat. Engsel pintu itu sampai terlepas. Dan pintu tua itu jatuh dengan bebas ke lantai. Meninggalkan potongan-potongan kecil kayu yang berserakan di lantai keramik.

Gempa memilih untuk langsung masuk saja daripada nanti ada salah satu anak buah Noel yang menemukannya.

Dilihat-lihat. Gempa menyadari bahwa sekarang dirinya berada di dapur. Dapur yang luas. Tentu saja, dapur sultan seperti Grace dan dapur rakyat jelata seperti Gempa jelas berbeda.

Gempa menyusuri tempat itu. Namun dapur ini benar-benar seperti tidak terpakai sejak sangat lama. Mulai dari barang-barangnya yang masih terlihat tidak terlalu hitam. Bahkan saat membuka lemari, Gempa hanya menemukan bumbu seperti garam dan lada.

Di dalam kulkas sama halnya. Tidak terlalu berisi. Namun jelas semuanya telah kadaluarsa.

Jika diingat-ingat oleh Gempa. Grace sudah berselisih dan pisah dari abangnya sejak masih sangat kecil. Itu berarti, sejak saat itu pasti abang Grace tidak pernah menggunakan dapur ini untuk memasak.

Dan dapur ini tidak terpakai.

Di dalam tong sampah. Gempa hanya menemukan sampah kering bekas jajanan. Atau bahkan mie instan.

Gempa memutuskan untuk keluar dari dapur. Dan dirinya menemukan lorong yang lebar. Bahkan ada banyak ruangan di sana-sini.

Namun mata Gempa tertuju pada sebuah pintu dengan gantungan nama. Tertulis 'Big Brother' yang ditulis dengan tulisan anak-anak. Benar-benar sederhana.

Gempa meraih gagang pintu dan membukanya. Namun saat melihat isi ruangannya, Gempa membelalak kaget.

Ruangan tersebut seperti baru saja dihuni oleh binatang buas. Ruangan itu berantakan. Bahkan selimut, meja, kasur dan bantalnya terkoyak-koyak. Entah siapa yang melakukannya, namun kondisi kamar tersebut benar-benar mengenaskan.

"Seperti sangat stress," gumam Gempa.

Gempa kembali menutup kamar itu. Tangannya bergetar karena takut memikirkan tentang apa yang terjadi pada kamar itu.

Gempa langsung saja pergi dari sana. Namun di pintu lain, lagi-lagi Gempa berhenti di depannya. Merasa penasaran lagi. Memang pintu ini tidak memiliki tulisan apapun di depannya. Namun Gempa merasa bahwa ia harus membukanya.

Kriet.

Pintu berderit ketika dibuka. Sebuah kamar dengan ukuran yang sangat luas. Dan ada sebuah ranjang ukuran besar yang ditutup oleh tirai putih.

Melalui bayang-bayang tirai putih itu. Gempa bisa merasakan jika ada orang di dalamnya. Sontak Gempa mundur kembali. Ia jadi takut salah masuk.

Namun, Gempa yang penasaran pun memberanikan diri. Ia maju. Lalu menarik tirai itu dan mengintip apa yang ada di dalamnya.

Sejenak, matanya membelalak saat menemukan orang yang ia cari.

"Taufan, Ice, Solar?"

Ketiga sosok saudaranya itu tengah terbaring dengan mata terpejam di atas ranjang. Tidak ada luka setelah Gempa lihat-lihat lagi. Ia menemukan mereka dalam keadaan baik-baik saja.

"Syukurlah." Gempa memegang tangan Solar yang kebetulan berada di dekat Gempa.

"Syukurlah kalian baik-baik saja."

.

.

.

Sekarang Grace, Halilintar dan Luke sudah kembali lagi ke rumah itu. Mereka bahkan sudah bersiap dengan senjatanya masing-masing. Grace dengan belati. Halilintar dengan bantuan pistol kecil. Dan Luke dengan pistol laras panjang.

Mereka kembali masuk ke halaman rumah itu. Semuanya tetap sama seperti saat mereka baru keluar. Yang berbeda hanyalah jumlah mereka yang berkurang.

Ketiga orang ini bertekad membawa semuanya kembali hidup-hidup. Tugas mereka adalah untuk tetap hidup. Itulah janji mereka saat awal mereka menginjakkan kaki di pulau bencana ini.

Suara tepuk tangan terdengar saat mereka bertiga sudah masuk dan berada di aula. Ada Noel dari atas yang menunjukkan diri di lantai atas. Dengan senyumannya yang begitu tipis, ia menatap ketiganya.

Tidak mengatakan apapun. Ia justru hanya menatap sendu ketiga orang tersebut.

"Katakan padaku! Dimana kau membawa yang lain?!" pekik Halilintar. Membuat suarany bergema di aula besar itu. Meski menunggu jawaban, Noel enggan buka suara.

"Dimana Ice, Taufan dan Solar? Dimana kau sembunyikan mereka?" Grace bertanya lagi. Meski ia sudah tahu bahwa bahkan si Noel pun tidak akan menjawabnya.

Luke hanya diam di belakang. Menatap sosok kakak sepupunya yang kini berdiri di atas dengan ekspresi berbeda.

Lalu Noel pun memilih untuk membuka suara. "Luke, Grace, Halilintar." Ia tersenyum lagi untuk beberapa saat. "Aku tidak menyembunyikan mereka."

"Lalu, dimana mereka? Mereka terakhir kali hilang saat bertarung denganmu." Luke ikut bersuara pada akhirnya. Hal itu membuat Noel diam lagi. Seolah bingung harus berkata apa.

"Keluarga kalian, akan utuh kembali. Aku yakin." Noel memilih menjauh dari pandangan mereka. "Maafkan aku."

"Jelaskan!" teriak Grace. Membuat Noel mengurungkan niatnya untuk melangkah lebih jauh. "Jelaskan kenapa kau melakukan semua hal itu?"

"Kau tidak perlu tahu, Grace. Sekarang kalian semua bisa pulang."

Saat Noel mengatakan itu. Terdengar derap langkah kaki. Lalu dari arah kanan, muncul Gempa dan ketiga saudara mereka yang menghilang itu.

"Kalian, darimana saja?" Halilintar langsung berlari ke arah mereka dengan khawatir.

Bukan itu saja. Bahkan dari pintu masuk, ada Blaze dan Duri yang baru kembali entah dari mana. "Kalian--"

Blaze dan Duri langsung menghampiri keluarganya itu. Isak tangis terdengar dari Duri tatkala si hijau itu memeluk Gempa dengan erat. "Kupikir kak Gempa meledak bersama mobil itu."

"Mobil?" Gempa bingung. Yang Gempa tahu. Ada seseorang asing yang menariknya dari mobil lalu ia langsung tak sadarkan diri.

Noel hanya menyimak dari atas. Melihat anggota keluarga itu bercengkrama.

"Dimana [name]?" Pertanyaan itu sontak membuat Halilintar terdiam.

"Kembalilah." Noel memotong pembicaraan mereka. "Tidak ada gunanya lagi kalian disini."

"Tidak!" Grace menolak dengan tegas. Alasan kenapa ia kembali ke pulau ini. Bahkan menolak untuk pulang adalah untuk mencari kebenaran tentang kenapa Noel melakukan semua hal ini. Bahkan sampai meledakkan pulau.

"Aku ingin tahu kebenarannya!"

"Grace, hentikan." Noel memilih untuk mundur. "Semakin kau tahu faktanya, semakin kau akan membenciku."

"Hei--" Grace mengejar naik tangga. Halilintar refleks mengikuti. Namun belum sempat gadis itu meraih Noel. Muncul sosok lain yang keluar dari sisi gelap ruangan.

Ada [name]. Yang menghadang Grace untuk meraih Noel.

"[Name]?" sebut Halilintar tidak percaya.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau melindungi dia?" teriak Grace. Namun [name] hanya menodongkan senjatanya yang berupa pedang panjang itu ke arah Grace.

"Kembalilah saja."

Fakta yang membuat mereka kembali tertampar oleh kenyataan.

Bahkan mereka belum mengetahui kenyataannya. Justru kini [name] malah berpihak ke Noel.

Dan tidak ada satu pun dari mereka yang mengerti kenapa.

.

.

.

***tbc***

A/n:

Udah selesai ujiannya? Gimana? Gak remedial kan?

Saya berusaha menyelesaikan book ini secara pelan-pelan. Karena Aza sendiri mau menerbitkan book baru tentang Boboiboy. Entah pakai xreader atau nggak. Tapi yang pasti tentang Boboiboy.

Jadi setelah ini tamat. Kemungkinan fanfic baru ditambah book orisinil saya yang berjudul 'We Are Hero'.

Menurut pendapat kalian nih. Noel itu baik atau jahat?

Lalu kenapa [name] memihak Noel?

Hayo kenapa.

Semangat berpikir. Ciee yang mau kenaikan kelas. Semangat ya.

See you

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top