21 - Tinggalkan
"Apa yang sebenarnya kalian rencanakan?" Luke bertanya-tanya. Kepalanya sudah pusing disebabkan tingkah mereka yang terus-menerus tidak bisa ditebak.
Solar, Taufan dan Ice. Ia pikir mereka bertiga berkhianat dan mencoba untuk kembali ke Noel. Namun nyatanya mereka justru hendak membunuh Noel.
"Entahlah, aku sebenarnya tidak terlalu membenci Noel karena dia telah menyelamatkan kak Ice dan kak Taufan." Solar mengatakan hal itu sembari membalut perban ke kaki Luke yang terluka. "Tapi sepertinya, kak Ice dan kak Taufan berpikir jika menghabisi Noel adalah satu-satunya cara usaha untuk keluar dari tempat ini."
Luke menatap hasil karya Solar. Perban yang rapi melilit kakinya. Meski rasa sakit akibat peluru masih terasa. Pelurunya sudah dikeluarkan oleh Solar juga.
"Bukankan Taufan kehilangan ingatannya?" tanya Luke dengan heran. Bagaimana bisa seseorang yang kehilangan ingatan justru bisa bertindak seperti seseorang yang telah merencanakan sesuatu dari lama.
"Sebenarnya dia sudah mendapatkan ingatannya kembali waktu berada di dalam mobil, meski ia masih berpura-pura tetap kehilangan ingatannya." Solar menerangkan apa yang telah terjadi dan bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Luke memasang ekspresi tidak habis pikir.
Luke diam di tempatnya. "Aku ... benar-benar tidak paham dengan pola pikir kalian semua."
"Entahlah, aku juga tidak paham."
Solar berdiri dan beranjak dari tempat persembunyian. Luke sama sekali tidak menghentikannya. Justru diam. Semakin Luke bertanya-tanya, ia justru akan makin bingung dengan kebenaran yang dilontarkan.
Solar menghilang dari pandangan. Tampaknya kembali ke tempat Noel, Ice dan Taufan.
Luke melihat sekeliling. Ia ditaruh di semak-semak. Sepertinya semak-semak yang ada di luar gerbang. Pemuda pirang itu mencoba berdiri walau kaki kanannya terasa nyeri.
Dengan langkah tergopoh-gopoh. Ia keluar dari semak-semak itu dan menemukan jalanan kosong. Kini, Luke tidak tahu harus kemana. Ia juga tidak tahu dimana keberadaan Grace. Handphonenya tidak ada sejak dia keluar dari bagasi mobil, sepertinya diambil.
Melihat kiri dan kanan. Luke memutuskan berjalan menjauh. Sudah tidak habis pikir dengan rencana yang sama sekali tidak sinkron ini.
Padahal harusnya mereka semua bisa bekerja sama saja.
Terdengar suara tembakan dari dalam gerbang yang tinggi itu. Mereka pasti tengah berkelahi sekarang. Entah siapa yang akan tetap hidup atau mati.
"Rasanya, aku melupakan sesuatu?" Luke bergumam kepada dirinya sendiri. Ia merasa semua hal ini janggal.
Noel yang masih hidup. Namun, kenapa mata itu sangat berbeda?
"Hahh ... Uhhh ..."
Asma Luke kambuh. Ia jatuh berlutut sembari memegangi dadanya. Nafasnya tidak beraturan dan berat.
Sialnya, dia tidak membawa obatnya satu pun. Semuanya tertinggal.
Sejenak, ia menyesali dirinya yang berpenyakitan. Menjadi sosok yang tidak berguna. Tidak bisa membantu apa-apa. Justru malah merugikan orang lain akibat rasa sakitnya yang menganggu.
"Kak Grace ... kak Noel ..."
Semakin sesak. Luke sampai menunduk ke arah aspal jalanan.
Air matanya jatuh.
Bukan karena rasa sakit dari asma.
Entah kenapa, dia merindukan keduanya.
Noel dan Grace.
Sosok kakak yang Luke banggakan dan menjadi sosok yang ia sukai. Kedua orang yang dulunya paling banyak tersenyum kepada dirinya.
"LUKE!!"
Diantara bayang-bayang mata Luke. Ia bisa melihat sosok perempuan pirang berlari ke arahnya dengan raut khawatir. Namun belum sempat sosok itu meraihnya, Luke lebih dulu kehilangan kesadarannya.
Namun Luke sudah tahu siapa itu.
Kakak seniornya yang paling ia banggakan.
"Kak Grace ..."
.
.
.
Grace bingung dan panik saat menemukan sosok Luke yang sudah berbaring tak berdaya di depan gerbang rumah lamanya. Melihat Luke yang tak sadarkan diri, itu pasti karena asmanya. Namun dirinya juga bisa melihat perban di kaki kanan Luke.
Grace menarik Luke dan menaruhnya di punggungnya. Membawa pemuda pirang itu untuk diamankan terlebih dahulu sebelum ia kembali.
Grace bisa mendengar suara besi beradu dan tembakan dari dalam gerbang. Namun, Luke harus dibawa ke tempat aman terlebih dahulu.
Jadi Grace buru-buru pergi dari sana.
Setelah berjalan agak jauh dari rumah lamanya berada. Ia menemukan dan memasuki salah satu rumah terbengkalai di antara rumah lainnya. Masuk ke dalam lalu menaruh Luke di ranjang kasur.
Obat Luke juga tidak ada disini. Kemungkinan, obat Luke ada di dalam rumah lamanya, atau lebih tepat di dalam mobil. Tapi Grace tidak mengetahui letak pasti mobil itu terparkir.
Grace berdiri, sebelum itu ia sempat melirik Luke sebentar.
"Maaf ya, Luke. Aku malah ..." Grace menggigit bibirnya sendiri. "... membuat kalian menderita," sambungnya.
Grace lalu mengambil senjata senapannya tadi dan berlari kembali ke rumah lama dimana terjadi pertarungan. Namun saat Grace kembali, suara-suara tersebut telah hilang.
Grace masuk dengan mengendap-endap. Namun benar saja, halaman rumah tersebut kosong.
Grace lalu masuk lebih jauh sambil berjaga-jaga. Senapannya ia arahkan ke berbagai sudut.
Ia tidak tahu kenapa Luke bisa ada disini. Padahal ia jelas menyuruh Luke untuk membawa Taufan, Ice dan Solar pulang ke pulau mereka.
Dan lagi, kemungkinan yang bertarung di dalam sebelumnya adalah Taufan, Ice dan Solar. Tapi Grace masih belum tahu mereka bertiga bertarung dengan siapa. Apalagi tidak ada suara berbicara sama sekali.
"Tapi, Taufan kan hilang ingatan?" Ia bertanya pada diri sendiri.
Melihat kondisi yang aman. Ia langsung saja tancap gas lari ke arah garasi mobil. Saat masuk, ia bisa menemukan mobil yang dipakai Luke sebelumnya. Segera saja ia buka mobil tersebut untuk mencari obat asma Luke.
Setelah menemukannya dan menyimpan banyak di dalam saku bajunya. Ia berjalan masuk lagi ke dalam rumah tersebut. Namun, sama seperti sebelumnya, rumah tersebut benar-benar kosong seolah tidak ada kehidupan.
Tapi Grace tidak akan tertipu. Di luar tadi, ia bisa menemukan jejak bekas pertarungan. Lalu di dalam, jelas tidak mungkin debu ruangan yang sudah lima tahun menghilang dan jadi lumayan bersih seperti ini. Meskipun beberapa barang masih terlihat berantakan.
Grace meninggalkan kopernya di tempat yang sama pada Luke berada. Koper berisi dokumen-dokumen yang ia dapatkan dari sini. Ia akan menguak semuanya.
Saat menaiki tangga menuju lantai atas. Ia menemukan satu foto besar berisi foto sang abang, Noel. Lelaki berambut pirang kemerahan itu tersenyum ke arah kamera. Memamerkan mata cyannya yang berkilau indah.
Sosok yang akan meneruskan pekerjaan keluarga. Sosok yang akan menjadi kepala keluarga. Padahal tanpa perlu membunuh, Noel sudah dipastikan menjadi kepala keluarga dan menerima semua kekayaan ini.
Lantas, kenapa ia harus 'membunuh'?
"Atau jangan-jangan, itu bukan dia?" gumam Grace.
Suara tapak kaki menggema saat itu. Grace terkejut dan langsung was-was.
Dari lantai dua. Keluar sosok lelaki yang terdiam begitu berdiri di ujung tangga. Mereka saling bertatapan.
Grace mengarahkan senapannya. Sedangkan yang satu tampak terkejut sekali.
"Itu kamu, Grace?"
Kedua kakak beradik ini bertemu.
Namun dalam kondisi yang tidak bisa dijelaskan bahkan oleh dunia.
.
.
.
"Ian, waktu pertama bertemu denganku, apa yang kau rasakan?"
Rena akhirnya memilih untuk bertanya saja daripada kepikiran terus-menerus. Keberadaan Ian membuatnya bertanya-tanya. Rasa takutnya pada Ian bukanlah hal sepele. Pasti sosok Rena yang asli memiliki hubungan yang buruk dengan Ian.
"Kenapa bertanya seperti itu?" Ian bertanya balik. Rena mendengkus, "Jawab saja."
Ian akhirnya memutuskan untuk diam saja. Ia memperhatikan Rena yang menunggu jawaban.
"Entahlah, aku seperti sangat menantikan untuk bertemu denganmu."
"Menantikan?" Rena bertanya-tanya dengan raut wajah bingung. "Menantikan dalam hal apa?"
Ian angkat bahu. "Seperti sangat senang."
Rena mengangguk. "Begitu."
Rena tidak bertanya lagi. Semakin ditanya semakin membingungkan. Ia lantas berjalan mendekati Gempa yang sedari tadi duduk di dekat Rayn.
"Kak, apa kau tidak berniat menjemput saudara-saudaramu?" tanyanya to the point. Gempa tertawa canggung. Ia melihat Rena dan Rayn bergantian.
"Aku ingin, tapi ... aku tidak tahu dimana mereka berada dan apa yang terjadi."
"Kalau kau ingin, aku bisa mengantarmu." Rena menawarkan. Ian mengangkat-angkat tangannya dengan senang. "Aku ikut!"
"Tapi, bagaimana dengan Rayn?"
Rena melirik Rayn yang belum pernah membuka matanya sejak pertama bertemu. Alasan Rena membawanya hanya karena rasa iba dan kasihan. Seolah-olah dia harus menyelamatkan Rayn.
Meski berkali-kali Ian bilang bahwa Rayn akan mati sendiri nantinya.
Rayn adalah percobaan gagal. DNA yang asli tidak bisa mereka temukan. Mereka tidak tahu Rayn yang asli mati di mana. Menyebabkan percobaan ini mengalami tidur panjang tanpa bangun.
Rena menghela napas panjang. Lantas mengambil tas perbekalannya dan hal-hal yang penting di sana. "Biarkan saja dia, lagipula dia akan mati nanti."
Gempa terkejut. Ia menggeleng, menolak. "Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja."
"Kalau kau sanggup membawanya, silahkan."
Ian diam diantara obrolan Rena dan Gempa. Kemudian seolah mendapatkan ide, ia berlari masuk ke dalam salah satu rumah. Lalu kembali dengan kursi roda.
"Aku sebenarnya sudah menyimpan ini sejak lama. Tapi meskipun kita membawanya, kita hanya akan kelelahan." Ian memberikan kursi roda itu pada Gempa. "Tapi karena kau mau membawanya, silahkan."
Rena memutar bola matanya malas. "Kenapa tidak sejak lama? Kau membuatku terlihat seperti orang jahat."
Gempa langsung saja mengangkat tubuh Rayn perlahan dan menaruhnya di kursi roda. Rayn masih tetap tidak membuka matanya sama sekali. Seolah benar-benar mendekati kematian.
"Kalau begitu, kita pergi berpetualang?" ujar Ian dengan semangat membara. Tanpa tahu keadaan mereka membuat mereka terancam dalam bahaya.
Rena hanya bisa melengos. Memimpin jalan.
Kemudian Gempa memasang wajah khawatirnya. Terpikirkan tentang [name] dan Halilintar yang dalam kondisi bersimbah darah.
Masalahnya, darah siapa itu?
Ditanya ke Ian pun. Ian juga tidak mengetahuinya, disebabkan motor tersebut melaju kencang.
Gempa bahkan tidak tahu bahwa [name] bisa mengendarai motor.
Gempa harus segera menemui keluarga-keluarganya yang lain.
Dan mereka harus segera pulang secepatnya.
.
.
.
***tbc***
A/n:
Udah menempuh 21 chapter
Ada yang paham dengan pikiran trio pernah hilang?
Grace dan Noel bertemu?
Apa sebenarnya hubungan Rena dan Ian di masa lalu?
Pasti ada yang bertanya-tanya "kok tiba-tiba pake percobaan? Kok ganti genre?"
Ga ganti kok. Sejak chapter awal-awal lssb juga udah keliatan karakter disini pakai alat-alat semacam rakitan sendiri.
Contohnya, tabung yang isinya mayat anak kecil di kamar Grace. Kalian pikir itu tabung biasa?
Alat yang digunakan untuk bikin [name] hilang ingatan.
Bom yang unik(?)
Jadi di season 2 ini cuma diperjelas lagi doang. Bukan tiba-tiba saya ganti genre atau sebagainya.
Btw, ada yang penasaran gak sama visual wajahnya Luke?
Kalau emang penasaran, bisa ku tunjukkan sih. Aku sempat gambar Noel juga cuman masih jadi WIP.
Tunggu aja di eps selanjutnya. Masih panjang menuju akhir.
Stay tune 💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top