19 - Apa yang harus kulakukan?

"Yang ada disini, bukan cuma kita bertiga."

Ucapan yang keluar dari mulut Duri itu lantas membuat Grace dan Blaze merinding. Tentu saja, jika sebelum mereka ada seseorang yang telah lebih dulu kemari. Maka orang itu sedang menunggu kedatangan mereka.

"Tapi siapa?" Grace bertanya-tanya. Musuh baru ataukah lagi-lagi anak buah Noel? Grace tidak mengerti kenapa mereka masih dikejar-kejar seperti ini.

Grace benar-benar merasa akan membunuhnya kalau mereka bertemu.

"Bagaimana ini?" ujar Blaze menatap keduanya. Grace bimbang, lanjut mencari barang bukti bisa saja membuat mereka makin mendekati bahaya. Mau tak mau mereka harus segera keluar dari sana.

"Gempa di mobil, kan?" Duri dan Blaze mengangguk saambil menunjuk ke arah luar. Mereka sengaja tidak membawa Gempa dan menyuruh Gempa tetap diam di dalam mobil.

"Ya sudah, kita hentikan saja ini." Grace mengambil apa yang bisa ia ambil dan pergi dari sana setelah memasukkan kertas yang ia ambil tersebut ke dalam koper. Blaze dan Duri buru-buru mengikuti.

Namun, tidak lama mereka melangkah jauh. Sebuah ledakan terdengar besar, bahkan sampai tanah berguncang.

Mereka bertiga panik. Lantas otomatis melihat ke arah jendela yang mengarah ke arah mobil mereka parkir.

"T-tidak mungkin ..."

Duri melotot tatkala asal dari suara ledakan itu adalah--

"Gempa?"

--mobil mereka.

"Tidak! Gempaaa!!" Blaze berteriak histeris. Grace terkejut bukan kepalang. Mobil yang beberapa menit lalu mereka parkir disini. Tiba-tiba saja meledak dan terbakar.

Dan masalahnya, Gempa ada di dalamnya.

Duri dan Blaze bergegas keluar. Disusul Grace. Tapi mereka tidak bisa mendekat ke mobil tersebut akibat api yang besar.

Grace mengambil pemadam api. Berusaha menyemprotkannya. Namun api terlalu besar untuk dipadamkan hanya dengan alat sekecil itu.

Duri dan Blaze mencari-cari cara. Sebisa mungkin mencari sumber air untuk memadamkan api dari mobil tersebut.

"Gempaaa! Gempaaaa!" Duri terpekik sambil menangis. Tubuhnya bergetar mengingat sosok sang kakak yang masih duduk berdiam diri di dalam mobil.

Pemadam api tersebut habis. Namun api tak kunjung reda. Grace melempar pemadam tersebut ke sembarang arah. Lalu memilih hendak menerobos ke arah api tersebut.

"Gila! Apa yang kau lakukan?" Blaze mencekal tubuh Grace. Membuat perempuan itu tidak bisa kemana-mana.

"Lepaskan! Gempa di dalam sana!"

"Aku tahu! Aku tahu!" Blaze menggigit bibirnya. "Tapi kau juga bisa mati jika menerobos ke api sebesar itu!"

Grace melihat ke arah api tersebut. Memang benar perkataan Blaze. Apinya terlalu besar. Dan yang pasti, orang di dalamnya pun telah mati.

"Sial."

"Bang Gempaa ... Bang Gempa ..." Duri masih merengek. Seluruh tubuhnya bergetar. Air mata membanjiri wajahnya. Blaze datang mendekati adiknya itu dan membekapnya lembut.

"Kenapa? Kenapa jadi seperti ini?"

Grace melihat sekeliling. Sepi. Lalu mendekati Blaze dan Duri. "Ayo pergi dari sini, rasanya tidak aman. Kita harus segera mencari yang lain atau menetap di tempat yang aman."

Blaze setuju. Ia segera merangkul Duri untuk mengajaknya segera pergi dari sana.

.

.

.

Tampak seorang gadis berambut coklat itu tengah menyeret seseorang yang memiliki rambut coklat yang sama. Yang tak lain adalah saudaranya sendiri.

Orang tersebut berlumuran darah. Serta tidak sadarkan diri.

[Name] mengusap wajahnya yang kotor. Pistol di tangan kiri dan Halilintar di tangan kanan. Yang bisa ia lakukan hanyalah menyeret sang kakak ke suatu tempat.

[Name] berhenti di sebuah motor yang kuncinya tergantung di motornya. Setelah mencoba peruntungan untuk menghidupkan motor tersebut. Ternyata motor itu masih berfungsi dengan baik.

[Name] angkat sang kakak yang dipenuhi darah itu untuk naik. Beruntung, sepeda motor ini memiliki tambahan seperti kursi di bagian belakang. [Name] melepas jaketnya dan mengikat tubuh Halilintar ke sana.

Setelah dirasa Halilintar tidak akan jatuh. [Name] pergi ke depan dan menaiki motornya. Setelah menghidupkan motor tersebut. Ia mencium bau badannya sendiri yang penuh darah.

"Busuk."

Ia lantas segera pergi dari sana bersama motor asing dan Halilintar yang tak sadarkan diri.

.

.

.

"Sial."

Luke hanya bisa bersandar di belakang mobil dengan lemas. Kedua tangannya diikat ke belakang tubuh. Keringatnya bercucuran.

"Aduh, asma ku jangan kambuh di saat begini--"

"Uhuk! Uhuk! Haahh ..." Meski mencoba meredam suara nafasnya yang terengah. Hal itu percuma saja.

Solar tengah mengendarai mobilnya. Entah hendak dibawa kemana. Tapi yang pasti, ke suatu tempat.

Taufan duduk di sebelah supir. Lalu ada Ice yang duduk di sebelahnya.

"Asma lagi?" ujar Solar dari depan. Ice hanya angkat bahu. Namun mengambil alat untuk asma itu dan menaruhnya di mulut Luke.

Setelah beberapa menit, pernafasan Luke kembali normal.

Mereka masing-masing kembali diam. Apalagi setelah Taufan tertidur di kursi depan. Luke tidak habis pikir kenapa mereka bertiga melakukan hal seperti ini padanya.

Mereka berkhianat sejak awal?

Luke malas berpikir lebih jauh. Toh, dia sudah tertangkap. Tinggal menunggu Grace bertindak saja.

"Hei." Ice memanggil Luke yang sedari tadi diam. Luke menoleh. Menunggu pertanyaan yang akan dilontarkan pemuda bermanik cyan itu.

"Kau, berkhianat kan?"

.

.

.

"Rena! Rena!"

"Huss, jangan berisik seperti itu." Gadis cilik bernama Rena itu menaruh telunjuk di depan bibir, menyuruh anak laki-laki di sampingnya untuk diam.

Bocah itu diam. Duduk tenang di samping Rena sembari melihat ke langit.

"Kau yakin dia akan tetap hidup? Dia bahkan tidak pernah membuka matanya sejak kita membawanya keluar dari tempat itu." Bocah itu berkomentar. Rena hanya diam saja.

Di depan mereka. Di sebuah kasur yang bisa dibilang tidak terlalu layak dipakai. Terbaring seorang bocah lelaki seumuran mereka berdua yang matanya tertutup, koma katanya.

Tidak ada selang infus atau apapun. Rena hanya rutin menyuntikkan obat dan vitamin ke tubuh anak itu. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang dewasa pada mereka.

Dengan begitu, dia tetap hidup.

"Lihat, bintangnya banyak malam ini." Bocah itu menunjuk ke langit. Rena ikut melihat ke langit. Menemukan banyak bintang bertaburan di antara gelapnya malam.

"Ian," panggil gadis itu. Bocah bernama Ian tersebut menoleh padanya dengan bingung. "Ada apa?"

Berdiam sejenak, ia menggeleng. "Tidak, aku hanya khawatir tentang anak ini."

"Kau selalu merawatnya, padahal kau tidak perlu susah-susah untuk merawat orang yang tidak kau kenal ini," tunjuk Ian pada bocah laki-laki yang masih dalam alam tidurnya. Rena hanya bisa tersenyum tipis. "Entahlah, aku merasa bahwa dia harus ikut dengan kita."

Srak!

"Siapa itu?" Ian langsung berdiri dengan was-was. Bahkan melindungi Rena dengan berdiri membelakanginya.

Melihat tidak ada yang menjawab dan tidak ada siapapun. Ian memutuskan untuk mendekati asal suara barusan.

Perlahan melangkah. Ketika tepat berdiri di depan semak kecil di pinggir pagar. Ia langsung menarik semak itu. Lantas terkejut menemukan sesosok manusia terbaring di sana.

"Aaa! Rena! Rena! Ada manusia disini!" Ian berlari menghampiri Rena, lalu menarik gadis itu mendekati orang tadi.

"Astaga, dia penuh luka. Ayo bawa dia ke dekat tenda," ujar Rena. Ian mengangguk. Lalu mereka berdua sama-sama menyeret seseorang itu ke dekat tenda, dimana mereka menaruh teman mereka.

Diantara temaram api unggun. Rena dan Ian bisa melihat wajah sosok itu dengan jelas.

"Oh, bukankah dia salah satu orang yang pergi dengan rombongan tadi pagi?" Ian tentu ingat dengan rombongan itu. Mereka berdua baru saja membicarakannya tadi siang.

"Kau benar, wajahnya benar-benar mirip. Tapi aku tidak tahu dia yang mana dari ketujuh orang itu."

"Dilihat dari bajunya, dia bukan ketiga kakak yang itu kan?" Ian mencoba berpikir. "Tapi, kenapa dia bisa disini? Apa dia dibuang oleh keluarganya?"

Rena meneguk ludah. Ia menatap Ian dan bocah yang koma itu bergantian. "Aku merasakan firasat buruk."

"Aku merasa kita semua akan mati di pulau ini."

.

.

.

"Sial," umpat Blaze. Ia sebenarnya ingin menangis, bahkan matanya sudah berair. Namun jika ia menangis, ia tidak tahu kapan akan berhenti.

Blaze, Duri dan Grace. Mereka bertiga tengah bersembunyi di sebuah gang kosong. Mencoba menenangkan Duri yang tampaknya masih shock dengan kejadian tadi sore.

Grace melihat langit gelap. Ini sudah malam, mereka tidak bisa melanjutkan pencarian. Bahkan, teman-temannya yang lain tidak bisa dihubungi sama sekali.

"Kemana mereka." Grace mencoba menelepon nomor [name]. Namun sedari tadi, gadis itu masih tak mengangkat teleponnya.

Ia juga sudah mencoba menelepon Luke. Namun semuanya sama saja.

Grace merasakan firasat buruk mengenai hal ini. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada mereka semua.

"Harusnya kita tak berpencar seperti ini." Blaze masih menyesali kejadian tadi sore. Ledakan itu benar-benar terasa nyata. Bahkan tubuh Grace masih bergetar karena trauma dengan suara ledakan seperti itu.

"Maaf, aku tak tahu akan jadi begini." Grace menunduk, merasa bersalah atas kejadian yang telah menimpa mereka. Ia bahkan tidak percaya bahwa Gempa benar-benar sudah tidak ada. Padahal tadi siang, mereka masih sempat berbicara tentang makan siang.

"Kita benar-benar terjebak di pulau terkutuk ini," gumam Blaze lagi.

"Duri mau pulang ..." Duri benar-benar lelah dan takut. Ancaman pulau yang sudah mati lima tahun ini lebih mengerikan. Ia tidak tahu bahwa mencari keberadaan saudaranya bisa serumit ini.

Apalagi kenyataan bahwa musuh yang harus mereka lawan adalah orang aneh yang didiagnosis menderita kepribadian ganda. Jangan lupakan bahwa mereka juga tidak tahu apakah musuh mereka itu masih hidup atau tidak.

Grace berhenti mencoba menelepon. Sudah berkali-kali rasanya ia menekan tombol hijau. Namun tidak ada satu orang pun yang mengangkat teleponnya.

Ia lelah.

"Kita istirahat dulu, kalian tidurlah. Aku akan berjaga." Grace berdiri, berjalan keluar gang.

Blaze diam saja. Ia sudah terlalu lelah untuk menanggapi kata-kata dari Grace. Takut-takut, Blaze bisa saja menyalahkan Grace atas semua yang telah terjadi.

Dan mereka bisa makin hancur.

Grace duduk diam di atas kotak besi. Menikmati bulan yang penuh malam ini. Pikirannya berkecamuk kemana-mana. Ia tidak bisa apa-apa jika semua hal terjadi seperti ini.

"Aku harus apa?"

.

.

.

***tbc***

A/n:

Depresi lah kalian

Hahahaha

Konflik makin meninggi.

Gempa meledak?

[Name] kenapa?

Solar, Ice dan Taufan kenapa tiba-tiba kerjasama?

Yang bersama Rena ternyata Ian? Tapi apakah itu benar-benar Rena atau hanya mirip namanya saja?

Siapa Ian?

Siapa orang yang ditarik oleh Rena dan Ian?

Kenapa gak ada yang mengangkat telepon Grace?

Gimana? Gurih gurih otaknya?

Mantap

Ku tunggu teorinya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top