20 - Noel
Luke diam dalam posisi berbaring. Sejak beberapa menit yang lalu, ia dipindahkan ke bagasi belakang. Tentu saja panas, Luke sampai berkeringat.
Kedua tangan dan kakinya dalam posisi diikat. Mulutnya diikat oleh sehelai kain berwarna merah.
Sial, apa mereka lupa bahwa Luke asma?
Luke menggerakkan kedua tangannya. Mencoba menggapai kaki untuk melepaskan ikatan. Memang sulit, tangannya bahkan licin. Namun, ia berhasil melepas ikatan yang banyak itu.
Setelah itu, ia memutar tangannya yang berada di belakang, ke depan. Mencoba menarik-narik, ia berhasil melepas tali di tangan meski kondisi pergelangan tangannya benar-benar lecet.
Dengan ancang-ancang, ia menendang kuat pintu bagasi mobil hingga pintu itu terbuka. Langsung saja keluar dan melepas kain di mulutnya.
Ia diam di tempat saat melihat posisinya. Ia berada di dalam sebuah ruangan yang bisa disebut garasi mobil.
Tidak ada seorang pun selain dirinya. Hanya ada mobil, dan sparepart mobil seperti ban mobil dan bensin. Namun beberapa jerigen bensin terlihat kosong seolah baru digunakan.
"Apa maksudnya ini? Apa yang mau mereka bertiga lakukan?" Luke bertanya-tanya. Suaranya menggema di ruangan ini. Ia sibuk membuka pintu untuk keluar, namun hasilnya nihil.
Ia mengacak-acak garasi tersebut. Mencari barang yang bisa ia gunakan untuk membuka garasi.
Di balik rak jerigen bensin. Ia temukan linggis. Segera ia ambil benda besi itu untuk mencongkel pintu garasi.
"Ayo, terbukalah!" Setelah memaksakan mencongkel pintu tersebut. Pintu itu berhasil terbuka. Segera ia buka dan menemukan halaman yang familiar.
Halaman rumah yang pernah dirinya datangi. Ia berbalik badan untuk melihat bentuk rumah tersebut. Matanya terbelalak kaget. "Rumah kak Grace?"
Luke merasakan firasat buruk. Apalagi saat menoleh, ia menemukan bekas hangus di depan rumah tersebut.
Ia langkahkan kakinya untuk berlari kencang. Ia berpikir untuk segera mencari Grace dan memberitahukan hal ini padanya. Rencana mereka semua benar-benar hancur. Mereka semua memiliki rencana masing-masing.
Dor!
Jleb!
Luke jatuh terguling ke tanah saat sebuah peluru menancap pada betis kaki kanannya. Hantaman keras membuat tubuhnya sakit. Ia menoleh ke arah kakinya yang kini mengucurkan darah yang deras.
Luke mencoba menyeret kakinya, namun tidak berhasil. Ia melihat sekeliling, mencari sosok yang telah menembak kakinya.
Seseorang berjalan mendekat. Langkah demi langkah mendekati Luke yang terpaku diam. Mata merah itu melotot. Tenggorokannya tercekat.
Dari semua hal, kenapa ia justru selalu mendapat kesialan. Luke pantas menyumpahi takdir yang menimpanya.
Sosok yang ia kenal itu berjongkok di hadapannya. Seorang lelaki berpakaian formal. Dengan rambut pirang kemerahan dan mata cyan. Sosok yang memang sedang mereka cari-cari sedari kemarin.
"Luke? Apa yang kau lakukan disini?"
Luke meneguk ludah. Sorot matanya lurus menatap sosok familiar di hadapannya. Angin berhembus pelan menerpa wajah mereka. Darah di betis Luke bahkan tak kunjung berhenti mengalir.
"K-kak Noel?"
Noel, sosok kakak Grace yang tidak pernah menampakkan diri pun muncul di hadapan Luke.
Luke mulai berpikiran negatif tentang kenapa ketiga abang [name] membawa Luke kemari. Serta dengan keberadaan Noel disini.
'Sekutu Noel?'
Noel melihat kaki Luke yang berdarah. Merasa iba, tangannya hendak meraih kaki Luke sebelum sebuah tendangan melayang ke arah wajahnya.
Noel berhasil menahan tendangan itu dengan tangannya. Matanya menatap tak senang dengan sosok yang hendak menendang wajahnya. "Apa yang kau lakukan?"
Ia menarik kakinya. Memasang pose bertarung dengan kedua belati di tangannya. "Membunuhmu."
"I-Ice?" Luke menatap tak percaya.
Bukankah mereka bersekutu?
Lantas kenapa Ice terlihat tidak suka dengan Noel?
Seseorang berlari ke arah Luke. Menarik dan menggendongnya. Luke melihat wajahnya, lantas terkejut. "Solar?"
"Ya, diam."
Solar berlari menjauh sambil menggendong Luke keluar dari halaman rumah tersebut. Sedangkan Ice tampak mencoba menghalangi Noel.
"Ada apa dengan kalian?" tanya Noel dengan rupa bingung. Ice mengangkat dua belatinya. "Memberontak."
Dor!
Tembakan datang dari arah lain, namun Noel berhasil menghindari tembakan tersebut. Ia melihat ke arah tembakan, terdapat sosok lain yang berdiri tak jauh darinya.
Taufan.
Taufan fokus mengarahkan pistolnya ke arah Noel. Noel tampak santai saja ketika ada dua orang dengan aura membunuh berada di kiri dan kanannya.
"Apa yang kalian dapatkan dengan melakukan ini?" tanya Noel dengan serius. Taufan membuka mulut, "Keluarga."
"Keluarga?" beo Noel.
"Ya, keluarga."
.
.
.
"Nggh."
Sosok pemuda yang terbaring pingsan itu akhirnya bangun. Ia memandang sekeliling. Lalu melihat tubuhnya yang dipenuhi perban. Ia memegangi kepalanya, mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin.
"Sudah bangun?" Gadis kecil datang ke hadapannya, memberikannya segelas air.
"Maaf, ini di mana ya?" tanyanya dengan sopan. Ian muncul dari balik Rena. "Pulau bencana!"
"Hush, jangan berteriak."
"Hehe, maaf Rena."
"Ya, aku tahu tapi ..." Dirinya diam membisu saat tak tahu harus bertanya tentang apa. Ia--Gempa--bingung kenapa bisa berada disini.
"Entahlah, kami menemukanmu di semak-semak. Sepertinya kau habis dibuang." Rena mengatakannya tanpa rasa bersalah. Lalu kembali menyodorkan makanan dari supermarket yang bisa saja sudah basi.
Gempa menoleh ke arah lain. Menemukan sosok anak laki-laki yang tertidur dengan wajah pucat. "Teman kalian?"
"Ya," sahut Ian. Ia mendekati temannya itu dan mengelus pelan tangan pucat itu. "Namanya Rayn."
Gempa tersedak saat minum. Ia melotot. "R-Rayn?"
"Ya, yang tidur itu Rayn, itu Ian dan saya Rena."
Gempa memegang kepalanya. Ia masih sedikit shock. Entah hanya nama yang sama ataukah ini menjadi sedikit konspirasi baru. Gempa merasa semua hal yang terjadi benar-benar tidak masuk akal.
"Mirip seseorang yang kau kenal?" tanya Rena langsung. Gempa mengangguk pelan. Rena menghela napas. "Hanya nama saja yang mirip, percayalah."
"Apa maksudmu?" tanya ulang Gempa. Ia masih tidak mengerti dengan maksud Rena barusan.
"Kami anak-anak dari uji coba alat perusahaan GreenLand. Kami bertiga diciptakan dari DNA orang yang sudah mati. Aku sudah tahu itu." Rena menjelaskan semuanya secara singkat. Faktanya, sebelum kabur, Rena sempat membaca beberapa berkas tentang mereka. Alasan kenapa mereka bisa berada di tempat itu.
"Tapi aslinya kami tetaplah kami, kami aslinya memang anak-anak yang masih hidup di jalanan."
Gempa memandang mereka bertiga dengan tatapan tidak percaya.
"Jangan iba, kami bahkan tidak ingat siapa kami sebelumnya. Yang kutahu, DNA kami sudah tercampur dengan orang mati." Rena melihat ke arah Rayn yang tertidur. Dipastikan bahwa Rayn adalah cobaan yang gagal. Lagipula, mereka tidak bisa menemukan dimana makam Rayn.
Rena sudah tahu bahwa Rayn akan mati. Tapi tetap saja hatinya menyuruhnya untuk membawa Rayn pergi dari sana. Bisa jadi ini ada hubungannya dengan DNA Rena yang tertanam dalam dirinya.
Tapi Ian? Ia tidak tahu apa-apa tentang Ian. Yang Rena tahu, setiap berada di dekat Ian, ia merasakan perasaan berada daripada saat dirinya berada di dekat Rayn.
Perasaan takut, kasihan, bahkan benci bercampur jadi satu. Ia yakin bahwa Ian dulunya pasti orang yang sangat Rena tidak sukai. Namun kenapa Ian justru dekat dan menempel terus padanya adalah sebuah misteri.
"Apa kalian melihat keluarga abang yang lain?" tanya Gempa. Namun Rena dan Ian kompak menggeleng. "Terakhir kali saat kalian pergi bersama, dan setelah itu kami tidak melihat siapapun lagi."
"Tapi tadi aku melihat seorang perempuan naik motor ngebut ke arah sana!" Ian berucap sambil jemari telunjuknya menunjuk ke arah ujung jalanan. "Kayaknya kakak yang bersama kalian."
"Siapa? [Name]? Grace? Apa dia sendirian?" tanya Gempa lagi.
"Um, rambutnya coklat dan dia bersama lelaki yang mirip abang," ujar Ian.
Mendengar itu, Gempa mengelus dadanya. "Alhamdulillah."
"Tapi lelaki yang mirip abang itu kayak habis di tembak, banyak darahnya."
"Astaghfirullah."
.
.
.
"Aku akan mencari yang lain, kita semua dalam bahaya jika terus diam seperti ini." Blaze memutuskan untuk pergi saja bersama Duri. Grace membuka mulut, namun kembali menutupnya.
"Berbahaya berpencar lagi."
"Tapi sekarang kita sudah dalam bahaya." Blaze tampak benar-benar frustasi. Apalagi Duri yang terlihat murung dan pendiam. Blaze tidak ingin kehilangan anggota keluarganya yang lain. Dirinya harus segera menemukan yang lain dan membawa mereka semua pulang meninggalkan pulau ini.
Grace paham perasaan Blaze. Mereka tidak bisa kehilangan anggota keluarga mereka lagi.
"Terserah, carilah keluarga kalian. Aku akan menyelesaikan ini sendiri." Grace melempar kunci motor ke Blaze. Blaze menangkapnya dan memasang wajah bertanya-tanya.
"Aku menemukan motor yang bisa dipakai tadi beserta kuncinya. Pakailah, jangan lupa isi bensin." Grace menggerakkan tangannya seolah mengusir kedua orang itu.
Blaze terdiam sejenak, seolah ragu untuk meninggalkan Grace sendirian. Tapi, dirinya tidak punya pilihan lain. Ia langsung menarik Duri untuk berdiri dan pergi bersamanya. Bahkan tanpa salam perpisahan untuk Grace.
Grace hanya bisa mendengkus lelah. Di tangannya terdapat senapan yang berhasil ia dapat hasil menjarah rumah orang-orang tadi pagi.
Ia akan kembali menerobos rumah itu. Ia yakin ada Noel di sana. Atau siapapun yang mencoba menghalangi Grace untuk menguak kebenaran.
Ia juga akan membunuh orang yang dengan teganya meledakkan mobil yang berisi Gempa. Grace bersumpah, akan meledakkan kepala orang itu juga.
Siapapun yang ada di dalam sana. Grace hanya harus menghabisinya dan membawa barang bukti itu. Ia akan menguak kebenaran tentang kegilaan sang kakak.
Serta kebenaran tentang surat rumah sakit yang menyatakan bahwa Noel memiliki kepribadian ganda.
Grace lalu teringat pada surat lamaran kerja asing yang disimpan rapi dalam laci kerja. Ia yakin itu adalah surat yang penting. Apalagi orang tersebut.
Seorang lelaki yang bisa dibilang seumuran kakaknya. Berambut coklat dan mata coklat. Wajah yang biasa saja, namun Grace merasa ada yang salah dengannya.
Memang benar bahwa isi biodatanya benar-benar normal. Bahkan terlalu normal menurutnya.
Tidak mungkin orang seperti itu dijadikan incaran oleh kakaknya. Apalagi sampai melamar di perusahaan sebesar itu dengan nilai dan wajahnya yang pas-pasan.
Grace pasti akan menguak semuanya. Bahkan tentang lelaki ini.
'Ian.'
.
.
.
***tbc***
A/n:
Hai hai, lama tak jumpa.
Udah chapter 20 dan tampaknya masih belum ada titik terang dari pencarian Grace dan kawan-kawan.
Setidaknya disini tertebak beberapa hal.
Seperti ketiga trio hilang yang malah mengincar Noel.
Rena yang mengetahui dirinya bukanlah Rena yang asli.
Bahkan sosok 'Ian' yang harus dicari lagi oleh Grace.
Apalagi yang bisa kalian temukan di chapter ini?
Semoga tidak bosan berteori, karena berteori itu bagus untuk otak.
Selamat menikmati hari hitung mundur untuk kembali sekolah.
Sekolah itu menyenangkan.
Bay
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top